Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA LINGKUNGAN

“ IDENTIFIKASI RHODAMIN B DALAM SAUS SAMBAL YANG BEREDAR


DI PASAR TRADISIONAL DAN MODERN KOTA DENPASAR ”

DOSEN PENNGAMPU : RENI JULIANA HASIBUAN, S.SI. M.SI

KELOMPOK 3 :

PUTRA RAMADHAN P00933121018


RANI Y. TAMPUBOLON P00933121019
REDOFOD BAHTERA SEJATI SITEPU P00933121020
RIDIA ANGGELIANA BR SITEPU P00933121021
RISMAULI BR PINAYUNGAN P00933121022
RUTH ELISABETH SAMOSIR P00933121023
RUTH ENJELINA ROSMAULI RITONGA P00933121024
RUTH OKTAVIAR SILALAHI P00933121025
SALLY SAYIDINA BR SITORUS P00933121026

PROGRAM STUDI DIPLOMA-III SANITASI


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN
2022

I
LEMBAR PENGESAHAN

MATA KULIAH : Kimia Lingkungan

JUDUL PRAKTIKUM : “Identifikasi Rhodamin B dalam Saus Sambal yang


Beredar di Pasar Tradisional dan Modern Kota Denpasar ”

Disahkan tanggal :

Menyetejui
Pembimbing

Dilaksanakan pada : Senin, 9 Mei 2022


Oleh Kelompok : 3 (Tiga)

Ibu Reni Juliana Hasibuan, S.Si. M.Si


NIP…………………………………..

KATA PENGANTAR

II
Puji syukur kepada Tuhan Yang maha Esa karena dengan rahmat, karunia, dan
hidayah-Nya kelompok dapat menyelesaikan laporan yang berjudul
“IDENTIFIKASI RHODAMIN B DALAM SAUS SAMBAL YANG BEREDAR
DI PASAR TRADISIONAL DAN MODERN KOTA DENPASAR” ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan laporan ini untuk memenuhi tugas Ibu Reni
Juliana Hasibuan, S.Si. M.Si yang diharapkan dapat menunjang nilai kelompok di
dalam mata kuliah Kimia Lingkungan. Selain itu, dengan hadirnya laporan ini dapat
memberikan informasi yang dapat menjadi pengetahuan baru bagi pembacanya.

Pada kesempatan ini kelompok juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Reni Juliana Hasibuan, S.Si. M.Si selaku dosen pembimbing serta kepada seluruh
pihak yang terlibat di dalam penulisan laporan ini.
.
Kelompok menyadari laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan laporan
praktikum ini. Demikian kiranya semoga laporan yang telah dibuat ini dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

III
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
1.1 Deskripsi Mata Praktek..............................................................................................1
1.2 Latar Belakang Praktikum..........................................................................................1
1.3 Rumusan Masalah......................................................................................................4
1.4 Tujuan Praktikum.......................................................................................................4
1.5 Indikator.....................................................................................................................4
1.6 Rencana Pelaksanaan.................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................5
2.1 Bahan Tambahan Pangan (BTP) ...............................................................................5
2.2 Bahan Pewarna...........................................................................................................7
2.2.1 Bahan Pewarna Alami.............................................................................................8
2.2.2 Bahan Pewarna Sintetis...........................................................................................8
2.3 Rhodamin B................................................................................................................12
2.3.1 Karakteristik Rhodamin B......................................................................................13
2.3.2 Efek Rhodamin B pada Kesehatan..........................................................................14
2.3.3 Ciri-Ciri Makanan yang Mengandung Rhodamin B...............................................15
2.4 Saus............................................................................................................................16
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...........................................................................17
3.1 Metode Penelitian.......................................................................................................17
3.2 Lokasi Penelitian........................................................................................................17
3.3 Alat dan Bahan...........................................................................................................17
3.4 Prosedur Kerja............................................................................................................20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................23
4.1 Hasil ..........................................................................................................................23
4.2 Pembahasan................................................................................................................24
BAB V PENUTUP.................................................................................................................26
5.1 Kesimpulan.................................................................................................................26
5.2 Saran...........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................27
LAMPIRAN...........................................................................................................................28

IV
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 DESKRIPSI MATA PRAKTEK

Kimia lingkungan adalah studi ilmiah terhadap fenomena-fenomena kimia dan


biokimia yang terjadi di alam. Bidang ilmu ini dapat di definisikan sebagai studi
terhadap sumber, reaksi, transpor, efek, dan nasib zat kimia di lingkungan udara,
tanah, dan air; serta efek aktivitas manusia terhadapnya. Kimia lingkungan adalah
ilmu antar disiplin yang memasukkan ilmu kimia atmosfer, akuatik, dan tanah, dan
juga sangat bergantung dengan kimia analitik, ilmu lingkungan, dan bidang-bidang
ilmu lainnya.

Kimia lingkungan mengacu pada kejadian, gerakan, dan transformasi bahan


kimia di lingkungan. Kimia lingkungan berkaitan dengan jenis bahan kimia yang
terjadi secara alami seperti logam, unsur-unsur lain, bahan kimia organik, dan
biokimia yang merupakan produk metabolisme biologis. Kimia lingkungan dimulai
dengan memahami cara kerja lingkungan yang tidak terkontaminasi. Ini
mengidentifikasi bahan kimia yang hadir secara alami. Realitas inilah menjadikannya
studi untuk mempelajari konsentrasi dan efek bahan kimia tersebut. Kemudian, secara
akurat mempelajari efek manusia terhadap lingkungan melalui pelepasan bahan kimia.

1.2 LATAR BELAKANG PRAKTIKUM

Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus ada pada makanan
yang akan dikonsumsi oleh setiap orang. Pangan yang berkualitas dan aman
dikonsumsi dapat berasal dari pasar tradisional maupun pasar modern yang ada
dikalangan masyarakat. Dewasa ini, banyak pengolahan bahan makanan tambahan
yang telah beredar karena semakin berkembanganya ilmu pengetahuan dan
kecanggihan teknologi. Semakin banyaknya bahan makanan akan menambah cita rasa
pada makanan itu sendiri. Bahan pelengkap makanan yang saat ini digemari
masyarakat, karena mampu meningkatkan cita rasa pada makanan, salah satunya
adalah saus. Untuk meningkatkan kualitas produk makanan agar dapat bersaing
dipasaran, maka perlu bahan tambahan pangan seperti pewarna, pengawet, penyedap
rasa dan aroma, antioksidan, pengental, dan pemanis (Winarno, 2004). Pewarnaan

1
pada makanan pada dasarnya adalah untuk menarik para konsumen agar menjadi
lebih berminat dengan suatu produk yang dijual atau dipasarkan. Namun sebagian dari
mereka menggunakan pewarna makanan yang tidak mendapatkan izin peredaran dari
BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) bahkan tidak jarang mengguanakan
pewarna sintetik yang biasanya digunakan sebagai pewarna tekstil (Pamungkas dan
Nopiyanti, 2014).

