Anda di halaman 1dari 13

PERBEDAAN PERUBAHAN MUTU IKAN YANG

DIDINGINKAN DAN SETELAH DIBEKUKAN

Oleh:

LISKA GINTULANGI

1121418013

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga
saya dapat menyelesaikan laporan ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya
tentunya saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan laporan ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehatnya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan laporan sebagai tugas dari mata kuliah Teknologi
Refrigrasi Hasil Perikanan tentang Perbedaan Perubahan Mutu Ikan Yang
Didinginkan dan Setelah Dibekukan.

Penulis tentu menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk laporan ini, sehingga
laporan ini nantinya dapat menjadi laporan yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada laporan penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Gorontalo, April 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan merupakan pangan yang mudah mengalami kerusakan. Ikan dalam
keadaan massih segar memliki mutu yang baik sehingga nlai jualnya tinggi,
sebaliknya jika ikan kurang segar memilii mutu yang rendah sehingga harganya
rendah (Murniyati dan Sunarman, 2000). Kesegaran pada ikan mempunyai peranan
yang sangat penting dalam menentukan mutu dari produk perikanan (Wiranata et, al.,
2017). Tamuu et al, (2014) menyatakan kesegaran ikan tidak dapat di tingkatkan
melainkan di pertahankan sehingga tingkat kesegaran ikan dapat dipertahankan maka
di perlukan penanganan yang tepat agar ikan bisa sampai ke tangan konsumen atau
pabrik pengolahan dalam keadaan segar. Penanganan yang baik di perlukan untuk
mempertahankan kesegaran ikan salah satunya adalah dengan penerapan rantai dngin
(Panai et al., 2013). Penerapan rantai dingin dapat dilakukan menggunakan es atau
dengan pembekuan. Menurut Pratiwi et al. (2017) pendinginan merupakan salah satu
proses pengawetan yang menghunakan suhu rendah untuk menghambat aktivitas
enzim dan mikroba. Pendinginan akan memperpanjang masa simpan ikan (Sitakar et
al., 2016).

Proses pengawetan ikan merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai
industri perikanan, dimana pengawetan bertujuan mempertahankan kesegaran ikan
selama mungkin dengan cara menghambat penyebab kemunduran mutu. Perubahan
mutu kesegaran dapat berlangsung secara enzimatis, kimia dan bakteriologi dengan
diikuti penurunan organoleptik yang dipengaruhi oleh keadaan temperatur, dimana
semakin tinggi suhu, semakin cepat pula penurunan mutu kesegaran (Afrianto dan
Liviawaty, 1989).
Kemunduran mutu ikan dapat di kelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu tahap
pre-rigormotis, rigormortis dan post-rigormortis (Liviawaty dan Afrianto, 2010).
Murniyati dan Sunarman (2000) menjelaskan bahwa penanganan ikan dilakukan
dalam berbagai cara untuk menghambat kemunduran mutu dengan lima prinsip dasae.
Lima prinsip dasar tersebut adalah penggunaan suhu rendah, penggunaan suhu tinggi,
penurunan kadar air, penyinaran dan penggunaan zat-zat antibacterial.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang di dapat yaitu bagaimana perbedaan
perubahan mutu ikan yang di dinginkan dan setelah di bekukan?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui perbedaan perubahan mutu ikan setelah didinginkan dan
dibekukan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Layang


Ikan laying (Decapterus spp) merupakan salah satu komunitas perikanan
pelagis kecil yang penting di Indonesia. Ikan yang tergolong suku Carangidae ini
bisa hidup bergerombol. Ukurannya sekitar 15 cm meskipun ada pula yang bisa
mencapai 25 cm. Ciri khas yang sering di jumpai pada ikan laying ialah terdapatnya
sirip kecil (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur dan terdapat sisik
berlingin yang tebal (lateral scute) pada bagian garis sisi (lateral line) (Nontji, 2002)
dalam (Adipradana, 2018).
Ikan laying atau bahasa latinnya (Decapterus spp) atau bahasa inggris scads
tergolong ke dalam kelompok ikan-ikan pelagis kecil. Weber & Beaufort (1931)
dalam Genisa (1998) menggolongkan ikan layang sebagai berikut:
Kelas: Pisces
Suku: Carangidae
Bangsa: Percomorphi
Kelas: Pisces
Marga: Decapterus
Jenis: Decapterus spp

