Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA LINGKUNGAN

“ KAJIAN TEKSTUR, C-ORGANIK, DAN PH TANAH UTISOL PADA


BEBERAPA VEGETASI DI DESA GUNUNG DATAS KECAMATAN RAYA
KAHEAN ”

DOSEN PENNGAMPU : RENI JULIANA HASIBUAN, S.SI. M.SI

KELOMPOK 3 :

PUTRA RAMADHAN P00933121018


RANI Y. TAMPUBOLON P00933121019
REDOFOD BAHTERA SEJATI SITEPU P00933121020
RIDIA ANGGELIANA BR SITEPU P00933121021
RISMAULI BR PINAYUNGAN P00933121022
RUTH ELISABETH SAMOSIR P00933121023
RUTH ENJELINA ROSMAULI RITONGA P00933121024
RUTH OKTAVIAR SILALAHI P00933121025
SALLY SAYIDINA BR SITORUS P00933121026

PROGRAM STUDI DIPLOMA-III SANITASI


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN
2022

I
LEMBAR PENGESAHAN

MATA KULIAH : Kimia Lingkungan

JUDUL PRAKTIKUM : “Kajian Tekstur, C-Organik, dan pH Tanah Utisol pada


Beberapa Vegetasi di Desa Gunung Datas Kecamatan Raya
Kahean ”

Disahkan tanggal :

Menyetejui
Pembimbing

Dilaksanakan pada : Senin, 25 April 2022


Oleh Kelompok : 3 (Tiga)

Ibu Reni Juliana Hasibuan, S.Si. M.Si


NIP…………………………………..

II
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang maha Esa karena dengan rahmat, karunia, dan
hidayah-Nya kelompok dapat menyelesaikan laporan yang berjudul “KAJIAN
TEKSTUR, C-ORGANIK, DAN PH TANAH UTISOL PADA BEBERAPA
VEGETASI DI DESA GUNUNG DATAS KECAMATAN RAYA KAHEAN ” ini
tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan laporan ini untuk memenuhi tugas Ibu Reni
Juliana Hasibuan, S.Si. M.Si yang diharapkan dapat menunjang nilai kelompok di
dalam mata kuliah Kimia Lingkungan. Selain itu, dengan hadirnya laporan ini dapat
memberikan informasi yang dapat menjadi pengetahuan baru bagi pembacanya.

Pada kesempatan ini kelompok juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Reni Juliana Hasibuan, S.Si. M.Si selaku dosen pembimbing serta kepada seluruh
pihak yang terlibat di dalam penulisan laporan ini.
.
Kelompok menyadari laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan laporan
praktikum ini. Demikian kiranya semoga laporan yang telah dibuat ini dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

III
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................................ii

KATA PENGANTAR...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1

1.1 Deskripsi Mata Praktek..............................................................................................1

1.2 Latar Belakang Praktikum..........................................................................................1

1.3 Rumusan Masalah......................................................................................................3

1.4 Tujuan Praktikum.......................................................................................................3

1.5 Indikator.....................................................................................................................3

1.6 Rencana Pelaksanaan.................................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................4

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) ....................................................................................4

2.1.1 Sub Das Bah Sumbu................................................................................................5

2.2 Tanah Utisol...............................................................................................................6

2.3 Lahan Kritis................................................................................................................8

2.4 Parameter Kimia Tanah yang Akan Diteliti...............................................................9

2.4.1 Derajat Keasaman (pH)...........................................................................................9

2.4.2 C-Organik................................................................................................................9

2.4.3 Tekstur Tanah..........................................................................................................10

IV
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...........................................................................12
3.1 Metode Penelitian.......................................................................................................12
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian......................................................................................12
3.3 Alat dan Bahan...........................................................................................................12
3.4 Prosedur Kerja............................................................................................................16
a) Rumus Perhitungan Kadar C-Organik pada sampel tanah......................................19
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................20
4.1 Hasil ..........................................................................................................................20
1. Kondisi Umum Wilayah Penelitian..........................................................................20
2. pH Tanah...................................................................................................................21
3. Kadar C-Organik.......................................................................................................23
4. Tekstur Tanah...........................................................................................................25
4.2 Pembahasan................................................................................................................26
BAB V PENUTUP.................................................................................................................29
5.1 Kesimpulan.................................................................................................................29
5.2 Saran...........................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................30
LAMPIRAN...........................................................................................................................31

V
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 DESKRIPSI MATA PRAKTEK

Kimia lingkungan adalah studi ilmiah terhadap fenomena-fenomena kimia dan


biokimia yang terjadi di alam. Bidang ilmu ini dapat di definisikan sebagai studi
terhadap sumber, reaksi, transpor, efek, dan nasib zat kimia di lingkungan udara,
tanah, dan air; serta efek aktivitas manusia terhadapnya. Kimia lingkungan adalah
ilmu antar disiplin yang memasukkan ilmu kimia atmosfer, akuatik, dan tanah, dan
juga sangat bergantung dengan kimia analitik, ilmu lingkungan, dan bidang-bidang
ilmu lainnya.

Kimia lingkungan mengacu pada kejadian, gerakan, dan transformasi bahan


kimia di lingkungan. Kimia lingkungan berkaitan dengan jenis bahan kimia yang
terjadi secara alami seperti logam, unsur-unsur lain, bahan kimia organik, dan
biokimia yang merupakan produk metabolisme biologis. Kimia lingkungan dimulai
dengan memahami cara kerja lingkungan yang tidak terkontaminasi. Ini
mengidentifikasi bahan kimia yang hadir secara alami. Realitas inilah menjadikannya
studi untuk mempelajari konsentrasi dan efek bahan kimia tersebut. Kemudian, secara
akurat mempelajari efek manusia terhadap lingkungan melalui pelepasan bahan

kimia.

1.2 LATAR BELAKANG PRAKTIKUM

Tanah merupakan salah satu faktor terpenting dalam pertumbuhan tanaman.


Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah
tersedianya unsur hara untuk tanaman tersebut, baik unsur hara makro maupun unsur
hara mikro.Tanah sebagai medium pertumbuhan tanaman berfungsi pula sebagai
pemasok unsur hara, kandungan unsur hara dalam tanah dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman. Kesuburan tanah ditentukan oleh keadaan fisika, kimia dan
biologi tanah. Keadaan fisika tanah meliputi kedalaman efektif, tekstur, struktur,
kelembaban dan tata udara tanah.Keadaan kimia tanah meliputi reaksi tanah (pH
tanah), KTK, kejenuhan basa, bahan organik, banyaknya unsur hara, cadangan unsur

1
hara dan ketersediaan terhadap pertumbuhan tanaman. Sedangkan biologi tanah antara
lain meliputi aktivitas mikrobia perombak bahan organik dalam proses humifikasi dan
pengikatan nitrogen udara.