Menurut data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sepanjang
tahun 2012, insiden keracunan akibat mengonsumsi makanan menduduki posisi
paling tinggi, yaitu 66,7%, dibandingkan dengan keracunan akibat penyebab lain,
misalnya obat, kosmetika, dan lain-lain. Salah satu penyebab keracunan makanan
adalah adanya cemaran kimia dalam makanan tersebut (Paratmanitya dan Aprilia,
2016). Observasi yang dilakukan oleh BPOM menunjukkan ada 4 Jenis bahan
berbahaya yang sering ditambahkan pada bahan makanan yaitu Rhodamin B,
Methanyl Yellow (pewarna tekstil), formalin dan boraks (Kemenkes, 2011). Hasil
penelitian menunjukkan temuan terbesar pada jajanan adalah Rhodamin B (BPOM,
2013).

Penambahan pewarna pada makanan bertujuan untuk memperbaiki warna


makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau memberi
warna pada makanan yang tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik (Winarno,
1994). Akan tetapi, sering kali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat warna pada
makanan, misalnya untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan makanan
(Cahyadi, 2008).

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.


239/Menkes/Per/V/1985 menetapkan 30 zat pewarna berbahaya. Rhodamin B
termasuk salah satu zat pewarna berbahaya dan dilarang digunakan pada produk
pangan. Namun demikian, penyalahgunaan Rhodamin B sebagai zat pewarna pada
makanan masih sering terjadi di lapangan dan diberitakan di beberapa media massa.
Pada lain pihak, ada yang menyebutkan bahwa peraturan mengenai penggunaan
bahan pewarna yang diizinkan dan yang dilarang untuk pangan diatur melalui SK
Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 mengenai bahan tambahan
makanan (BTM). Tetapi meskipun demikian sering terjadi penyalahgunaan
pemakaian bahan pewarna berbahaya untuk bahan pangan, misalnya bahan pewarna

2
untuk tekstil dipakai untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya
bagi kesehatan karena adanya residu bahan pewarna tersebut. Timbulnya
penyalahgunaan bahan pewarna disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai
pewarna untuk pangan, dan juga karena harga bahan pewarna untuk industri relatif
jauh lebih murah dibandingkan dengan bahan pewarna untuk pangan. Disamping itu
warna dari bahan pewarna tekstil biasanya lebih menarik.

Rhodamin B yaitu zat pewarna berupa serbuk kristal berwarna hijau atau ungu
kemerahan, tidak berbau, serta mudah larut dalam larutan warna merah terang
berfluoresan digunakan sebagai bahan pewarna tekstil, cat, kertas atau pakaian (Khan
dkk., 2011). Rhodamin B dapat bersifat karsinogenik dan memacu pertumbuhan sel
kanker jika digunakan terus menerus (Alhamedi dkk., 2009). Sifat karsinogenik
tersebut disebabkan oleh unsur N+(nitronium) dan Cl- (klorin) yang terkandung pada
Rhodamin B yang bersifat sangat reaktif dan berbahaya. Rhodamin B merupakan
pewarna sintesis yang digunakan pada industry tekstil. Pengaruh buruk Rhodamin B
bagi kesehatan antara lain meimbulkan iritasi pada saluran pernapasan, kulit, mata,
dan saluran pencernaan (Wijaya, 2011). Penumpukan Rhodamin B dalam hati akan
menyebabkan gangguan fungsi hati berupa kanker hati dan tumor hati.

Warna merupakan daya tarik terbesar untuk menikmati makanan setelah


aroma. Aroma yang wangi, rasa yang lezat, dan tekstur yang lembut bisa jadi akan
diabaikan jika warna dari makanan itu tidak menarik atau tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan dari makanan itu. Timbulnya penyalahgunaan disebabkan oleh
ketidaktahuan masyarakat mengenai pewarna untuk makanan, disamping itu harga zat
perwarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan harga zat perwarna untuk
makanan dan warna dari zat pewarna untuk industri biasanya lebih menarik. Peraturan
Menteri Kesehatan RI No.1168/Menkes/PER/X/1999 meyebutkan bahwa bahan
tambahan pewarna yang dilarang salah satunya adalah Rhodamin B (pewarna merah)
(Cahyadi, 2008). Banyaknya peredaran pasar tradisional dan modern di kota Denpasar
yang menjual saus, menyebabkan banyaknya peredaran saus dikalangan masyarakat
untuk dikonsumsi. Selain itu, konsumen yang membeli saus, baik saus karena
digunakan sebagai pelengkap dalam menyantap makanan seperti bakso, aneka
gorengan, mie ayam dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
tentang identifikasi Rhodamin B dalam saus sambal yang beredar di pasar tradisional
dan modern kota Denpasar.

3
1.3 RUMUSAN MASALAH

Dalam pratikum kali ini, maslaah yang akan di bahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana cara mengidentifikasi Rhodamin B pada saus sambal yang dijual di
pasar tradisional dan modern Kota Denpasar dengan metode kualitatif ?
2. Bagaimana hasil identifikasi Rhodamin B pada saus sambal yang dijual di pasar
tradisional dan modern Kota Denpasar berdasarkan hasil uji kualitatif ?

1.4 TUJUAN PRAKTIKUM

Pratikum ini bertujuan untuk :


1. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi Rhodamin B pada saus sambal yang
dijual di pasar tradisional dan modern Kota Denpasar dengan metode kualitatif.
2. Untuk mengetahui hasil identifikasi Rhodamin B pada saus sambal yang dijual di
pasar tradisional dan modern Kota Denpasar berdasarkan hasil uji kualitatif.

