Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Landasan Teori

Mikroba terdapat hampir disemua tempat. Mulai dari permukaan tanah

sampai pada lapisan atmosfer paling tinggi. Bahkan pada obat-obatan

tradisional yang kita konsumsi juga terdapat mikroorganisme.

Dalam proses pembuatan obat tradisional tidak menutup kemungkinan

terjadinya pencemaran oleh mikroba, sehingga perlu dilakukan

pengujian cemaran mikroba. Sampel dilakukan uji cemaran mikroba,

dalam hal ini bakteri dan kapang/khamir dengan metode uji cemaran

angka lempeng total dan angka kapang/khamir total. Metode kuantitatif

digunakan untuk mengetahui jumlah mikroba yang ada pada suatu

sampel, umumnya dikenal dengan Angka Lempeng Total (ALT). Uji

Angka Lempeng Total (ALT) dan lebih tepatnya ALT aerob mesofil atau

anaerob mesofil menggunakan media padat dengan hasil akhir berupa

koloni yang dapat diamati secara visual berupa angka dalam

koloni(cfu) per ml/g atau koloni/100ml. Cara yang digunakan antara

lain dengan cara tuang, cara tetes dan cara sebar.


Prinsip pengujian Angka Lempeng Total menurut Metode Analisis

Mikrobiologi yaitu pertumbuhan koloni bakteri aerob mesofil setelah

cuplikan diinokulasikan pada media lempeng agar dengan cara tuang

dan diinkubasi pada suhu yang sesuai. Pada pengujan Angka

Lempeng Total digunakan PDF (Pepton Dilution Fluid) sebagai

pengencer sampel dan menggunakan PCA (Plate Count Agar) sebagai

media padatnya

Metode MPN biasanya biasanya dilakukan untuk menghitung

jumlah mikroba di dalam contoh yang bebentuk cair, meskipun dapat

pula digunakan untuk contoh berbentuk padat. MPN (Most Probable

Number) adalah pemeriksaan angka bakteri dengan perkiraan jumlah

terdekat. Pemeriksaan MPN Coliform metode tabung ganda

didasarkan bahwa bakteri golongan coli dapat meragikan laktosa,

membentuk asam atau gas. Untuk itu digunakan metode ini :

a. Uji Duga ((Presumtive Test)


Perbenihan yang diperlukan adalah lactose broth. Uji ini

bertujuan untuk mengetahui adanya bakteri coliform dalam

contoh air serta memperkirakan MPN (Most Probable Number)

dari jasad renik yang ada di dalam sampel air.


b. Uji Penegasan (Confirmatory Test)
Pembenihan yang dipakai adalah B.G.L.B. Adapun yang

diperiksa adalah semua tabung yang positif (keruh + gas) pada


Lactose Broth. Pindahkan dengan jarum ose dari tiap-tiap

tabung yang positif ke B.G.L.B kemudian masukkan ke dalam

incubator 35-37oC selama 1 x 24 jam. Tabung yang

menunjukkan keruh dan gas dianggap positif. Uji Penegasan

bertujuan untuk menunjukkan adanya bakteri coliform dan

bukan bakteri lain dalam sampel air.


c. Uji Lengkap (Complete Test)
Tes ini ditunjukkan untuk menentukan jenis dari coliform

misalnya E. Coli, A.aerogenesis, E. freundii, dan lain-lain

dengan melihat hasil peragian kuman (test biokimia).

Mikrobiologi farmasi terapan adalah ilmu yang mempelajari tentang

peranan serta kehidupan mikroorganisme dalam bidang farmasi atau

juga dapat diartikan sebagai sala satu cabang dari mikrobiologi yang

mempunyai tujuan pengenalan dan identifikasi mikroorganisme yang

menyebabkan kerusakan pada sedian farmasi,makanan, minuman,

kosmetika dan alat kesehatan. (Zaraswati,2004)

Prosedur mikrobiologis untuk pemeriksaan bahan makanan teknik

mikroskopik dan metode pembiakan. Bermacam-macam media selektif

dan diferensial digunakan secara ektensif untuk memudahkan isolasi

dan perhitungan tipe mikroorganisme tertentu. Macam pemeriksaan

yang dilakukan ditentukan oleh tipe produk pangan yang akan


diperiksa dan tujuan pemeriksaan. Misalnya, suatu contih makanan

yang diselidiki untuk menjajaki kemungkinan adanya kontaminasi oleh

Clostrdidium botulinium akan diuji denagn menggunakan penelitian

laboratories yang berbede daripada yang digunakan untuk memeriksa

danya organism coliform. Makin pentingnya peranan salmonella dalam

penyakit asal makanan telah mengharuskan dikembangkannya

metode yang lebih cepat, dapat diandalkan, dan bila diulang akan

memberikan hasil yang sama. Penggunaan teknik anti bodi florenses

merupakan suatu kemungkinan yang menarik. (Harri, 2006).

