PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produk perikanan merupakan salah satu andalan Indonesia dalam
perolehan devisa negara. Posisi nilai ekspor produk perikanan Indonesia di
pasar dunia pada tahun 2006 menduduki peringkat 10 dengan pasar ekspor
utama Indonesia adalah Amerika, Uni Eropa dan Jepang. Pertumbuhan
ekspor produk perikanan Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir (2003–
2007) menunjukkan kecenderungan naik, yaitu mencapai rata-rata sebesar
8,28 % (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2008).
Kemunduran mutu ikan tidak dapat dipungkiri sebab ikan merupakan
produk yang mudah rusak (high perishable) sehingga memerlukan
penanganan yang khusus. Permasalahan mutu dan keamanan pangan
produk hasil perikanan terjadi pada berbagai jenis produk, tahapan kegiatan
maupun wilayah dengan berbagai jenis bahan berbahaya dan sumbernya
dengan karakteristik yang berbeda. Dalam rangka meningkatkan keamanan
pangan produk hasil perikanan perlu dilakukan kajian terhadap perumusan
pengembangan kebijakan jaminan mutu dan keamanan produk hasil
perikanan (Riyadi, Dkk, 2007)
Untuk mengidentifikasi mutu produk perikanan dilakukan dengan
melakukan pengujian mikrobiologi di Laboratoriun Pengendalian dan
Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP). LPPMHP merupakan otoritas
kompeten yaitu lembaga yang berwenang sebagai pengendali mutu produk
perikanan, serta memberi keputusan bahwa produk perikanan layak untuk
dikonsumsi dan diperdagangkan di luar negeri (ekspor). Pengujian Angka
Lempeng Total (ALT) atau jumlah mikroorganisme, dapat dijadikan
parameter (tolak ukur) mutu pada produk perikanan. Pengujian ALT di
Indonesia sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2332.3-2006
(2006).
Namun saat ini telah berkembang metode pengujian ALT
menggunakan Petrifilm Aerobic Count Plate (PACP) yang penggunaannya
lebih mudah dan cepat (Method Organization 3M, 2000). Dari uraian diatas,
maka dilakukan penelitian tentang metode pengujian ALT menggunakan
PACP yang pengerjaannya lebih mudah dan cepat, terhadap kesesuaiannya
dalam pengujian ALT pada produk perikanan. Serta mengevaluasi
kesesuaiannya dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2332.3-2006, di
Laboratorium Pengendalian dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)
Surabaya Jawa Timur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi untuk pengujian ALT pada produk lainnya.
1.2 Tujuan Praktikum
Praktikum bertujuan untuk penentuan angka lempeng total (ALT)
mikroba pada produk hasil perikanan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Segar
a. ikan cakalang
Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) adalah ikan berukuran sedang
dari familia Skombride (tuna). Satu-satunya spesies dari genus Katsuwonus.
Cakalang terbesar, panjang tubuhnya bisa mencapai 1 m dengan berat lebih
dari 18 kg. Cakalang yang banyak tertangkap berukuran panjang sekitar 50
cm.
Ikan cakalang adalah ikan bernilai komersial tinggi, dan dijual dalam
bentuk segar, beku, atau diproses sebagai ikan kaleng, ikan kering, atau ikan
asap. Dalam bahasa Jepang, cakalang disebut katsuo. Ikan cakalang
diproses untuk membuat katsuobushi yang merupakan bahan utama dashi
(kaldu ikan) untuk masakan Jepang. Di Manado, dan juga Maluku, ikan
cakalang diawetkan dengan cara pengasapan, disebut cakalang fufu
(cakalang asap). Adapun, cakalang dibudidayakan sebagai salah satu
sumber bagi masyarakat juga sumber devisa negara. Cakalang merupakan
salah satu sumber protein hewani dengan kandung omega-3 yang
dibutuhkan tubuh. Sebagai komoditas yang dapat diekspor (exportable),
cakalang turut berperan dalam ekonomi Indonesia. Sumberdaya cakalang
dimanfaatkan oleh kalangan menengah ke atas.
cakalang(Katsuwonus pelamis) Mutu tuna segar lebih baik
dibandingkan dengan ikan cakalang segar. Untuk mengetahui nilai mutu dari
jenis ikan unggulan di PPSNZJ, dapat dilakukan dengan menggunakanuji
organoleptik, diagram pareto, diagram npdan p, sertadiagram sebab akibat.