1.5 INDIKATOR

1. Mengetahui cara mengidentifikasi Rhodamin B pada saus sambal yang dijual di


pasar tradisional dan modern Kota Denpasar dengan metode kualitatif.
2. Mengetahuihasil identifikasi Rhodamin B pada saus sambal yang dijual di pasar
tradisional dan modern Kota Denpasar berdasarkan hasil uji kualitatif.

1.6 RENCANA PELAKSANAAN

 Tanggal : 9 Mei 2022


 Waktu : Pukul 08 - Selesai
 Lokasi : Laboraorium Jurusan Kesehatan Lingkungan, Kabanjahe,
Potekkes Kemenkes Medan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP)

Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, karena seluruh masyarakat tanpa terkecuali membutuhkannya.
Makanan yang dikemas biasanya mengandung bahan tambahan, yaitu suatu bahan-
bahan yang ditambahkan ke dalam makanan selama produksi, pengolahan,
pengemasan atau penyimpanan untuk tujuan tertentu. Secara umum jenis makanan
yang disukai khususnya makanan yang memenuhi selera dan terlihat menarik, yaitu
dalam hal rupa, warna, bau, rasa, suhu dan tekstur. Agar makanan tampak lebih
menarik, cita rasa yang baik dan tahan lama biasanya diberi zat tambahan makanan
(Asrina, 2018).

Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang bukan merupakan bahan
utama tetapi sengaja ditambahkan untuk menambah kualitas pangan itu sendiri. Bahan
Tambahan Pangan terdiri dari bahan sintesis dan alami. Bahan Tambahan Pangan
sintesis diantaranya pewarna, pemanis, pengawet, penyedap, anti oksidan, penambah
aroma dan penambah keasaman. Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses
produksi pangan perlu di waspadai bersama, baik oleh produsen maupun konsumen.
(Rahmah, 2019).

Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai
makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau
tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan
untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan,
pengepakan, pengemasan dan penyimpanan, pengangkutan makanan untuk
menghasilkan suatu makanan yang lebih baik atau mempengaruhi sifat khas makanan
tersebut. Terdapat dua bahan pewarna yaitu pewarna alami dan pewarna sintetis
termasuk juga yang dilarang di Indonesia (Prayoko, 2017).

Penggunaan senyawa kimia termasuk pewarna sintetis sebagai BTM bukanlah


hal yang baru. Sejak abad ke-19 senyawa kimia tersebut telah digunakan sebagai
bahan tambahan dalam pembuatan makanan, minuman, dan jajanan. Dalam

5
perkembangannya, mulai muncul berbagai dampak negatif terhadap kesehatan, antara
lain berupa kasus-kasus keracunan makanan. Senyawa kimia sebagai BTM termasuk
pewarna sintetis memiliki keunggulan terhadap pewarna makanan nabati. Pewarna
sintetis lebih mudah didapat atau dibeli, gampang digunakan, hasil terukur, dan
residunya mudah diketahui pada makanan yang bersangkutan. Sementara, pewarna
nabati memiliki kelemahan aplikasi, berikut tampilan hasilnya tidak sebagus pewarna
sintetis, walaupun pewarna nabati makanan relatif gampang didapat oleh ibu rumah
tangga. Dengan alasan kurang praktis tersebut, penggunaan pewarna nabati makanan
semakin berkurang. Di lain hal, penggunaan BTM berupa pewarna sintetis berpeluang
memberikan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, sedangkan penggunaan
pewarna makanan alami diyakini tidak menimbulkan dampak negattif (Sidabutar,
2019).

Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus melekat pada pangan
yang hendak dikonsumsi oleh semua masyarakat di Indonesia. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, beberapa zat pewarna juga telah
mengalami perkembangan seperti halnya zat pewarna hasil rekayasa teknologi.
Pemakaian zat pengawet, pemanis dan pewarna sintetik pada makanan dan minuman
telah banyak digunakan. Pemakaian zat pewarna berbahaya pada makanan masih
banyak ditemukan di antaranya: Rhodamin B, Sudan I, Metanil Yellow, Citrus Red,
Violet dan lain-lain. Pewarna-pewarna tersebut dinyatakan berbahaya oleh Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor: 722/ Menkes/Per/IX/88 (Rattagi, 2021).

Keberadaan bahan tambahan makanan adalah untuk membuat makanan


tampak lebih berkualitas, lebih menarik serta rasa dan teksturnya lebih sempurna. Zat-
zat itu ditambahkan dalam jumlah sedikit, namun hasilnya memuaskan bagi
konsumen dan produsen. Sering tidak kita sadari bahwa dalam makanan yang kita
konsumsi sehari-hari ternyata mengandung zat-zat kimia yang bersifat racun, baik itu
sebagai pewarna, penyedap rasa dan bahan campuran lain. Zat-zat kimia ini
berpengaruh terhadap tubuh kita, sehingga kebanyakan kita akan mengetahui
dampaknya dalam waktu yang lama (Rompas, 2018).

Adapun tujuan menggunakan bahan tambahan pangan adalah meningkatkan


atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya, membuat bahan pangan lebih
mudah di hidangkan, mempermudah preparasi bahan pangan, mencegah pertumbuhan

6
mikroba perusak pangan atau mencegah terjadi reaksi kimia yang dapat menurunkan
mutu pangan dan menghemat biaya. Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat di
bagi menjadi dua golongan yaitu bahan tambahan pangan yang di tambah dengan
sengaja kedalam makanan dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dengan
tujuan untuk mempertahankan kesegaran, cita rasa dan pembantu pengolahan, seperti
pengawet, pewarna, dan pengeras. Sedangkan yang kedua bahan tambahan pangan
yang tidak sengaja di tambahkan yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam
makanan tersebut yang terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit
ataupun banyak akibat perlakuan dalam proses produksi, pengolahan, dan
pengemasan. Pemilihan jenis BTM yang akan diaplikasikan pada pasaran faktor yang
pertama yang perlu diperhatikan adalah jenis produk apa yang akan dihasilkan dan
bagaimana bahan tambahan makanan akan mempengaruhi mutu produk tersebut.
Bahan tambahan makanan yang dipilih adalah bahan tambahan makanan yang
mempunyai fungsi yang diharapkan (Rahmah, 2019).