Pertumbuhan tanaman dipegaruhi oleh sifat kimia tanah tempat tanaman


tersebut tumbuh.Salah satunya adalah kemasaman tanah(pH). pH tanah juga
menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah
asam banyak ditemukan unsur alumunium yang selain bersifat racun juga mengikat
phosphor, sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman.Pada tanah asam unsur-unsur
mikro menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro seperti Fe, Zn, Mn dan
Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya juga menjadi racun bagi tanaman.
Selain sifat kimia tanah, sifat fisika tanah juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman

Wilayah DAS Padang terdiri dari tujuh sub DAS yakni sub DAS Bah Hilang,
Bah Kaliat, Bah Sumbu, Sei Kalembah, Sei Padang, Sei Padang Hilir dan Sibarau
(BPDAS Wampu, 2010). Ketujuh sub DAS ini membentang melewati tiga (3)
wilayah administratif yakni Kabupaten Simalungun, Kabupaten Sergei dan
Kotamadya Tebing Tinggi. Daerah Sub DAS Bah Sumbu terletak di Kecamatan
Serdang Bedagai dan memiliki luas sebesar 11.009,56 Ha. Sub DAS Bah Sumbu
memiliki lahan agak kritis seluas 8742.949 Ha (BPDAS Wampu, 2017). Desa Gunung
Datas merupakan salah satu desa yang ada di wilayah Kecamatan Raya Kahean,
Kabupaten Simalungun. Desa Gunung Datas termasuk dalam wilayah Sub Das Bah
Sumbu, dengan kriteria lahan agak kritis. Desa Gunung Datas memiliki wilayah
dengan topografi yang bergelombang dengan berbagai kemiringan dan ketinggian
yang berbeda-beda.

Mayoritas penduduk Desa Gunung Datas merupakan petani. Sebagian besar


lahan digunakan untuk kegiatan perkebunan dan pertanian lainnya. Komoditas utama
desa Gunung Datas adalah kelapa sawit, meskipun masih banyak dijumpai komoditas
lainnya, seperti karet, jeruk nipis, kakao, dan komoditas lainnya. Berdasarkan peta
Sub DAS Bah Sumbu, tingkat kekritisan lahan dikelompokkan berdasarkan
penggunaan lahan tersebut dan vegetasi yang terdapat pada lahan tersebut. Oleh
karena itu perlu diketahui bebrapa sifat kimia dan fisika dari lahan tersebut sehingga
dapat ditentukan teknik pengelolaan serta manajemen dari lahan tersebut agar dapat
dimanfaatkan secara efisien dan efektif.

2
1.3 RUMUSAN MASALAH

Dalam pratikum kali ini, masalah yang akan di bahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hasil analisis tekstur, karbon organik (C-Organik) dan kemasaman
(pH) tanah pada wilayah lahan agak kritis di wilayah sub das Bah Sumbu Desa
Gunung Datas Kecamatan Raya Kahean?
2. Bagaimana cara mengetahui kadar C-Organik tanah pada beberapa vegetasi di
wilayah lahan agak kritis di wilayah sub das Bah Sumbu Desa Gunung Datas
Kecamatan Raya Kahean?

1.4 TUJUAN PRAKTIKUM

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji beberapa sifat fisika
dan kimia tanah ultisol pada beberapa vegetasi di desa Gunung Datas kecamatan Raya
Kahean yang termasuk lahan agak kritis di Sub DAS Bah Sumbu Kabupaten
Simalungun.

1.5 INDIKATOR

1. Mengetahui hasil analisis tekstur, karbon organik (C-Organik) dan kemasaman


(pH) tanah pada wilayah lahan agak kritis di wilayah sub das Bah Sumbu D esa
Gunung Datas Kecamatan Raya Kahean.
2. Mengetahui kadar C-Organik tanah pada beberapa vegetasi di wilayah lahan agak
kritis di wilayah sub das Bah Sumbu Desa Gunung Datas Kecamatan Raya
Kahean.

1.6 RENCANA PELAKSANAAN

 Tanggal : 25 April 2022


 Waktu : Pukul 08 - Selesai
 Lokasi : Laboraorium Jurusan Kesehatan Lingkungan, Kabanjahe,
Potekkes Kemenkes Medan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan ruang di mana sumberdaya


alam,terutama vegetasi, tanah dan air, berada dan tersimpan serta tempat hidup
manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sebagai wilayah, DAS juga dipandang sebagai ekosistem dari daur air,
sehingga DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan,dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No. 7
Tahun2004). Dengan demikian DAS merupakan satuan wilayah alami yang
memberikan manfaat produksi serta memberikan pasokan air melaluI sungai, air
tanah, dan atau mata air, untuk memenuhi berbagai kepentingan hidup, baik untuk
manusia, flora maupun fauna. Untuk memperoleh manfaat yang optimal dan
berkelanjutan perlu disusun sistem perencanaan pengelolaan DAS yang obyektif dan
rasional. Perencanaan pengelolaan DAS bersifat dinamis karena dinamika proses yang
terjadi di dalam DAS, baik proses alam, politik, sosial ekonomi kelembagaan,
maupun teknologi yang terus berkembang (Paimin et al, 2012).

Jumlah DAS di Indonesia sangat banyak dengan luasan yang sangat beragam
dan terletak pada hamparan wilayah administrasi yang berada dalam satu kabupaten,
lintas kabupaten maupun lintas provinsi, bahkan lintas negara. Dalam Keputusan
Menteri Kehutanan No. 511/MenhutV/2011 tentang Penetapan Peta Daerah Aliran
Sungai disebutkan bahwa jumlah DAS di Indonesia meliputi 17.088 DAS dengan
ukuran luas sangat beragam mulai kurang dari 100 Ha hingga lebih dari empat juta
hektar.Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2009 –2014
ditetapkan DAS yang berada dalam kondisi kritis dan memerlukanprioritas
penanganan mencakup 108 DAS (Keputusan Menteri KehutananNo. SK.
328/Menhut-II/2009).

4
Sebuah DAS ditandai dengan adanya sungai utama yang langsung bermuara
ke danau atau ke laut. Ke dalam sungai utama sungai tersebut bermuara anak sungai
yang airnya berasal dari tangkapan air hujan dari wilayah yang dibatasi pembatas
topografi menuju ke anak sungai tersebut. Batas wilayah hingga ke pembatas
topografi yang mengalirkan air hujan yang ditangkapnya menuju anak sungai itu
disebut sebagai kawasan Sub DAS.