Berdasarkan hasil penelitiandiketahui nilai rata-rata organoleptik tuna segar
dan cakalang segar yang didaratkan di PPSNZJ masing-masing adalah
8 dan 4. Perbedaan nilai organoleptik tersebut disebabkan oleh
penanganan kedua jenis ikan tersebut sangat berbeda. Sedangkan
kerusakan atau cacatyang paling dominan adalahkerusakan daging dan
beberapa organ tubuh lainnya, dengan nilai lebih dari 70%. Berdasarkan
analisis diagram p, pengendalian tuna masih berada dalam batas
pengendalian, sedangkanpengendaliancakalang segar sudah berada
diluar batas pengendalian. Hal ini disebabkan oleh penanganan
cakalang segar yang masih belum optimal, terutama dalam menjaga
stabilitas suhu sewaktu ikan berada dalam palka.Selain itu, penyebab lain
adalah penanganan pada saat di kapal yang mengakibatkan fisik cakalang
saling bergesekan yang pada akhirnya mengalami kerusakan fisik
cakalang. Wijaya, David, Silvya Mandey, and Jacky SB Sumarauw
2
b. ikan mujair
Ikan mujair ini merupakan ikan peliharaan. Indonesia mengenal ikan
mujairsebagai ikan (makanan) yang paling murah . Ikan mujairpertama kali
ditemukan di sebuah muara kali Serang di pantai selatan olehseorang kontak
tani (penghubung) desa papungan (Blitar) yaitu Pak Mujair. Padatahun 1947,
ikan tersebut ditetapkan nama ilmiahnya yaitu Tilapia mossambicadan nama
daerahnya yaitu mujair (Soeseno 1982).
3
dapat disimpulkan bahwa semakin lama penyimpanan maka nilai rata-rata
organoleptik semakin menurun. Untuk ukuran berat 400 gr dan 200 gr secara
organoleptik mata tidak ada perbedaan. B. Insang Data hasil penilaian
organoleptik terhadap insang ikan mujair segar dapat dilihat bahwa nilai
organoleptik insang padapenyimpanan 1 hari menunjukkan bahwa ikan yang
memiliki ukuran 400 gr memiliki nilai ratarata 6,70 sedangkan untuk ikan
yang memiliki ukuran berat 200 gr memiliki nilai rata-rata 6,60. Secara
organoleptik insang mulai timbul kepudaran warna menjadi merah agak
kusam yaitu dari merah muda menjadi merah coklat, tampak lendir tebal, bau
mulai menusuk dimana bau asam lebih nyata. Menurut Berhimpon (1993),
bahwa ikan yang baru ditangkap mengandung mikroba yang secara alami
dimana mikroba tersebut terkonsentrasi pada tiga bagian utama yaitu:
permukaan kulit, insang, dan isi perut. Jumlah bakteri pada ikan bervariasi
tergantung media dimana bakteri itu hidup, yaitu diantara /gr pada kulit, /gr
pada insang, dan dapat mencapai 10 7/gr pada isi perut. Berdasarkan dari
data yang ada, maka dapat dikatakan bahwa perubahan warna pada insang
itu dapat terjadi akibat peningkatan jumlah bakteri. C. Tekstur Data hasil
penelitian organoleptik Tekstur pada ikan mujair (Tillapia mossambica) dapat
dilihat bahwa nilai rata-rata organoleptik tekstur Pada penyimpanan 1 hari,
dari data yang ada memiliki nilai rata-rata tekstur untuk ikan yang memiliki
ukuran berat 400 gr mempunyai nilai rata-rata 7,60 dan untuk ikan yang
memiliki ukuran berat 200 gr mempunyai nilai rata-rata 7,65. Dari data
tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan antara ukuran berat 400 gr
dan 200 gr. Secara organoleptik tekstur daging agak lunak, sisik mulai
mudah terlepas, tetapi bila ditekan belum ada bekas jari. Menurut Berhimpon
(1993) bahwa, perubahan tekstur dimana daging menjadi lebih lunak terjadi
apabila ikan sudah mulai mengalami kemunduran mutu. Hal ini disebabkan
oleh mulai terjadinya perombakan pada jaringan otot daging oleh proses
enzimatis.