2.2 BAHAN PEWARNA

Zat warna merupakan senyawa organik berwarna yang digunakan untuk


memberi warna suatu objek atau suatu kain juga digunakan pada makan, obat- obatan
dan kosmetik. Zat warna merupakan faktor penentu mutu kesegaran dan kematangan
suatu bahan. Zat warna dapat digolongkan menurut sumber diperoleh yaitu zat warna
alami dan sintetik. Bahan pewarna alami merupakan bahan pewarna yang berasal dari
alam yang dapat diperoleh dari berbagai macam sumber seperti sayuran, bunga dan
buah-buahan. Penggunaan pewarna alami lebih aman daripada pewarna sintetik
(Fadillah, 2018).

Warna dari suatu produk makanan ataupun minuman merupakan salah satu
ciri yang penting. Bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan
terdiri dari pewarna sintesis (buatan) dan pewarna natural (alami). Pewarna sintesis
terbuat dari bahan kimia tartrazin untuk warna kuning atau alleura red untuk warna
merah, kadangkala pengusaha yang nakal menggunakan pewarna bukan untuk
makanan memberikan warna pada makanan agar mendapatkan keuntungan, produsen
sering menggunakan pewarna tesktil untuk makanan, ada yang menggunakan
Rhodamin B pewarna tekstil untuk mewarnai terasi, kerupuk dan minuman sirup
sedangkan pewarna jenis itu dilarang keras, karena bisa menimbulkan kanker dan

7
penyakit lainnya. Pewarna sintetis yang boleh digunakan untuk makananpun harus
dibatasi penggunaannya, karena pada dasarnya, setiap senyawa sintetis yang masuk
kedalam tubuh akan menimbulkan efek (La Ifu, 2016).

Warna merupakan salah satu aspek penting dalam hal penerimaan konsumen
terhadap suatu produk pangan. Warna dalam bahan pangan dapat menjadi ukuran
terhadap mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau
kematangan. Apabila suatu produk pangan memiliki nilai gizi yang baik, enak dan
tekstur yang sangat baik akan tetapi jika memiliki warna yang tidak sedap dipandang
akan memberi kesan bahwa produk pangan tersebut telah menyimpang (Arfi, 2019).
Penambahan pewarna pada makanan bertujuan untuk memperbaiki warna makanan
yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau memberi warna pada
makanan yang tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik. Akan tetapi, sering kali
terjadi penyalahgunaan pemakaian zat warna pada makanan, misalnya untuk tekstil
dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan makanan (Chrislia, 2017).

2.2.1 BAHAN PEWARNA ALAMI

Zat warna alami adalah zat warna yang diperoleh dari alam atau tumbuhan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tradisional zat warna alami
diperoleh dengan ekstraksi atau perebusan tanaman. menurunkan risiko terjadinya
kanker prostat dan kanker payudara. Selain itu juga dapat menurunkan oksidasi LDL
dan menurunkan penyakit hati dan juga katarak (Farid, dkk, 2019).

Banyak warna cemerlang yang dimiliki oleh tanaman dan hewan dapat
digunakan sebagai pewarna untuk makanan. Beberapa pewarna alami ikut
menyumbangkan nilai nutrisi (karotenoid, riboflavin, dan kobalamin) merupakan
bumbu (kunir dan paprika) atau pemberi rasa karamel kebahan olahannya (Rahmah,
2019).

2.2.2 BAHAN PEWARNA SINTETIS

Pewarna sintesis untuk bahan tambahan pangan yang dibuat secara kimia oleh
pabrik industri kimia bahan pewarna ini dijual di pasaran dengan tanda khusus pada
label atau kemasannya, yaitu tulisan FD&C (food, drugs, cosmetic). Peraturan Mentri
Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 menyatakan bahwa Bahan Tambahan Pangan

8
(BTP) merupakan bahan yang ditambahkan dalam pangan untuk mempengaruhi sifat
atau bentuk pangan. Peraturan tersebut juga menyatakan bahwa Rhodamin B
merupakan bahan tambahan pangan yang dilarang penggunaannya dalam makanan
(Mamay, 2017).

Penyalahgunaan zat sintetis yang sering terjadi adalah penggunaan bahan


tambahan makanan baik pewarna, penyedap rasa, aroma, antioksidan, pemanis,
pengawet, dan pengental. Rhodamin B merupakan salah satu jenis zat aditif yang
digunakan sebagai pewarna dalam industri tekstil, namun masyarakat
menggunakannya sebagai pewarna makanan. Jenis pewarna sebagai Bahan Tambahan
Pangan (BTP) yang memberikan kesan warna merah selain 15 jenis pewarna alami
terdapat 11 jenis pewarna sintetis yang diizinkan untuk digunakan. Pewarna sintetis
yang paling sering digunakan dalam produk snack atau minuman adalah Karmoisin
CI. No. 14720 dapat memberikan warna merah hingga marun, Merah allura CI. No.
16035 memberikan warna merah kekuningan hingga merah oranye, Eritrosin CI. No.
45430 dapat memberikan warna merah cherry pink (Amelia, 2020).

Pewarnaan pada makanan pada prinsipnya adalah untuk menarik konsumen


agar menjadi lebih berminat dengan suatu produk yang dijual atau dipasarkan.
Namun, sebagian dari mereka menggunakan pewarna makanan yang tidak
mendapatkan izin peredaran dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)
bahkan tidak jarang menggunakan pewarna sintetik yang biasanya digunakan sebagai
pewarna tekstil. Karakteristik dari zat pewarna sintetis adalah warnanya lebih cerah,
lebih homogen dan memiliki variasi warna yang lebih banyak bila dibandingkan
dengan zat pewarna alami zat pewarna sintetis yang sering ditambahkan adalah
Rhodamin B, yang merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai
pewarna tekstil (Amelia, 2020).

Bahan pewarna sintesis yang diijinkan di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1


berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun
2012 dan bahan pewarna sintetis yang tidak diijinkan di Indonesia ditunjukkan pada
Tabel 2 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
239/MenKes/Per/V/85 (Wati, 2019).

