Anda di halaman 1dari 44

PROSES PEMBUATAN CHIKUWA DARI SURIMI IKAN NILA

(Oreochromis niloticus)

TUGAS AKHIR

ISTYQAMAH MUSLIMIN
13 22 030 446

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKAJENE DAN KEPULAUAN

2016

1
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sektor perikanan Indonesia pada era globalisasi ini memiliki prospek
pengembangan yang sangat potensial. Hal ini dapat dilihat dari industri pangan
hasil perikanan yang semakin berkembang dan beragam jenisnya. Perairan
Indonesia kaya akan komoditas sumberdaya perikanan, salah satunya yaitu ikan
nila. Bibit Nila didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Peneliti perikanan
Air Tawar (Balitkanwar) dari Taiwan pada tahun 1969. Setelah melalui masa
penelitian dan adaptasi, ikan ini kemudian disebarluaskan kepada petani di seluruh
Indonesia. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh pemerintah
melalui Direktur Jenderal Perikanan. Pada tahun 1980-1990, Nila Merah
diintrodusir masuk dari Taiwan dan Filipina oleh Perusahaan Aquafarm. Pada tahun
1994, Balitkanwar kembali mengintroduksi Nila GIFT (Genetic Improvement for
Farmed Tilapia) strai G3 dari Filipina dan Nila Citralada dari Thailand. Secara
genetic Nila GIFT telah terbukti memiliki keunggulan pertumbuhan dan
produktivitas yang lebih tinggi dibandinggkan dengan jenis ikan Nila lain (KKP
2010). Salah satu jenis ikan air tawar yang umum dibudidayakan adalah ikan nila.
Survey yang pernah dilakukan menyebutkan konsumen di USA menempatkan ikan
nila pada urutan kedelapan jenis ikan yang paling disukai (Pradana 2008).
Bahan pangan perikanan yang saat ini sedang berkembang di Indonesia
adalah surimi. Pada umumnya yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah
ikan dikarenakan mengandung gizi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Ikan yang
akan dikonsumsi harus diolah dulu sesuai dengan keinginan kita. Biasanya
masyarakat Indonesia mengolah ikan menjadi berbagai macam produk tetapi
sebelum menjadi produk kita terlebih dahulu mengolah ikan menjadi surimi.
Pengembangan surimi menjadi produ-produk olahan merupakan suatu
alternatif yang tepat dalam pemanfaatan produksi ikan di Indonesia. Pada dasarnya
hampir semua jenis ikan dapat diolah menjadi surimi tetapi pada umumnya yang
digunakan adalah dari jenis ikan non ekonomis karena diharapkan akan

2
memberikan nilai tambah terhadap bahan baku tersebut atau biasa juga digunakan
jenis ikan lainnya seperti ikan air tawar yang berdaging putih, hal ini tergantung
dimana produk tersebut dibuat karena masing-masing daerah memiliki potensi jenis
ikan yang berbeda.
Seperti yang kita lihat pada saat ini salah satu penyebab konsumsi ikan
masyarakat Indonesia masih sangat kurang adalah kurang bervariasinya hasil
produk perikanan dalam bentuk yang disukai oleh masyarakat. Salah satu hal yang
dapat dilakukan adalah dengan mengupayakan penganekaragaman produk olahan
ikan, misalnya chikuwa. Chikuwa merupakan salah satu produk hasil diversifikasi
di bidang perikanan.
Chikuwa adalah makanan tradisional Jepang yang terbuat dari Surimi yang
dililitkan di stik bambu dan kemudian dipanggang, setelah tahap pemanggangan,
chikuwa dilepas dari stik bambu atau stik yang bebentuk tabung panjag dan siap
untuk dikonsumsi. Perkembangan chikuwa masih kurang dikenal oleh masyarakat
Indonesia, sebenarnya produk ini mirip dengan produk olahan yang sudah lama
digemari oleh masyarakat Indonesia, yaitu bakso dan empek–empek. Bahan
pengikat dalam proses pembuatan chikuwa yakni tepung terigu, namun kali ini
bahan pengikat yang digunkan adalah tepung mocaf dikarenakan tidak mengandung
gluten yang banyak terkandung dalam tepung terigu sehingga aman untuk di
konsumsi oleh penderita autis dan balita. Diharapkan produk chikuwa ini juga akan
digemari masyarakat Indonesia yang akhirnya dapat menambah keragaman produk
hasil perikanan.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah untuk mempelajari proses pembuatan
Chikuwa dari surimi ikan nila (Oreochromis niloticus)

1.3 Manfaat
Manfaat penulis tugas akhir ini adalah untuk memperluas wawasan,
kompetensi keahlian mahasiswa dalam berkarya di masyarakat khususnya
mengenai pembuatan Chikuwa dari surimi ikan nila (Oreochromis niloticus)

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan nila (Oreochromis niloticus)


Ikan nila sangat dikenal oleh masyarakat penggemar ikan air tawar, baik di
negara berkembang maupun di negara maju. Di Asia Tenggara, ikan nila banyak
dibudidayakan, terutama di Filipina, Malaysa, Thailand, dan Indonesia. Di
Indonesia, ikan nila sudah tersebar hampir keseluruh pelosok wilayah Tanah Air
(Khairuman dan Amri 2003).
Menurut sejarahnya, ikan nila pertama kali didatangkan dari Taiwan ke Bali
Penelitian Perikanan Air tawar, Bogor pada tahun 1969. Setahun kemudian, ikan
nila mulai disebarkan ke beberapa daerah. Pemberian nama nil berdasarkan
ketetapan Direktur Jedral Perikanan tahun 1972. Nama tersebut diambil dari nama
spesises ikan nila, yakni nilotica yang kemudian diubah menjadi nila (Khairuman
dan Amri 2003).

2.1.1 Klasifikasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) menurut Trewaves dalam


Suyanto (2009)
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Sub-kelas : Acanthoptherigii
Ordo : Percomorphi
Sub-ordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Jenis (spesies) : Oreochromis niloticus

4
Gambar 1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Sumber : (DKP, 2009).

Ikan nila dimasukan ke dalam jenis Tilapia nilotica atau ikan dari golongan
tilapia yang tidak mengerami telur dan larva di dalam mulut induknya. Dalam
perkembangannya, para pakar perikanan menggolongkan ikan nila ke dalam jenis
Sarotherodon niloticus atau kelompok tilapia yang mengerami telur dan larvanya di
dalam mulut induk jantan dan betinanya. Akhirnya diketahui bahwa yang
mengerami telur dan larva di dalam mulut ikan nila hanya induk betinanya. Para
pakar perikanan kemudian memutuskan bahwa nama ilmiah yang tepat untuk ikan
nila adalah Oreochromis niloticus atau Oreochromis sp. Nama niloticus
menunjukkan tempat ikan ini berasal, yakni Sungai Nil di Benua Afrika
(Khairuman dan Amri 2003).