2.1.1 SUB DAS BAH SUMBU

Sub DAS Bah Sumbu terletak di kawasan DAS Padang. Sub DAS Bah
Sumbu mencakup tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Tebing Tinggi (873,95 Ha),
Kecamatan Sipis-pis (6.939,02 Ha), dan Kecamatan Raya Kahean (3.195,47 Ha)
(BPDAS Wampu, 2010).

Gambar 2. Peta Sub DAS Bah Sumbu

Pada daerah Sub DAS Bah Sumbu terdapat beberapa penggunaan lahan,
antara lain digunakan untuk pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran,
perkebunan, permukiman, sawah, semak/belukar, dan tanah terbuka. Adapun luas
penutupan dan penggunaan lahan di Sub DAS Bah Sumbu disajikan pada tabel
berikut :

Tabel 1.1 Luas Penutupan dan Penggunaan Lahan

5
No. Penggunaan Lahan Luas Penutupan
(Ha)
1 Pertanian Lahan Kering 744,65
2 Pertanian Lahan Kering Campuran 7.960,85
3 Perkebunan 1.620,86
4 Permukiman 180,96
5 Sawah 7,79
6 Semak/Belukar 434,25
7 Tanah Terbuka 60,21
Total 11.009,56

2.2 TANAH UTISOL

Ultisol adalah jenis tanah yang umum pada iklim tropis, secara pedogenesis
sudah matang (tingkat perkembangan senil). Tanah yang sudah berkembang
mempunyai kedalaman (solum tanah) yang baik untuk diolah (> 90 cm). Kelemahan
tanah berkembang (tingkat senil) seperti ultisol adalah kemasaman yang tinggi karena
basa-basa pendukung kesuburan tanah seperti Ca, K, dan Mg sudah tercuci (leached)
selama perkembangan ultisol atau terpakai oleh tanaman yang tumbuh diatasnya.
Tanah ini selalu dijumpai dengan pH < 5.5. Komposisi fraksi utama liat yang tinggi
sehingga dapat mengurangi daya resap air dan tanah cepat padu (padat) sehingga akar
sulit berkembang untuk mendapatkan oksigen dan elemen hara (Bintang, dkk, 2012).

Tanah ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi
sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian (potensial), asalkan dilakukan
pengelolaan yang memperhatikan kendala yang ada pada tanah ultisol sehingga dapat
menjadi yang siap dimanfaatkan untuk budidaya tanaman apabila iklimnya
mendukung. Tanah ultisol memiliki tingkat kemasaman sekitar 5,5 (Walhi, 2008).
Tanah adalah hasil pelapukan batuan induk yang tidak sederhana. Tanah
adalah produk kombinasi dari berbagai faktor fisik yang dikendalikan iklim dan
vegetasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah melalui berbagai macam
perlakuan yang diberikan kepada tanah. Ditinjau dari sifat fisiknya, tanah adalah
benda alami yang bersifat kompleks, heterogen, tersusun dari tiga fase yaitu fase
padat (butir-butir bahan anorganik dan lapukan bahan organik), fase gas (udara), dan
fase cair (air tanah). Bagian padat terdiri dari bahan anorganik dan bahan organik.
Bagian gas adalah udara tanah, sedang bagian cair adalah tanah yang mengandung
bahan-bahan terlarut di dalamnya. Top soil merupakan lapisan tanah bagian atas

6
sampai kedalaman 20 cm yang kaya akan bahan organik tanah serta zat-zat mineral
tanah lain yang sangat diperlukan tanaman (Yulipriyanto, 2010).

Tanah ultisol yang terdegradasi ditandai dengan kesuburan rendah dan


keasaman tinggi yang mungkin karena erosi atau pencucian. Petani dalam upaya
untuk mengatasi tantangan ini menggunakan aplikasi pupuk kimia. Pendekatan petani
terhadap penggunaan pupuk kimia telah menjadi ancaman besar untuk status mutu
fisik tanah. Kurangnya perhatian yang diberikan kepada status fisik tanah tanpa
mempertimbangkan fakta bahwa baik kimia dan fungsi biologis dari tanah dengan
mengacu produksi tanaman dikendalikan oleh status fisik tanah. Struktur tanah yang
buruk dan keasaman adalah efek jangka panjang dari aplikasi berkelanjutan dari
pupuk kimia (Anikwe dkk, 2015).

Upaya meningkatkan produktivitas ultisol, dapat dilakukan melalui pemberian


kapur, pemupukan, penambahan bahan organik, penanaman tanah adaptif, penerapan
tekhnik budidaya tanaman lorong (atau tumpang sari), terasering, drainase dan
pengolahan tanah yang seminim mungkin. Pengapuran yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi sifat fisik tanah, sifat kimia dan kegiatan jasad renik tanah.
Pengapuran pada ultisol di daerah beriklim humid basah seperti di Indonesia tidak
perlu mencapai pH tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5 sudah dianggap baik
sebab yang terpenting adalah bagaimana meniadakan pengaruh racun dari aluminium
dan penyediaan hara kalsium bagi pertumbuhan tanaman (Hakim dkk, 1986).

Ultisol bersifat lebih lekat dan lebih berat kalau diolah. Kandungan pasir yang
tinggi pada tanah ultisol menyebabkan jumlah pori yang berukuran besar lebih banyak
dibandingkan jumlah pori yang berukuran kecil. Pori yang berukuran kecil berfungsi
untuk menahan air, sedangkan pori yang berukuran besar merangsang pergerakan air
dan udara. Kondisi ini mengakibatkan sebagian besar air hujan yang jatuh di atas
permukaan tanah akan cepat mengalir ke bawah dan tidak sempat ditahan oleh tanah
(Sanchez, 1992).

2.3 LAHAN KRITIS

7
Defenisi lahan kritis atau tanah kritis , adalah :
a) Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai
media pengatur tata air, maupun sebagai pelindung alam lingkungan,
b) Lahan yang tidak sesuai antara kemampuan tanah dan penggunaannya, akibat
kerusakan secara fisik, kimia, dan biologis sehingga membahayakan fungsi
hidrologis, sosial–ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi pemukiman. Hal ini
dapat menimbulkan erosi dan longsor di daerah hulu serta terjadi sedimentasi dan
banjir di daerah hilir( Zain, 1998).

Istilah kritis dapat mengandung berbagai makna. Kritis dapat berkaitan dengan
keadaan biofisik. Kekritisan biofisik dapat menyangkut fungsi produksi, fungsi
lingkungan, fungsi konstruksi, fungsi lain-lain, atau semua fungsi lahan. Keadaan ini
dapat merupakan bawaan alami lahan (misalnya lahan gurun), atau karena kerusakan
oleh laku alami (bencana alam) atau oleh laku orang (salah menggunakan lahan)
(Notohadiprawiro, 2006).