9
Tabel 1 Bahan Pewarna Sintetis yang Diijinkan di Indonesia

Pewarna Nomor Indeks Warna


(C.I.No.)
Tartrazin (Tartrazine) 19140

Kuning kuinolin (Quinoline yellow) 47005

Kuning FCF (Sunset yellow FCF) 15985

Karmoisin (carmoisine) 14720

Ponceau 4R (Ponceau 4R) 16255

Eritrosin (Erythrosine) 45430

Merah allura (Allura red) 16035

Indigotin (Indigotine) 73015

Biru berlian FCF (Brilliant blue FCF) 42090

Hijau FCF (Fast green FCF 42053

Coklat HT (Brown HT) 20285

Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012

Tabel 2 Bahan Pewarna Sintetis yang Tidak Diijinkan di Indonesia

Pewarna Nomor Indeks Warna


(C.I.No.)
Auramine (C. I. Basic Yellow 2) 41000

Alkanet 75520

Butter Yellow (C. I. Solvent Yellow 2) 11020

Black 7984 (Food Vlack 2) 27755

Burn Unber (Pigment Brown 7) 77491

Chrysoidine (C. I. Basic Orange 2) 11270

Chrysoine (C. I. Food Yellow 8) 14270

Citrus Red No. 2 12156

10
Chocolate Brown FB (Food Brown 2) -

Fast Red E (C. I. Food Red 4) 16045

Fast Yellow AB (C. I. Food Yellow 2) 13015

Guinea Green B (C. I. Acid Green No. 3) 42085

Indanthrene Blue RS (C. I. Food Blue) 69800

Magenta (C. I. Basic Violet 14) 42510

Metanil Yellow (Ext. D&C Yellow No. 1) 13065

Oil Orange SS (C. I. Solvent Orange 2) 12100

Oil Orange XO (C. I. Solvent Orange 7) 12140

Oil Yellow AB (C. I. Solvent Yellow 5) 11380

Oil Yellow OB (C. I. Solvent Yellow 6) 11390

Orange G (C. I. Food Orange 4) 16230

Orange GGN (C. I. Food Orange 2) 15980

Orange RN (Food Orange 1) 15970

Orchid and Orcein -

Ponceau 3R (Acid Red 6) 16155

Ponceau SX (C. I. Food Red 1) 14700

Ponceau 6R (C. I. Food Red 8) 16290

Rhodamin B (C. I. Food Red 15) 45170

Sudan I (C. I. Solvent Yellow 14) 12055

Scarlet GN (Food Red 2) 14815

Violet 6 B 42640

Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 239/Menkes/Per/V/85

11
2.3 RHODAMIN B

Gambar 1.1 Serbuk Rhodamin B

Rhodamin B terbuat dari dietillaminophenol dan phatalic anchidria dimana


kedua bahan baku ini sangat toksik bagi manusia. Rhodamin B banyak digunakan
untuk pewarna kertas, wol dan sutra. Konsumsi Rhodamin B dalam jumlah besar
dalam waktu singkat dapat menyebabkan gejala akut keracunan. Dosis toksik
Rhodamin B adalah sebanyak 500 mg/kg BB. Rhodamin B yang ditambahkan pada
makanan dapat mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan menimbulkan
gejala keracunan yang ditandai dengan air kencing berwarna merah maupun merah
muda. Rhodamin B yang terhirup dapat mengakibatkan gangguan kesehatan seperti
terjadinya iritasi pada saluran pernapasan. Rhodamin B yang terkena kulit dapat
menyebabkan iritasi seperti iritasi mata yang ditandai dengan mata kemerahan dan
timbunan cairan atau oedem pada mata (Putriningtyas, 2017).

Rhodamin B merupakan zat pewarna tambahan yang dilarang penggunaannya


dalam produk-produk pangan. Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran
pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, keracunan,
gangguan hati dan dapat menyebabkan kanker (Syamsul, 2018).

Rhodamin B merupakan pewarna sintesis yang biasa digunakan pada industri


tekstil bukan industri makanan sehingga penggunaan Rhodamin B dalam makanan
sangat berbahaya bagi kesehatan. Rhodamin B yang dikonsumsi dalam jumlah cukup
besar akan menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan, iritasi pada kulit, iritasi pada
mata, iritasi pada pencernaan, keracunan, gangguan fungsi hati dan kanker hati (Leka,
2018).

12
Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai
pewarna tekstil. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 2004, Rhodamin B
merupakan zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya dalam produk- produk
pangan. Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi
pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, keracunan, dan gangguan hati akan tetapi
sampai sekarang masih banyak produsen yang menggunakan rhodamin B dalam
produk makanan dan minuman yang dihasilkannya (Rahmah, 2019).

Pada umumnya ciri-ciri makanan yang menggunakan pewarna rhodamin B,


seperti : warnanya mencolok, cerah mengkilap, warnanya tidak homogen (ada yang
menggumpal), ada sedikit rasa pahit, tak jarang makanan yang tercampur Rhodamin
B menebarkan bau yang aneh tidak sesuai dengan bau makanan seperti biasa serta
menyebabkan tenggorokan gatal beberapa saat setelah mengkonsumsinya (Rahmah,
2019). Rhodamin B memiliki nama dagang/nama lain, adalah sebagai berikut: Tetra
athyl. Rheonine B. D & C red No. 19. CI Basic Violet 10. CI No. 45179 (15),
biasanya zat ini dapat ditemukan pada produk- produk yang tidak terdaftar resmi,
namun populer sebagai konsumsi masyarakat karena di jual bebas dan terkadang
dengan harga yang terjangkau bahkan tidak masuk akal (Rahmah, 2019).

2.3.1 KARAKTERISTIK RHODAMIN B

Gambar 2.2. Struktur Kimia Rhodamin B

Rhodamin B mempunyai nama lazim tetraethylrhodamine; D&C Red No.19


dan Rhodamin B Chloride dengan rumus kimia C28H31N2O3Cl serta memiliki bobot
molekul (BM) 479. Rhodamin B termasuk jenis pewarna sintetik berbahaya yang

13
dilarang digunakan pada proses produksi makanan dan minuman. Hal tersebut diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1168 / MENKES / PER /
X / 1999 (Depkes RI., 1999), dan Peraturan Pemerintah RI No. 28 tahun 2004
(Rusmalina, 2015).

