Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ikan lemuru (Sardinella lemuru) merupakan salah satu produksi ikan paling
menonjol di Sulawesi utara dibandingkan dengan daerah lain memiliki potensi ikan
lemuru lebih besar dibanding wilayah perairan lainnya karena di Sulawesi utara
terjadi proses kenaikan air pada musim timur sehingga perairan ini menjadi kaya
akan bahan makanan yang dibutuhkan oleh ikan lemuru (Kusmiati, 2007). Kontribusi
hasil tangkapan ikan lemuru dalam kurun waktu 30 tahun (1977-2007) rata-rata
sekitar 85%, dan nilai produksi 70% dari total hasil tangkapan di Sulawesi utara
(Setyohadi, 2009). Ikan lemuru dapat dimanfaatkan dalam bentuk segar, asin,
maupun dikalengkan.
Berbagai cara pengawetan ikan telah banyak dilakukan, termasuk dengan
mengalengkan ikan. Pengalengan makanan merupakan suatu cara pengawetan bahan
pangan yang dikemas secara hermetis dan kemudian disterilkan. Ikan kaleng adalah
salah satu produk makanan yang banyak digemari masyarakat karena mudah
didapatkan dan cepat disajikan terlebih ikan memiliki banyak protein. Dengan
adanya produk ikan kaleng kebutuhan akan konsumsi ikan dapat terpenuhi setiap
saat. Hal ini disebabkan karena melalui proses pengalengan, ikan menjadi lebih awet
dan diolah dengan medium yang beraneka rasa sehingga memenuhi selera konsumen.
Daya awet makanan kaleng sangat bervariasi tergantung dari jenis bahan
pangan, jenis wadah, proses pengalengan yang dilakukan dan kondisi tempat
penyimpanan. Apabila proses pengolahan dilakukan secara sempurna maka daya
awet produk yang dikalengkan, dapat bertahan lama (Adawyah, 2006). Proses
pengalengan dan kapasitas jumlah produksi perlu diperhatikan untuk menjaga
kandungan gizi dan mutu ikan kaleng sehingga dapat memenuhi permintaan
konsumen dari segi kuantitas maupun kualitas berukuran besar dinamakan lemuru
kucing atau kucingan. Untuk ikan lemuru berukuran kecil dinamakan sempenit atau
penpen sedangkan ikan lemuru berukuran 11-15 cm dinamakan Protolan (Merta,
1992). Nama ikan lemuru kurang dikenal masyarakat sehingga kurang memiliki nilai
jual, sehingga dipilih alternatif nama berdasarkan pangsa pasar internasional yaitu

1
sarden yang merupakan nama genus dari ikan lemuru.
Salah satu perusahaan yang bergerak dibidang pengalengan ikan lemuru
adalah PT. Blambangan Foodpackers Indonesia Banyuwangi. Perusahaan tersebut
telah lama beroperasi dan menghasilkan ikan sarden kaleng dan ikan tuna kaleng
dalam berbagai macam medium atau rasa dengan berbagai macam brand yang
dipasarkan hampir ke seluruh Indonesia. Dengan adanya praktek kerja lapang ini
mahasiswa dapat mengetahui proses pengalengan ikan yang dilakukan perusahaan
tersebut serta memahami cara pengolahan ikan yang baik dan benar sehingga dapat
dihasilkannya produk yang berkualitas dan layak dikonsumsi masyarakat.
B. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari proposal pembuatan ini adalah:
1. mengetahui, mempelajari dan memahami proses pengalengan ikan dari produksi
hingga dipasarkan
2. mengetahui permasalahan yang timbul dalam proses pengalengan ikan lemuru
dan penyelesaiannya
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Manfaat yang ingin diperoleh mahasiswa dari pembuatan proposal ini
adalah:
a. mahasiswa dapat menambah informasi tentang proses pengalengan,
permasalahan yang sering timbul dan penyelesaiannya

2
b. mahasiswa dapat meningkatkan kompetensi baik keterampilan, wawasan,
sikap, maupun etos kerja sehingga dapat diterapkan setelah mahasiswa
menyelesaikan studi
c. mahasiswa dapat membandingkan antara studi yang didapat di kampus dengan
di lapangan.
2. Bagi Perusahaan
Manfaat bagi Perusahaan yang diperoleh dari pembuatan proposal ini
adalah :
a. bentuk kerjasama dengan pihak Kampus untuk mengenalkan dunia kerja
sebagai bekal keterampilan bagi mahasisawa
b. memberikan kontribusi bagi mahasiswa dan dapat memberikan sumbangan
pemikiran, gagasan ataupun kreativitas dalam produksi pengalengan ikan.
D. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pelaksanaan pengambilan data proposal dimulai pada tanggal 08, Februari
2024 sampai dengan 12, Februari 2024 di PT. Sinar Purefoods International.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Ikan Lemuru