4
dimana mikroba tersebut terkonsentrasi pada tiga bagian utama yaitu:
permukaan kulit, insang, dan isi perut. Jumlah bakteri pada ikan bervariasi
tergantung media dimana bakteri itu hidup, yaitu diantara /gr pada kulit, /gr
pada insang, dan dapat mencapai 10 7/gr pada isi perut. Berdasarkan dari
data yang ada, maka dapat dikatakan bahwa perubahan warna pada insang
itu dapat terjadi akibat peningkatan jumlah bakteri. C. Tekstur Data hasil
penelitian organoleptik Tekstur pada ikan mujair (Tillapia mossambica) dapat
dilihat bahwa nilai rata-rata organoleptik tekstur Pada penyimpanan 1 hari,
dari data yang ada memiliki nilai rata-rata tekstur untuk ikan yang memiliki
ukuran berat 400 gr mempunyai nilai rata-rata 7,60 dan untuk ikan yang
memiliki ukuran berat 200 gr mempunyai nilai rata-rata 7,65. Dari data
tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan antara ukuran berat 400 gr
dan 200 gr. Secara organoleptik tekstur daging agak lunak, sisik mulai
mudah terlepas, tetapi bila ditekan belum ada bekas jari. Menurut Berhimpon
(1993) bahwa, perubahan tekstur dimana daging menjadi lebih lunak terjadi
apabila ikan sudah mulai mengalami kemunduran mutu. Hal ini disebabkan
oleh mulai terjadinya perombakan pada jaringan otot daging oleh proses
enzimatis.
a. Abon Ikan
5
b. bakso ikan
Bakso merupakan salah satuolaha daging secara tradisional yang
digemari oleh semua lapisan masyarakat karena memiliki rasa yang
khas, enak dan kaya gizi. Bahan baku bakso dapat berasal dari
berbagai daging jenis ternak, seperti: sapi, ayam dan ikan (Purnomo,
1998). Salah satu alternatif bahan baku bakso dengan protein tinggi adalah
ikan tuna.
ikan tuna sangat berpotensi untuk diolah menjadi bakso karena
daging ikan tuna mengandung protein tinggi. Selain protein ikan tuna
kaya akan Omega-3 yang baik untuk pertumbuhan anak-anak. Dalam
100 g ikan tuna mengandung protein sebesar 22 g dan Omega-3 2,1 g.
Bahan tambahan yang dapat dikombinasikan dengan bahan ikan tuna
dalam olahan bakso adalah jamur meran Bakso ikan tuna yang dibuat
dengan komposisi jamur merang dan wortel dapat memenuhi standard
bakso yang bernutrisi cukup tinggi dan merupakan salah satu
keanekaragaman bakso yang kaya gizi dan menyehatkan.
Komposisi bahan harus sesuai takaran agar memperoleh mutu yang
baik dan diminati oleh masyarakat.
Cara pembuatan bakso ikan yang di perkaya jamur dan wortel yaituh :
mencuci jamur merang hingga bersih kemudian mengkukusnya untuk
menghilangkan langu. Mencuci wortel dan memarutnya. Menimbang ikan
tuna, jamur merang,worteldan bumbu-bumbusesuai perlakuan.
Menghaluskan ikan tuna, jamur merang, wortel dan bumbu dengan blender.
