Oleh:
LISKA GINTULANGI
1121418013
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga
saya dapat menyelesaikan laporan ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya
tentunya saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan laporan ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis tentu menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk laporan ini, sehingga
laporan ini nantinya dapat menjadi laporan yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada laporan penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Proses pengawetan ikan merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai
industri perikanan, dimana pengawetan bertujuan mempertahankan kesegaran ikan
selama mungkin dengan cara menghambat penyebab kemunduran mutu. Perubahan
mutu kesegaran dapat berlangsung secara enzimatis, kimia dan bakteriologi dengan
diikuti penurunan organoleptik yang dipengaruhi oleh keadaan temperatur, dimana
semakin tinggi suhu, semakin cepat pula penurunan mutu kesegaran (Afrianto dan
Liviawaty, 1989).
Kemunduran mutu ikan dapat di kelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu tahap
pre-rigormotis, rigormortis dan post-rigormortis (Liviawaty dan Afrianto, 2010).
Murniyati dan Sunarman (2000) menjelaskan bahwa penanganan ikan dilakukan
dalam berbagai cara untuk menghambat kemunduran mutu dengan lima prinsip dasae.
Lima prinsip dasar tersebut adalah penggunaan suhu rendah, penggunaan suhu tinggi,
penurunan kadar air, penyinaran dan penggunaan zat-zat antibacterial.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui perbedaan perubahan mutu ikan setelah didinginkan dan
dibekukan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi ikan layang, badan memanjang, agak gepeng, dua sirip punggung.
Sirip punggung pertama berjari-jari keras 9 (1 meniarap + 8 biasa), sirip punggung
kedua berjari-jari keras 1 dan 30-32 lemah sirip dubur berjari-jari keras 2 (lepas) dan
1 bergabung dengan 22-27 jari sirip lemah. Baik di belakang sirip punggung kedua
dan dubur terdapat 1 jari-jari sirip tambahan (finlet) termasuk pemakan plankton,
diatomae, chaetognatha, copepod, udang-udangan, larva-larva ikan, telur-telur ikan
teri (Stolephorus sp), hidup di perairan lepas pantai, kadar garm tinggi membentuk
gerombolan besar. Dapat mencapai panjang 30 cm, umumnya 20-25 cm. Berwarna
biru kehijauan, hijau pupus bagian atas, putih perak bagian bawah. Sirip-siripnya abu-
abu kekuningan atau kuning pucat. Satu totol hitam terdapat pada tepian atas penutup
insang (Ditjen Perikanan, 1998) (Gambar 1)
2.3.1 Pre-rigormortis
Tahap pre-rigormortis merupakan awal proses pembusukan yang ditandai
dengan lepasnya lender dari kelenjar di bawah kulit. Lender terdiri dari glucoprotein
mucin yang sesuai untuk media pertumbuhan bakteri (Aprianti, 2011). Liniawaty dan
Afrianto (2010) menyatakan bahwa pada tahap pre-rigormortis terjadi penururnan
Adenosin Triphosphate (ATP), keratin fosfat dan proses glikolisis.
Pada proses glikolisis terjadi perombakan glikogen menjadi asam laktat.
Perombakan tersebut dapat mempertahankan ketersediaan energy dalam bentuk ATP
sehingga aktomiosin (gabungan aktin dan myosin yang merupakan komponen otot
ikan) dapat dipisah kembali agar daging tetap elastic (Liviawaty dan Afrianto, 2010)
2.3.2 Rigormortis
Rigor artinya kaku dan mortis artinya mati, sehingga tahap rigormortis
merupakan tahapan pembusukan ikan. Tahap rigormortis diawali dengan
mengejangnya tubuh ikan, namun ikan masih masuk kategori segar (Murniyati dan
Sunarman, 2000)
Proses pengejangan biasanya dimulai dari bagian ekor sebab bagian tersebut
paling aktif bergerak sehingga saat ikan mati, sel-sel dibagian ekor mengandung ATP
paling rendah. Pada tahap rigormortis, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari
pH awal 6,9-7,2 dan proses ini diupayakn selama mungkin agar penurunan mutu
tidak berlangsung cepat (Junianto, 2003)
2.3.3 Post-rigormortis
Junianto (2003) mengatakan bahwa pada akhir tahap rigormortis bakteri
pembusuk mulai bekerja, sehingga pH tubuh ikan meningkat. Autolisis, perombakan oleh
bakteri dan oksidasi terjadi pada tahap ini. Autolysis merupakan proses perombakan
substansi tubuh ikan oleh enzim seperti enzim ATP-ase yang merombak ATP menjadi
adenosine diphosphat, adenosine monohosphat, inosin monophospat, inosin dan hipoksantin
(Quang et, al. 2005) dalam (Nafisyah, 2014). Pada tahap tersebut tubuh ikan mengalami
burst belly, yaitu hancurnya dinding perut akibat autolysis. Hasil akhir dari autolysis berupa
amoniak, hydrogen sulfida atau histamine (Liviawaty dan Afianto, 2010).