Lahan kritis merupakan suatu lahan yang fungsinya kurang baik sebagai media
produksi untuk menumbuhkan tanaman yang dibudidayakan atau yang tidak
dibudidayakan. Laju kerusakan hutan termasuk perubahan tutupan vegetasi hutan
salah satu indikasi menyebabkan bertambahnya luas lahan kritis baik di dalam
maupun diluar kawasan hutan (Kadir, 2015).

Tabel 1.2 Kriteria Lahan Kritis

Kriteria Keterangan
Tidak Kritis Lahan yang kondisi aktualnya sesuai dengan peruntukannya
atau daya dukung fisik, vegetasi penutupan lahan berupa hutan,
hutan sekunder, perkebunan,pertanian intensif, dan semak
belukar.
Potensial Kritis Lahan dimana kondisi aktualnya sesuai dan/atau tidak sesuai
dengan pola ruang,kondisi topografi landai, dikaki bukit atau
lereng curam, tutupan vegetasi berupakegiatan pertanian yang
intensif, semi intensif, tanah terbuka, dan pemukiman.
Agak Kritis Lahan aktual tidak sesuai peruntukannya, kelerengan agak
miring sampai berbukit, didominasi vegetasi tanaman pertanian
intensif, semak belukar.
Kritis lahan yang kondisi aktualnya tidak sesuai dengan
peruntukannya, kelerengan berbukit sampai curam, vegetasi
penutupan lahan kurang dari 50% meliputi perkebunan,
pemukiman, dan kebun campuran.

8
Sangat Kritis Lahan yang kondisi aktualnya tidak sesuai dengan
peruntukannya, kelerengan curam sampai sangat curam, tutupan
vegetasi sangat rendah, penggunaan lahan berupa tanaman
pertanian intensif, semi intensif, kebun campuran, semak
belukar, tanah terbuka.

2.4 PARAMETER KIMIA TANAH YANG AKAN DITELITI

2.4.1 DERAJAT KEASAMAN (pH)

Reaksi tanah yang penting adalah masam, netral atau alkalin. Hal tersebut
didasarkan pada jumlah ion H+ dan OH- dalam larutan tanah. Reaksi tanah yang
menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah dinilai berdasarkan konsentrasi
H+ dan dinyatakan dengan nilai pH. Bila dalam tanah ditemukan ion H+ lebih banyak
dari OH-, maka disebut masam (pH <7). Bila ion H+ sama dengan ion OH- maka
disebut netral (pH=7), dan bila ion OH- lebihbanyak dari pada ion H+ maka disebut
alkalin atau basa (pH >7) (Hakim et al,1986).

pH tanah merupakan suatu ukuran intensitas kemasaman, bukan ukuran total


asam yang ada di tanah tersebut. Pada tanah-tanah tertentu, seperti tanah liat berat,
gambut, yang mampu menahan perubahan pH atau kemasaman yang lebih besar
disbanding tanah yang berpasir (Mukhlis, 2014).

Pengukuran pH tanah dapat memberikan keterangan tentang kebutuhan kapur,


respon tanah terhadap pemupukan, proses kimia yang mungkin berlangsung dalam
proses pembentukan tanah, dan lain-lain (Hardjowigeno, 2003).

2.4.2 C-ORGANIK

Organik tanah adalah semua bahan organik didalam tanah baik yang mati
maupun yang hidup, walaupun organisme hidup (biomassa tanah) hanya
menyumbang kurang dari 5 % dari total bahan organic. Pada terminology tertentu,
biomassa tidak dimasukkan sebagai bahan organic tanah, dan beberapa penulis
menggunakan istilah humus dan bahan organic secara sinonim; sehingga sering
menimbulkan kerancuan. Secara praktek, analisis bahan organic dilakukan pada
bahan tanah kering udara yang lolos dari ayakan 2 mm dan termasuk semua materi
hidup maupun mati yang ada di dalam tanah (Mukhlis, 2014).

9
Secara umum karbon dari bahan organik tanah terdiri dari 10-20%
karbohidrat, terutama berasal dari biomasa mikroorganisme, 20% senyawa
mengandung nitrogen seperti asam amino dan gula aminom 10-20% asam alifatik,
alkane, dan sisanya merupakan karbon aromatik. Karena fungsinya yang sangat
penting, maka tidak mengherankan jika dikatakan bahwa faktor terpenting yang
mempengaruhi produktifitas baik tanah yang dibudidayakan maupun tanah yang tidak
dibudidayakan adalah jumlah dan kedalaman bahan organik tanah (Paul and Clark
1989).

Penambahan bahan organik dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia
dan biologi tanah seperti meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang dapat
melepaskan asam organik yang tersedia dalam tanah, meningkatkan total ruang pori
tanah, menurunkan kepadatan tanah yang dapat menyebabkan kemampuan mengikat
air dalam tanah tinggi. Bahan organik juga dapat menyumbangkan unsur hara N, P, K,
Ca, Mg serta mengurangi fiksasi fosfat oleh Al dan Fe dalam tanah (Sutanto, 2002).

2.4.3 TEKSTUR TANAH

Tekstur tanah adalah perbandingan relatif butir-butir fraksi utama di dalam


tanah. Penamaan tekstur tanah berdasarkan kelas tekstur secara mudah didasarkan
pada perbandingan massa dari ketiga fraksi yakni fraksi pasir, debu dan liat. Tanah
dengan perbandingan pasir, debu, dan liat yang berbeda ditetapkan ke dalam kelas
yang berbeda berdasarkan segitiga tekstur USDA (Lubis, 2015).

Winarso (2005) menyatakan tekstur mempunyai arti kualitatif dan kuantitatif.


Secara kualitatif, tekstur dapat dirasakan apakah tanah tersebut kasar dan tajam atau
halus dan lembut. Secara kuantitatif, sebutan tekstur menunjukkan distribusi ukuran-
ukuran partikel yang terdapat dalam tanah tersebut. Dengan demikian, tekstur tanah
merupakan suatu ciri tanah yang permanen dan alami yang paling sering
dipergunakan untuk mengelompokkan susunan fisiknya Bahan-bahan padatan tanah
berdasarkan sifat dan ukurannya dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu pasir
(ukuran >2 mm dan bersifat kasar dan tidak lekat), debu (ukuran 0,05 hingga 0,002
mm dan bersifat licin tetapi tidak lekat), an liat (ukuran <0,002 mm dan bersifat licin
dan lekat). Sedangkan bagian tanah yang berukuran <0,001 mm disebut koloid.
Tekstur adalah perbandingan relatif dari pasir, debu, dan liat di dalam tanah.