Menambahkan tepung tapioka dan menguleni adonan sambil menambahkan
air es sedikit demi sedikit agar hingga adonan menjadi kalis. Mencetak
adonan dengan bantuan sendok, kemudian memasukkan adonan yang
sudah terbentuk ke dalam air mendidih kurang lebih 10 menit. Menguji
kandungan protein, betakaroten dan uji organoleptik.( Trisnaningsih, D. (2014))
c. ikan kaleng
Ikan kaleng merupakan ikan dan produk ikan yang telah melalui
pemrosesan, dikemas dalam kaleng kedap udara, dan diberikan panas untuk
mematikan bakteri di dalamnya serta mematangkannya. Pengalengan
merupakan salah satu jenis metode pengawetan makanan dan mampu
memperpanjang usia simpan makanan hingga lima tahun.
ikan merupakan salah satu jenis makanan yang memiliki tingkat keasaman
yang rendah (pH cenderung tinggi, lebih dari 4.6) sehingga bakteri dapat
tumbuh dengan mudah. Dibutuhkan sterilisasi dengan temperatur yang
tinggi, umumnya hingga 130 derajat celcius. Sumber panas dan cara
memanaskannya bervariasi, mulai dari penggunaan panci tekan hingga
paparan ke uap panas sembari pemindahan dengan konveyor.[1] Sterilisasi
dapat dilakukan sebelum maupun setelah kaleng ditutup. Membusuknya
daging ikan dikarenakan keberadaan bakteri yang mencerna ikan serta
mengeluarkan aroma dan rasa yang tidak sedap bagi daging ikan.
6
d. ikan asin
Pengolahan ikan asin adalah cara pengawetan ikan yang telah kuno,
tetapi saat kini masih banyak dilakukan orang di berbagai negara. Di
Indonesia, bahkan ikan asin masih menempati posisi penting sebagai salah
satu bahan pokok kebutuhan hidup rakyat banyak. Meskipun ikan asin
sangat memasyarakat, ternyata pengetahuan masyarakat mengenai ikan
asin yang aman dan baik untuk dikonsumsi masih kurang. Buktinya ikan asin
yang mengandung formalin masih banyak beredar dan dikonsumsi, padahal
dampaknya sangat merugikan kesehatan. Formalin digunakan karena dapat
memperpanjang keawetan ikan asin.
Cara pengawetan ini merupakan usaha yang paling mudah dalam
menyelamatkan hasil tangkapan nelayan. Dengan penggaraman proses
pembusukan dapat dihambat sehingga ikan dapat disimpan lebih lama.
Penggunaan garam sebagai bahan pengawet terutama diandalkan pada
kemampuannya menghambat pertumbuhan bakteri dan kegiatan enzim
penyebab pembusukan ikan yang terdapat dalam tubuh ikan (Afrianto dan
Liviawaty, 1989).
d. ikan asap
Ikan asap merupakan salah satu produk olahan yang digemari
konsumen baik di Indonesia maupun di man-canegara karena rasanya
yang khas dan aroma yang sedap spesifik. Proses pengasapan ikan di
Indonesia pada mulanya masih dilakukan secara tradisional
menggunakan peralatan yang sederhana serta kurang memperhatikan aspek
sanitasi dan hygienis sehingga dapat memberikan dampak bagi kesehatan
dan ling-kungan. Kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan
olehpengasapan tradisional antara lain kenampakan kurang menarik
(hangus sebagian), kontrol suhu sulit dilakukan dan mencemari udara
(polusi).
Proses pengasapan ikan pada mulanya masih dilakukan secara
tradisional yang ditujukan untuk pengawetan. Dalam perkembangannya
asap cair dit-ujukan untuk memberikan efek terhadap aroma, rasa dan warna
yang spesifik. Beberapa jenis limbah per-tanian seperti bonggol jagung,
sekam padi, ampas tebu, kulit kacang tanah, tempurung dan sabut kelapa,
perdu, kayu mangrove, sejenis pinus, dan lain-lain, berpotensi memiliki
kandungan senyawa antioksidan fenol dan antibakteri yang dapat
mengawetkan dan memberi rasa sedap spesifik pada produk ikan asap
(Guillen dan Cabo, 2004; Doherty and Cohn, 2000; suharto, 1991; Witono,
2005).