Kualitas dari mikrobiologi dari sedian koemetik merupakan suatu

masalah yang sangat penting untuk diperhatikan karena sediaan

tersebut daapt memakan waktu yang cukup lama, baik dalam

penyiapan ataupaun dalam peredaran sebelum sampai kepada

konsumen. Pada waktu penyimpanan dan peredaran tersebut

kemungkinan ada terjadi pertumbuhan mikroorganisme tertentu

didalamnya, terutama bila ditunjang dengan pemakaian bahan-bahan

yang terkontaminasi oleh mikroorganiosme dan juga syarat-ayarat

higines dan sanitasi tidak atau kurang diperhatikan(M. Natsir

Djide,2003, hal 195)

Adanya mikroorganisme tertentu dalam sediaan kosmetik tidak

dikendaki karena dapat menyebabkan infeksi kepada konsumen hal ini


disebabkan karena pada umunya semua sediaan kosmetik kontak

langsung dengan kulit konsumen ( Djide,2003,).

Kebanyakan bahan makanan merupakan media yang baik

pertumbuham banyak mcam mikroorganisme. Pada keadaan fisk yang

menguntungkan terutama pada kisaran suhu 7o sampai 50o C

organisme akan tumbuh dan menyebabkan terjadinya perubahan

dalam hal penampilan ,rasa, bau, serta sifat-sifat lain pada bahan

makanan (Ratana Sri hadioetomo, 1998).

Suatu mikroorganisme yang bersifat pathogen berarti dapat

mnimbulkan penyakit, maka untuk mengatasinnya para ahli farmasi

atau apoteker harus berusaha untuk memperoleh sediaan atau obat

yang dapat mengendalikan mikroorganisme penyeabab oenyakit

tersebut, seperti obat-obat anti mikroba (misalnya : antibotika,

antiseptika, desinfektansia dan zat-zat yang bersifat sebagai

preservative). Dalam hal ini dibutuhkan sediaan farmasi atau obat bagi

konsumen yang memperlukan control kualitas yang cukup ketat serta

kuantitas mikroorganisme yang memenuhi syarat. Bila hal ini tidak

diperhatikan akan menyebabkan hal-hal yang tidak diingikan seperti

yang disebutkab tadi dan menyebabkan bahay bagi konsumen

lainnya. Demikian pula hanya dengan alat-alat kesehatan yang

berhubungan langsung dengan bagian tubuh manusia perlu dilakukan


control kualitas terutama yang berhubungan dengan sterilitasnya.

Rungan-ruangn khusus seretti ruang bedah, ruang gawat darurat perlu

mendapatkan perhatian dan pengontrolan yang ketat demikian pula

halnya sarana-sarana lainnya yang dirumah sakit seperi pakaian-

pakaian bedah seryta alat bedah dan lain-lain mendapat khusus pula

agar terhindar dari ancaman mikmroorganisme tersebut. (Djide, 2003)

Bahan bahan yang peka terhadap serangan mikroorganisme

adalah : (Sylvia.2008)

Polimer organik

Polimer organic biasa digunakan sebagai zat pengental atau

pensuspensi. Adanya enzim menyebabkan depolimerisasi. Contoh

polimer organic adalah : amylase, pektinase, dan protease.

Minyak dan lemak

Serangan mikroorganisme terjadi apabila terdapat kandungan air

walaupun hanya satu tetes, dan terjadi proses lipolitik, seperti yang

terjadi pada gliserol dan asam lemak yang mengalami oksidasi

sehingga menyebabkan timbulnya bau.

Kebanyakan sediaan farmasi yang digunakan pada kulit, untuk

membantu kerja lokal dan yang semacam itu, diformula untuk


melengkapi kerja lokal yang diperpanjang dengan absorpsi yang

paling sedikit. Obat-obat yang dipakai pada kulit, untuk kerja lokal,

termasuk antiseptik, antifungi, antiradang, anestetik lokal, emoliens

kulit dan pelindung yang melawan keadaan yang disebabkan

lingkungan, seperti akibat dari matahari, angin, hama dan zat-zat kimia

yang merangsang. Untuk maksud-maksud ini obat paling umum

diberikan dalam bentuk salepdan sediaan setengah padat seperti krim

dan pasta, sebagai bubuk kering padat, semburan aerosol, atau

sebagai sediaan cair seperti solutio atau lotio (Ansel, 2005).

Standar plate Count (Angka Lempeng Total) adalah menentukan

jumlah bakteri dalam suatu sampel. Dalam test tersebut diketehui

perkembangan banyaknya bakteri dengan mengatur sampel, di mana

total bakteri tergantung atas formasi bakteri di dalam media tempat

tumbuhnya dan masing-masing bakteri yang dihasilkan akan

membentuk koloni yang tunggal (Djide, 2003).