2.3.2 EFEK RHODAMIN B PADA KESEHATAN

Rhodamin B yaitu zat pewarna berupa serbuk kristal berwarna hijau atau ungu
kemerahan, tidak berbau, serta mudah larut dalam larutan warna merah terang
berfluoresan digunakan sebagai bahan pewarna tekstil, cat, kertas atau pakaian.
Rhodamine B sering digunakan sebagai zat pewarna pada kertas dan tekstil, zat ini
paling berbahaya bila dikonsumsi bisa menyebabkan gangguan pada fungsi hati,
bahkan kanker hati (Hikma, 2019).

Menurut WHO, Rhodamin B berbahaya bagi kesehatan manusia karena sifat


kimia dan kandungan logam beratnya penggunaan rhodamine B pada makanan yang
lama akan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun kanker. Bila
rhodamine B tersebut masuk melalui makanan akan mengakibatkan iritasi pada
saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan urin yang berwarna
merah maupun merah muda, untuk menjaga kesehatan tubuh sebaiknya menggunakan
pewarna alami (Farid, dkk, 2019).

Zat warna ini diabsorpsi dari dalam saluran pencernaan makanan dan sebagian
dapat mengalami metabolisme oleh mikroorganisme dalam usus. Dari saluran
pencernaan dibawa langsung ke hati, melalui vena portal atau melalui sistem limpatik.
Di dalam hati, senyawa metabolisme lalu ditransportasikan ke ginjal untuk
diekskresikan bersama urine. Senyawa-senyawa tersebut dibawa dalam aliran darah
sebagai molekul-molekul yang tersebar dan melarut dalam plasma, sebagai molekul-
molekul yang terikat dengan protein dan serum dan sebagai molekul-molekul bebas
atau yang terkait tanpa mengandung eritrosit dan unsur- unsur lain pembentuk darah.
Zat warna yang dimetabolisme dan dikonjugasi di hati dalam waktu yang lama akan
dapat menyebabkan efek kronis yaitu kanker (Rahmah, 2019).

Rhodamin B yang terkonsumsi melalui makanan akan mengakibatkan iritasi


pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan air kencing

14
yang berwarna merah atau merah muda. Dengan menghirup Rhodamin B dapat pula
mengakibatkan gangguan kesehatan, yakni terjadinya iritasi pada saluran pernapasan.
Demikian pula apabila kulit terkena Rhodamin B, maka kulit pun akan mengalami
iritasi. Mata yang terkena Rhodamin B juga akan mengalami iritasi yang ditandai
dengan mata kemerahan dan timbunan cairan atau udem pada mata (Rusmalina,
2015).

Bila mengonsumsi makanan yang mengandung Rhodamine B, dalam tubuh


akan terjadi penumpukan lemak, sehingga lama-kelamaan jumlahnya akan terus
bertambah. Dampaknya baru akan kelihatan setelah puluhan tahun kemudian. Zat ini
tidak layak untuk dikonsumsi, jika sudah masuk dalam tubuh, maka akan mengendap
pada jaringan hati dan lemak, tidak dapat dikeluarkan, dalam jangka waktu lama bisa
bersifat karsinogenik. Sifat karsinogenik tersebut disebabkan oleh unsur N+
(nitronium) dan Cl- (klorin) yang terkandung pada Rhodamin B yang bersifat sangat
reaktif dan berbahaya. Rhodamin B merupakan pewarna sintetis yang digunakan pada
industry tekstil. Pengaruh buruk Rhodamin B bagi kesehatan antara lain menimbulkan
iritasi pada saluran pernapasan, kulit, mata, dan saluran pencernaan. Penumpukan
Rhodamin B dalam hati akan menyebabkan gangguan fungsi hati berupa kanker hati
dan tumor hati (Hikma, 2019).

2.3.3 CIRI-CIRI MAKANAN YANG MENGANDUNG


RHODAMIN B

Ciri-ciri makanan yang mengandung Rhodamin B dapat dilihat dari warna


pada makanan tersebut yang lebih terang, warna yang tidak homogen, warnanya lebih
lengket dibanding dengan pewarna alami, dan adanya sedikit rasa pahit. Rhodamin B
adalah bahan kimia yang digunakan untuk pewarna pada industri tekstil plastik dan
keberadaan Rhodamin B dalam makanan dengan dosis yang tinggi bias menyebabkan
kanker, keracunan, iritasi paru-paru, iritasi mata, tenggorokan, hidung dan usus (Sari,
2017).

Ciri-ciri pangan yang mengandung Rhodamin B antara lain:

1) Warnanya cerah mengkilap dan lebih mencolok


2) Terkadang warna terlihat tidak homogen (rata), ada gumpalan warna pada
produk.

15
3) Bila dikonsumsi rasanya sedikit lebih pahit
4) Biasanya produk pangan yang mengandung Rhodamin B tidak mencantumkan
kode, label, merek, atau identitas lengkap lainnya.
(Badan Pengawas Obat & Makanan,2008 ).
2.4 SAUS

Gambar 2.3. Saus Cabai

Saus merupakan bahan pelengkap yang digunakan sebagai tambahan untuk


menambah kelezatan makanan dapat berupa cairan kental (pasta) yang terbuat dari
bubur buah berwarna menarik (biasanya merah), mempunyai aroma dan rasa yang
merangsang (rasa pedas), mempunyai daya simpan panjang karena mengandung
asam, gula, garam dan seringkali pengawet. Saus dapat digunakan ketika memasak
makanan atau sebagai penyedap ketika menghidangkan makanan atau membuat
penampilan makanan lebih menarik. Saus memiliki cita rasa yang unik dan terdapat
berbagai macam jenis makanan atau jajanan yang menggunakan saus sebagai
pelengkap rasa adalah jajanan pentolan, bakso, mie ayam dan jajanan lainnya
(Rahmah, 2019).

Sambal adalah saus dengan bahan utama yang disiapkan dari cabai yang
dilumatkan sehingga keluar kandungan sari cabe yang berasal pedas dan ditambah
bahan-bahan lain seperti garam dan terasi. Sambal merupakan salah satu unsur khas
hidangan Indonesia, melayu ditemukan pula dalam kuliner asia selatan dan asia timur
(Widarti, 2019).