7
2.3 Angka Lempeng Total Mikroba Pada Ikan Segar
8
Hewan Universitas Syiah Kuala. Terhadap sampel tersebut dilakukan
analisis nilai organoleptik yakni kenampakan (terdiri dari mata, insang dan
lendir), bau, sayatan daging dan tekstur. Uji nilai organoleptik dilakukan
secara kualitatif oleh 14 orang responden. Dasar penelitian mengacu
pada SNI 2346:2015. Selanjutnya sampel-sampel tersebut juga
diperiksa Jumlahcemaran mikroba menggunakan metode Total Plate
Count(TPC).
Metode yang digunakan untuk penilaian organoleptik yaitu mutu
hedonik dengan menggunakan scoring test ikan segar SNI 2346:2015.
Pengujian menggunakan 14 panelis tidak terlatih. Penilaian organoleptik
dilakukan terhadap kenampakan, bau, tekstur dan daging. Data yang
diperoleh dari hasil penilaian organoleptik mutu hedonik tersebut
selanjutnya dianalisis secara deskriptif, kemudian ditentukan tingkat
kesegaran ikan tongkoldengan kriteria menurut acuan standar SNI
2346:2015. Batas penerimaan pada pengujian organoleptik adalah 5 dari
skala hedonik 9 (Kartika dkk.,1988).
Penentuan angka lempeng total atau TPC (Total Plate
Count) digunakan untuk menentukan jumlah total mikroorganisme aerob
dan anaerobyang terdapat pada produk perikanan. Kesegaran ikan
merupakan kriteria paling penting untuk menentukan mutu dan daya
awet dari ikan yang diinginkan. Pengukuran ini menggunakan metode TPC
(Total Plate Count) yang dilakukan dengan cara menghitung jumlah bakteri
yang ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan
diinkubasi selama 24jam pada suhu 37°C.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap jumlahcemaran mikroba dan
nilai organoleptik pada ikan tongkol dapat disimpulkan bahwa
jumlahcemaran pada ikan tongkol yang dijual pagi dan sore hari di bawah
Standar Nasional Indonesia (SNI). Jumlahcemaran mikroba pagi hari (1,2 x
10⁴CFU/gr) lebih rendah dibandingkan dengan jumlahcemaran mikroba sore
hari (3,9 x 10⁴CFU/gr) dengan kriteria ikan dalam kondisi segar
dengan rata-rata nilai organoleptik 7.
2.4 Angka Lempeng Total Mikroba Pada Olahan
ANGKA LEMPENG TOTAL PADA IKAN LELE ASAP DI PASAR
PANORAMAKOTA BENGKULU SELAMA PENYIMPANAN SUHU RUANG.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi mutu ikan lele asap
yang diperdagangkan di Pasar Panorama Kota Bengkulu dilihat dari total
mikroorganismeselama penyimpanan suhu ruang. Penelitian ini
menggunakan metode kombinasi model sequential exploratory
(menggabungkan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif secara
berurutan). Sampel diambil daripedagangikanlele asap di Pasar Panorama
Kota Bengkulu. Penyimpanan sampel dilakukan selama 21 hari. Analisa
angka lempeng total (ALT) dilakukan di LaboratoriumProteksi UNIB.
Parameter mutu yang digunakan mengacu pada SNI 2725.1:2009 tentang
persyaratan mutu ikan asap. Penentuan angka lempeng total dilakukan
menurut SNI 01-2332.3-2006. Masing-masing sampel pengujian dilakukan
9
sebanyak 2 kali ulangan. Hasil pengujian ALT memperlihatkan peningkatan
jumlah mikroba selama penyimpanan. Nilai ALT pada penyimpanan hari ke-0
berada pada kisaran 8,2 x 104 koloni/g – 1,4 x 106 koloni/g, sedangkan pada
hari ke-21 berkisar antara 2,0 x 106 koloni/g - 3,9 x 106 koloni/g. Tingginya
nilai ALT ini disebabkan oleh proses pengolahan, pengemasan, transportasi,
kondisi penyimpanan, serta cara penyajian selama penjualan di pasar.