1. Taksonomi dan Morfologi
Klasifikasi ikan lemuru menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Clupeiformes
Famili : Clupeidae
Genus : Sardinella
Spesies : S.lemuru

Gambar 2.1. S. lemuru


Sumber :
http://fishbase.org/Photos/PicturesSummary.php?
StartRow=1&ID=1510&what=species&TotRec=4

Beberapa dari jenis Sardinella ada yang hampir menyerupai satu sama lainnya,
beberapa ada yang mempunyai perbedaan morfologis, yang menandakan bahwa ikan
itu berbeda spesiesnya (Dwiponggo, 1982). Perbedaan morfologis ini dapat berupa
perbedaan warna tubuh seperti yang terlihat pada S. fimbriata dengan warna hijau
kebiruan pada bagian badan atas, sedangkan warna biru gelap di bagian yang sama
pada S. lemuru (Syakila, 2009).

4
agak membulat dengan sisik duri yang agak tumpul dan tidak menonjol. Morfologi
ikan lemuru dapat dilihat pada gambar 2.1. Panjang badan spesies ini dapat mencapai
23 cm, namun kebanyakan berkisar 17-18 cm. Warna badan biru kehijauan di bagian
atas, sedangkan bagian bawah putih keperakan. Pada bagian atas penutup insang
sampai pangkal ekor terdapat sebaris totol-totol hitam atau bulatan-bulatan kecil
berwarna gelap. Siripnya berwarna abu-abu kekuning-kuningan, sedangkan warna
sirip ekor kehitaman (Dwiponggo, 1982).
2. Tingkah Laku
Ikan lemuru termasuk jenis ikan pelagis kecil yang mudah tertarik oleh cahaya,
sehingga dapat berkumpul ke tempat dimana cahaya lampu dipasang. Ikan ini
cenderung berada di permukaan laut pada malam hari untuk mencari makan dan
berada di kolom perairan tertentu pada siang hari. Produksi lemuru umumnya mulai
meningkat pada bulan Oktober dan puncaknya pada bulan Desember sampai Januari
(Merta, 1992).
3. Kelebihan ikan lemuru sebagai bahan mentah
Banyaknya tangkapan ikan lemuru di Sulawesi utara membuat industri berskala
nasional membangun pabrik pengalengan ikan sarden. Hasil penelitian pengujian
organoleptik pada bahan mentah yang diterima PT. Sinar purefoods international
mempunyai kisaran 7,58 – 7,68, nilai ini telah memenuhi standar SNI (Mayasari,
2013). Ikan lemuru yang berasal dari Muncar memiliki nilai organoleptik lebih baik
daripada ikan yang didatangkan dari luar, baik bahan mentah ataupun produk akhir.
Perbedaan kenampakan dari masing-masing daerah asal dikarenakan perbedaan
waktu dalam penanganan. Semakin cepat ikan sampai ke pabrik maka semakin cepat
diolah dan mutu dapat dipertahankan (Wulandari et al., 2009).
Ikan lemuru merupakan salah satu jenis ikan tropis yang mengandung komponen
asam lemak omega-3 dalam jumlah yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan ikan
lemuru di alam banyak memakan plankton-plankton maupun mikroalga yang banyak
memproduksi komponen asam lemak omega-3.Ikan lemuru mengandung 13,7%
EPA, 8,9 DHA dan 26,8 % total

5
omega-3 dari total minyak (Estiasih, 2009). Kelebihan ikan lemuru lainnya adalah
nilai gizi yang cukup tinggi, setiap 100 g daging lemuru mengandung 112 kkal
energi, 20 g protein, 3 g lemak dan 100 mg fosfor (Saparinto et al., 2006).
Kemunduran mutu ikan maupun kesalahan pengolahan menyebabkan hilangnya
komponen gizi misalnya vitamin-vitamin dan protein yang terlarut dalam air atau
larutan garam (Hadiwiyoto, 1993). Reaksi antara air atau minyak dengan ikan pada
suhu tinggi selama proses pengalengan telah terbukti mempengaruhi beberapa nutisi
dalam ikan serta menyebabkan struktur minyak dan denaturasi nutrisi makanan. Ikan
sebagai sumber protein utama dalam makanan apabila dikalengkan akan mengurangi
kadar serat kasar, seperti pada ikan E. affinis (Aberoumand, 2011)
B. Pengalengan
Pengalengan makanan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan yang
dikemas secara hermetis dan kemudian disterilkan. Metode pengawetan tersebut
ditemukan oleh Nicolas Appert, seorang ilmuwan Prancis. Di dalam pengalengan
makanan, bahan pangan dikemas secara hermetis dalam suatu wadah, baik kaleng,
gelas atau alumunium. Pengemasan secara hermetis dapat diartikan bahwa penutupan
dilakukan sangat rapat, sehingga tidak dapat ditembus oleh udara, air, kerusakan
akibat oksidasi ataupun perubahan cita rasa (Adawyah, 2007).
Pengalengan adalah cara pengawetan ikan dengan sterilisasi dalam kaleng. Ikan
dimasukkan dalam kaleng, kemudian disterilkan dengan panas (Murniyati dan
Sunarman, 2000). Pengalengan ikan diartikan sebagai cara pengolahan dan
pengawetan ikan yang telah disterilkan dan dikemas dalam kaleng. Dasar dari
pengalengan ini, yaitu memanasi ikan di dalam kaleng sampai pada suhu dan waktu
tertentu. Tujuannya agar mikroorganisme yang tidak menguntungkan, seperti jamur,
ragi, bakteri mati sehingga tidak menimbulkan proses pembusukan (Tim Penulis PS,
2008).
Menurut Muchtadi (1995), beberapa keuntungan mengawetkan makanan dengan
pengalengan adalah :