10
Selanjutnya perbandingan antara fraksi pasir, debu, dan liat suatu tanah berdasarkan
Departement Pertanian Amerika Serikat (USDA) dikelompokkan menjadi 12 kelas
yang disebut kelas tekstur tanah.

Menurut Hanafiah (2007), tanah yang didominasi pasir akan banyak


mempunyai pori-pori makro (besar) disebut lebih poreus, tanah yang didominasi debu
akan banyak mempunyai pori-pori meso (sedang) agak poreus, sedangkan yang
didominasi liat akan mempunyai pori-pori mikro (kecil) atau tidak poreus.

BAB III

11
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode Survei. Untuk


pengambilan contoh tanah dilakukan secara acak sederhana.

3.2 WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Sub Das Bah Sumbu Desa Gunung
Datas Kecamatan Raya Kahean, Kabupaten Simalungun yang dilakukan pada
bulan Mei 2017 hingga bulan September 2017.

3.3 ALAT DAN BAHAN

No Alat & Bahan Gambar


Alat :
1. Stirer

2. Erlenmayer

3. Kertas Perkamen

12
4. Pipet Ukur 10 ml

5. Pipet Ukur 5 ml

6. Pipet Tetes

7. Sendok

8. Neraca Analitik

9. Ayakan 0,5 mm

13
10 Digital Buret
.

No Alat & Bahan Gambar


Bahan :
1. 0,25 gram Sampel tanah gelap yang telah
dihaluskan(sampel A)

2. 0,5 gram sampel tanah terang yang telah


dihaluskan(sampel B)

3. Larutan Blanko

4. 250 ml Aquades

14
5. 5 ml Kalium Dikromat / K2Cr2O7 1 N

6. Indikator Diphenylamin

7. NaF / Natrium Fluorida

8. Larutan FeSO47H2O

9. Asan fosfat (H3PO4) 85%

10 10 ml Asam Sulfat (H2SO4)


.

15
3.4 PROSEDUR KERJA

No Langkah Kerja Dokumentasi


1. Timbang sampel tanah A sebanyak 0,25
gr, tunggu hingga angka stabil lalu catat
dan masukkan ke dalam erlenmeyer.

2. Timbang sampel tanah B sebanyak 0,5


gr, tunggu hingga angka stabil lalu catat
dan masukkan kedalam erlenmeyer.

3. Tambahkan 5 ml Kalium Dikromat /


K2CR207 kedalam blanko dan masing-
masing sampel.

4. Tambahkan Asam Sulfat / H2SO4


sebanyak 10 ml kedalam blanko dan
masing-masing sampel.

16
5. Goyang erlenmeyer hingga sampel
homogen.

6. Diamkan sekitar 20-30 menit agar


H2SO4 bereaksi dan hingga dingin atau
tidak ada reaksi di dalamnya.

7. Setelah 20-30 menit tambahkan aquades


sebanyak 100 ml ke masing-masing
erlenmeyer menggunakan gelas .

8. Tambahkan NaF / Natrium Fluorida


sebanyak 5 ml menggunakan pipet
digital 5 m.

9. Tambahkan H3PO4 sebanyak 5 ml.

17
10. Tambahkan Diphenylamin sebanyak 15
tetes.

TITRASI

11. Pastikan tidak ada rongga udara atau


tidak ada pipa yang kosong pada pipa
buret.

12. Titrasi masing-masing sampel


menggunakan magnet dengan larutan
FeSO4.

13. Nyalakan stirer, hingga terjadi


perubahan warna menjadi warna hijau.

18
14. Letakkan kertas perkamen di dasar
erlenmeyer. Agar terlihat lebih jelas
perubahan warna yang terjadi.

15 Catat volume FeSO4 yang digunakan


sampai perubahan warna menjadi warna
hijau.

a) Rumus Perhitungan Kadar C-Organik pada sampel tanah :


(Volume titrasi blanko −Volime titrasi sampel ) 0,30
% C −Organik= x NFeSo 4 x
Berat sampel 0,77

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

1. Kondisi Umum Wilayah Penelitian

19
Sub DAS Bah Sumbu terletak di kawasan DAS Padang. Sub DAS Bah Sumbu
mencakup tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Tebing Tinggi (873,95 Ha), Kecamatan
Sipis-pis (6.939,02 Ha), dan Kecamatan Raya Kahean (3.195,47 Ha).Wilayah Sub
DAS Sibarau terdapat berbagai penggunaan lahan yaitu hutan lahan kering sekunder,
pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, perkebunan, permukiman,
sawah, semak/ belukar dan tanah terbuka.

Desa Gunung Datas merupakan salah satu desa pada kecamatan Raya Kahean
yang menjadi lokasi pengambilan sampel tanah yang akan dianalisis tekstur, c-
organik dan pH tanahnya. Desa Gunung Datas memiliki topografi yang bergelombang
dengan beberapa ketinggian dan kemiringan. Vegetasi yang dominan di Desa Gunung
Datas antara lain kelapa sawit, karet, jeruk nipis, dan kebun campuran dengan
vegetasi durian dan kakao (Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Luas dan Penggunaan Lahan


No Penggunaan Lahan Luas Penutupan (Ha)
1 Pertanian Lahan Kering 744,65
2 Pertanian Lahan Kering Campuran 7.960,85
3 Perkebunan 1.620,86
4 Permukiman 180,96
5 Sawah 7,79
6 Semak / belukar 434,25
7 Tanah Terbuka 60,21
Total 11.009,56

2. pH Tanah

Analisis pH tanah dilakukan terhadap 36 sampel tanah dari tiap – tiap vegetasi
setelah tanah dikering udarakan.Hasil analisis pH tanah dapat dilihat pada Tabel 2.2 di
bawah ini.

Tabel 2.2 Hasil Analisis Tanah Pada Beberapa Vegetasi


Vegetasi Kemiringan Ketinggian Ph* Kriteria**

20
(mdpl)
Durian, Kakao 40 189 4,17 Sangat Masam
Durian, Kakao 40 189 4,3 Sangat Masam
Durian, Kakao 40 193 4,51 Masam
Durian, Kakao 40 193 4,23 Sangat Masam
Durian, Kakao 40 199 4,37 Sangat Masam
Durian, Kakao 40 199 4,36 Sangat Masam
Jeruk Nipis 00 150 4,81 Masam
Jeruk Nipis 00 150 4,88 Masam
Jeruk Nipis 00 155 4,29 Sangat Masam
Jeruk Nipis 00 155 4,31 Sangat Masam
Jeruk Nipis 00 149 4,9 Masam
Jeruk Nipis 00 149 4,64 Masam
Karet 210 158 5,12 Masam
Karet 210 158 4,36 Sangat Masam
Karet 210 154 4,14 Sangat Masam
Karet 210 154 4,17 Sangat Masam
Karet 210 158 4,18 Sangat Masam
Karet 210 158 3,85 Sangat Masam
Karet 60 139 3,73 Sangat Masam
Karet 60 139 3,77 Sangat Masam
Karet 60 160 3,97 Sangat Masam
Karet 60 160 3,96 Sangat Masam
Karet 60 159 4,04 Sangat Masam
Karet 60 159 3,83 Sangat Masam
Sawit 70 157 4,55 Masam
Sawit 70 157 4,32 Sangat Masam
Sawit 70 157 5,17 Masam
Sawit 70 157 5,24 Masam
Sawit 70 169 4,61 Masam
Sawit 70 169 5,38 Masam
Sawit 60 155 5,45 Masam
Sawit 60 155 5,82 Agak Masam