Kontaminasi mikroorganisme akan semakin meningkat dengan semakin
panjangnya rantai distribusi.
Bahan utama yang digunakan ada-lah ikan lele asap. Bahan
pembantu terdiri dari aquades, larutan BFP, media PCA. Alat yang
digunakan antara lain timbangan analitik, pipet gelas, cawan petri, inkubator,
waterbath, autoclave, botol pengencer, coloni counter, tabung durham,
mikroskop, gelas ukur.
Hasil pengujian angka lempeng total pada ikan lele asap . Hasil ini
memperlihatkan bahwa jumlah mikroba pada semua sampel ikan lele asap
selama 21 hari penyimpanan menunjukkan peningkatan. Jumlah total
mikroba pada ikan lele asap berkisar antara 8,2 x104 koloni/g 3,9 x 106
koloni/g. Sebagian besar nilai ini lebih tinggi dari persyaratan mutu menurut
Badan Stan-darisasi Nasional dalam SNI 2725.1:2009 dengan jumlah ALT
maksimum adalah 1,0 x 105 koloni/g. Hanya sampel ikan lele asapdari
pedagang 1 (P1) pada hari ke-0 yang berada dalam rentang mutu SNI yaitu
8,2 x 104 koloni/g. Sementara sampel lainnya nilai ALT sudah berada diatas
syarat mutu yang telah ditetapkan. Ting-ginya nilai ALT ini menggambarkan
bah-wa ikan lele asap tersebut tidak layak dikonsumsi secara langsung,
namun harus melalui proses pemasakan atau pemanasan terlebih dahulu.
Secara fisik, ikan lele asap dari pedagang 2 (P2) dan pedagang 3 (P3)
pada hari ke-0 tidak terlihat tanda-tanda munculnya jamur/kapang maupun
lendir. Bercak putih jamur mulai terlihat setelah hari ke-7 tanpa lendir. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sopandi,T dan Wardah (2014) yang menyatakan
bahwa pengasapan dapat menghambat pertumbuhan kebanyakan bakteri
pada ikan, tetapi kapang dapat tumbuh di bagian permukaan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan tingginya nilai ALT pada ikan
lele asap yang diperdagangkan di pasar. Menurut Nyarko, dkk. (2011),
proses pengolahan, pengemasan, transportasi dan kondisi penyimpanan
yang kurang baik menjadi penyebab tingginya jumlah mikroba pada ikan
sarden asap di pasar. Begitu juga dengan penyajian ikan sarden asap
menggunakan baki terbuka (tray) yang memungkinkan meningkatnya resiko
kontaminasi. Hal ini juga dipertegas oleh Nunoo dan Kombat (2013) yang
menyebutkan bahwa kualitas ikan asap sangat terkait dengan proses
penanganan, pengolahan dan pasca pengolahan karena rentan terhadap
serangan mikroba.
Pengolahan ikan lele asap yang dipasarkan di Kota Bengkulu,
umumnya diproduksi dari industri kecil dan rumah tangga. Penelitian Hadi
dan Lina (2015) menyimpulkan bahwa sanitasi di industri pengolahan ikan
lele asap skala rumah tangga masih rendah sehingga memungkinkan
10
terjadinya kontaminasi selama proses pengolahan berlangsung. Hal ini
disebabkan kurangnya kesadaran pemilik usaha atau kurangnya
pemahaman tentang pentingnya sanitasi yang baik.