6
1. bebas dari kebusukan jika proses pengalengan dilakukan dengan baik
dan benar
2. dapat mempertahankan nilai gizi
3. dapat mempertahankan citarasa
4. dapat mempertahankan daya tarik makanan atau minuman.
C. Proses Pengalengan Ikan
Proses pengalengan ikan melalui beberapa tahap, yaitu :
1. Persiapan Bahan
Penggunaan kaleng sebagai wadah pengalengan ikan memberikan beberapa
keuntungan. Keuntungan tersebut yaitu, kaleng dapat menjaga pangan di
dalamnya dari kontaminasi yang menyebabkan kebusukan, kaleng dapat menjaga
bahan pangan dari perubahan kadar air dan masuknya oksigen yang tidak
diinginkan. Keuntungan lain adalah meningkatkan daya tarik karena mudah ditata
saat display penjualan (Muchtadi, 1995).
Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan kaleng, yaitu Electrolyte Tin
Plate (ETP), Tin Free Syeel (TFS) dan alumunium. Kebanyakan pengalengan
menggunakan TFS-CT yang merupakan lapisan baja yang dilapisi kromium
secara elektris kemudian terbentuk kromium oksida pada seluruh permukaannya.
Kelebihan penggunaan TFS antara lain, tidak menggunakan timah putih sehingga
harga lebih murah, daya adesi terhadap bahan organik lebih baik, sedangkan
kekurangannya adalah berpeluang lebih tinggi untuk berkarat (Adawyah, 2007).
Wadah kaleng yang akan digunakan hendaknya dibersihkan dan diperiksa
secara teliti sebelum digunakan untuk pengalengan. Cara tersebut apabila
dilaksanakan dengan baik akan menekan terjadinya kebusukan. Kaleng-kaleng
yang akan digunakan hendaknya diperiksa solderan, adanya karat atau ada cacat
lainnya, seperti lekuk-lekuk atau penyok. Kaleng yang baik kemudian dicuci
dalam air sabun dan hangat kemudian dibilas dengan air bersih. Tutup kaleng
hendaknya tidak dicuci untuk menghindari kerusakan pada gasket (Adawyah,
2007). Gasket adalah karet perekat yang

7
akan memberikan penutupan hermetis antara badan dan tutup kaleng (Muchtadi,
1995).
Bahan mentah berupa ikan dibuang bagian isi perut, dicuci, dilakukan
pemasakan awal, kemudian dipotong-potong dan ditimbang. Precooking
dilakukan untuk ikan-ikan yang berlemak, misalnya tuna, untuk mengurangi
kandungan minyak dan airnya. Ikan-ikan seperti lemuru, sarden, bandeng, herring
dan ikan kecil-kecil lainnya yang berkadar lemak rendah tidak perlu dilakukan
pemasakan awal (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Kulit ikan lemuru mudah sobek sehingga untuk memperoleh bahan mentah
bermutu tinggi, harus diusahakan agar badan ikan tidak terluka. Hal ini perlu
dihindari dengan memberikan penanganan yang baik dan hati-hati pada ikan
lemuru. Ikan lemuru mempunyai isi perut yang relatif besar dan harus dibuang
supaya tidak mempengaruhi rasa pada produk yang dihasilkan. Dalam penyiangan
ikan lemuru harus teliti agar tidak ada bagian isi perut yang tertinggal (Moeljanto,
1982).
2. Pengisian
Menurut Adawyah (2007), pengisian hendaknya dilakukan secara teratur dan
seragam. Produk diisikan sampai permukaan yang diinginkan dalam wadah
dengan memperhatikan head space. Pengisian kaleng dengan bahan pangan yang
telah dipersiapkan dapat dilakukan secara manual, menggunakan mesin
semiotomatis dan bahkan dengan mesin otomatis. Kaleng diisi dengan produk
sampai mencapai berat yang telah ditentukan. Head space adalah ruang kosong
antara permukaan produk dengan tutup yang berfungsi sebagai ruang cadangan
untuk pengembangan produk selama disterilisasi agar tidak menekan wadah
karena dapat menyebabkan kaleng menjadi menggelembung. Besarnya head
space dalam wadah apabila terlalu kecil akan menyebabkan pecahnya wadah
akibat ekspansi (pengembangan) produk selama proses sterilisasi. Apabila head
space terlalu besar, sejumlah kecil udara akan terperangkap dalam kaleng
sehingga akan mengakibatkan terjadinya oksidasi dan perubahan warna produk
(Adawyah, 2007).