Deskripsi ikan layang, badan memanjang, agak gepeng, dua sirip punggung.
Sirip punggung pertama berjari-jari keras 9 (1 meniarap + 8 biasa), sirip punggung
kedua berjari-jari keras 1 dan 30-32 lemah sirip dubur berjari-jari keras 2 (lepas) dan
1 bergabung dengan 22-27 jari sirip lemah. Baik di belakang sirip punggung kedua
dan dubur terdapat 1 jari-jari sirip tambahan (finlet) termasuk pemakan plankton,
diatomae, chaetognatha, copepod, udang-udangan, larva-larva ikan, telur-telur ikan
teri (Stolephorus sp), hidup di perairan lepas pantai, kadar garm tinggi membentuk
gerombolan besar. Dapat mencapai panjang 30 cm, umumnya 20-25 cm. Berwarna
biru kehijauan, hijau pupus bagian atas, putih perak bagian bawah. Sirip-siripnya abu-
abu kekuningan atau kuning pucat. Satu totol hitam terdapat pada tepian atas penutup
insang (Ditjen Perikanan, 1998) (Gambar 1)

2.2 Habitat dan Penyebaran Ikan


Menurut Prihartini (2006), secara ekologis, sebagian besar populassi ikan
pelagis termasuk ikan layang menghuni habitat yang relative sama, yaitu di
permukaan dan membentuk gerombolan di perairan lepas pantai, daeah-daerah pantai
laut dalam, dan perairan yang memiliki kadar garam tinggi serta sering tertangkap
bersama.
Menurut Genisa (1998), penyebaran ikan layang di Indonesia yaitu di wilayah
Laut Jawa, Sulawesi, Selayar, Ambon, Selat Makassar, Selat Bali, Selat Sunda, dan
Selat Madura. Sedangkan penyebaran ikan layang di Indonesia yaitu di wilayah Selat
Bali, Laut Banda, Selat Makassar dan Sangihe.

2.3 Tahap Kemunduran Mutu Ikan


Kemunduran mutu ikan berdasarkan penyebabnya dan di golongkan menjadi
empat kelompok, yaitu kerusakan biologis, enzimatis, fisika dan kimiawi. Kerusakan
biologis disebabkan oleh organism seperti bakteri, kerusakan enzimatis di sebabkan
oleh enzim, kerusakan fisika disebabkan kecerobohan dalam penangan dan kerusakan
kimiawi disebabkan oleh reaksi kimia seperti oksidasi lemak (Murniyati dan
Sunarman, 2000). Peristiwa pembusukan ikan tergantung pada beberapa faktor ,
yaitu jenis ikan, kondisi ikan, tingkat kelelehan, ukuran ikan, cara penanganan ikan
dan temperature penyimpanan.

2.3.1 Pre-rigormortis
Tahap pre-rigormortis merupakan awal proses pembusukan yang ditandai
dengan lepasnya lender dari kelenjar di bawah kulit. Lender terdiri dari glucoprotein
mucin yang sesuai untuk media pertumbuhan bakteri (Aprianti, 2011). Liniawaty dan
Afrianto (2010) menyatakan bahwa pada tahap pre-rigormortis terjadi penururnan
Adenosin Triphosphate (ATP), keratin fosfat dan proses glikolisis.
Pada proses glikolisis terjadi perombakan glikogen menjadi asam laktat.
Perombakan tersebut dapat mempertahankan ketersediaan energy dalam bentuk ATP
sehingga aktomiosin (gabungan aktin dan myosin yang merupakan komponen otot
ikan) dapat dipisah kembali agar daging tetap elastic (Liviawaty dan Afrianto, 2010)

2.3.2 Rigormortis
Rigor artinya kaku dan mortis artinya mati, sehingga tahap rigormortis
merupakan tahapan pembusukan ikan. Tahap rigormortis diawali dengan
mengejangnya tubuh ikan, namun ikan masih masuk kategori segar (Murniyati dan
Sunarman, 2000)
Proses pengejangan biasanya dimulai dari bagian ekor sebab bagian tersebut
paling aktif bergerak sehingga saat ikan mati, sel-sel dibagian ekor mengandung ATP
paling rendah. Pada tahap rigormortis, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari
pH awal 6,9-7,2 dan proses ini diupayakn selama mungkin agar penurunan mutu
tidak berlangsung cepat (Junianto, 2003)