Saus dimanfaatkan sebagai bumbu masak atau bahan campuran pada berbagai
industri pengolahan makanan. Sebagian masyarakat atau ibu rumah tangga lebih
memilih untuk membeli bumbu yang sudah diolah salah satunya adalah sambal.
Tetapi banyak pedagang yang mencari keuntungan dengan menambahkan bahan
tambahan makanan yang tidak semestinya di gunakan untuk makanan, yaitu

16
menggunakan pewarna yang bukan pewarna untuk makanan misalnya Rhodamin B,
yaitu zat pewarna yang sering digunakan pada kertas dan tekstil (Widarti, 2019).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 METODE PENELITIAN

Metode pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif untuk mengetahui


gambaran apakah saus sambal yang beredar di kota Denpasar mengandung pewarna
Rhodamin B.

3.2 LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di 3 pasar tradisional dan 3 pasar modern kota


Denpasar Provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukan sejumlah 6 pasar yang ada di
Kota Denpasar yaitu sebagai berikut Pasar Badung, Pasar Sanglah, dan Pasar Kreneng
untuk sampel pada pasar tradisional sedangkan untuk pasar Modern, yaitu Tiara
Dewata, Hypermart, dan Pepito.

3.3 ALAT DAN BAHAN

No Alat & Bahan Gambar


Alat :
1. Timbangan

17
2. Cawan Petri

3. Beaker Glass

4. Gelas Ukur

5. Tabung Reaksi

6. Rak tabung Reaksi

7. Pipet Ukur

18
8. Pipet Filler

9. Spatula

10 Gunting
.

No Alat & Bahan Gambar


Bahan :
1. Sampel Makanan yang Akan Diuji

2. Aquades

3. Rhodamin B Rapid Test Kit, yang berisi Rhodamin


Reagen 1 dan Rhodamin Reagen 2.

19
3.4 PROSEDUR KERJA

No Langkah Kerja Dokumentasi


1. Langkah pertama menekan tombol
on/off pada timbangaan dan menekan
tombol 0. Timbang sebanyak 25 gram
sampel.

2. .Masukkan sampel ke dalam beaker


glass.

3. Tambahkan aquades sebanyak 50 ml.

20
4. Homogenkan sampel dan aquades
menggunakan spatula.

5. Diamkan selama beberapa menit hingga


endapan turun.

6. Setelah endapan turun, pindahkan


sampel sebanyak 3 ml ke dalam tabung
reaksi.

7. Letakkan tabung reaksi di rak tabung.

8. Selanjutnya tambahkan 1 tetes


Rhodamin Reagen 1.

21
9. Tambahkan sebanyak 3 tetes Rhodamin
Reagen 2.

10. Homogenkan sampel menggunakan


spatula.

11. Sampel yang positif Rhodamin B akan


berubah warna menjadi keunguan.

22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa terdapat sampel saus sambal yang
positif mengandung Rhodamin B (data pada Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1 dapat
dilihat bahwa dari 5 sampel saus sambal, terdapat 2 sampel yang terdeteksi Rhodamin
B pada pasar tradisional. Hasil positif yang mengandung Rhodamin B ditujunjukkan
pada perubahan warnayang dihasilkan. Selain itu, hasil analisis juga dibandingkan
dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Sampel yang positif mengandung
Rhodamin B menunjukkan perubahan warna yang sama seperti kontrol postif.

Tabel 1. Hasil Analisis Kualitatif Sampel Saus di Pasar Tradisional kota


Denpasar
Kode Sampel Warna Saus Warna yang Hasil
dihasilkan
A Orange Kemerahan Kuning -
B Orange Kemerahan Orange +
C Orange Kemerahan Kuning -
D Orange Kemerahan Orange +
E Orange Kemerahan Kuning -
Kontrol Negatif Orange Kemerahan Kuning -
Kontrol Positif Orange Kemerahan Orange +

Hasil analisis kualitatif pada sampel saus sambal yang berasal dari pasar
modern menunjukkan bahwa semua sampel tidak mengandung Rhodamin B (data
pada disajikan pada Tabel 2). Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan warna
yang dihasilkan. Hasil pengujian menunjukkan warna yang sama dengan kontrol
negatif . Zat pewarna merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki
penampilan makanan meskipun makanan tersebut lezat, tetapi penampilannya tidak
menarik saaat disajikan, akan mengkibatkan selera orang yang memakannya menjadi
hilang. Penampakan dari makanan dan minuman merupakan hal yang paling banyak
mempengaruhi preferensi dan kesukaan konsumen.

23
Tabel 2. Hasil Analisis Kualitatif Sampel Saus di Pasar Modern kota Denpasar
Kode Sampel Warna Saus Warna yang Hasil
dihasilkan
F Orange Kemerahan Kuning -
G Orange Kemerahan Kuning -
H Orange Kemerahan Kuning -
I Orange Kemerahan Kuning -
J Orange Kemerahan Kuning -
K Orange Kemerahan Kuning -
L Orange Kemerahan Kuning -
Kontrol Negatif Orange Kemerahan Kuning -
Kontrol Positif Orange Kemerahan Orange +

4.2 PEMBAHASAN

Kemajuan teknologi pangan memungkinkan zat pewarna dibuat secara


sintetis. Penggunaan bahan alami untuk produk massal akan meningkatkan biaya
produksi menjadi lebih mahal dan lebih sulit karena sifat pewarna alami tidak
homogen sehingga sulit menghasilkan warna yang stabil. Dalam jumlah yang sedikit,
suatu zat kimia bisa memberi warna yang stabil pada produk pangan. Dengan
demikian produsen bisa menggunakan lebih banyak pilihan warna untuk menarik
perhatian konsumen. Penyalahgunaan pewarna tekstil terutama Rhodamin B oleh
produsen makanan disebabkan karena harga pewarna tekstil tersebut yang lebih
murah dari pada pewarna makanan dan dengan mudah dibeli pada toko-toko bahan
tekstil. Selain itu, tingkat pengetahuan produsen yang kurang akan adanya pewarna
makanan dan bahaya yang ditimbulkan dari pewarna tekstil apabila terkonsumsi oleh
konsumen. Warna dari zat pewarna tekstil yang bila digunakan akan menghasilkan
warna yang lebih menarik pada makanan daripada pewarna makanan. Hal ini menjadi
pemicu penyalahgunaan pewarna tekstil pada makanan (Yuliarti, 2007).