8
Medium pengalengan adalah larutan atau bahan lainnya yang ditambahkan ke
dalam produk waktu proses pengisian. Medium pengalengan dapat memberikan
citarasa pada produk, mengurangi waktu sterilisasi dengan meningkatkan proses
perambatan panas dan mengurangi korosi kaleng dengan cara menghilangkan
udara. Bila dalam pengalengan tersebut ditambahkan medium pengalengan, tinggi
head space tidak boleh kurang dari 0,25 inchi, tetapi bila produk dikalengkan
tanpa penambahan medium, diperbolehkan produk diisi sampai hampir penuh
dengan meninggalkan sedikit ruang head space (Muchtadi, 1995).
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), daging yang akan diisikan
ditimbang dalam berat tertentu, tergantung pada kalengnya. Untuk memenuhi
berat tersebut, kadang-kadang diperlukan potongan kecil (serpihan, hancuran).
Dengan demikian, isian kaleng dibagi menjadi tiga macam, yakni :
a. fancy, terdiri atas potongan-potongan pokok
b. standard, terdiri atas potongan pokok ditambah serpihan
c. flakes atau salad, terdiri atas serpihan-serpihan daging.
3. Exhausting
Penghampaan udara (exhausting) adalah proses pengeluaran sebagian besar
oksigen dan gas-gas lain dari dalam wadah agar tidak bereaksi dengan produk
sehingga tidak mempengaruhi mutu, nilai gizi dan umur simpan produk kalengan.
Exhausting juga dilakukan untuk memberikan ruang bagi pengembangan produk
selama proses sterilisasi sehingga kerusakan wadah akibat tekanan dapat dihindari
dan untuk meningkatkan suhu produk di dalam wadah sampai mencapai suhu
awal (initial temperature). Penutupan wadah dilakukan setelah proses
penghampaan udara (exhausting) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
pembusukan (Muchtadi, 1995).
Sebagian besar oksigen dan gas lain harus dihilangkan dari bahan di dalam
wadah sebelum operasi penutupan. Di dalam wadah yang sudah ditutup tidak
diinginkan adanya oksigen, karena gas itu dapat bereaksi dengan bahan pangan
atau bagian dalam kaleng sehingga akan

9
mempengaruhi mutu, nilai gizi dan umur simpan produk kalengan. Pada pabrik
berskala kecil, exhausting dilakukan dengan cara melakukan pemanasan
pendahuluan terhadap produk, kemudian produk tersebut diisikan ke dalam kaleng
dalam keadaan panas dan wadah ditutup juga dalam keadaan masih panas. Pabrik
pengalengan ikan yang berskala besar, exhausting dilakukan secara mekanis dan
dinamakan pengepakan vakum (vacuum packed) (Adawyah, 2007).
4. Penutupan Wadah
Penutupan kaleng dilakukan setelah penghampaan udara secara hermetis.
Penutupan yang baik diperlakukan untuk mencegah terjadinya pembusukan.
Apabila digunakan kaleng sebagai wadah maka penutupan yang baik akan
mencegah terjadinya kebocoran dari satu kaleng yang dapat menimbulkan
pengkaratan pada kaleng lainnya (Adawyah, 2007).
Penutupan wadah kaleng seringkali disebut dengan istilah “double seaming”.
Mesin yang digunakan untuk membuat penutupan tersebut (double seamer
machine) jenisnya bervariasi dari yang digerakkan dengan tangan sampai yang
otomatis, tetapi pada prinsipnya kerja mesin tersebut sama, yaitu menjalankan dua
operasi dasar. Operasi pertama berfungsi untuk membentuk atau menggulung
bersama ujung pinggir tutup kaleng dan badan kaleng, sedangkan operasi kedua
berfungsi untuk meratakan gulungan yang dihasilkan oleh operasi pertama
(Muchtadi, 1995).
5. Sterilisasi
Menurut Muchtadi (1995) sterilisasi adalah operasi yang paling penting dalam
pengalengan makanan. Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan
mikroba pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk
menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya, teksturnya dan citarasa
sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan ini harus dilakukan
pada suhu yang cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh
terlalu tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu masak.
Proses pemanasan yang biasa diterapkan di industri pengalengan adalah
sterilisasi komersial. Makanan yang steril komersial berarti