2.1.2 Morfologi
Berdasarkan morfologinya, kelompok ikan nila ini memang berbeda dengan
kelompok tilapia. Secara umum, bentuk tubuh ikan nila panjang dan ramping,
dengan sisik berukuran besar. Matanya besar, menonjol, dan bagian tepinya
berwarna putih. Gurat sisi (linea lateralis) terputus di bagian tengah badan
kemudian berlanjut, tetapi letaknya lebih ke bawah daripada letak garis yang

5
memanjang di atas sirip dada. Jumlah sisik pada gurat sisi jumlahnya 34 buah. Sirip
punggung, sirip perut, dan sirip dubur mempunyai jari-jari lunak dan keras. Sirip
punggungnya berwarna hitam dan sirip dadanya juga tampak hitam. Bagian pinggir
sirip punggung berwarna abu-abu atau hitam (Khairuman dan Amri 2003).
Banyak orang yang keliru membedakan antara ikan nila dan mujair. Letak
perbedaan keduanya bisa dilihat dari perbandingan antara panjang total dan tinggi
badan. Perbandingan ukuran tubuh ikan nila adalah 3 : 1 dan ikan mujair 2 : 1.
Selain itu, terlihat adanya pola garis-garis vertikal yang terlihat sangat jelas di sirip
ekor dan sirip punggung ikan nila. Jumlah garis vertikal di sirip ekor ada enam buah
dan di sirip punggung ada delapan buah. Garis dengan pola yang sama (garis
vertikal) juga terdapat di kedua sisi tubuh ikan nila dengan jumlah delapan buah
(Khairuman dan Amri 2003).
Ikan nila memiliki 5 buah sirip, yakni sirip punggung (dorsal fin), sirip dada
(pectoral fin), sirip perut (ventral fin), sirip anus (anal fin), dan sirip ekor (caudal
fin). Sirip punggungnya memanjang, dari bagian atas tutup insang hingga bagian
atas sirip ekor. Ada sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil. Sirip
anus hanya satu buah dan berbentuk agak panjang. Sementara itu, sirip ekornya
berbentuk bulat dan hanya berjumlah satu buah (Khairuman dan Amri 2003).

2.1.3 Kandungan Gizi Ikan Nila


Kandugan gizi ikan nila menurut Suyanto 1994 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi ikan nila
Senyawa Kimia Jumlah (%)
Air 79,44
Protein 12,52
Lemak 2,57
Abu 1,26
Sumber : Suyanto (1994).

Ikan nila merupakan salah satu ikan yang kaya akan kandungan nutrisi yang
di butuhkan oleh tubuh kita, selain itu ikan nila juga bermanfaat untuk menjaga

6
tubuh kita tetap sehat. Dengan berbagai cara ikan nila dapat di olah untuk di
konsumsi sehari-hari.

2.1.4 Syarat Hidup


Ikan nila memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya
sehingga bisa dipelihara di daratan rendah yang berair payau hingga di dataran
tinggi yang berair tawar. Habitat hidup ikan nila cukup beragam, dari sungai, danau,
waduk, rawa, sawah, kolam, hingga tambak. Ikan nila dapat tumbuh secara normal
pada kisaran suhu 14-38°C dan dapat memijah secara alami pada suhu 22-37°C.
Untuk pertumbuhan dan perkembangan, suhu optimum bagi ikan nila adalah 25-
30°C. Pertumbuhan ikan nila biasanya akan terganggu jika suhu habitatnya lebih
rendah dari 14°C atau pada suhu tinggi 38°C. Ikan nila akan mengalami kematian
pada suhu 6°C atau 42°C. Selain suhu, faktor lain yang bisa mempengaruhi
kehidupan ikan nila adalah salinitas atau kadar garam di suatu perairan. Ikan nila
bisa tumbuh dan berkembangbiak pada kisaran salinitas 0-29 %o (per mill). Jika
kadar garamnya 29-35 %o, ikan nila bisa tumbuh, tetapi tidak dapat bereproduksi.
Ikan nila yang masih kecil atau benih biasanya lebih cepat menyesuaikan diri
dengan kenaikan salinitas dibandingkan dengan ikan nila yang berukuran besar
(Khairuman dan Amri 2003).

2.2 Surimi
Surimi adalah campuran dari lumatan daging ikan dengan karbohidrat
tertentu (sorbitol dan gula) sehingga teksturnya dapat diperbaiki dan dipertahankan
pada suhu beku karena ditambahkan zat tambahan makanan (food additive) berupa
poliposphat. Sedangkan lumatan daging ikan adalah ikan yang diolah melalui
tahapan pencucian dengan air dingin (leaching) yang bersuhu 5-10°C sampai bau
dan warna hilang atau sampai protein yang larut dalam air hilang dan tahap
pengepresn (penghilangan air). Surimi merupakan produk olahan hasil perikanan
setengah jadi (intermediate product). Surimi digunakan sebagai bahan baku untuk
produk olahan selanjutnya yang dikenal sengan sebutan produk fish jelly yaitu
produk yang spesifikasinya menuntut kemampuan dalam pembentukan gel,
diantaranya bakso, empek-empek, sosis, fish burger, fish cake dan sejenisnya.

7
Dibawah ini dapat dilihat gambar surimi ikan nila (Oreochromis niloticus)
(BBP2HP 2006).

Gambar 2. Surimi ikan nila (Oreochromis niloticus)


Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Surimi

BBP2HP (2006) Ada 3 tipe surimi yang dikenal yaitu :


1. ”Mu-en Surimi” yaitu surimi yang dibuat dengan menggiling hancuran daging
ikan yang telah dicuci dan dicmapur gula dan posphat tanpa penambahan
garam (NaCl) dan telah mengalami proses pembekuan.
2. “Ka-en Surimi” yaitu surimi yang dibuat dengan menggiling hancuran daging
ikan yang telah dicuci dan dicampur denga gula dan garam (NaCl) tanpa
penambahan posphat dan telah mengalami proses pembekuan.
3. “Nama Surimi” yaitu surimi yang tidak mengalami proses pembekuan.

BBP2HP (2006) Beberapa keuntungan penggunaan surimi adalah :


1. Memungkinkan tersedianya bahan baku untuk pengolahan produk-produk fish
jelly, terutama pada saat tidak musim ikan.
2. Pengolahan tidak perlu meyiapkan daging ikan setiap hari sehingga
menghemat waktu dan biaya (tenaga kerja dan peralatan).
3. Meingkatkan efisiensi produksi karena pengolahan dapat mengkhususkan diri
pada produksi surimi beku atau produk akhir (fish jelly).
4. Lebih efektif menyimpan ikan dalam bentuk surimi beku daripada ikan utuh
jika dilihat dari ruangan penyimpanan, distribusi dan transportasi.

