Anda di halaman 1dari 9

Proses Pengalengan Ikan

1. Prinsip Pangalengan
Prinsip Pengalengan Ikan Pengawetan makanan dalam kaleng diartikan sebagai suatu
cara pengolahan dengan menggunakan suhu sterilisasi (110o C – 120 oC) yang bertujuan
menyelamatkan bahan makanan itu dari proses pembusukan. (Moeljanto, 2002). Pada
pengalengan makanan, bahan pangan dikemas secara hermetis dalam suatu wadah
kaleng. Pengemasan secara hermetis mengandung arti bahwa penutupannya sangat rapat,
sehingga tidak dapat ditembus oleh udara, air, mikroba atau bahan asing lainnya.
Perlakuan panas untuk bahan pangan berasam rendah dirancang untuk menginaktifasikan
sejumlah besar spora organisme C. botulinum. Walaupun spora ini tidak setahan spora –
spora dari tipe Clostridium lainnya dan bacillus. C. botulinum mampu menghasilkan
racun yang mematikan kadang – kadang tanpa menggembungkan wadah atau mengubah
kenampakan secara nyata (Buckle et al, 2005). Selain penerapan suhu tinggi, tingkat
keasaman (pH) suatu produk mempunyai peranan terhadap daya hambat pertumbuhan
bakteri patogen. Clostridium botulinum termasuk salah satu bakteri yang mudah tumbuh
dengan baik pada substrat atau produk – produk makanan yang mempunyai kisaran pH
4,6 – 7,5 (Winarno, 1994)
2. Proses Pengalengan Ikan
Proses Pengalengan Ikan Secara umum proses pengalengan meliputi tahap – tahap yang
akan di sajikan pada gambar 1 di bawah ini
Persiapan Bahan Baku

Pemasakan Pendahuluan dan


Pendinginan

Pemisahan kepala, kulit dan


duri

Proses Pemotongan

Pengisian bahan kedalam kemasan


dan pengisian medium

Penghamparan Udara

Proses Sterilisasi

Pelabelan dan Pengepakan

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pengalengan Ikan


Ikan secara alami dalam proses pemanfaatannya akan mengikuti pola kemunduran mutu,
dimana setelah ikan mati akan menjadi busuk dalam waktu 5 – 8 jam pada suhu kamar
(25 – 30 oC). Oleh karena itu ikan yang masih segar hendaknya segera diolah atau
dimanfaatkan. Memastikan dapat dihasilkan olahan ikan (produk akhir) yang bermutu
diperlukan tingkat kesegaran bahan baku yang tinggi. Hal ini dikarenakan ikan segar
akan melewati tahap – tahap pengolahan yang mengarah pada seringnya penanganan
secara fisik, sehingga bila tingkat kesegaran bahan baku tidak cukup tinggi akan
dihasilkan produk ikan kaleng yang tidak bermutu. Salah satu jenis ikan yang dilakukan
proses pengalengan adalah ikan Tuna. Ikan tuna sampai saat ini masih mendominasi
ekspor produk perikanan di Indonesia
2.1 Persiapan Bahan Baku
Jenis-jenis ikan tuna yang digunakan sebagai bahan baku tuna kaleng menurut SNI-
01-2712-1992 dapat dilihat pada Tabel 1.

Nama Indonesia Nama Latin


Albakora Thunnus germo
Madidihang Thunnus albacares
Tuna Mata Besar Thunnus obesus
Tuna abu-abu Thunnus tonggol
Cakalang Katsuwonus pelamis
Tongkol Euthynnus affinis
Setuhuk Loreng Makaira mitsuk urii
Setuhuk Hitam Mak aira mazara
Setuhuk Putih Mak aira marlina
Ikan pedang Xiphias gladius