Pada tahun-tahun terakhir ini sediaan kosmetik oleh para industri

dibuat secara besar-besaran. Dengan demikian sediaan dapat

memakan waktu yang cukup lama baik dalam penyimpanan maupun

dalam peredarannya. Sehingga dengan demikian akan memberi

kemungkinan timbulnya beberapa mikroba di dalamnya. Adanya

mikroba tersebut dalam kosmetik tidak dikehendaki, karena dapat


menyebabkan terjadi perubahan-perubahan karakter organoleptis,

atau terjadi perubahan bahan. Selain itu juga dari jenis mikroba

patogen dapat menyebabkan penyakit infeksi pada konsumen. Apabila

ditinjau dari pengaruhnya terhadap sediaan stabilitas kosmetik, maka

kontaminasi mikrobiologis dapat menurunkan kualitas sediaan

kosmetik tersebut. Atau terjadi perubahan rasa, warna, bau spesifik,

bercak-bercak miselium, kekeruhan warna, perubahan pH, dan lain-

lain (Djide.2003)

B. Tujuan Praktikum

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Corned Beef atau Kornet, adalah salah satu jenis produk olahan

daging sapi yang banyak digunakan dalam resep masakan Indonesia.

Kornet daging sapi diolah dengan cara diawetkan dalam air garam
(brine), yaitu air yang dicampur dengan larutan garam jenuh.

Kemudian dimasak dengan cara simmering, yaitu direbus dengan api

kecil untuk menghindari hancurnya tekstur daging sapi.

Tujuan pembuatan kornet daging sapi adalah untuk tetap dapat

memperoleh produk daging sapi yang berwarna merah, awet dan

praktis. Dengan diproses menjadi kornet, masalah penyimpanan

daging sapi segar dapat diatasi. Agar awet, daging sapi segar

memang harus disimpan pada suhu dingin atau suhu beku, akibatnya

menjadi tidak praktis apabila akan digunakan. Sedangkan daging sapi

segar yang telah diproses menjadi kornet kemudian dikalengkan,

dapat disimpan pada suhu kamar sekitar dua tahun.Daging kornet

dapat dihidangkan sebagai campuran perkedel, telur dadar, mi rebus,

pengisi roti, serta makanan lain.

Corned beef atau daging kornet semakin menjadi pilihan bagi banyak

orang. Produk olahan daging ini juga cepat dan mudah diolah. Meski

nilai gizinya cukup baik, perlu kecermatan dalam memilih, supaya

jangan mengonsumsi makanan yang sudah rusak.

Salah satu kelemahan daging segar adalah daya simpannya yang

rendah pada suhu kamar, sehingga harus disimpan pada suhu dingin

atau suhu beku. Kelemahan lainnya adalah tidak praktis dalam


penggunaannya, terutama bagi mereka yang selalu sibuk dengan

kegiatan di luar rumah. Untuk itu diperlukan kehadiran produk olahan

daging yang bisa diolah menjadi berbagai hidangan hanya dalam

waktu singkat.

Bahan Baku Pembuatan Kornet Sapi

Bahan baku/dasar pembuatan kornet adalah daging sapi yang digiling.

Daging tersebut kaya protein yang mempunyai kemampuan untuk

mengikat air dan membentuk emulsi yang baik. Bahan tambahan yang

diperlukan adalah garam dapur, nitrit, alkali fosfat, bahan pengisi, air,

lemak, gula, dan bumbu.

Garam dapur (NaCI) merupakan bahan penolong dalam proses

pembentukan emulsi daging kornet. Garam mampu memperbaiki sifat-

sifat fungsional produk daging dengan cara mengekstrak protein

miofibriler dari serabut daging selama proses penggilingan dan

pelunakan daging. Garam berinteraksi dengan protein daging selama

pemanasan, sehingga protein membentuk massa yang kuat, dapat

menahan air, dan membentuk tekstur yang baik.

Selain itu, garam memberi cita rasa asin pada produk, serta bersama-

sama senyawa fosfat, berperan dalam meningkatkan daya menahan

air dan meningkatkan kelarutan protein serabut daging. Garam juga


bersifat bakteriostatik dan bakteriosidal, sehingga mampu

menghambat pertumbuhan bakteri dan mikroba pembusuk lainnya.

Fungsi nitrit adalah menstabilkan warna merah daging, membentuk

flavor yang khas, menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan

beracun, serta memperlambat terjadinya ketengikan. Jumlah nitrit

yang diizinkan tersisa pada produk akhir adalah 50 ppm (mg/kg).

Kemampuan nitrit dalam mempertahankan warna merah daging

adalah dengan cara bereaksi dengan pigmen mioglobin (pemberi

warna merah daging) membentuk nitrosomioglobin berwarna merah

cerah yang bersifat stabil.

Penambahan senyawa alkali fosfat pada daging akan meningkatkan

daya ikat air dan protein daging dan mengurangi pengerutan kornet

yang dihasilkan. Alkali fosfat akan meningkatkan pH dan

menyebabkan terbukanya ikatan-ikatan antargugus protein daging

yang akan memudahkan pengikatan air. Bersama-sama dengan asam

askorbat, senyawa fosfat dapat menghambat proses ketengikan

oksidatif, dan bisa memperbaiki tekstur. Fosfat dapat meningkatkan

keempukan dan juiciness daging kornet, meningkatkan daya terima

warna, keseragaman dan stabilitas produk, serta melindungi dari

kemungkinan pencokelatan selama penyimpanan.