Nilai angka lempeng total pada ikan lele asap yang diperdagangkan di
Pasar Panorama Kota Bengkulu sebagian besar berada diatas batas aman
SNI yaitu lebih dari 1,0 x 105 koloni/g. Hasil ini memperlihatkan bahwa ikan
lele asap yang sampai ke konsumen masih tidak aman dan berbahaya bagi
kesehatan. Oleh karenanya masih diperlukan banyak perbaikan mulai dari
proses penanganan, pengolahan, penyimpanan, distribusi serta cara
penyajian dan penangananselama penjualan oleh pedagang.
11
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu Dan Tempat
Praktikum Mikrobiologi Hasil Perikanan ini dilakukan pada hari Sabtu
Tanggal 04 mei 2019 Pukul 10.00 – 13.00 WITA. Bertempat di Laboratorium
Kesehatan Masyarakat Fakultas Olahraga Dan Kesehatan Universitas
Negeri Gorontalo.
3.2 Alat Dan Bahan
3.2.1 Alat dan Fungsinya
Alat yang digunakan dalam praktikum Mikrobiologi Hasil Perikanan
dan fungsinya adalah :
No Alat Fungsi Gambar
Gambar
Gambar
Untuk pembiakan
2. Cawan petri
mikroba
Gambar
Untuk menyimpan
3. Inkubator
mikroorganisme
Gambar
12
Untuk mencampur
5. Tabung reaksi
bahan kimia
Gambar
Gambar
Wadah untuk
7. Gelas Beaker
mencampur sampel
Gambar
Gambar
Gambar
13
Pembakar
10. Untuk sterilisasi
Spirtus
Gambar
Untuk memanaskan
11. Hot Plate media yang akan
digunakan
Gambar
Gambar
Gambar
Tabel 1. Alat beserta fungsinya
14
3.2.2 Bahan dan Fungsinya
Bahan yang digunakan dalam praktikum Mikrobiologi Hasil Perikanan
dan fungsinya adalah :
Gambar
Untuk melindungi
3. Masker
pernapasan
Gambar
Gambar
15
Gambar
Sebagai media
6. Peptone Water pengayaan primer untuk
pertumbuhan bakteri
Gambar
Sebagai media
7. Plate count agar pertumbuhan
mikroorganisme
16
3.4 Skema Penentuan Angka Lempeng Total (ALT)
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Hasil analisis ALT atau total plate count pada praktikum mikrobiologi
hasil perikanan adalah sebagai berikut :
4.1.1 Data ALT Ikan Mujair Segar
Sampel pengenceran I II
10-1 296 266
10-2 37 51
10-3 7 10
-4
10 0 3
10-5 4 9
Tabel 3. Hasil ALT pada ikan mujair segar
18
10-1 648 114
10-2 508 93
10-3 440 63
10-4 3 57
10-5 2 1
Tabel 5. Hasil ALT pada abon ikan
19
Tabel 7. Hasil ALT pada ikan asin
Gambar . Koloni bakteri pada cawan sampel ikan kaleng yang sudah
penyok
Sampel pengenceran I II
-1
10 34 54
10-2 142 3
10-3 51 3
10-4 1 10
-5
10 3 9
Tabel 9. Hasil ALT pada ikan asap
20
Gambar . Koloni bakteri pada cawan sampel ikan asap
4.2 Pembahasan
Praktikum ini dilakukan untuk menentukan jumlah total mikroorganisme
aerob pada ikan asin yang dapat diketahui melalui analisis penentuan ALT
atau total plate count, berikut ini adalah tahapan isolasi mikroba melalui
penentuan ALT :
21
Setelah sampel dihaluskan kemudian ikan di timbang menggunakan
Neraca Analitik dan di letekan di atas almonium foil seberat 25gr Berikut
adalah dokumentasi saat sampel ditimbang :
22
Pencampuran sampel menggunakan vortex
4.2.6Pemindahan media agar
Pada tahap ini, terdapat sepuluh cawan dengan masing masing
pengenceran yakni pengenceran 10 -1, 10-2,10-3, 10-4 dan 10-5. Setelah
media di tuangkan ke semua cawan sebanyak 15ml, selanjutnya ambil
masing-masing pengenceran sebanyak 1ml dan pindahkan ke masing-
masing cawan dan diberi label. Lalu cawan petri yang berisi hasil
pengenceran tersebut diputar dengan angka delapan sebanyak tiga kali.