Bahan baku ikan tuna yang digunakan dalam proses produksi harus memenuhi
persyaratan seperti yang diuraikan dalam SNI 01-2712-1992 yaitu:
1. bahan baku harus berupa tuna segar atau beku, utuh tanpa isi perut
2. bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar
bahan baku harus bersih, bebas dari bau tanda kebusukan, bebas dari tanda
dekomposisi dan pemalsuan, serta tidak membahayakan kesehatan.
Tahap-tahap yang di lakukan dalam persiapan bahan baku adalah
1. Uji awal terhadap bahan baku yang diterima
2. Thawing
3. Butchering atau penyiangan
4. Butchering atau penyiangan
Penerimaan bahan baku yang akan diolah dibedakan menjadi 2, yaitu bahan
baku segar (fresh) dan bahan baku beku (frozen). Pemeriksaan mutu terhadap bahan baku
yang diterima harus dilakukan ( Hari et al., 2007 ), minimal dengan pengujian
organoleptik. Setiap bahan baku yang tidak memenuhi persyaratan harus ditolak atau
digunakan untuk jenis pengolahan lain yang sesuai.

Pembongkaran bahan baku dilakukan setelah pengujian terhadap suhu, kadar


histamin, kadar garam dan organoleptik. Sampel diambil sebanyak 5% dari total bahan
baku. Selain itu dilakukan pengujian parasit dengan menggunakan test pack. Pengujian
dilakukan dengan cara mengambil 2 ekor sampel ikan tuna dan dikukus selama 1–2,5 jam
tergantung ukuran ikan. Standar penerimaan bahan baku yang diterapkan oleh salah satu
industri pengalengan di Indonesia adalah suhu < –20C, histamin < 2,5 mg%, kadar garam
< 1,5 mg %, dan organoleptik > 7 (dari skala 1– 9). Parasit tidak boleh lebih dari 2,5%
dari daging yang dikukus. Di samping itu kandungan histamin pada ikan tuna beku
dipersyaratkan maksimal 20 mg% (SNI 01-2710-1992).

Tahap selanjutnya adalah thawing dilakukan dengan cara meletakkan ikan pada
bak dengan sirkulasi air secara berkala untuk mempercepat proses thawing. Selama
proses thawing, suhu ikan dijaga supaya tidak melebihi suhu 4 ⸰C. Lama waktu yang
dibutuhkan untuk penanganan thawing adalah 2-3 jam atau waktu pelelehan sangat
tergantung dari ukuran dan volume ikan dalam satu bak.

Butchering atau penyiangan adalah proses pembuangan isi perut ikan. Ikan yang
sudah melalui proses thawing dibuang isi perut dan organ dalam menggunakan pisau.
Apabila ikan yang disiangi terlalu besar ukurannya maka diawali dengan pemotongan
menggunakan gergaji menjadi beberapa bagian terlebih dahulu. Kemudian ikan dicuci
untuk membersihkan isi perut dan darah yang tersisa. Penyucian dilakukan sebanyak 2
kali untuk menghasilkan hasil akhir yang bebas dari darah dan isi perut. Pada butchering
harus diusahakan tidak ada delay dan pengananan secepat mungkin. Ikan yang telah
disiangi segera disusun pada rak/tray untuk dimasukkan ke dalam cooker.

Penyusunan ikan dalam rak dilakukan berdasarkan potongan bagian anggota


tubuh ikan. Bagian badan ikan disusun terpisah dalam rak yang berbeda dari bagian ekor,
kepala, dan leher. Bagian badan ikan disusun teratur secara vertikal, sedangkan bagian
ekor, kepala dan leher disusun dalam keadaan terlentang dan diselang-seling. Pemisahan
susunan dalam rak ini diperlukan karena masing-masing bagian tersebut memerlukan
waktu pemasakan pendahuluan (precooking) yang berbeda. Susunan ikan dalam rak
diatur jaraknya agar tidak terlalu dekat, sehingga memudahkan sirkulasi uap panas dalam
rak.