10
makanan tidak steril 100% tetapi bakteri patogen dan pembetuk racun telah
dimatikan. Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan periuk bertekanan tinggi,
disebut retort, auotoclave atau pressure cooker. Retort ada dua macam, yaitu
retort vertical dan retort horizontal. Suhu yang biasanya dipakai biasanya 1150C-
1200C, dan waktunya 1-1 ½ jam, tergantung pada jenis ikan dan ukuran kaleng
(Murniyati dan Sunarman, 2000).
Proses panas harus cukup untuk menonaktifkan mikroba yang terdapat dalam
makanan kaleng atau untuk mencapai sterilisasi komersial. Ikan yang memiliki
pH mendekati netral, yaitu 6,8, biasanya diproses dengan suhu 121 0C dengan
waktu tergantung pada cepat lambatnya perambatan panas. Proses pemanasan
makanan kaleng yang dianggap aman adalah yang dapat menjamin bahwa
makanan tersebut telah bebas dari Clostridium botulinum (Adawyah, 2007).
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses sterilisasi ini adalah : 1) jenis
mikroba yang akan dihancurkan, 2) kecepatan perambatan panas ke titik tengah,
3) suhu awal bahan pangan di dalam wadah, 4) ukuran dan jenis wadah yang
digunakan, 5) suhu dan tekanan yang digunakan untuk proses sterilisasi, dan 6)
keasaman atau pH produk yang dikalengkan (Muchtadi, 1995).
6. Pendinginan
Wadah harus cepat didinginkan segera setelah proses sterilisasi selesai dengan
tujuan untuk memperoleh keseragaman (waktu dan suhu) dalam proses dan untuk
mempertahankan mutu produk terakhir. Apabila pendinginan terlalu lambat
dilakukan maka produk akan cenderung terlalu masak sehingga akan merusak
tekstur dan citarasanya. Selain itu, dengan pendinginan juga mengakibatkan
bakteri yang masih bertahan hidup akan menyebabkan shock sehingga akan mati
(Adawyah, 2007).
Terdapat bermacam-macam metode pendinginan, tergantung dari fasilitas yang
ada dan wadah yang digunakan, diantaranya adalah pendinginan dengan udara
(air cooling) dan pendinginan dengan air (water cooling). Hal yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan metode pendinginan dengan air adalah bahwa air
pendingin yang digunakan harus

11
bersih dan murni. Bila air yang digunakan kotor, kebusukan dapat terjadi akibat
masuknya kotoran (kontaminan) melalui lubang kecil (pori-pori) yang sering
terjadi akibat mengerutnya kaleng. Air kotor juga dapat mengakibatkan terjadinya
pengkaratan pada bagian luar kaleng karena mengandung zat-zat kimia yang
mempercepat terjadinya korosi seperti asam (Muchtadi, 1995).
Klorinasi air pendingin dianjurkan untuk mengontrol kadar kontaminasi
mikrobiologi karena klorin efektif terhadap bakteri vegetatif namun kurang efektif
terhadap spora Clostridium dan spora Bacillus (Desrosier, 1988). Residu klorin
bebas dari 2-4 mg klorin/L dalam waktu kontak 20 menit dapat mengurangi
jumlah total aerobik 100 organisme/ml air pendingin. Klorinasi berlebihan pada
air pendingin harus dihindari karena bersifat korosif terhadap beberapa logam
(Warne, 1988).
7. Pemberian Label dan Penyimpanan
Setelah dingin kaleng diberi label sesuai dengan keinginan produsen,
pemberian label ditunjukkan untuk mengetahui bahan yang digunakan dan untuk
mengetahui kapan waktu produksi sehingga dapat menentukan masa kadaluarsa
dan dengan pemberian label produk akan dikenal masyarakat. Di dalam suatu
pabrik pengalengan seringkali diperlukan penyimpanan sementara disebabkan
karena besarnya jumlah produksi. Penyimpanan juga bertujuan untuk menguji
mutu produk sebelum dipasarkan sehingga diperlukan ruang penyimpanan yang
baik (Adawyah, 2007).
D. Sanitasi dan Higiene
Peluang terjadinya kontaminasi makanan dapat terjadi pada setiap tahap
pengolahan makanan. Berdasarkan hal ini, higiene sanitasi makanan merupakan
konsep dasar pengelolaan makanan sudah seharusnya dilaksanakan (Naria, 2005).
Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor resiko terjadinya
kontaminasi terhadap makanan, baik yang berasal dari bahan makanan, orang, tempat
dan peralatan agar aman dikonsumsi (PMK, 2011).
Pengolahan makanan yang tidak higienis dan saniter dapat mengakibatkan adanya
bahan-bahan di dalam makanan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada
konsumen. Makanan dan minuman