8
5. Pada musim produksi ikan yang melimpah, pengolahan surimi merupakan
alternatif yang menguntungkan karena memungkinkan dilakukannya
persediaan (stock) bahan baku.
3.2.1 Tahapan Pembuatan Surimi
1. Persiapan
Tahap ini meliputi kegiatan penyiangan dan pencucian. Ikan disiangi dengan
cara membuang sisik, isi perut dan kepala, kemudian untuk yang berukuran besar
difillet dahulu lalu di cuci dengan air bersih dingin yang mengalir. Piahkan ikan
yang sudah disiangi. Jika jumlah ikan besar (banyak) dapat digunakan mesin potong
kepala (guddet machine) dan mesin pencuci ikan (washed machine). Jika sudah
dicuci bersih, ikan dipertahankan selalu dalam kondisi dingin dengan menggunakan
es atau menyimpan dalam pendingin agar mutu dan kesegaran ikan tetap terjaga
(BBP2HP 2006).

2. Pengambilan Daging
Pengambilan daging dapat dilakukan dengan cara manual, yaitu mengerok
daging dengan menggunakan sendok atau secara mekanis dengna menggunakan
alat meat bone separator. Hasil yang didapat dari proses ini adalah berupa hancuran
daging ikan sebanyak ± 20-40% dari berat ikan utuh. Jumlah daging tersebut
(rendemen) tergantung jenis ikan dan efektifitas pengolahannya. Apabila
pengerokan dilakukan secara efektif maka daging ikan tidak banyak terbuang.
Kemudian daging ikan dihancurkan dengan alat penggiling menjadi lumatan gading
ikan yang halus. Selama proses pengolahan ikan harus selalu dalam kondisi dingin
dan saniter untuk mencegah terjadinya kontaminasi maupun pertumbuhan bakteri
(BBP2HP 2006).

3. Pembilasan (Leaching)
BBP2HP (2006) Lumatan daging ikan yang diperoleh biasanya berwarna
kemerahan dan mengandung lemak, darah, kotoran lainnya serta bau yang tidak
diinginkan. Oleh karena itu lumatan daging ikan harus diberi perlakuan pembilasan
dengan air dingin (bersuhu ±5-10°C) yang disebut leaching. Proses ini meliputi
pembilasan lumatan daging ikan dengan air dingin bersuhu 5-10°C.

9
Perbandingan daging ikan dengan air dingin adalah 1:4 dan ditambahkan
garam sebanyak 0,2 atau 0,3 dari berat lumatan daging ikan. Penambahan garam
bertujuan untuk memudahkan menghilangkan air dari daging ikan. Selama proses
ini dilakukan pengadukan agar pembilasan sempurnah. Proses ini dilakukan
sebanyak ± 3 kali dan masing-masing pembilasan dilakukan selama 15 menit.
Kemudian dilakukan penyaringan dengan kasa nilon. Pembilasan yang lebih dari 3
kali biasanya memberikan hasil yang kurang baik karena kemungkinan terjadi
denaturasi protein dan hilangnya rasa alami karena banyak komponen daging ikan
yang terbuang bersama air pembilas (BBP2HP 2006)

Perlakukan leaching mempunyai beberapa keuntungan (BBP2HP 2006) :


1. Meningkatkan kemampuan pembentukan gel (gel forming ability) karena
proses ini melarutkan protein larut air (water soluble protein) yang
meggunakan dalam pembentukan gel.
2. Memperbaiki warna dan penampakan larutan daging ikan.
3. Menghilangkan bau yang tidak diinginkan.
4. Menghasilkan lumatan daging ikan yang mempunyai rasa tawar sehingga
memingkinkan untuk memberikan rasa sesuai yang diinginkan.
5. Memperpanjang daya simpan bekunyasetelah penambahan gula dan
poliposphat.
Selain keuntungan, perlakukan leaching juga mempunyai kerugian (BBP2HP
2006) :
1. Kehilangan komponen-komponen cita rasa alami daging ikan namun hal ini
dapat diatasi dengan penambahan bumbu penyedap atau bahan tambahan
makanan lainnya.
2. Menurunya kandungan protein daging ikan karena terbuangnya protein larutan
air tetpi hilangnnya protein ini akan meningkatkan kemampuan pembentukan
gel dan merupakan tujuan dari perlakuan leaching.
3. Rendemen yang dihasilkan berkurang karena ada beberapa jenis ikan yang
mempunyai serat daging yang sangat halus sehingga larut bersama air pencuci.
Kerugian ini dapat diatasi dengan cara memotong daging ikan menjadi

10
potongan yang kecil (tidak dihaluskan) sehingga tidak banyak daging yang ikut
terlalu air pembilasa.
BBP2HP (2006) Tahapan perlakuan leaching di atas digunakan jika pH ikan
diantara 6,5-7,5. Jenis ikan berdaging merah seperti Sardine dan mempunyai pH
5,6-5,8 setelah mati. Oleh karena itu mempunyai kemampuan pembentukan gel
yang rendah, sehingga pH perlu diatur dengan cara melakukan leaching garam
alkali. Metode leaching garam alkali dikemukakan oleh Shimizu. Caranya adalah
melakukan leaching dengan volume air 4 kali menggunakan larutan garam alkali
(0,1% NaCl dalam 0,2% NaHCO3) dengan kekuatan ion 0,05 sehingga pH pada
produk akhir adalah 6,8-7,3. Kemudian dilanjutkan dengna pembilasan
kemampuan pembentukan gel pada daging ikan tersebut relatif masih rendagh dan
produk berwarna keabu-abuan.

4. Pengepresan
Setelah proses pencucian selesai, dilakukan pengepresan untuk menghilagkan
sisa air sehingga kadar air pada produk akhir adalah 80-82%. Pada proses kontinyu
digunakan screw press sedangkan pada proses batch dapat menggunakan pengepres
hidorlik (BBP2HP 2006).

5. Penapisan (straining)
Penapisan bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa sisik, jaringan ikat,
membran dan duri-duri halus yang tertinggal agar didapatkan surimi bermutu baik.
Proses ini dilakukan setelah tahap leaching dan pengepresan (BBP2HP 2006).

6. Pencampuran
Lumatan daging ikan yang dihasilkan selanjutnya ditambahkan 2,5-3% gula
dan 0,2% poliposphat. Gula berfungsi sebagai bahan krioprotektif dan poliposphat
sebagai bahan pengikat air untuk mempertahankan daya ikat air (water holding
capacity). Pencampuran dapat dilakukan dengan alat grinder, mixer atau silent
cutter (BBP2HP 2006).