2.2 Pemasakan pendahuluan


Tujuan dari pemasakan pendahuluan ini adalah untuk memudahkan proses
pembersihan daging ikan, mengurangi kandungan air, lemak, dan membuat daging ikan
menjadi lebih kompak (Murniyati & Sunarman, 2000). Proses pemasakan pendahuluan
dilakukan dengan memasukkan ikan yang telah disusun dalam rak ke dalam cooker yaitu
tempat atau ruangan pemasakan yang memiliki pintu yang dapat ditutup rapat untuk
mencegah pengeluaran uap yang terlalu banyak. Setelah itu dilakukan pembersihan
daging ikan dengan menyemprotkan air melalui pipa-pipa yang terdapat di dalam cooker
selama 10 menit. Tahapan selanjutnya adalah pengeluaran uap panas melalui pipa yang
terdapat dalam cooker hingga mencapai suhu 1000C. Jika suhu telah mencapai 1000C,
aliran uap panas dihentikan. Suhu dan waktu pemasakan dapat dilihat dengan
menggunakan thermorecording atau termometer. Pengontrolan suhu dimaksudkan untuk
m enjaga keseimbangan antara lama pemasakan, suhu, mutu daging serta biaya produksi,
karena pengukusan yang terlalu lama dan suhu yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi
rupa dan tekstur daging.
Setelah proses pemasakan pendahuluan, ikan disemprot kembali dengan air
melalui pipa dalam cooker selama 10 menit. Penyemprotan ini bertujuan untuk
mendinginkan dan membuat daging ikan menjadi kompak. Penyemprotan dengan air
dapat juga dilakukan di luar cooker, tetapi dikhawatirkan akan terjadi perubahan warna
daging menjadi kuning. Waktu pemasakan pendahuluan sangat tergantung dari ukuran
ikan serta berat bagian badan ikan yang dipotong-potong, yaitu sekitar 60– 80 menit. Air
yang dikeluarkan oleh ikan selama proses pemasakan pendahuluan adalah sekitar 17,5%
Rak yang berisikan daging ikan yang telah masak dikeluarkan dari cooker
dan diletakkan dalam ruang pendinginan dan membiarkannya dalam ruangan tersebut
selama ± 3 jam. Pendinginan ini bertujuan untuk membuat daging ikan lebih kompak dan
padat sehingga memudahkan dalam proses pengolahan selanjutnya.
2.3 Pemisahan kepala, kulit dan duri
Deheading adalah proses pemisahan kepala, kulit, dan duri.Pemisahan kepala
dan duri dilakukan dengan tangan, dan daging yang terdapat dalam kepala diambil.
Proses pembuangan kulit ikan menggunakan pisau dalam posisi tegak dengan cara
mengikis sesuai arah otot pada daging ikan. Delay waktu penanganan maksimal 30 menit,
secepat mungkin untuk menghindari kenaikan histamin. Durasi deheading selama 30
hingga 45 menit. Pada proses ini dapat diketahui apakah daging ikan yang akan
dikonsumsi berkualitas baik atau buruk. Ikan dikategorikan brosis (BS) apabila pada
daging ikan yang telah dimasak terdapat lubang-lubang seperti sarang lebah
(honeycomb), maka daging ikan tersebut ditolak dari proses produksi.
2.4 Proses Pemotongan
Proses packshaper adalah proses untuk memperoleh ukuran dan bentuk daging
ikan yang sesuai dengan kaleng. Pembentukan ukuran dari loin pada proses packshaper
dapat menghasilkan beberapa tipe daging yaitu solid, chunk, dan flake. Pemotongan
menggunakan packshaper akan memotong ikan yang sudah ditata rapi, dan langsung
dimasukkan ke dalam kaleng sesuai berat filling yang ditentukan/diatur, serta dilengkapi
dengan checking weigher untuk mengetahui apakah alat packshaper sudah sesuai dengan
ketentuan filling. Apabila dalam pengecekan didapati hasil yang tidak sesuai maka kaleng
tersebut akan dipindahkan ke pengisian kaleng secara manual.
2.5 Penambahan Media
Medium yang digunakan dalam pengalengan tuna adalah minyak nabati atau
air garam. Pada medium minyak nabati biasanya ditambahkan garam sebanyak 2,8% dari
berat medium (Angrenani, 2007). Penambahan medium dilakukan secara manual dan
otomatis. Pada penambahan medium air garam, mula-mula medium dimasukkan ke dalam
kaleng sebanyak seperempatnya dan dibiarkan beberapa menit, yang bertujuan agar air
garam dapat meresap ke dalam daging untuk memberikan rasa. Setelah itu dilewatkan pada
conveyor dan kaleng secara otomatis akan terisi tempat pemasakan air garam yang terdapat
di atas conveyor. Pengisian air garam tidak boleh berlebih, karena mempengaruhi kaleng
pada saat penutupan dan dapat menyebabkan kaleng membengkak atau bocor. Oleh karena
itu pengisian medium harus sampai batas head space atau 6–10% dari tinggi kaleng.
Menurut SNI 01-2712.2-1992, suhu medium tidak boleh kurang dari 700C. Suhu air garam
yang tinggi akan membuat kondisi vakum yang semakin tinggi. Pada suhu tinggi peluang
udara yang terperangkap diantara bagian produk dalam kaleng lebih kecil (Winarno, 1994).
Pengisian medium minyak nabati ke dalam kaleng dilakukan dengan cara yang sama
seperti di atas.
2.6 Penutupan Kaleng
Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double seaming secara otomatis
menggunakan vacuum seamer, yaitu mesin penutup kaleng yang sekaligus dapat
melakukan penghampaan udara dalam kaleng. Dalam hal ini, kaleng yang telah berisikan
ikan dan medium dilewatkan melalui conveyor menuju vacuum seamer untuk dilakukan
penutupan secara otomatis. Setiap kaleng yang ditutup dicek secara visual untuk melihat
kesempurnaan proses penutupan kaleng
2.7 Sterilisasi
Kaleng-kaleng yang telah diletakkan pada keranjang retort, akan dimasukkan
ke dalam retort. Sterilisasi retort menggunakan suhu 117oC selama 60-75 menit dengan