2.3.3 Post-rigormortis
Junianto (2003) mengatakan bahwa pada akhir tahap rigormortis bakteri
pembusuk mulai bekerja, sehingga pH tubuh ikan meningkat. Autolisis, perombakan oleh
bakteri dan oksidasi terjadi pada tahap ini. Autolysis merupakan proses perombakan
substansi tubuh ikan oleh enzim seperti enzim ATP-ase yang merombak ATP menjadi
adenosine diphosphat, adenosine monohosphat, inosin monophospat, inosin dan hipoksantin
(Quang et, al. 2005) dalam (Nafisyah, 2014). Pada tahap tersebut tubuh ikan mengalami
burst belly, yaitu hancurnya dinding perut akibat autolysis. Hasil akhir dari autolysis berupa
amoniak, hydrogen sulfida atau histamine (Liviawaty dan Afianto, 2010).
Perombakan yang dilakukan oleh bakteri menhasilkan indol, H 2S, hipoksantin,
histamin, volatile reducing substance (VRS), total volatile base (TVB) dan trimetil amin
(TMA). Perubahan yang terjadi akibat aktivitas bakteri diantaranya lender menjadi pekat,
amis dan perubahan-perubahan lainnya. Bakteri menyerang organ dalam lebih dahulu dan
kemudian merambat ked aging ikan, oleh sebab itu dilakukan penyiangan dan pemcucian
terelbih dahulu pada penanganan ikan segar (Junianto, 2003). Ketersediaan oksigen berkaitan
dengan reaksi oksidasi lemak. Oksidasi lemak mengakibatkan aroma tengik dan perubahan
warna pada tubuh ikan. Ikan akan Nampak lebih gelap karena perombakan pigmen dalam
darah serta menyebabkan terbentuknya senyawa peroksida dan keton yang mempengaruhi
aroma dan rasa daging ikan.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Adapun pelaksanaan paktikum ini dilaksanakan secara mandiri (Praktikum Mandiri)
pada hari minggu, 11 april 2021. Bertempat di rumah masing-masing denagn waktu yang
telah ditentukan

3.2 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang di gunakan pada praktikum ini yaitu:
NO Alat dan Bahan Fungsi
1 Alat Tulis Menulis Mencatat hasil pengamatan
2 Kamera Dokumentasi
3 Talenan Sebagai wadah untuk membelah ikan
4 Pisau Membelah ikan
5 Wadah Tempat penyimpanan sampel
6 Ikan Objek yang diamati

3.3 Prosedur Kerja


1. Ikan yang dibeli dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 1) ikan yang akan di
awetkan dengan cara pendinginan dalam kulkas bersuhu -2oC sampai +160C,
dan 2) ikan yang akan diawetkan dengan cara pembekuan dalam freezer
bersuhu -20C sampai -240C.
2. Masing-masing kelompok ikan di awetkan selama 3 hari
3. Setelah 3 hari, ikan yang dibekukan di thawing (dilelehkan)
4. Dilakukan pengamatan (secara organoleptik) terhadap karakteristik mutu ikan
yang meliputi mata, bau, tekstur, insang, lender dan kulit.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Adapun hasil yang didapatkan dari pengamatan yang dilakukan terhadap ikan
yang didinginkan dan dibekukan yaitu, Terjadinya perubahan karakteristik mutu
(secara organoleptik) yang berbeda pada ikan layang yang didinginkan dan dibekukan
yang meliputi bau, mata, tekstur, insang, lendir dan kulit.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Karakteristik Mutu Organoleptik Ikan Didinginkan