12
yang dikonsumsi dapat menimbulkan penyakit seringkali disebabkan oleh 2 hal,
yaitu kemungkinan mengandung komponen beracun seperti logam berat dan bahan
kimia. Hal yang kedua, makanan terkontaminasi mikroorganisme patogen dalam
jumlah cukup untuk menimbulkan sakit. Mikroorganisme tersebut dapat berasal dari
proses pembusukan makanan atau terdapat dalam makana karena terbawa serangga
seperti lalat, kecoa dan tikus (DEPKES RI, 1997).
Komponen pabrik pengalengan dan khususnya permukaan yang kontak langsung
dengan makanan dapat mudah terkontaminasi oleh mikrobia dan bakteri pathogen
sehingga dapat berpengaruh pada kemanan dan kuliatas ikan kaleng yang dihasilkan.
Makanan kaleng yang berkontak langsung dengan permukaan kulit manusia biasanya
terjadi selama proses pengalengan dapat tercemar bakteri patogen termasuk kontak
langsung dengan pisau, meja dan talenan. Jumlah bakteri patogen dan pembusuk
dapat dikurangi sampai batasan yang dapat diterima dengan dua prosedur terpisah
yaitu pembersihan dan sanitasi (Begabi et al., 2012)
E. Standar Mutu Ikan Kaleng Sarden
Mutu ikan kaleng tergantung pada kesegaran bahan mentah, cara pengalengan,
peralatan dan kecakapan serta pengetahuan pelaksanaan teknis, sanitasi dan higieni
pabrik dan lingkungan. Kesegaran bahan mentah sangat penting dalam industri
perikanan. Kesegaran adalah tolak ukur untuk membedakan ikan jelek dan bagus
kualitasnya, apabila kualitas bahan mentah bagus maka produk yang dihasilkan juga
bagus (Wulandari et al., 2009).
Proses pengalengan yang tidak dilakukan sesuai standar yang telah ditetapkan
oleh perusahaan dapat menyebabkan perubahan sensorik dan fisik produk ikan dalam
kaleng. Perubahan tekstur dan warna sering diakibatkan karena perlakuan termal
seperti cara pemasakan dan langkah sterilisasi. Efek pendek pada sensorik dan sifat
fisik seperti oksidasi dan kekeruhan medium dapat disebabkan karena penanganan
bahan baku ikan yaitu cara pendinginan dan watu pendinginan (Rodriguez et al.,
2010).
Produk akhir harus diawasi mutunya sejak keluar dari proses produksi hingga
tahap pembungkusan, penggudangan dan pengiriman ke konsumen.

13
Dalam memasarkan produk, pabrik harus berusaha menampilkan produk yang
bermutu. Hal ini hanya dapat dilaksanakan apabila produk akhir tersebut dilakukan
pengecekan mutu agar produk rusak atau cacat tidak sampai ke tangan konsumen
(Husni dan Putra, 2014).
Syarat mutu ikan kaleng sarden berdasarkan SNI 01-3548-1994 dapat dilihat
pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Syarat Mutu Ikan Kaleng Sarden Berdasarkan SNI
No Uraian Satuan Syarat Mutu
Dalam kondisi normal (sebelum dan sesudah dieram)
tidak bocor, tidak kembung, tidak berkarat,
1 Keadaan Kaleng permukaan dalam tidak bernoda,
lipatan kaleng baik.

2 Kehampaan Mm Hg Min 50
Sesuai dengan SNI 01-2345-1991
3 Keadaan isi
*)
4 Media
4.1 Jenis Saus tomat
4.2 Kepekatan Bux Min 11
5 pH 4,6 – 6
Ruang kosong
6 % v/v Maks. 10
(head space)
7 Bobot tuntas, Min. 70
Zat warna makanan
8 Sesuai dengan SNI 01-0222-1987
tambahan
9 Cemaran logam
9.1 Cu mg/kg Maks. 20,0
9.2 Pb mg/kg Maks. 2,0
9.3 Hg mg/kg Maks. 0,5
9.4 Zn mg/kg Maks. 100,0
9.5 Sn mg/kg Maks. 250,0
10 Cemaran As mg/kg Maks. 1,0
11 Cemaran mikrobia
Bakteri aerob termofilik
11.1 berbentuk Koloni/gram Maks. 10
spora
11.2 Bakteri coliform APM/ gram <3
Clostridium
11.3 Negatif
perfringens
Sumber : BSN (1994)