Air yang ditambahkan ke dalam massa daging berfungsi untuk

membantu melarutkan garam-garam yang ada, sehingga dapat

tersebar dan terserap dengan baik dalam massa produk. Selain itu, air

juga dapat memperbaiki sifat fluiditas emulsi dan meningkatkan tekstur

(kekenyalan) produk akhir.

Penambahan bahan pengisi dan pengikat pada produk daging adalah

untuk meningkatkan stabilitas, daya ikat air, flavor dan karakteristik

irisan produk, serta untuk mengurangi pengerutan selama pemasakan

dan mengurangi biaya formulasi. Bahan pengisi yang dapat

ditambahkan adalah tepung tapioka, terigu, atau susu skim.

Penambahan bahan pengisi pada produk daging harus tidak melebihi

3,5 persen dari produk.

Penambahan lemak pada pembuatan daging kornet berfungsi untuk

membentuk produk yang kompak dan empuk, serta memperbaiki rasa

dan aroma. Bertambahnya kadar air dan lemak di dalam kornet akan

menambah juiciness dan keempukannya. Fungsi utama gula dalam

pembuatan kornet adalah untuk memodifikasi rasa, menurunkan kadar

air, dan sebagai pengawet. Bumbu merupakan bahan aromatik yang

diperoleh dari tumbuhan atau diproduksi secara sintetis. Bumbu

memberikan cita rasa enak yang diinginkan dalam kornet.


Peralatan yang diperlukan antara lain:
1. chopper untuk menggiling daging, sehingga dihasilkan daging

cincang.
2. mixer untuk mencampur adonan, sehingga menjadi homogeny.
3. alat pengukus untuk memasak adonan daging.
4. exhauster untuk menyedot dan menghampakan udara di dalam

kaleng.
5. mesin penutup kaleng untuk menutup kaleng secara hermetis

(kedap udara).
6. retort untuk memanaskan kaleng dan isinya, sehingga tercipta

kondisi yang steril.

Prosedur Cara Pembuatan :

Daging sapi digiling dengan chopper pada suhu rendah sehingga

selama penggilingan, suhu dapat dipertahankan tetap di bawah 16C.

Hal tersebut dilakukan dengan menambahkan es batu atau air dingin.

Hasil gilingan berupa daging cincang yang masih kasar. Setelah

dicincang, daging dimasukkan ke dalam mixer untuk mencampur

daging, bumbu, dan bahan lainnya menjadi adonan yang homogen.

Agar emulsi tetap terjaga stabilitasnya, pencampuran harus dilakukan

pada suhu rendah (10-16C).

Emulsi daging yang telah terbentuk selanjutnya diisikan ke dalam

kaleng yang sebelumnya telah disterilkan dengan panas. Pengisian

dilakukan dengan menyisakan sedikit ruang kosong di dalam kaleng,

disebut head space. Kaleng yang telah diisi, kemudian divakum


(exhausting) dengan cara melewatkannya melalui ban berjalan ke

dalam exhauster box bersuhu 90-95C selama 15 menit. Setelah

keluar dari exhauster box, kaleng dalam keadaan panas langsung

ditutup dengan mesin penutup kaleng.

Setelah ditutup, kaleng beserta isinya disterilisasi dengan cara

memasukkan kaleng ke dalam retort dan dimasak pada suhu 120C

dan tekanan 0,55 kg/cm2, selama 15 menit. Agar daging tidak

mengalami pemanasan yang berlebihan, kaleng yang telah disterilkan

harus segera didinginkan di dalam bak pendingin yang berisi air

selama 20-25 menit. Setelah permukaan kaleng dibersihkan dengan

lap hingga kering, produk siap untuk diberi label dan dikemas.

Nilai Gizi kornet cukup baik

Syarat mutu daging kornet telah ditentukan berdasarkan Standar

Nasional Indonesia (SNI). Namun, dalam praktiknya masih ada produk

yang tidak sesuai dengan standar tersebut. Membaca secara seksama

label pada kemasan produk merupakan hal yang sangat penting untuk

dilakukan.

Komposisi zat gizi kornet dalam kaleng sangat beragam, tergantung

pada jenis daging yang digunakan, mutu bahan baku sebelum diolah,
cara pengolahan, cara dan lama penyimpanan produk serta kondisi

kaleng selama penyimpanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa

daging kornet dalam kaleng mempunyai nilai gizi yang cukup baik,

khususnya protein, vitamin, dan mineral.

Ciri-ciri kerusakan kornet

Daging kornet yang ada di pasaran umumnya dikemas dengan kaleng.

Kaleng mempunyai sifat yang baik sebagai pengemas karena mampu

menahan gas, uap air, jasad renik, debu, dan kotoran. Kaleng juga

memiliki kekuatan mekanik yang tinggi, tahan terhadap perubahan

suhu yang ekstrem, dan toksisitasnya relatif rendah. Umur simpan

daging kornet dalam kaleng dapat mencapai 2 tahun atau lebih,

tergantung proses pengolahan, jenis kaleng, penyimpanan, dan

distribusi.