7. Pembekuan

11
BBP2HP (2006) Surimi yang telah selesai diproses segera dikemas dalam
kemasan plastik polietilen dan dilakukan pembekuan cepat sampai suhu pusat
mencapai -20°C dengan alat contact plate freezer atau air blast freezer. Surimi beku
yang biasa diperdagangkan (komersial) umumnya dikemas dalam ukuran 10 kg.

3.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Surimi


Kualitas surimi secara garis besar dipengaruhi oleh faktor intrinsik (biologi)
dan ekstrinsik (pengolahan). Faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi kualitas
surimi yaitu jenis ikan, musim atau kematangan gonad dan tingkat kesegaran ikan.
Sedangkan untuk faktor-faktor ekstrinsik terdiri dari pemanenan, penanganan
bahan baku, air, lama dan suhu pengolahan, frekuensi dan perbandingan air
pencucian, pH dan salinitas (Park dan Morrissey. 2000).
Sifat fungsional dan komposisi surimi bervariasi tergantung dari spesies yang
digunakan (Park dan Morrissey. 2000). Secara teknis semua jenis ikan dapat
dijadikan surimi. Meskipun demikian, ikan yang berdaging putih, tidak berbau
lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang
bagus akan memberikan hasil surimi yang lebih baik. Ikan air tawar seperti lele,
tawes, nila dan lainnya juga dapat diolah menjadi surimi. Biasanya, untuk jenis-
jenis ikan air tawar, sebelum diolah terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau
lumpur pada produk akhir dapat dikurangi (Peranginangin dan wibowo 1999).
Pemanenan ikan selama dan setelah musim memijah menghasilkan kualitas
surimi paling rendah. Saat musim memijah, otot ikan relatif memiliki pH dan kadar
air lebih tinggi. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam menghilangkan kelebihan air
dari daging yang dicuci (Lee 1986 dalam Park dan Morrissey 2000). Menurut
Suzuki (1981) Ikan yang ditangkap pada fase bertelur, pada musim panas dan
berukuran kecil akan lebih cepat mengalami denaturasi daripada ikan yang
ditangkap bukan pada fase bertelur, pada musim semi dan berukuran besar.
Tingkat kesegaran ikan terutama tergantung pada waktu dan suhu. Perubahan
biokimia dan biofisik ikan selama perkembangan fase rigor mortis secara signifikan
mengubah sifat fungsional protein otot ikan. Ikan sebaiknya diproses segera setelah
memasuki fase rigor (Pigott 1986 dalam Park dan Morrissey 2000). Penggunaan

12
ikan beku sebaiknya dihindari untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik karena
elastisitas terbaik hanya didapat dari ikan segar. Dengan kata lain kualitas surimi
akan rendah apabila menggunakan ikan yang sudah dibekukan (Keay 1986).
Selama proses pembuatan surimi faktor utama yang perlu diperhatikan adalah
suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan. Jumlah protein larut air yang hilang
selama pencucian tergantung pada suhu air pencuci karena akan berpengaruh
terhadap kekuatan gel. Suhu air yang lebih tinggi dari 15 ºC akan lebih banyak
melarutkan protein larut air. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika hancuran daging
ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10–15 ºC (Suzuki 1981). Pada proses
pembuatan surimi, pencucian merupakan tahapan yang paling penting, khususnya
untuk ikan-ikan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang rendah, serta
berdaging merah. Pencucian surimi bertujuan untuk melarutkan lemak, darah,
enzim dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Nielsen
dan Piggot 1994).
Park dan Morrissey (2000) mengatakan bahwa Frekuensi pencucian yang
diperlukan untuk menghasilkan surimi berkualitas baik tergantung pada tipe,
komposisi dan kesegaran ikan. Jumlah pencucian yang digunakan dan
perbandingan air dengan daging yang digunakan untuk pencucian bervariasi
diantara pengolah surimi. Perbandingan yang digunakan para pengolah di darat
biasanya berkisar dari 4:1 sampai 8:1. Proses pencucian ini sering diulangi
sebanyak 3-4 kali agar cukup meyakinkan dalam menghilangkan protein
sarkoplasma. Sedangkan untuk para pengolah di laut menggunakan perbandingan
air dan daging yang lebih rendah (1:1 sampai 3:1) dengan jumlah pencucian
sebanyak satu atau 2 kali pencucian karena keterbatasan dalam memperoleh air
tawar.
Faktor lain yang mempengaruhi kelarutan protein miofibril adalah pH. Bila
pH kurang dari 6 mengakibatkan sifat hidrofilik ikan meningkat, sehingga terjadi
pengembangan dan gel ikan tidak terbentuk. Sebaliknya apabila pH lebih dari 7
penyerapan air meningkat, sehingga akan mengalami kesulitan dalam pembuangan
airnya (Haard dan Warren 1985). Suzuki (1981) menambahkan bahwa aktomiosin

13
relatif stabil pada kisaran pH 6,0-8,0 dan lebih stabil pada pH 7,0. Stabilnya
aktomiosin akan membantu proses pembentukan gel.
3.2.3 Mutu Surimi
Surimi dengan mutu yang paling baik adalah surimi dengan derajat putih
paling tinggi, paling bersih dan kekuatan gelnya paling tinggi (Mitchell 1986).
Menurut Winarno (1993), mutu surimi yang paling baik adalah yang berwarna putih
kuat dan dapat membentuk gel. Komponen yang berperan dalam pembentukan gel
ini adalah protein miofibril yang dapat diekstrak menggunakan larutan garam
netral. Mutu surmi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagi berikut:

SNI 01-2694.3-2006 dengan Judul Surimi beku - Bagian 3: Penanganan dan


pengolahan (BSN)
Standar ini merupakan revisi dari SNI 01-2694.2-1992 menetapkan bahan,
peralatan, teknik penanganan dan pengolahan, pengemasan dan penyimpanan
surimi beku. Penanganan adalah rangkaian kegiatan penanganan untuk
mendapatkan produk yang baik dan mempunyai jaminan mutu sedangkan
pengolahan adalah rangkaian kegiatan untuk mendapatkan produk akhir yang
berupa surimi beku. Dalam proses pengolahan produk kemungkinan terjadi bahaya
yang mengakibatkan gangguan terhadap keamanan (food safety), mutu produk
(wholesomess) dan ekonomi (economic fraud). Untuk bahan baku surimi beku
mangacu SNI 01-2694.3-2006. Bahan penolong untuk kegiatan pengolahan
mencakup air, es yang dibuat dari air sesuai SNI 01-4872. Bahan tambahan yang
digunakan untuk produk tersebut terdiri dari garam, polipospat dan gula halus. Jenis
peralatan meliputi pisau, timbangan, keranjang plastik, alat pemisah daging, alat
pengepres, tangki pencucian, meja proses, alat pembeku dan alat lainnya. Semua
peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam penanganan dan pengolahan
surimi beku dalam keadaan bersih, sebelum, selama dan sesudah digunakan. Teknik
penanganan dan pengolahan terdiri dari penerimaan (potensi bahaya bakteri
pathogen, mutu bahan baku kurang baik/segar; bahan baku diuji secara organoleptik
untuk diketahui mutunya, bahan baku ditangani secara hati-hati, cepat cermat dan
saniter dengan suhu pusat maksimal 5 0 C); sortasi, pencucian I, penimbangan,
penyiangan , pencucian 2, pengepresan, pencampuran, pengepakan dan