tekanan 0,8 atm


Tabel Ketentuan Sterilisasi Ikan Tuna Dalam Kaleng
Berdasarkan Tabel diketahui bahwa lama waktu sterilisasi yang digunakan
bergantung pada jenis kaleng dan jenis media. Tuna dengan media 100% oil memerlukan
waktu lebih lama dibandingkan media 100% brine.
2.8 Palabelan dan Pengepakan
Tuna kaleng dipak dalam master carton. Disain dari master carton
disesuaikan dengan permintaan pembeli dan biasanya berisikan tentang tanggal produksi,
jenis produk, jumlah kaleng, dan nama produsen. Master carton disimpan dalam gudang
yang kering, dengan penerangan dan ventilasi yang cukup dan pada suhu kamar sampai
menunggu proses distribusi
Tuna kaleng dipak dalam master carton. Disain dari master carton
disesuaikan dengan permintaan pembeli dan biasanya berisikan tentang tanggal produksi,
jenis produk, jumlah kaleng, dan nama produsen. Master carton disimpan dalam gudang
yang kering, dengan penerangan dan ventilasi yang cukup dan pada suhu kamar sampai
menunggu proses distribusi
DAFTAR PUSTAKA
Angrenani, S. 2007. Stabilitas Minyak Ikan Lemuru (Sardinella lemuru)
yang Digunakan Sebagai Medium pada Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Kaleng.
Skripsi. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 87 pp.
Broek, C.J.H.V.D. 2005. Fish Canning. In : Fish as Food Vol. IV Procesing
Part 2. (Ed. Borgstrom, G). Academic Press. New York. p. 127-205
Hari Eko Irianto dan Teuku Muamar Indra Akbarsya.2007. Pengalengan
Ikan Tuna Komersial. Squalen Vol. 2 No. 2,
Moeljanto, R. 2002. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar
Swadaya. Jakarta. 259 pp.
Standar Nasional Indonesia SNI 01-2712-1992: Tuna Dalam Kaleng. Dewan
Standarisasi Nasional – DSN. Jakarta. 5 pp.
Standar Nasional Indonesia SNI 01-2712.1-1992: Bahan Baku Tuna Dalam
Kaleng. Dewan Standarisasi Nasional – DSN. Jakarta. 6 pp.
Standar Nasional Indonesia SNI 01-2712.2-1992: Penanganan dan
Pengolahan Ikan Tuna Dalam Kaleng. Dewan Standarisasi Nasional – DSN. Jakarta. 10
pp.
Winarno, F.G. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 165 pp.

Anda mungkin juga menyukai