Kebusukan kornet dalam kaleng dapat disebabkan oleh proses

pembuatan yang tidak benar, kebocoran wadah karena penutupan

yang kurang baik, atau penyimpanan pada suhu yang tidak tepat dan

terlalu lama. Kebusukan tersebut tidak selalu dapat dideteksi dari

penampakan wadah karena tidak selalu diikuti oleh perubahan bentuk

wadah.
Secara umum, ciri-ciri yang dapat digunakan untuk menilai kualitas

kornet dalam kaleng adalah sebagai berikut:

Flat Sour - Apabila produk di dalam kaleng memberikan cita rasa asam

karena adanya aktivitas mikroba tanpa memproduksi gas, kebusukan

tersebut dikenal dengan sebutan flat sour (kaleng tetap datar, tidak

menggembung, tetapi produk menjadi asam). Jenis kebusukan ini

disebabkan oleh aktivitas spora bakteri tahan panas yang tidak

terhancurkan selama proses sterilisasi. Hal tersebut bisa terjadi akibat

sanitasi selama pengolahan yang buruk atau karena proses

pengolahan tidak tepat.

Penggembungan Kaleng (Swells) - Kaleng yang gembung dapat

terjadi akibat terbentuknya gas di dalam wadah karena adanya

pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Adanya gas tersebut

menyebabkan meningkatnya tekanan di dalam kaleng, sehingga

kaleng menjadi gembung pada bagian tutup dan dasar kaleng. Kaleng

yang gembung dapat juga disebabkan oleh penuhnya pengisian

kornet, sehingga tidak cukup adanya ruang kosong di dalam kaleng.

StackBurn - Stack burn terjadi akibat pendinginan yang tidak

sempurna, yaitu kaleng yang belum benar-benar dingin sudah


disimpan. Biasanya produk di dalam kaleng menjadi lunak, berwarna

gelap, dan menjadi tidak dapat dikonsumsi lagi.

Kaleng yang penyok - Kaleng yang penyok dapat mengakibatkan

terjadinya lubang-lubang kecil yang merupakan sumber masuknya

mikroba pembusuk. Penyoknya kaleng dapat disebabkan oleh

benturan-benturan mekanis akibat perlakukan kasar, baik selama

proses pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, atau pemasaran.

Sebagai konsumen yang kritis, sebaiknya Anda tetap waspada dengan

tidak memilih sotiap produk yang kalengnya dalam keadaan tidak

normal.

Kaleng yang bocor - Bocornya kaleng disebabkan deh sambungan

kaleng yang kurang rapat, penyolderan kurang sempurna, atau

tertusuk oleh benda tajam. Kaleng yang bocor ditandai dengan

tumbuhnya mikroba dan timbulnya bau kurang sedap. Kaleng oval

umumnya lebih jarang mengalami kebocoran daripada yang berbentuk

silinder.

Kaleng yang berkarat - Kaleng yang berkarat dapat mencerminkan

bahwa produk tersebut telah lama diproduksi atau disimpan pada

tempat yang kurang tepat (keadaan lembab).


Produk cornet beff Fray Bentos merupakan produksi dari Amerika

Selatan.

Hasil dari metode hitungan cawan menggunakan suatu standar yang

disebut dengan Standart Plate Counts (SPC). Standar tersebut adalah

cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumllah

koloni antara 30-300, beberapa koloni yang bergabung menjadi satu

merupakan satu kumpulan koloni yang besar yang jumlah koloninya

diragukan dapat dihitung sebagai satu koloni, dan satu deretan rantai

koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dihitung sebagai satu

koloni (Waluyo 2007). Plate count agar (PCA) adalah

mikrobiologi medium pertumbuhan umum digunakan untuk menilai

atau memonitor "total" atau layak pertumbuhan bakteri dari sampel.

PCA adalah bukan media selektif. Komposisi agar-agar pelat

menghitung dapat bervariasi, tetapi biasanya mengandung (b/v) yaitu

0,5% pepton, 0,25% ekstrak ragi, 0,1% glukosa, 1,5% agar-agar, dan

pH disesuaikan (Atlas 2004).

Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa semakin tinggi

tingkat pengenceran maka jumlah koloni bakteri semakin sedikit. Hal

ini dapat dilihat pada pengenceran 10 -5 memiliki jumlah koloni yang

terbanyak dan pengenceran 10 -7 memiliki jumlah koloni paling sedikit

dan tidak memenuhi SPC. Jumlah koloni yang berkurang seiring


dengan peningkatan pengenceran disebabkan karena jumlah bakteri

yang terkandung dalam tiap 0,1 mL volume inokulan yang dipindahkan

semakin berkurang akibat pengenceran yang dilakukan.

Jika didapat jumlah koloni kurang dari 30 maka:

- Kesalahan statistik tinggi.


- Sangat sensitif terhadap kontaminan (jumlah bakteri

kontaminan yang tidak sengaja masuk, besar pengaruhnya

terhadap jumlah akhir koloni per cawan).