Pada penelitian identifikasi Rhodamin B pada saus sambal yang


diperdagangkan di pasar tradisional kota Denpasar menunjukkan bahwa terdapat 2
diantara 5 sampel yang terdeteksi mengandung Rhodamin B berdasarkan uji kualitatif
sedangkan untuk identifikasi Rhodamin B pada saus sambal yang diperdagangkan di

24
pasar modern kota Denpasar dinyatakan aman dari zat pewarna sintetis Rhodamin B
yang dilarang penggunaanya terhadap makanan. Hasil analisis kualitatif berdasarkan
deteksi warna yang dihasilkan, bahwa semua sampel tidak mengandung pewarna
Rhodamin B pada pasar modern. Hal ini ditunjukkan dari warna saus sambal yang
menempel pada benang wol dapat tercuci oleh air. Selain itu, hasil analisis juga
dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Hasil pengujian
menunjukkan warna yang sama dengan kontrol negatif.

Rhodamin B termasuk jenis pewarna sintetik yang bersifat toksik, sehingga


berdampak buruk bagi kesehatan manusia (Sumarlin, 2008). Penggunaan pewarna
buatan dapat menyebabkan gangguan kesehatan apabila melebihi batas yang telah
ditentukan seperti dapat menyebabkan tumor, hiperaktif pada anak-anak, alergi dan
dapat menimbulkan radang selaput lendir pada hidung, sakit pinggang, dan muntah-
muntah (Yuliarti, 2007). Di samping itu, walaupun memiliki toksisitas yang rendah,
namun pengkonsumsian dalam jumlah yang besar maupun berulang-ulang
menyebabkan sifat kumulatif yaitu iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada
mata, iritasi pada saluran pencernaan, keracunan, dan gangguan hati (Trestiati, 2003).
Rhodamin B bersifat karsinogenik sehingga dalam penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan penyakit kanker. Uji toksisitas Rhodamin B telah dilakukan terhadap
mencit dan tikus dengan injeksi subkutan dan secara oral. Rhodamin B dapat
menyebabkan karsinogenik pada tikus ketika diinjeksi subkutan, yaitu timbul sarkoma
lokal (MerckIndex, 2006). Rhodamin B juga menyebabkan aktivitas mutagenik dan
kerusakan DNA pada sel ovarium tikus (Nestman et al., 1979).

Penggunaan Rhodamin B pada makanan dalam waktu yang lama akan dapat
mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun kanker. Namun demikian, bila terpapar
Rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut
keracunan Rhodamin B (Yamlean, 2011). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.1168 / MENKES / PER / X / 1999 (Depkes RI., 1999);
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/MenKes/Per/V/1985 (DepKes RI, 1985);
dan SK Menteri Kesehatan RI No. 722/MenKes/Per/IX/88 (DepKes RI, 1988) bahwa
Rhodamin B merupakan bahan tambahan pangan yang dilarang digunakan pada
makanan, namun masih sering dijumpai terjadinya penyalahgunaan pewarna

25
Rhodamin B pada makanan yang terbukti dari beberapa penelitian (Sumarlin, 2008;
Cahyadi, 2009; Utami & Suhendi, 2009; dan Silalahi & Rahman, 2011).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil uji kualitatif identifikasi Rhodamin B dalam saus sambal


yang beredar di pasar tradisional dan modern kota Denpasar, bahwa dari 5 sampel
pasar tradisional terdeteksi 2 sampel mengandung Rhodamin B sedangkan semua
sampel di pasar modern dinyatakan aman dari zat pewarna sintetis Rhodamin B.

5.2 SARAN

Berdasarkan pada kesimpulan di atas, kelompok dengan segala keterbatasan


dan kerendahan hati, di akhir penulisan makalah ini, ingin memberikan saran yang
sekiranya dapat berguna bagi semua pihak.
1. Kepada masyarakat agar selalu berhati – hati dalam mengonsumsi makan, karena
sebagian besar makanan mengandung pewarna terutama pewarna Rhodamin B,
karena tidak baik bagi kesehatan.
2. Perlu diidentifikasi zat pewarna yang lain yang terdapat pada jajanan pinggir
jalan.
3. Kepada pihak yang berwenang agar melakukan tindakkan tegas terhadap induksi
penggunaan pewarna yang berlebihan untuk menjamin kesehatan masyarakat.

26
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahmansyah, Aini, A. & Chrislia, D. (2017). Analisis Zat Pewarna Rhodamin B


Pada Saus Cabai Yang Beredar Di Kampus Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang. Jurnal Biota 3 (1): pp 38-42.

Alhamedi, F.H., Rauf, M.A. & Ashraf, S.S. (2009). Degradation Studies of
Rhodamine B in The Presence of UV/H2O2. Desalination 238(3): 159-166.

BPOM RI. (2013). Laporan Tahunan Badan POM RI. Jakarta.

Cahyadi, W. (2008). Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.


Jakarta: Bumi Aksara.

Cahyadi, W. (2009). Analisis Aspek dan Kesehatan Bahan Tambahan Pangan 2nd ed.
Jakarta: Bumi Aksara.

Chen, Xiaoyang, Zhiyong X., Yanlai Y., Weiping W., Fengxiang Z. & Chunlai
H. (2012). Oxidation Degradation of Rhodamine B in Aqueous by UV/S2O8 2
Treatment System. Int. J. of Photoenergy Vol. 2012 Article ID 754691: 5.

Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman Keamanan Pangan di Sekolah Dasar.


Jakarta: Direktorat Bina Gizi Ditjen Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu Dan Anak.

Khan, Tabrez A. Sangeeta Sharma & Imran Ali. 2011. Adsorption of Rhodamine B
Dye from Aqueous Solution Onto Acid Activated Mango (Magniferaindica) Leaf
Powder: Equilibrium, Kinetic and Thermodynamic Studies. J. of Toxicology and
Environmental Health Sciences 3(10): 286-297

Merck Index. (2006). An Encyclopedia of Chemicals, Drugs, and Biologicals. Merck


Co.Inc. USA

Moehyi, S. (1992). Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta.


Bharata Nestmann, E.R., George, R.D., Tibor, I.M., Caroline, E.G. & David, J.K.
(1979).
Wijaya, D., 2011. Waspadai Zat Aditif dalam Makananmu. Jogjakarta: Buku Biru.

Winarno, F.G. (1994). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia.

27
LAMPIRAN

28

Anda mungkin juga menyukai