21
Sawit 60 155 4,69 Masam
Sawit 60 155 4,37 Sangat Masam
Sawit 60 157 4,48 Sangat Masam
Sawit 60 157 4,46 Sangat Masam
Keterangan: *) Analisis di Laboratorium Kimia dan Kesuburan tanah
**)Berdasarkan Kriteria Tanah Menurut Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPP Medan (1982)

Berdasarkan Tabel 2.2 diatas dilihat bahwa lahan dengan vegetasi durian dan
kakao pada kebun campuran memiliki kriteria kemasaman tanah sangat masam. Hal
ini dapat dilihat dari pH sampel tanah tersebut yang memiliki nilai pH tanah sekitar
4,31. Pada tanah dengan kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di kebun campuran
memiliki pH tanah yang cenderung sangat masam. Hal ini bisa terjadi karena tanah
pada lahan tersebut merupakan tanah Ultisol yang cenerung memiliki kemasaman
yang tinggi. Hal ini sesuai dengan literatur Bintang et al. (2012) yang menyatakan
bahwa kelemahan tanah berkembang seperti Ultisol adalah kemasaman yang tinggi
karena basa-basa pendukung kesuburan tanah seperti Ca, K, dan Mg sudah tercuci
(leached) selama perkembangan ultisol atau terpakai oleh tanaman yang tumbuh di
atasnya.

Pada lahan dengan vegetasi jeruk nipis, pH tanah cenderung dalam kriteria
masam. pH tanah pada lahan tersebut berkisar antara 4,29 sampai 4,9. Pada
kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm pada titik pengambilan yang sama cenderung
memiliki kriteria kemasaman yang sama. Kemasaman pada lahan ini dapat terjadi
sebagai akibat dari erosi atau pencucian, yang merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan rendahnya kesuburan tanah ataupun kemasaman tanah pada tanah
Ultisol. Hal ini sesuai dengan literatur Anikwe et al (2015) yang menyatakan bahwa
tanah Ultisol yang terdegradasi ditandai dengan kesuburan yang rendah dan keasaman
yang tinggi yang mungkin karena erosi atau pencucian.
Kemasaman tanah pada lahan dengan vegetasi Karet termasuk dalam
kriteriasangat masam. Dari sampel yang diambil pada kemiringan 21⁰, dapat dilihat
bahwa pH tanah cenderung termasuk kriteria sangat masam, hanya terdapat satu
sampel yang memiliki kriteria masam, yaitu tanaman Karet 1 dengan kedalaman 0-10
cm. pH tanah pada lahan karet dengan kemiringan 21⁰ berkisar antara 3,85 sampai
5,12. Sedangkan pada lahan dengan kemiringan 6⁰, lahan tersebut termasuk dalam

22
lahan dengan kriteria kemasaman sangat masam. Setiap sampel yang diambil pada
kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di semua titik memiliki kriteria kemasaman sangat
masam. pH tanah pada lahan tersebut berkisar antara 3,83 sampai dengan 4,04.

Lahan dengan vegetasi kelapa sawit memiliki kriteria kemasaman yang


berbeda pada kemiringan yang berbeda. Pada lahan dengan kemiringan 7⁰, lahan
termasuk dalam kriteria masam. pH tanah pada lahan tersebut berkisar antara 4,32
sampai 5,38. Sedangkan pada lahan dengan kemiringan 6⁰ pH tanah berkisar antara
4,47 hingga 5,82.

3. Kadar C-Organik

Kadar C organik tanah pada lahan kritis dianalisis setelah tanah dikering
udarakan. Dari kandungan C organik tanah dapat diketahui kandungan bahan organik
pada tanah tersebut.Kadar C organik tanah pada lahan agak kritis dapat dilihat pada
Tabel 2.3.

Berdasarkan Tabel 2.3 dapat dilihat bahwa lahan dengan vegetasi kakao dan
durian(kebun campuran) memiliki kandungan bahan organik yang rendah. Hal ini
dapat dilihat dari kandungan bahan organik tanah yang hanya berkisar antara 1,46%–
1,89%. Antara tanah pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm tidak memiliki
perbedaan kandungan bahan organik yang signifikan. Kandungan bahan organik pada
kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm relatif memiliki kriteria sama.

Pada lahan jeruk nipis juga memiliki kandungan bahan organik yang rendah.
Kandungan bahan organik tanah yang berkisar antara 1,15% – 1,97%. Kandungan
bahan organik pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm relatif memiliki kriteria sama.
Kandungan bahan organik pada lahan karet termasuk dalam kriteria rendah. Pada
kemiringan 21⁰ dan 6⁰ tidak menunjukkan perbedaan kandungan bahan 21⁰
kandungan bahan organik tanah berkisar antara 1,10% sampai 2,02%, sedangkan pada
kemiringan 6⁰ kandungan bahan organik berkisar antara 1,06% sampai 1,82 %.

Pada kebun kelapa sawit dengan kemiringan 7⁰, kandungan bahan organik
cenderung rendah meskipun satu sampel termasuk dalam kriteria sangat rendah.
Sampel sawit dengan kedalaman 10-20 cm memiliki kandungan bahan organik yang sangat
rendah, yaitu 0,77 %. Sedangkan pada pada kebun kelapa sawit dengan kemiringan 60

23
, kandungan bahan organik cenderung rendah meskipun satu sampel termasuk dalam
kriteria sangat rendah. Sampel sawit pada kedalaman 10-20 cm memiliki kandungan
bahan organik yang sangat rendah, yaitu 0,85 %.