- Membutuhkan kerja aseptis yang lebih teliti.

solusi : memperbesar ukuran sampel.

Jika didapat jumlah koloni lebih besar dari 300 maka :

- Dimungkinkan ada sifat antagonisme antar spesies, misalnya

bakteri A menghambat bakteri B dengan mengeluarkan

metabolit tertentu (antibiotik) sehingga bakteri B tidak tumbuh

sedangkan keduanya berada diposisi yang berdekatan.


- Perebutan nutrisi/ kompetisi sangat tinggi yang lama-kelamaan

menimbulkan keterbatasan nutrisi.


- Kemungkinan dua koloni bergabung menjadi satu lebih besar

sehingga mengaburkan jumlah sebenarnya karena dua koloni

yang bergabung tetap dihitung satu koloni.


Memperbesar kemungkinan kesalahan (human error) dalam

menghitung koloni

Solusi : memperkecil ukuran sampel atau diencerkan.

Kisaran 30-300 koloni ini dijadikan titik tumpu dalam menentukan

semua faktor yang mempengaruhi hasil akhir ini, seperti berapa

ukuran sampel yang harus dianalisa dan metode apakah yang cocok

untuk sampel tersebut.

Disarankan sebelum menghitung atau menganalisa yang sebenarnya,

dilakukan perkiraan (analisa pendahuluan) terlebih dahulu dengan

mencoba memplatingnya pada ukuran sampel atau pengenceran yang

berbeda-beda.

Misalnya:

1. Sampel X tidak dapat diperkirakan jumlah densitas selnya,

tetapi sepertinya jumlah ml/cawan adalah lebih dari 300. Perlu

dilakukan pemplatingan awal dahulu supaya diperoleh tingkat

pengenceran yang cocok sehingga menghasilkan 30-300 koloni

per cawan. Contohnya, didapatkan 10 -4 yang menghasilkan

koloni dengan kisaran tersebut, maka selanjutnya dengan

sampel yang sama kita dapat mengulanginya dengan tingkat


pengenceran yang sama (tanpa sampai pengenceran yang

lebih tinggi).
2. Sample X diperkirakan memiliki jumlah mikroba yang sangat

sedikit +/-30 koloni/100ml. Perlu dilakukan penentuan sample

size yang tepat terlebih dahulu supaya dihasilkan 30-300 koloni

per cawan atau paling tidak mendekati. Misal, jika dengan

ukuran sampel:

100 ml dihasilkan 10 koloni,

200 ml dihasilkan 22 koloni,

500 ml dihasilkan 49 koloni,

maka sample size yang paling sesuai adalah 500 ml atau

lebih. Penentuan sample size ini juga dipengaruhi sifat sampel itu

sendiri dan keterbatasan metode yang dipakai. Selanjutnya dengan

sampel yang sama kita dapat menganalisa dengan sample size 500 ml

atau lebih. Yang dimaksud mendekati disini adalah jika misalnya

ditemukan data analisa pendahuluan seperti berikut:

50 ml dihasilkan 0 koloni/cawan,

100 ml dihasilkan 1 koloni/cawan,


200 ml dihasilkan 5 koloni/cawan,

400 ml dihasilkan 11 koloni/cawan,

500 dihasilkan 16 koloni/cawan,

Berbagai metode umum untuk uji enumerasi bakteri yang ditanamkan

dalam cawan petri antara lain:

Plate count dengan teknik penanaman spread plate dan pour

plate.
Membrane filtration

Pemilihan metode yang benar tergantung kepada :

Jenis sampel.
Densitas sel (perkiraan dari analisa pendahuluan).
Spesifikasi standar baku / standar lolos uji.

Telah diuraikan didepan bahwa sebagai patokan sebaiknya didapatkan

30-300 koloni per cawan dengan alasan utama adalah kesalahan

statistik. Kita tidak perlu mengetahui secara dalam mengenai mengapa

harus dalam kisaran itu, atau mengapa tidak 100-500 koloni per

cawan, dan alasan-alasan berbau statistik lainnya. Namun

sebagai microbiologist yang baik, seharusnya mampu memilih metode

yang tepat berdasarkan acuan kisaran itu, karena kisaran 30-300

koloni ini digunakan secara internasional.


Pour Plate : teknik pour plate adalah teknik penanaman dengan cara

mencampurkan sampel yang mengandung sel mikroba dengan media

pertumbuhan (agar) sehingga sel-sel tersebut tersebar merata dan

diam baik di permukaan agar atau di dalam agar. Konsekuensinya

adalah tidak semua jenis mikroorganisme dapat tumbuh di dalam agar

(bersifat mikroaerofilik). Volume yang dipakai pada umumnya adalah

1-2 ml pada cawan dengan diameter 9 cm dan dengan penambahan

media 5-10 ml. Sebaiknya sampel yang dipakai untuk teknik ini

memiliki densitas sel > 30 sel/ml sehingga didapatkan kisaran 30-300

koloni/cawan.