14
F. Jenis-jenis Kerusakan Makanan Kaleng
Penyebab kerusakan dapat dibagi dua, yaitu kerusakan yang disebabkan karena
kesalahan dalam proses pengalengan maupun kebocoran kaleng karena kaleng tidak
tertutup hermetis. Kesalahan proses pengalengan dapat berupa sterilisasi tidak
sempurna dapat menyebabkan pertumbuhan mikrobia pathogen atau pembusuk dan
pendinginan yang kurang memadai (Adawyah, 2007). Selain itu ada penyebab
nonmikrobia seperti wadah yang kurang steril atau suhu kurang tinggi.
Kerusakan atau pembusukan makanan dalam kaleng dapat terlihat dari
kenampakan luar kaleng dan penyimpangan kondisi isinya antara lain :
1. Flat Sour
Apabila produk di dalam wadah memberikan citarasa asam karena adanya
aktivitas mikroba tanpa memproduksi gas, maka kebusukan tersebut dikenal
dengan sebutan flat sour (kaleng tetap datar tidak menggembung, tetapi produk
menjadi asam). Jenis kebusukan ini disebabkan karena sanitasi pabrik yang
kurang baik atau karena “underprocessing” yaitu sterilisasi belum sempurna
(Muchtadi, 1995).
2. Flipper
Menurut Adawyah (2007), kerusakan kaleng dimana kaleng kelihatannya
datar, tetapi apabila ditekan dengan ibu jari pada salah satu ujung permukaan,
ujung lainnya akan melonjak keluar (cembung). Pengisian kaleng yang terlalu
penuh atau proses exhausting yang tidak sempurna atau pembentukan gas di
dalam kaleng dapat menyebabkan kerusakan flipper.
3. Penggembungan Hidrogen (Hydrogen Swell)
Penggembungan kaleng ini dapat diakibatkan oleh korosi wadah oleh produk
atau akibat pembentukan gas oleh bakteri. Biasanya produk makan kelihatan
normal atau kelihatan lebih pucat, tetapi tidak terdapat indikasi kebusukan
(Muchtadi, 1995).
4. Stack Burn
Stack burn terjadi akibat pendinginan yang tidak sempurna, yaitu kaleng yang
belum benar-benar dingin sudah disimpan. Biasanya produk

15
di dalam kaleng menjadi lunak, berwarna gelap dan menjadi tidak dapat
dikonsumsi lagi (Muchtadi, 1995).
5. Botulinus
Salah satu jenis bakteri yang paling berbahaya adalah Clostridium botulinum
yang dapat memproduksi racun (botulism) yang mematikan. Racun yang terdapat
dalam makanan kaleng berasam rendah tidak jelas penampakannya, tetapi
pemanasan produk tersebut dapat ditunjukkan adanya kebusukan dan timbulnya
bau yang tidak enak. Racun botulism dapat dihancurkan dengan cara memanaskan
produk dalam air mendidih selama 10-20 menit. Oleh karena itu disarankan untuk
merebus dahulu semua produk makanan kaleng berasam rendah sebelum
dikonsumsi. Walaupun demikian, apabila dicurigai adanya kebusukan, makanan
kaleng tersebut harus dibuang (Muchtadi, 1995).

16
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam pelaksanaan kerja lapangan ini adalah metode
survey melalui :
1. Studi pengamatan langsung dan pengambilan data.
2. Wawancara dengan HRD dan karyawan.
3. Pengumpulan data sekunder yang diperoleh.
4. Studi pustaka.
B. Tata Laksana
Tata laksana dalam pembuatan proposal ini adalah:
1. Pengumpulan data primer
a. Bahan baku
1) Asal bahan baku
2) Spesifikasi bahan baku
3) Ketersediaan bahan baku
4) Seleksi bahan baku
5) Kapasitas produksi
6) Penanganan bahan baku
7) Mutu bahan baku
b. Alat pengalengan ikan
1) Syarat-syarat alat dalam pengalengan ikan
2) Jenis-jenis alat dalam pengalengan ikan
c. Pengalengan ikan
1) Proses pengalengan ikan
2) Jenis produk pengalengan ikan
3) Standar produk
4) Standar mutu ekspor
5) Pemasaran produk

17
d. Pengendalian mutu
1) Bahan baku
2) Bahan antara
3) Produk akhir
2. Pengumpulan data sekunder
a. Lokasi perusahaan
b. Sejarah perusahaan
c. Struktur organisasi
d. Jumlah tenaga kerja
e. Sarana dan prasarana penunjang produksi
f. Tata letak perusahaan dan aliran proses
g. Hasil pengujian laboratorium dan mut