14
penimbangan, dan pembekuan. Syarat pengemasan produk, bahan kemasan terbuat
dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan bagi produk ikan beku serta teknik
pengemasan, produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan
higienis, pengemasan dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap
produk. Untuk produk yang menggunakan transportasi udara teknik pengemasan
mengacu SNI 01-4858. Syarat penandaan untuk setiap kemasan produk surimi beku
yang akan diperdagangkan diberi tanda denga benar dan mudah dibaca sekurang-
kurangnya memuat keterangan jenis produk, berat bersih produk, nama dan alamat
unit pengolahan, bila ada bahan tambahan lain diberikan keterangan bahan tersebut,
tanggal, bulan dan tahun produksi dan tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. Untuk
penyimpanan surimi beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maks. -
25 - 0 C dengan fluktuasi 2 - 0 C. Penataan produk dalam gudang beku diatur
sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan
memudahkan pembongkaran

3.2.4 Bahan Tambahan Dalam Pembuatan Surimi


Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan
dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai
gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur
dan rupa (Winarno et al. 1980). Dalam proses pembuatan surimi sering digunakan
bahan-bahan tambahan yang ditambahkan dengan maksud dan tujuan tertentu.
Bahan tambahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan surimi bertujuan
untuk meningkatkan kualitas surimi. Bahan tambahan yang digunakan dalam
pembuatan surimi antara lain adalah garam dan cryoprotectant (gula dan polifosfat).

1. Garam
Garam terdiri dari 34,39 % Na dan 60,69 % Cl. Garam biasa digunakan dalam
pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet. Menurut Zaitsev et al.
(1969) garam memiliki tekanan osmosis yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya proses osmosis dengan sel daging ikan dan sel-sel mikroorganisme.
Akibat plasmolisis sel mikroorganisme akan turun kadar airnya sehingga
mikroorganisme akan mati karena kekurangan air sebagai media untuk hidup.

15
Pada pembuatan surimi penambahan garam sebanyak 0,2-0,3 % selama
proses pencucian akan memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah
dilumatkan (Ditjen Perikanan 1990). Menurut KIFTC (1992) bahwa dalam
pembuatan produk fish jelly, NaCl digunakan lebih utama sebagai agen pelarut bagi
protein miofibril daripada sebagai penambah cita rasa. Penambahan NaCl pada
konsentrasi dibawah 2 % akan menyebabkan protein miofibril tidak dapat larut,
namun penambahan NaCl pada konsentrasi diatas 12 % akan menyebabkan daging
terdehidrasi dan menyebabkan efek salting-out dari NaCl. Penambahan NaCl
terbaik dalam pembentukan ashi adalah dengan menggunakan kadar garam tinggi
(5-10 %), tetapi selang kadar garam 2-3 % biasa digunakan pada beberapa spesies
dan produk, karena untuk menghindari rasa asinnya (Niwa 1992).

2. Anti denaturan (Cryoprotectant)


Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan
surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan
disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Fungsi
cryoprotectant adalah sebagai zat anti denaturan. Penyimpanan surimi dalam waktu
yang lama bertujuan untuk menjaga stok daging ikan di pasaran. Penambahan
cryoprotectant dalam pembuatan surimi dapat mencegah denaturasi protein selama
masa pembekuan (Nielsen dan Piggot 1994). Menurut Pipattasatayanuwong et al.
(1995) cryoprotectant dibutuhkan untuk meminimalisasikan denaturasi protein
selama masa penyimpanan beku. Sukrosa (4 %) dan sorbitol (4-5 %) sering
digunakan bersamaan dengan 0,3 % sodium fosfat.
Menurut Peranginangin et al. (1999) penambahan cryoprotectant dapat
meningkatkan tingkat N-aktomiosin dari 350 mg% menjadi 520 mg% dan
meningkatkan kekuatan gel dari 400 g menjadi 489 g, artinya sama dengan
meningkatkan nilai pelipatan. Jenis polifosfat yang digunakan sebagai bahan
tambahan makanan antara lain adalah dinatrium fosfat, natrium heksametafosfat
dan natrium tripolifosfat (STPP). Menurut Matsumoto dan Noguchi (1992) fosfat
digunakan pertama kali oleh Nishiya’s Group (industri surimi di Jepang). Polifosfat
dan tripolifosfat dilaporkan memiliki efek untuk melindungi protein. Nishiya’s

16
Group melaporkan bahwa pirofosfat dan tripolifosfat adalah lebih efektif
dibandingkan dengan tetrapolifosfat dan heksametafosfat, penambahan polifosfat
dapat menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun..
Peranginangin et al. (1999) melaporkan bahwa polifosfat akan memisahkan
aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan polifosfat akan berikatan
dengan air dan menahan mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan
membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori
mikroskopis dan kapiler. Polifosfat dapat menambah nilai kelembutan dan
memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat dapat
memperbaiki daya ikat air (water holding capacity) dan memberikan sifat pasta
yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi. Matsumoto dan Noguchi
(1992) melaporkan dari beberapa studi bahwa aktivitas utama polifosfat adalah
untuk meningkatkan efek cryoprotective dari gula, dengan efek buffer dari
polifosfat pada pH otot dan dengan mengkelatkan ion metal.
Penambahan bahan tambahan makanan menurut Codex Alimentarius
Abridged Version (1990) diacu dalam Matsumoto dan Noguchi (1992) ditetapkan
bahwa penggunaan sodium tripolifosfat yang diizinkan penggunaanya adalah 3
g/kg daging ikan. Apabila ditinjau dari komposisinya ternyata sodium tripolifosfat
terdiri dari natrium dan fosfat yang keduanya tidak mengganggu kesehatan bahkan
fosfat dapat digunakan sebagai sumber mineral.
Bahan mentah untuk pembuatan produk kamaboko, bakso, sosis dan
semacamnya adalah surimi, penggunaan surimi sebagai bahan baku sangat
menguntungkan, terutama dalm hal menjaga kontinuitas ketersediaan bahan baku,
karena surimi yang bermutu tinggi dapat tahan disimpan sampai satu tahun lebih.
Kamaboko merupakan kue ikan yang sifatnya elastis, terbuat dari daging ikan
giling sebagai bahan utama, bahan-bahan tambahan seperti untuk pengental , gula,
garam, serta natrium glutamat untuk menambah cita rasa. Campuran ini kemudian
dimasak dengan pengukusan, pemanggangan, perebusan, maupun dengan digoreng
(okada dalam Fardiaz, 1985).
Berdasarkan cara pemasakan dan bentuk kamaboko, Suzuki (1981) membagi
kamaboko menjadi 3 macam antara lain :