Semakin besar ukuran sampel berarti semakin kecil konsentrasi

komposisi media semakin encer) dengan penambahan media yang

semakin berkurang jika digunakan ukuran cawan yang sama. Selain

itu, semakin besar ukuran sampel dan jika ditambah dengan volume

media yang sama maka pada saat pencampuran (swirl) dapat

beresiko tumpah dan membasahi celah antara tutup dan dasar cawan

petri yang akhirnya mempertinggi kontaminasi karena bakteri

kontaminan yang menempel pada tempat itu dapat tumbuh. Ketiga

alasan inilah yang menjadi keterbatasan metode pour plate.

Hal-hal penting yang harus dipikirkan matang sebelum menganalisa

sampel untuk diketahui jumlah mikroorganismenya adalah:


1. Memperkirakan jumlah mikroorganisme yang ada dalam sampel per

satuan volum.

2. Memilih metode yang cocok sehingga dihasilkan data yang akurat.

3. Mengetahui jenis/golongan mikroorganisme yang akan dihitung,

misalnya bermaksud akan menghitung yeast, bakteri, atau bakteri

genus tertentu saja.

4. Menentukan media pertumbuhan yang cocok.

5. Benar-benar mengetahui perbedaan morfologi koloni antara

bakteri, yeast dan molds.

6. Mencari tahu standar/ batas ambang/ jumlah maksimum aman jika

sample yang dianalisa memerlukan referensi tersebut.


BAB III

METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan bahan


Alat:
Bunsen
Pipet tetes Batang pengaduk
spoit Sendok tanduk
Gelas kimia Cawan porselin
Labu ukur Cawing Petridis
Corong
Magnetic strick
Erlemeyer
Neraca analitik
Autoclack
Inkubasi

Bahan :

- Kapas
- Aquadest
- Media PCA.
- Ikan
B. PRINSIP
Prinsip dari metode hitungan cawan adalah menumbuhkan sel

mikrobia yang masih hidup pada metode agar, sehingga sel mikrobia

tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat

dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan

mikroskop,kemudian dihitung bayaknya koloni yang tumbuh


Metode hitungan cawan dapat dibedakan atas dua cara yaitu :
1. Metode tuang (pour plate)
2. Metode permukaan (surface / spread plate)
Cara menghitung koloni pada cawan adalah sebagai berikut :
1. Cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah

koloni antara 30 sampai 300.


2. Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan suatu

kumpulan koloni yang besar dimana jumlah koloninya diragukan,

dapat dihitung sebagai satu koloni.


3. suatu deretan (rantai) kolini yang terlihat sebagai suatu garis tebal

dihitung sebagai satu koloni.

Sedangkan data yang dilaporkan sebagai SPC harus mengikuti

peraturan sebagai berikut :


1. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka

pertama dibelakang koma dan angkan kedua dibelakang koma. Jika

angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari 5, harus dibulatkan

satu angka lebih tinggi pada angka kedua.


2. Jika semua pengenceran yang dibuat untuk menanam menghasilkan

angka kurang dari 30 pada cawan petri, hanya jumlah koloni pada
pengenceran yang terendah yang dihitung. Hasilnya dilaporkan

sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tapi

jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan.


3. Jika semua pengenceran yang dibuat untuk menanam menghasilkan

angka lebih besar dari 300 pada cawan petri, hanya jumlah koloni

pada pengenceran yang tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan

sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tapi

jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan.


4. Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan

jumlah antara 30 dan 300, dan perbandingan antara hasil tertinggi dan

terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih kecil atau sama

dengan 2, yang digunakan adalaha rata-ratanya. Jika perbandingan

antara hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut

lebih besar dari 2, yang dilaporkan hanya hasil terkecil.


5. Jika digunakan dua cawan Petri (duplo) per pengenceran, data yang

diambil harus dari kedua cawan tersebut, meskipun salah satunya

tidak memenuhi syarat diantara 30 dan300.

C. PROSEDUR KERJA
1. Pembuatan Media PCA
a. Di siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Ditimbang media PCA sebanyak 8,4 gr dengan menggunakan

neraca analitik.
c. Setelah ditimbang dimasukkan ke dalam erlemenyer kemudian

ditambahkan aquadest sebanyak 300 ml kemudian homogenkan

dengan menggunakan magnetic strireng.


d. Kemudian di stelirkan dengan menggunakan autoclave selama 15

menit pada suhu 120 .

e. Dimasukkan masing- masing ke cawang petridisk.


f. Setelah mengeras kemudian di masukkan kedalam kulkas.
2. Metode uji Angka Lempeng Total (ALT) atau SPC (Standard Plate

Count)
a. Dipipet 9 mL larutan pengencer dan dimasukkan ke dalam kuvet 10
mL. Kemudian sterilkan.
b. Dipipet 1 mL ikan yang suda diencerkan dan dimasukkan ke dalam

kuvet yang telah berisi larutan pengencer steril (lakukan di depan

api). Homogenkan dan inilah pengenceran 10-1


c. Setelah itu, dipipet 1 mL larutan dari pengenceran 10-1 dan

dimasukkan ke dalam kuvet lain yang telah berisi larutan

pengencer. Homogenkan dan inilah pengenceran 10-2.