Perombakan yang dilakukan oleh bakteri menhasilkan indol, H 2S, hipoksantin,
histamin, volatile reducing substance (VRS), total volatile base (TVB) dan trimetil amin
(TMA). Perubahan yang terjadi akibat aktivitas bakteri diantaranya lender menjadi pekat,
amis dan perubahan-perubahan lainnya. Bakteri menyerang organ dalam lebih dahulu dan
kemudian merambat ked aging ikan, oleh sebab itu dilakukan penyiangan dan pemcucian
terelbih dahulu pada penanganan ikan segar (Junianto, 2003). Ketersediaan oksigen berkaitan
dengan reaksi oksidasi lemak. Oksidasi lemak mengakibatkan aroma tengik dan perubahan
warna pada tubuh ikan. Ikan akan Nampak lebih gelap karena perombakan pigmen dalam
darah serta menyebabkan terbentuknya senyawa peroksida dan keton yang mempengaruhi
aroma dan rasa daging ikan.
BAB III
METODOLOGI
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Adapun hasil yang didapatkan dari pengamatan yang dilakukan terhadap ikan
yang didinginkan dan dibekukan yaitu, Terjadinya perubahan karakteristik mutu
(secara organoleptik) yang berbeda pada ikan layang yang didinginkan dan dibekukan
yang meliputi bau, mata, tekstur, insang, lendir dan kulit.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Karakteristik Mutu Organoleptik Ikan Didinginkan
a. Mata
Mata merupakan salah satu bagian tubuh ikan yang menjadi parameter
kesegaran ikan. Hasil pengamatan yang di dapat yaitu ikan yang di dinginkan
selama 3 hari mempunyai bola mata agak cekung, pupil agak keruh dan kornea
agak keruh. Menuru Sanger (2010) pola dan laju penurunan mutu ikan sangat di
pengaruhi oleh keadaan temperature, dimana semakin tinggi suhu semakin
cepat pula penurunan mutu kesegaran.
b. Lendir
Lendir ikan merupaka media pertumbuhan mikroba, sehingga dapat
menurunkan mutu organoleptik. Hasil yang di dapatkan pada bagian lendir ikan
yaitu lendir tebal menggumpal, berwarna putih dan keruh. Hal ini di sebabkan
karena penanganan yang kurang baik dan temperature yang tidak stabil.
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), pada proses pembusukan ikan terjadi
tahap hyperaemia yaitu lendir ikan terlepas dari kelenjar-kelenjarnya di dalam
kulit, membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan dan
merupakan substrat yang sangat baik pertumbuhan baik.
c. Daging
Dari pengamatan yang dilakukan di dapatkan hasil yaitu, daging ikan
memiliki warna kecoklatan, sedikit kurang cemerlang, dinding perut lembek,
berbau, dang aging mulai pudar. Nilai organoleptik daging ikan menurun
seiring dengan waktu penyimpanan. Ikan yang makin suram warnanya
dikarenakan timbulnya lendir sebagai akibat berlangsungnya proses biokimia
lebih lanjut dan berkembangnya mikroba.
Menurut Adawyah (2007), salah hasil aktivitas bakteri pembusuk
terlihat pada daging ikan. Perubahan warna daging mulai dari sekitar tulang
belakang karena suhu yang tinggi untuk waktu yang lama. Ketika ikan mati,
molekul deoksimioglobin terdegradasi membentuk metmioglobin coklat yang
mengubah warna daging menjadi gelap (Starling dan Diver, 2005).
d. Tekstur
Tekstur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan
konsumen terhadap suatu produk pangan (Purnomo, 1995 dalam ). Tekstur
daging ikan merupakan salah satu anggota tubuh ikan yang dapat digunakan
sebagai parameter kesegaran ikan. Adanya penurunan mutu ikan secara
organoleptik pada tekstur ikan laying pada pengamatan yang dilakukan ditandai
dengan terjadinya pelunakan, bekas jari terlihat bila ditekan. Green-petterosen
et al, (2006) dan Farmer et al, (2000) melaporkan bahwa tidak hanya spesies
tetapi juga perlakuan dan kondisi penyimpanan yang sangat berpengaruh
terhadap karakteristik produk ikan.
e. Bau
Ikan segar adalh ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan
hidup, baik bau, rupa, rasa maupun teksturnya (Okada, 1990). Berdasarkan
hasil pengamatan yang di dapat pada perlakuan ikan laying yaitu, terjadinya
perubahan bau dimana sedikit bau asam tercium. Menurut Widiastuti (2007),
kehadiran mikroorganisme pada ikan juga mengakibatkan perubahan bau.
Faktor yang menyebabkan ikan cepat mengalami bau busuk adalah kadar
glikogennya renda sehingga rigor morrtis berlangsung lebih cepat (Syamsir,
2008)
f. Kulit
DAFTAR PUSTAKA
Adipradana B.B. 2018. Aspek Biologi Ikan Layang (Decapterus ruselli
Ruppell,1830) Di Perairan Selat Makassar Yang Di Daratkan Di TPI
Bajomulyo II Juwana, Pati, Jawa Tengah. Skripsi. Universitas Brawijaya.
Malang
Ditjen Perikanan. 1998. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut Bagian I
(Jenis-jenis Ikan Ekonomi Penting). Direktorat Jenderal Perikanan Deptan,
Jakarta
Genisa A.S. 1998. Beberapa Catatan Tentang Biologi Ikan Layang Marga
Decapterus. Oseana. Vol XXIII (2): 27-36 ISSN 0216-1877
Nafisyah A.L. 2014. Pengaruh Alga Merah (Kappaphycus alvarezii) Terhadap Mutu
Ikan Kembung (Rastrellinger sp). Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya
Prihartini A. 2006. Analisis Tampilan Biologis Ikan Layang (Decapterus spp) Hasil
Tangkapan Purse seine Yang Didaratkan Di Ppn Pekalongan. Tesisi.
Universitas Diponegoro. Semarang