Tabel 2.3. Hasil Analisis C-Organik Tanah pada Beberapa Vegetasi


Vegetasi Kemiringan Ketinggian C-Organik* Kriteria**
(mdpl)
Durian, Kakao 40 189 1,68 % Rendah
Durian, Kakao 40 189 1,73 % Rendah
Durian, Kakao 40 193 1,89 % Rendah
Durian, Kakao 40 193 1,64 % Rendah
Durian, Kakao 40 199 1,46 % Rendah
Durian, Kakao 40 199 1,66 % Rendah
Jeruk Nipis 00 150 1,44 % Rendah
Jeruk Nipis 00 150 1,37 % Rendah
Jeruk Nipis 00 155 1,97 % Rendah
Jeruk Nipis 00 155 1,15 % Rendah
Jeruk Nipis 00 149 1,32 % Rendah
Jeruk Nipis 00 149 1,66 % Rendah
Karet 210 158 1,1 % Rendah
Karet 210 158 1,62 % Rendah
Karet 210 154 2,02 % Sedang
Karet 210 154 1,79 % Rendah
Karet 210 158 1,97 % Rendah
Karet 210 158 1,7 % Rendah
Karet 60 139 1,82 % Rendah
Karet 60 139 1,64 % Rendah
Karet 60 160 1,06 % Rendah
Karet 60 160 1,39 % Rendah
Karet 60 159 1,33 % Rendah
Karet 60 159 1,68 % Rendah
Sawit 70 157 1,46 % Rendah
Sawit 70 157 1,04 % Rendah

24
Sawit 70 157 1,44 % Rendah
Sawit 70 157 1,61 % Rendah
Sawit 70 169 1,06 % Rendah
Sawit 70 169 0,77 % Sangat Rendah
Sawit 60 155 1,03 % Rendah
Sawit 60 155 1,44 % Rendah
Sawit 60 155 1,35 % Rendah
Sawit 60 155 0,85 % Sangat Rendah
Sawit 60 157 1,46 % Rendah
Sawit 60 157 1,17 % Rendah
Keterangan: *) Analisis di Socfindo Seed Production and Laboratory
**)Berdasarkan Kriteria C-Organik

4. Tekstur Tanah

Tekstur tanah pada lahan kritis dianalisis setelah tanah di kering


udarakan.Tekstur tanah pada lahan kritis dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini :

Tabel 2.4. Hasil Analisis Tekstur Tanah


Fraksi
Vegetasi Kedalaman Tekstur
% Pasir % Debu % Liat
Kebun Campuran 1 0-10 cm 64.60 10.60 24.80 Lempung Liat Berpasir
10-20 cm 71.60 10.60 17.70 Lempung Berpasir
Kebun Campuran 2 0-10 cm 71.50 7.10 21.40 Lempung Liat Berpasir
10-20 cm 64.60 10.60 24.80 Lempung Liat Berpasir
Kebun Campuran 3 0-10 cm 71.80 10.60 17.70 Lempung Berpasir
10-20 cm 68.10 17.70 14.20 Lempung Berpasir
Jeruk nipis 1 0-10 cm 61.20 21.20 17.60 Lempung Berpasir
10-20 cm 68.30 10.60 21.10 Lempung Liat Berpasir
Jeruk nipis 2 0-10 cm 64.40 17.80 17.80 Lempung Berpasir
10-20 cm 64.90 7.00 28.10 Lempung Liat Berpasir
Jeruk nipis 3 0-10 cm 71.80 17.60 10.60 Lempung Berpasir
10-20 cm 71.70 14.20 14.20 Lempung Berpasir
Karet 1 0-10 cm 75.50 10.50 14.00 Lempung Berpasir
10-20 cm 50.40 21.20 28.30 Lempung Liat Berpasir
Karet 2 0-10 cm 64.30 14.30 21.40 Lempung Liat Berpasir
10-20 cm 60.90 17.80 21.30 Lempung Liat Berpasir
Karet 3 0-10 cm 67.90 14.30 17.80 Lempung Berpasir
10-20 cm 71.60 14.20 14.20 Lempung Berpasir
Karet 4 0-10 cm 71.60 17.80 10.70 Lempung Berpasir

25
10-20 cm 50.40 21.20 28.30 Lempung Liat Berpasir
Karet 5 0-10 cm 61.50 17.50 21.00 Lempung Liat Berpasir
10-20 cm 61.20 21.10 17.60 Lempung Berpasir
Karet 6 0-10 cm 64.80 21.10 14.10 Lempung Berpasir
10-20 cm 46.80 24.80 28.40 Lempung Liat Berpasir
Sawit 1 0-10 cm 71.80 7.10 21.20 Lempung Liat Berpasir
10-20 cm 72.00 14.00 14.00 Lempung Berpasir
Sawit 2 0-10 cm 75.30 7.10 17.60 Lempung Berpasir
10-20 cm 46.90 17.70 35.40 Liat Berpasir
Sawit 3 0-10 cm 68.50 3.50 28.00 Lempung Liat Berpasir
10-20 cm 65.20 13.90 20.90 Lempung Liat Berpasir
Sawit 4 0-10 cm 61.50 17.50 21.00 Lempung Liat Berpasir
10-20 cm 54.10 31.70 14.10 Lempung Berpasir
Sawit 5 0-10 cm 71.80 10.60 17.60 Lempung Berpasir
10-20 cm 72.10 14.00 14.00 Lempung Berpasir
Sawit 6 0-10 cm 64.70 10.60 24.70 Lempung Liat Berpasir
10-20 cm 71.90 14.00 14.00 Lempung Berpasir
*) Menurut Segitiga USDA

4.2 PEMBAHASAN

Dari 36 sampel tanah yang dianalisis, 52,78% sampel memiliki tekstur tanah
lempung berpasir, 44,44% sampel memiliki tekstur tanah lempung liat berpasir dan
sisanya meiliki tekstur liat berpasir. Kandungan pasir yang tinggi pada lahan tersebut
menyebabkan kapasitas tanah untuk mengikat air menjadi rendah, ruang antar partikel
ini dikatakan longgar shingga air cepat diteruskan. Hal ini sesuai dengan literatur
Sutedjo dan Kartasapoetra (2002) yang menyatakan partikel pasir berbentuk bulat dan
tidak beratur dan jika tidak diliputi oleh liat ataupun debu maka keadaannya akan
mudah dipencarkan. Kapasitas mengikat airnya rendah, ruang-ruang antar letak
partikel-partikel ini dikatakan longgar sehingga kemampuannya dalam meneruskan
air adalah demikian cepat.

Dari hasil tabel 2.2 dapat dilihat bahwa pH tanah termasuk dominan dalam
kriteria masam dan sangat masam. Hal ini disebabkan oleh kawasan daerah
merupakan wilayah lahan kritis yang menyebabkan lahan tersebut memiliki sifat
kimia tanah yang kurang baik. Salah satu yang menyebakan lahan menjadi degradasi
ialah erosi. Hal ini sesuai dengan literatur Kurnia dkk (1997) yang menyatakan erosi
menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas yang relatif lebih subur dibandingkan
dengan lapisan tanah di bawahnya. Kandungan bahan organik dan unsur-unsur hara di

26
dalam tanah lapisan atas umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan tanah lapisan
bawah. Apabila terjadi hujan, tanah akan kehilangan bahan organik dan unsur-unsur
hara tanah yang cukup besar bersama- sama dengan tanah yang tererosi dan terangkut
aliran permukaan. Kehilangan hara dan bahan organik tanah yang cukup besar
umumnya terjadi pada areal hutan yang baru dibuka untuk penggunaan lain, seperti
perkebunan, pemukiman dan transmigrasi, serta dari lahan pertanian garapan petani.