d. Kemudian dipipet 1 mL larutan dari pengenceran 10-2 dan

dimasukkan ke dalam kuvet yang ketiga, yang telah berisi larutan

pengencer steril. Lalu homogenkan dan inilah pengenceran 10-3


e. Setelah itu, dipipet pengenceran 10-2 dan 10-3 masing masing 1

mL dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah disterilkan


f. Lalu, diambil cawan petri (pengenceran 10-2 dan 10-3).Kemudian

dituangkan media PCA pada masing masing cawan. Lakukan di

depan api dan homogenkan.


g. lalu, tabung 4 di masukkan kedalam cawang petri 10-4. Dan pada

tabung 5 dimasukkan ke dalam media PCA 10-5


h. Bungkus cawan dan masukkan ke dalam inkubator dalam keadaan

terbalik. Amati mikroba selam 2 x 24 jam.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. GAMBAR
B. TABEL PENGAMATAN
Hasil perhitungan koloni bakteri pada media

sampel Pengenceran ALT SPC

10-1 10-2 10-3 10-4 10-5


IKAN 1,3 X 105
TB TB TB TB 1,3 X 107
CORNET UD UD UD UD 123

C. PEMBAHASAN
Uji angka lempeng total merupakan metode yang umum digunakan

untuk menghitung adanya bakteri yang terhadap dalam sediaan yang

diperiksa. Uji angka lempeng total dapat dilakukan dengan dua teknik,

yaitu teknik cawan tuang (pour plate) dan teknik sebaran (spread
plate). Pada prinsipnya dilakukan pengenceran terhadap sediaan yang

diperiksa kemudian dilakukan penanaman pada media lempeng agar.

Jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada lempeng agar dihitung

setelah inkubasi pada suhu dan waktu yang sesuai. Perhitungan

dilakukan terhadap petri dengan jumlah koloni bakteri antara 30-300.

Angka lempeng total dinyatakan sebagai jumlah koloni bakteri hasil

perhitungan dikalikan faktor pengencer.

Dalam praktikum ini pertama dilakukan Pembuatan Media PCA yaitu di

siapkan alat dan bahan yang akan digunakan lalu timbang media PCA

sebanyak 8,4 gr dengan menggunakan neraca analitik. Setelah

ditimbang dimasukkan ke dalam erlemenyer kemudian ditambahkan

aquadest sebanyak 300 ml kemudian homogenkan dengan

menggunakan magnetic stirel selanjutnya di stelirkan dengan

menggunakan autoclave selama 15 menit pada suhu 120 dan

dimasukkan masing- masing ke cawang petridisk kemudian setelah

mengeras di masukkan kedalam kulkas. Selanjutnya digunakan

Metode uji Angka Lempeng Total (ALT) atau SPC (Standard Plate

Count) pertama dipipet 9 mL larutan pengencer dan dimasukkan ke

dalam kuvet 10 mL. Kemudian sterilkan selanjutnya dipipet 1 mL

daging cornet dan dimasukkan ke dalam kuvet yang telah berisi

larutan pengencer steril (lakukan di depan api). Homogenkan dan


inilah pengenceran 10-1. Setelah itu, dipipet 1 mL larutan dari

pengenceran 10-1 dan dimasukkan ke dalam kuvet lain yang telah

berisi larutan pengencer. Homogenkan dan inilah pengenceran 10-2.

Kemudian dipipet 1 mL larutan dari pengenceran 10-2 dan dimasukkan

ke dalam kuvet yang ketiga, yang telah berisi larutan pengencer steril.

Lalu homogenkan dan inilah pengenceran 10-3 Setelah itu, dipipet

pengenceran 10-2 dan 10-3 masing masing 1 mL dan dimasukkan

ke dalam cawan petri yang telah disterilkan Lalu, diambil cawan petri

(pengenceran 10-2 dan 10-3). Kemudian dituangkan media PCA pada

masing masing cawan. Lakukan di depan api dan homogenkan dan

tabung 4 di masukkan kedalam cawang petri 10-4. Dan pada tabung 5

dimasukkan ke dalam media PCA 10-5, Bungkus cawan dan

masukkan ke dalam inkubator dalam keadaan terbalik. Amati mikroba

selam 2 x 24 jam.

BAB V
PEN UTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum yang didapatkan dapat ditarik kesimpulan bahwa pada

percobaan daging cornet dengan menggunakan metode ALT didapatkan hasil

adalah SPC 1,3 X 105 dan 1,3 X 107.

LAPORAN PRAKTIKUM BAKTERIOLOGI III


Analisis bakteri pada daging cornet
menggunakan metode ALT
OLEH
NAMA : ZULFAWATI MUSA

NIM : 13 3145 453 040

KELAS : IIA. ANAKES

PROGRAM DIII ANALIS KESEHATAN


STIKes MEGA REZKY MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2013/2014

Anda mungkin juga menyukai