a. Mata
Mata merupakan salah satu bagian tubuh ikan yang menjadi parameter
kesegaran ikan. Hasil pengamatan yang di dapat yaitu ikan yang di dinginkan
selama 3 hari mempunyai bola mata agak cekung, pupil agak keruh dan kornea
agak keruh. Menuru Sanger (2010) pola dan laju penurunan mutu ikan sangat di
pengaruhi oleh keadaan temperature, dimana semakin tinggi suhu semakin
cepat pula penurunan mutu kesegaran.
b. Lendir
Lendir ikan merupaka media pertumbuhan mikroba, sehingga dapat
menurunkan mutu organoleptik. Hasil yang di dapatkan pada bagian lendir ikan
yaitu lendir tebal menggumpal, berwarna putih dan keruh. Hal ini di sebabkan
karena penanganan yang kurang baik dan temperature yang tidak stabil.
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), pada proses pembusukan ikan terjadi
tahap hyperaemia yaitu lendir ikan terlepas dari kelenjar-kelenjarnya di dalam
kulit, membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan dan
merupakan substrat yang sangat baik pertumbuhan baik.
c. Daging
Dari pengamatan yang dilakukan di dapatkan hasil yaitu, daging ikan
memiliki warna kecoklatan, sedikit kurang cemerlang, dinding perut lembek,
berbau, dang aging mulai pudar. Nilai organoleptik daging ikan menurun
seiring dengan waktu penyimpanan. Ikan yang makin suram warnanya
dikarenakan timbulnya lendir sebagai akibat berlangsungnya proses biokimia
lebih lanjut dan berkembangnya mikroba.
Menurut Adawyah (2007), salah hasil aktivitas bakteri pembusuk
terlihat pada daging ikan. Perubahan warna daging mulai dari sekitar tulang
belakang karena suhu yang tinggi untuk waktu yang lama. Ketika ikan mati,
molekul deoksimioglobin terdegradasi membentuk metmioglobin coklat yang
mengubah warna daging menjadi gelap (Starling dan Diver, 2005).
d. Tekstur
Tekstur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan
konsumen terhadap suatu produk pangan (Purnomo, 1995 dalam ). Tekstur
daging ikan merupakan salah satu anggota tubuh ikan yang dapat digunakan
sebagai parameter kesegaran ikan. Adanya penurunan mutu ikan secara
organoleptik pada tekstur ikan laying pada pengamatan yang dilakukan ditandai
dengan terjadinya pelunakan, bekas jari terlihat bila ditekan. Green-petterosen
et al, (2006) dan Farmer et al, (2000) melaporkan bahwa tidak hanya spesies
tetapi juga perlakuan dan kondisi penyimpanan yang sangat berpengaruh
terhadap karakteristik produk ikan.
e. Bau
Ikan segar adalh ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan
hidup, baik bau, rupa, rasa maupun teksturnya (Okada, 1990). Berdasarkan
hasil pengamatan yang di dapat pada perlakuan ikan laying yaitu, terjadinya
perubahan bau dimana sedikit bau asam tercium. Menurut Widiastuti (2007),
kehadiran mikroorganisme pada ikan juga mengakibatkan perubahan bau.
Faktor yang menyebabkan ikan cepat mengalami bau busuk adalah kadar
glikogennya renda sehingga rigor morrtis berlangsung lebih cepat (Syamsir,
2008)
f. Kulit
DAFTAR PUSTAKA
Adipradana B.B. 2018. Aspek Biologi Ikan Layang (Decapterus ruselli
Ruppell,1830) Di Perairan Selat Makassar Yang Di Daratkan Di TPI
Bajomulyo II Juwana, Pati, Jawa Tengah. Skripsi. Universitas Brawijaya.
Malang

Aprianti D. 2011. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Picung (PangiumeduleReinw)


dan Pengaruhnya terhadap Stabilitas Fisiko Kimia, Mikrobiologi dan Sensori
Ikan Kembung (Rastrelligerneglectus). Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Ditjen Perikanan. 1998. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut Bagian I
(Jenis-jenis Ikan Ekonomi Penting). Direktorat Jenderal Perikanan Deptan,
Jakarta

Genisa A.S. 1998. Beberapa Catatan Tentang Biologi Ikan Layang Marga
Decapterus. Oseana. Vol XXIII (2): 27-36 ISSN 0216-1877

Junianto. 2003. Seri Agriwawasan Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya.


Depok. hal. 5-13.

Liviawaty E. Afrianto E. 2010. Penanganan Ikan Segar. Widya Padjajaran. Bandung.


hal. 21-75.

Murniyati, A.S. dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan


Ikan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. hal. 5-21.

Nafisyah A.L. 2014. Pengaruh Alga Merah (Kappaphycus alvarezii) Terhadap Mutu
Ikan Kembung (Rastrellinger sp). Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya
Prihartini A. 2006. Analisis Tampilan Biologis Ikan Layang (Decapterus spp) Hasil
Tangkapan Purse seine Yang Didaratkan Di Ppn Pekalongan. Tesisi.
Universitas Diponegoro. Semarang

Utiarahman G. Harmain R.M. Yusuf N. 2013. Karakteristik Kimia dan Organoleptik


Nuget Ikan Layang (Decapterus sp) yang Disubtitusi dengan Tepung Ubi
Jalar Putih (Ipomea batatas L)

Anda mungkin juga menyukai