17
1. Itatsuki kamaboko, merupakan yang dicetak pada potongan tahu kecil
sehingga menghasilkan bentuk lempengan (slab), dipanaskan dengan cata
pengukusan atau pemanggangan. Waktu pemanasan tergantung pada
ukurannya, biasanya 80-90 menit utuk ukuran besar dan 20-30 menit untuk
ukuran kecil.
2. Fried kamaboko adalah pasta daging yang dicampur dengan variasi bahan
tambahan, dibentuk dan digoreng dalam minyak kedelai. Jenis ini biasanya
disebut satsumanage atau tampura. Bahan yang digunakan untuk membuat
kamaboko jenis ini mutunya lebih rendah dibandingkan bahan baku untuk
itatsuki.
3. Chikuwa , adalah kamaboko yang dibuat pada cetakan yang berbentuk
tabung, pembentukannya biasanya otomatis oleh mesin dan dimasak dengan
cara dipanggang. Keistimewaan dari chikuwa adalah produkya berwarna
putih di sebelah dalam dan coklat keemasan di sebelah luar atau
permukaannya.

3.3 Chikuwa
Chikuwa adalah makanan tradisional Jepang yang terbuat dari Surimi yang
dililitkan di stik bambu dan kemudian dipanggang, setelah tahap pemanggangan,
stik bambu dilepas dari chikuwa dan siap untuk dikonsumsi. Chikuwa asli Jepang
berbentuk silinder dengna lubang ditengah dengna ukuran diameter 2,5 cm dan
panjang 12cm, sedangkan di negara-negara Asia lain berukuran lebih pendek dan
memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan dengna buatan Jepang (BBP2HP
2006).
Kemajuan Teknologi dan besarnya permintaan produk ini baik lokal maupun
ekspor, maka chikuwa dibuat melalui proses mekanisasi yaitu pelilitan surimi pada
pipa pemanas untuk pemanggangan. Dari hasil uji coba yang dilakukan BBP2HP,
chikuwa dapat dibuat dari bahan baku surimi yang berasal dari tetelan ikan marlin
dan daging ikan layang (Decaterus spp). Kedua baha baku ini menghasilkan produk
dengan tingkat kekenyalan yang baik dan rasa yang gurih dan enak. Chikuwa yang

18
berasal dari bahan baku surimi dari ikan layang memiliki warna keabu-abuan,
sedangkan dari ikan marlin memiliki warna putih (BBP2HP 2006).
Chikuwa adalah suatu produk hasil olahan daging ikan berbentuk gel protein
yang homogen, bersifat kenyal dan elastis, berbentuk tabung. Secara teknis semua
jenis ikan dapat dijadikan surimi. Meski begitu, ikan yang berdaging putih, tidak
berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel
yang bagus yang akan memberikan hasil yang lebih baik. Dibawah ini dapat diliahat
gambar produk chikuwa komersial.

Gambar 3. Produk Chikuwa


Sumber : kanika.com

19
III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penulisan tugas akhir ini didasarkan pada hasil PKPM yang dilaksanakan
selama tiga bulan, mulai tanggal 9 Februari sampai dengan 9 Mei 2016 di Balai
Besar Pengujian dan Penerapan Hasil Perikanan (BBP2HP) Jakarta Timur.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Alat yang diguanakan dalam pengolah chikuwa adalah :
 Meja kerja  Pisau
 Baskom  Kain blacu
 Timbangan  Cetakan
 Cup  Mesin Pemanggang
 Mangkuk  Stik stainless
 Sendok  Freezer
 Talenan  Tusukan
 Suntikan esens  Plastik
 Food processor  Shiler
 Spatula

3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan Chikuwa dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Bahan yang diguakan dalam proses pembuatan Chikuwa :
Bahan % untuk 100g g
Surimi 84,4 84,4
Garam 1,7 1,7
Gula 3 3
Smoke Flovouring 0,6 0,6
Minyak esensial 0,3 0,3
Tepung Mocaf 10 10
Sumber : Data Primer 2016

20
3.3 Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
berdasarkan hasil kegiatan Pengalaman Kerja Praktek (PKPM) di Balai Besar
Pengujian dan Penerapan Hasil Perikanan (BBP2HP) Jakarta Timur dengan
berperan aktif pada stiap tahapan pelaksanaan dan pengambilan data dengan
mengikuti proses pembuatan Chikuwa serta mencari study pustaka menegnai surimi
ikan nila dan Chiuwa.

21
3.4 Prosedur kerja

Ikan segar

Penghilangan sisik dan penyiangan

Proses fillet daging ikan

Pemisahan kulit dari dagig

Penimbangan daging

Leaching 1

Pencucian 1 dengan perbandingan


air es : daging = 4:1

Pengepresan

Penambahan
Leaching 2
garam 0,3%

Pengepresan

Pelumatan ke 2

Penimbangan

Penambahan STPP 0,2% dan gula 2,5%

Surimi

Gambar 5. Diagram alir proses pembuatan Surimi

22
Surimi

Pelumatan surimi beku


Garam 1,7%, Gula
3%, Smoke
Flavouring 0,6%,
Minyak esensial Penambahan bahan tambahan
0,3 %, Tepung
Mocaf 10%.

Pencetakan dan penggulungan adonan

Pemanggangan dengan suhu 70°C


dengan waktu 15-20 menit

Chikuwa

Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan chikuwa

23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Hasil rata-rata uji hedonik produk Chikuwa dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil rata-rata uji hedonik pada produk Chikuwa
Parameter Rata-rata
Penampakan 7,32
Rasa 7,44
Aroma 7,2
Tekstur 7,04
Sumber : Data Primer 2016
Keterangan :
9 = amat sangat suka, 8 = sangat suka, 7 = suka, 6 = agak suka, 5 = netral, 4 = agak
tidak suka, 3 = tidak suka, 2 = sangat tidak suka, 1 = amat sangat tidak suka.