Berdasarkan hasil analisis tanah pada ketiga tabel di atas dapat dinyatakan
bahwa lahan wilayah tersebut tergolong lahan kritis dengan amatan parameter sifat
fisika dan kimia tanah yang menunjukkan data bahwa sifat fisika dan kimia tanah di
wilayah tersebut tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan literatur Zain (1998) yang
menyatakan bahwa lahan kritis adalah lahan yang tidak sesuai antara kemampuan
tanah dan penggunaannya, akibat kerusakan secara fisik, kimia, dan biologis sehingga
membahayakan fungsi hidrologis, sosial–ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi
pemukiman. Hal ini dapat menimbulkan erosi dan longsor di daerah hulu serta terjadi
sedimentasi dan banjir di daerah hilir.

Rendahnya kandungan bahan organik pada setiap vegetasi yang ada di


kawasan Desa Gunung Datas menyebabkan kemasaman tanah yang rendah juga.
Penambahan bahan organik pada tanah mampu meningkatkan ph tanah meskipun
peningkatannya masih dalam katagori masam. Hal ini sesuai dengan literatur Suntoro
(2003) yang menyatakan bahwa pengaruh pemberian bahan organik dapat
meningkatkan pH tanah meskipun peningkatannya masih dalam kategori
masam.Tingkat kemasaman tanah akibat dari pemberian bahan organik bergantung
pada tingkat kematangan dari bahan organik yang diberikan, batas kadaluarsa dari
bahan organik dan jenis tanahnya. Jika penambahan bahan organik yang masih belum
matang akan penyebabkan lambatnya proses peningkatan pH tanah dikarenakan
bahan organik masihbelum terdekomposisi dengan baik dan masih melepaskan asam-
asam organik.

Dari hasil tabel 2.3 dapat dilihat bahwa kandungan C-Organik di tanah
termasuk dalam kriteria rendah dan sangat rendah. dilihat kadar C-organik terendah
pada Sampel Sawit 3 pada kedalaman 10-20 cm dengan nilai 0.77% dan tertinggi
pada Karet 2 dengan kedalaman 0-10 cm dengan nilai 2,02. Untuk meningkatkan c-
organik tanah yang termasuk dalam kriteria rendah pada setiap lahan dengan vegetasi

27
yang berbeda di kawasan desa Gunung Datas, perlu dilakukan pemberian bahan
organik. Pemberian bahan organik juga dapat memperbaiki sifat kimia dan fisika
tanah lainnya sehigga lahan yang termasuk dalam kriteria lahan agak kritis tersebut
dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Hal ini sesuai dengan literatur Utami
dan Handayani (2003) yang menyatakan bahwa dengan pemberian bahan organik
dapat meningkatkan kandungan C-organik tanah dan juga dengan peningkatan C-
organik tanah juga dapat mempengaruhi sifat tanah menjadi lebih baik secara fisik,
kimia dan biologi. Karbon merupakan sumber makanan mikroorganisme tanah,
sehingga keberadaan C-organik dalam tanah akan memacu kegiatan mikroorganisme
sehingga meningkatkan proses dekomposisi tanah dan juga reaksi-reaksi yang
memerlukan bantuan mikroorganisme, misalnya pelarutan P, dan fiksasi N

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Pada beberapa penggunaan lahan di Desa Gunung Datas kawasan Sub-DAS


Bah Sumbu dapat disimpulkan bahwa:

28
1. Nilai pH tanah termasuk dalam kriteria sangat masam sampai agak masam
dengan rentang pH 3,73 sampai dengan 5,82.
2. Nilai C-organik termasuk dalam kriteria sangat rendah sampai sedang dengan
rentang kandungan c-organik antara 0,77 sampai dengan 2,02.
3. Rata-rata fraksi pasir sebesar 65,48%, fraksi debu sebesar 14,81%, dan fraksi liat
sebesar 19,71% dengan tekstur tanah lempung berpasir.

5.2 SARAN

Berdasarkan pada kesimpulan di atas, kelompok dengan segala keterbatasan


dan kerendahan hati, di akhir penulisan makalah ini, ingin memberikan saran yang
sekiranya dapat berguna bagi semua pihak :
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kajian wilayah lahan kritis di sub
Das Bah Sumbu sehingga permasalahan produksi pertanian dapat diatasi.
2. Perlu penambahan bahan organik untuk memperbaiki sifat kimia dan fisika tanah
di wilayah tersebut sehingga produksi pertanian dapat ditingkatkan

DAFTAR PUSTAKA

Anikwe MAN., Eze JC., and Budialo AN. 2015. Influence of lime and
gypsumapplication on soil properties and yield of cassava (Manihot esculenta
Crantz.) in a degraded Ultisol in Agbani, Enugu Southeastern Nigeria. Soil & Tillage
Research 158, 32-38.

29
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu. 2010. Rencana Pengelolaan DAS
Terpadu DAS Padang. Departemen Kehutanan. Medan.

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu. 2017. Peta Sub Das Bah Sumbu.
Departemen Kehutanan. Medan.

Bintang., Guchi H., dan Simanjuntak G. 2012. Perubahan Sifat Tanah Ultisol
UntukMendukung Perumbuhan Tanaman Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) oleh
Perlakuan Kompos dan Jenis Air Penyiram. Diakses dari http://digilib.unimed.ac.id

Hanafiah KA. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Kurnia U., Nono Sutrisno, dan Iwa Sungkawa. 2010. Membalik Kecendrungan
Degradasi Sumber Daya Lahan dan Air. Badan Litbang Pertanian.Jakarta.

Suntoro. 2003.Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya


Pengelolahannya.Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Sebelas Maret
university Press. Jakarta

Sutedjo MM., dan Kartasapoetra AG 2002. Pengantar Ilmu Tanah. Cetakan Ketiga.
Rineka Cipta. Jakarta

Utami SN., dan Handayani S. 2003. Sifat kimia Entisol pada Pertanian organik. Ilmu
Pertanian ( 2), 63-69.

Zain AS. 1998. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Sertifikasi Hutan Rakyat,
Rineka Cipta, Jakarta..

LAMPIRAN

30
31

Anda mungkin juga menyukai