23
1. Pada cawan petri pertama dengan pengenceran 10 -1menghasilkan
1936 koloni dan pada cawan petri kedua dengan pengenceran 10 -1
menghasilkan 1400 koloni.
2. Pada cawan petri pertama dengan pengenceran 10 -2 menghasilkan 564
koloni pada cawan petri pertama dengan pengenceran 10 -2
menghasilkan 852 koloni.
3. Pada cawan petri pertama dengan pengenceran 10 -3 menghasilkan 220
koloni pada cawan petri pertama dengan pengenceran 10 -3
menghasilkan 204 koloni.
4. Pada cawan petri pertama dengan pengenceran 10 -4 menghasilkan 53
koloni pada cawan petri pertama dengan pengenceran 10 -4
menghasilkan 42 koloni.
5. Pada cawan petri pertama dengan pengenceran 10 -5 menghasilkan 7
koloni pada cawan petri pertama dengan pengenceran 10 -5
menghasilkan 15 koloni.
{ (1 x 2) – (0,1 x 2) } x 10-3
= 519
(2 + 0,2) x 10-3
= 519
2,2 x 10-3
= 519
2,2 x 0,001
= 0,0022
0,0022
235,909
= 2,4 x 10-5
24
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Praktikum ini dilakukan untuk menentukan jumlah total
mikroorganisme aerob pada ikan asin yang dapat diketahui melalui analisis
penentuan ALT atau total plate count, Berdasarkan hasil dari sepuluh
pengencaran diatas, yang menghasilkan jumlah koloni yang sesuai dengan
Standard Plate Count (SPC) adalah pengenceran 10-3 yaitu menghasilkan
519 koloni.
5.2 saran
Demikian penyusunan laporan ini jika ada kekurangan atau kelebihan
muhon di maafkan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Wijaya, David, Silvya Mandey, and Jacky SB Sumarauw. "Analisis pengendalian
persediaan bahan baku ikan pada PT. Celebes minapratama bitung." Jurnal
EMBA: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan Akuntansi 4.2
(2016).
Kusumayanti, Heny, Widi Astuti, and RTD Wisnu Broto. "Inovasi pembuatan abon
ikan sebagai salah satu teknologi pengawetan ikan." Gema Teknologi 16.3
(2011): 119-121.
Trisnaningsih, D. (2014). Kadar Protein Dan Betakaroten Bakso Ikan Tuna Yang
Diperkaya Jamur Merang (Volvariella volvaceae) Dan Umbi Wortel
(Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Poluakan, Oktavianus Alexander, Henny Adeleida Dien, and Frans Gruber Ijong.
"Mutu Mikrobiologis Bakso Ikan yang Direndam Asap Cair, Dikemas
Vakum, Dipasteurisasi dan Disimpan pada Suhu Dingin." Jurnal Media
Teknologi Hasil Perikanan 3.2 (2015).
Rohana, M. L., Berhimpon, S., & Palenewen, J. C. (2016). Keberadaan Mikroba
pada Bakso Ikan Asap Cair, yang Dikemas dalam Retortable Pouch,
Dipasteurisasi dan Disimpan pada Temperatur Ruang. Jurnal Media
Teknologi Hasil Perikanan, 4(2), 85-91.
RIJAL, Muhammad. Analisis Kandungan MPN dan ALT Total Pada Fish Nugget
Berbahan Dasar Limbah Ikan. Biosel: Biology Science and Education, 2016,
5.2: 144-151.
SARI, Selly Ratna, et al. Profil mutu ikan lele (Clarias gariepinus) asap yang diberi
perlakuan gambir (Uncaria gambir Roxb). Jurnal Dinamika Penelitian
Industri Vol, 2017, 28.2.
26