Hasil analisis uji kimia produk Chikuwa dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis uji kimia pada produk Chikuwa
No Parameter Hasil
1 Omega 3 10.4 mg/100g
2 Omega 6 33.15 mg/100g
3 Omega 9 39.8 mg/100
4 Energi dari lemak 1.44 kkal.100g
5 Kadar total 115.96 kkal/100g
6 Kadar air 68.62 %
7 Kadar abu 2.59 %
8 Lemak total 0.16 %
9 Protein 12.48 %
10 Karbohodrat total 16.15 %
11 Natrium 888.55 mg/100g
12 Kalsium 51.46 mg/100g
13 Zat besi 15.85 ppm
14 Fosfor 518.91 ppm
15 Serat pangan tidak larut 0.85 %
Sumber : Data Sekunder 2016

24
Hasil analisis uji mikrobiologi produk Chikuwa dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis uji mikrobiologi pada produk Chikuwa
No Parameter Result
1 ALT (30°C, 72 jam) 1.2x104 colony/g
2 Staphylococcus aureus 0 colony/g
Sumber : Data Sekunder 2016

4.2 Pembahasan
4.2.1 Tahap pembuatan chikuwa
Tahap pembuatan Chikuwa dimulai dari pembuatan surimi yakni,
penggilingan ikan segra, dengan proses leaching 1-2 kali menggunakan air es
perbandingan air es : daging = 4:1 lalu penambahan garam 0,3% untuk
memudahkan pembuangan air dari daging ikan.kemudian dilakukan pengepresan,
setlah pengepresan dilakukan penambahan STPP 0,2% dan gula 2,5 – 3% sebagai
zat anti denaturan untuk meminimalisasikan denaturasi protein selama masa
penyimpanan beku. Dan tahap akhir surimi selanjutnya proses pengemasan dan
pembekuan.
Chikuwa adalah produk jenis kamaboko dari surimi, yang dipanggang dengan
menggunkan stik atau bambu. Tahap awal yang dilakukan pada pembuatn chikuwa
adalah dengan membuat surimi dari daging ikan nila (Oreochromis sp.) sebagai
bahan utama. Stelah itu penimbangan bahan-bahan mulai dari penimbangan surimi,
garam, gula, smoke flavouring, dan esens. Surimi yang digunakan merupakan
surimi beku shingga proses pelumatan surimi yang dilakukan menggunakan food
processor , surimi dilumatkan hingga tidak ada kristal es, kemudian penambahan
garam.
Salah satu faktor yang juga mempengaruhi dalam pembuatan chikuwa adalah
jumlah garam (NaCl) yang ditambahkan. Pada umumnya konsentrasi garam yang
digunakan dalam pembuatan kamaboko dan sejenisnya adalah 2-3% dari berat ikan
(Suzuki 1981). Begitupun dengan chikuwa garam yang ditambahakan adalah 1,7%
dari berat surimi. Garam harus diberikan pada awal penggilingan, hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kerekatan pasta ikan. Suzuki (1981) menyatakan

25
Jika garam diberikan pada akhir penggilingan, sifat kerekatan pasta ikan akan
menurun. Kemudian lanjut dengan penambahan gula sebagai pemanis.
Cahyadi (2012) menyatakan bahwa Pemanis merupakan senyawa kimia yang
sering ditambahkan dan digunakan untuk keperluan produk olahan pangan, industri,
serta minuman dan makanan kesehatan. Bahan pemanis seperti gula yang
ditambahan pada pembuatan chikuwa bertujuan untuk memperbaiki rasa dan bau
bahan pangan sehingga rasa manis yang timbul dapat meningkatkan kelezatan.
Pemanis yang dinggunakan pada pembuatan chikuwa ini adalah sukrosa 3%, rasa
manis merupakan rasa khas dari chikuwa. Selnjutnya penambahan Smoke
flavouring dan minyak esensial.
Smoke flavouring dan minyak esensial digunakan sebagai penyedap rasa
pada produk chikuwa dengan kosentrasi Smoke flavouring 0,6% dan Minyak esensial
0,3 %. Cahyadi (2012) Bahan penyedap mempunyai beberapa fungsi dalam bahan
pangan sehingga dapat bersifat memperbaiki, membuat lebih bernilai atau lebih
diterima dan lebih menarik. Tujuan penggunaan penyedap rasa dalam pengolahan
pangan sebagai berikut :

1. Mengubah aroma hasil olahan dengan penambhana aroma tertentu selama


pengolahan.
2. Modifikasi, pelengkap, atau penguat aroma.
3. Menutupi atau menyembunyikan aroma bahan pangan yang tidak disukai.
4. Membentuk aroma baru atau menetralisis bila bergabung dengan komponen
dalam bahan pangan.
Minyak esensial yang digunkan dalam pembutan chikuwa ini adalah minyak
ikan patin, seperti kita ketahui bahwa miyak ikan memiliki kamdungan omega 3 ,
vitamn A , vitamin D. Selain itu minyak ikan juga merupakan sumber lemak rendah
kolestrol yang aman dikonsumsi oleh segala tingkat usia. Selanjutnya penambahan
tepung mocaf (modified cassafa flour) 10%. Pembuatan chikuwa biasanya
menggunakan tepung terigu namun pada pembuatan chikuwa kali ini menggunakan
tepung mocaf.
Salim E. (2011) Tepung mocaf (Modified cassava flour) merupakan sejenis
tepung yang dibuat dari ubi kayu, prinsip pembuatannya adalah dengan

26
memodifikasi ubi kayu dengan mikrobia, adapun komposisi tepung mocaf yaitu
kadar air 6,9%, kadar protein 1,2%, kadar abu 0,4%, kadar serat 3,4%, kadar lemak
0,4% dan keunggulan mocaf yakni :
1. Kandungan serat terlarut (soluble fiber) lebih tinggi dari pada tepung gaplek.
2. Kandungan mineral (kalsium) lebih tinggi dibanding padi dan gandum
3. Oligasakarida penyebab flatulensi sudah terhidrolisis.
4. Tidak mengandung gluten yang banyak terkandung dalam tepung terigu
sehingga aman untuk di konsumsi oleh penderita autis dan balita.
Keberadaan tepung mocaf sebagia alternatif pengganti tepung terigu dapat
bermanfaat bagi industri pengolahan makanan nasional. Jenis dan karakteristiknya
yang hampir sama dengan tepung terigu, namun dengan harga yang lebih murah,
membuat tepung mocaf menjadi pilihan yang sangat menarik.