18
DAFTAR PUSTAKA

Aberoumand, A. 2011. Proximate composition and energy values of canned tuna


fish obtained from Iran. Scientific Research 9: 442-446
Adawyah, R. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta
Badan Standarisasi Nasional. 1994. Sarden Media Saus Tomat dalam Kaleng SNI
01- 3548-1994. Badan Standarisasi Nasional . Jakarta
Begabi, R.K., B. Tombe dan T. Polong. Effectiviness of cleaning and sanitation of
food contact surfaces in the PNG fish canning industry. DWU research 17
:68- 82
Depkes RI. 1997. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Makanan. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta
Desrosier, N. W. 1988. The Technology of Food Preservation (Teknologi
Pengawetan Pangan, alih Bahasa : Muchi Muljohardjo). UI Press. Jakarta
Dwiponggo, A. 1982. Beberapa aspek biologi ikan lemuru, Sardinella spp.
Prosiding Seminar Perikanan Lemuru. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan Indonesia. Jakarta
Estiasih, T. 2009. Minyak Ikan Teknologi dan Penerapannya untuk Pangan dan
Kesehatan. Graha Ilmu. Jakarta
Fishbase. 2014. Sardinella lemuru.
http://fishbase.org/Photos/PicturesSummary.php?
StartRow=1&ID=1510&what=species&TotRec=4 diakes pada 10
Sepetember 2014
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I.
Liberty.
Yogyakarta
Hariyadi, P. 2000. Dasar-dasar Teori dan Praktek Proses Termal. Pusat Studi
Pangan dan Gizi IPB. Bogor
Husni, A. dan Putra MGS. M. P. 2014. Pengendalian Mutu Hasil Perikanan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Kusmiati, A. 2007. Kajian pemasaran ikan lemuru (Sardinella lemuru) di Muncar
Banyuwangi. Sosial Ekonomi Pertanian 1 : 48-55. Jurusan Sosial ekonomi
Pertanian Universitas Jember. Jember
Mayasari, L. D. 2013. Pengaruh Hasil Tangkapan Ikan Lemuru terhadap Produksi
Pengalengan Ikan PT Maya Muncar di Kecamatan Muncar Banyuwangi.
Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Banyuwangi. Banyuwangi
Merta, I.G.S. 1992. Dinamika Populasi Ikan Lemuru Sardinella lemuru Bleeker
1853 di Perairan Selat Bali dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi
Program Pascasarjana IPB. Bogor
Moeljanto, R. 1982. Pengalengan Ikan. PT. Penebar Swadaya. Jakarta
Muchtadi, D. 1995. Teknologi dan Mutu Makanan Kaleng. Pustaka Sinar
Harapan.

Jakarta

19
Murniyati dan Sunarman. 2000. Pendinginan Pembekuan dan Pengawetan
Ikan.
Kanisius. Yogyakarta
Naria, E. 2005. Higieni Sanitasi Makanan dan Minuman Jajanan di Kompleks
USU Medan.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18928/1/ikm- des2006-
10%20(6).pdf. Diakses 2 November 2014
PMK. 2011. Higieni Sanitasi Jasa Boga. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1096/MENKES/PER/VI/2011

20
Rodriguez, A., Nicolas C. and Santiago P. A. 2010. Effect of chill storage under
different icing conditions on sensory and physical properties of canned
Farmed salmon (Oncorhynchus kisutch). Food Science and Technology 45
: 295-304
Saanin, H. 1984. Kunci Identifikasi dan Taksonomi Ikan. PT. Bina Cipta.
Bandung Saparinto, C., Ida P. dan Diana H. 2006. Bandeng Duri Lunak. Kanisius.
Yogyakarta Setyohadi, D., D.O. Sutipto dan D.G.R. Wiadnya. 1998.
Dinamika populasi ikan
lemuru (Sardienella lemuru) serta alternatif pengelolaannya. Penelitian
Ilmu- ilmu Hayati 10 : 91-104. Badan Penelitian Universitas Brawijaya.
Malang
Setyohadi, D. 2009. Studi potensi dan dinamika stok ikan lemuru (Sardinelle
lemuru) di Selat Bali serta alternatif penangkapannya. Perikanan 11 : 78-
86. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang
Syakila, S. 2009. Studi Dinamika Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) di
Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB. Bogor
Tim Penulis PS. 2008. Agribisnis Perikanan Edisi Revisi. Penebar Swadaya.
Jakarta Warne, D. 1988. Manual on Fish Canning. FAO Fisheries Technical Paper
285. FAO.
Rome
Wulandari, D. A., Indah W. A. dan Akhmad F. 2009. Kualitas mutu bahan
mentah dan produk akhir pada unit pengalengan ikan sardine di PT. Karya
Manunggal Prima Sukses Muncar. Banyuwangi. K
elautan 2 : 41-50

21

Anda mungkin juga menyukai