4.2.2 Tahap pencetakan dan pemanggangan


Sifat kekenyalan dan sifat penggumpalan pada daging ikan memudahkan
dalam pembuatan berbagai produk gel yang diinginkan. Setelah pelumatan pasta
segera dicetak, karena jika dibiarkan atau disimpan untuk beberapa saat akan
megalami penggumpalan sehingga sulit untuk dibentuk. Pada pencetakan perlu
diperhatikan agar udara jangan terikat dalam produk, karena akan mengakibatkan
pengembangan dan pecahya produk pada saat pemansan, serta akan meninggalkan
rongga sehingga penampakan kurang baik.
Pencetakan adonan dilakukan dengan menggunakan cetakan menyerupai
talenan tetapi terdapat ruang kosong di tengah dengan panjang 29cm dan ketebalan
4,8mm, beralas kain belacu. Ruang kosong merupakan tempat penyimpanan
adonan yang siap di cetak berbentuk persegi panjang. Kain belacu digunakan agar
mempermudah proses penggulungan dengan menggunakan tabung stik. Panjang
chikuwa dari setiap satu gulungan 7,5cm dan tinggi chikuwa setiap satu gulungan
9,6mm. Setelah proses penggulungan dilanjut dengan proses pemanggangan.
Pemangganag dilakukan menggunakan mesin , 1 mesin memuat 10 tabung
stik, setiap tabung stik muat dua adonan. Waktu yang dibutuhkan hingga chikuwa
matang selama 15-20 menit dengan suhu 50-70°C, suhu yang digunakan awal

27
pemangganagn 50°C, setiap 5 menit pemanggangan suhu dinaikkan hingga 70°C
dan suhu diturunkan jika sudah terlihat matang. Setelah matang chkiwa dilepaskan
dari tabung stik dan selanjutnya uji hedonik pada produk chikuwa. Dibawah ini
dapat dilihat produk chikuwa dengan menggunakan tepung mocaf.

Gamabr 6. Chikuwa dari surimi ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan


menggunakan tepung mocaf

4.2.3 Tahap Pengujian Organoleptik


Pengujian organoleptik dilakukan terhadap produk chikuwa menggunakan
uji hedonik. Pudji W.R, (1998) menuliskan bahwa uji hedonik atau uji kesukaan
merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Dalam uji panelis diminta
mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya
ketidaksukaan, disamping itu mereka juga mengemukakan tingkat
kesukaan/ketidaksukaan. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut orang sebagai skala
hedonik, misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak
suka, tidak suka, sangat tidak suka dan amat sangat suka. Sifat organoleptik yang
diamati pada produk chikuwa adalah penampakan, rasa, aroma dan tekstur.

1. Penampakan
Penampakan merupakan parameter organoleptik yang penting karena sifat
sensori yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Pada umumnya konsumen
memilih makanan yang memiliki penampakan menarik. Hasil penilaian panelis

28
terhadap penampakan chikuwa dengan penambahan tepung mocaf dapat dilihat
pada Tabel 4. Nilai rata-rata penampakan chikuwa dengan penambahan tepung
mocaf yang dihasilkan adalah 7,32. Artinya penilaian panelis terhadap chikuwa
dengan penambahan tepung mocaf tersebut berada pada kriteria suka.
2. Aroma
Aroma makanan dapat menentukan kelezatan dari makanan tersebut. Aroma
lebih banyak dipengaruhi oleh panca indera penciuman. Pada umumnya bau yang
dapat diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan campuran empat bau
yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno 2004). Nilai rata-rata aroma
chikuwa dengan penambahan tepung mocaf adalah 7,44 . Artinya penilaian panelis
terhadap aroma chikuwa dengan penambahan tepung mocaf berada pada kriteria
suka.
3. Tekstur
Tekstur adalah penginderaan yang dihubungkan dengan rabaan atau
sentuhan. Tekstur merupakan karakteristik yang sangat penting bagi produk gel
ikan karena sifat elastisitas dan kekenyalannya. Tekstur meliputi keras, halus, kasar,
berminyak dan lembab (Soekarto 1985). Nilai rata-rata tekstur chikuwa dengan
penambahan tepung mocaf adalah 7,04. Artinya penilaian panelis terhadap tekstur
chikuwa dengan penambahan tepung mocaf berada pada kriteria suka.
4. Rasa
Faktor lain yang menentukan suatu produk dapat diterima atau tidak oleh
konsumen adalah rasa. Walaupun parameter penilaian yang lain baik tetapi jika
rasanya tidak disukai, maka produk tersebut akan ditolak (Soekarto 1985). Rasa
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan
interaksi dengan komponen rasa yang lain (Winarno 2004). Hasil nilai rata-rata rasa
chikuwa dengan penambahan tepung mocaf adalah 7,2. Artinya penilaian panelis
terhadap rasa chikuwa dengan penambahan tepung mocaf berada pada kriteria suka.

4.2.4 Pengujian kimia pada produk chikuwa


Parametere uji kimia pada produk chikuwa diantaranya Omega 3, Omega 6,
Omega 9, energi dari lemak, kadar total, kadar air, kadar abu, lemak total, protein,

29
karbohidrat total, natrium, kalsium, zat besi, fospor, dan serat pangan tidak larut.
Adapun hasil dari setiap parameter pengujian yang dilakukan BBP2HP pada tahun
2016 untuk produk chikuwa ini yaitu : Kandungan Omega yang dihasilkan pada
produk chikuwa adalah Omega 3 10.4mg/100g. Omega 6 33.15mg/100g, Omega
9 39.8mg/100g yang merupakan jenis kadar lemak tak jenuh yang dibutuhkan oleh
tubuh. Mengandung energi dari lemak sebanyak 1.44kkal/100g, kadar total
115.96kkal/100g. Dalam pengujian proksimat pada produk chikuwa mengasilkan
kadar air 68.62%, kadar abu 2.59%, lemak total 0.16%, kadar protein 12.48%,
karbohidrat total 16.15% dan serat pangan tidak larut 0.85%. Adapun kandungan
lain yang terdapat pada produk chikuwa yaitu Natrium 888.55mg/100g, Kalsium
51.46 mg/100g, Zat besi 15.85ppm dan Fosfor 518.91ppm.

4.2.5 Pengujian Mikrobiolgi pada produk Chikuwa


Mikroba disebut juga mikrorganisme atau jasad renik, makhlik hidup
sederhana yang hanya dapat dilihat dengan bantuan suatu peralatan khusus
(mikroskop) mencakup virus, bakteri, mikroalga, protozoa, khamir dankapang (SNI
7388:2009). Pada produk chikuwa ini parameter yang diuji yang dilakukan adalah
ALT dengnan standar SNI 01-2332.3-2006 dan Stapilococcus aureus dengan
standar SNI 01-2332.9-2011. Hasl analisis yang didaptkan BBP2HP padatun 2016
untuk ALT pada produk chikuwa ini adalah 1.2x104coloni/g dan untuk
Stapilococcus aureus 0coloni/g.

30
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Ikan nila (Oreochromis niloticus) murupaka ikan air tawar yang memiliki
daging berwarna putih yang sangat baik dijadikan srimi. Surimi merupakan olahan
hasil perikanan setengah jadi berupa hancuran lumatan daging yang telah di proses
sebelumnya. Salah satu produk olahan surimi yaitu chikuwa.
Chikuwa merupakan kamaboko yang dibuat pada cetakan yang berbentuk
tabung, berbagai proses telah di terapkan diantaranya persiapan alat dan bahan,
penimbangan bahan, pelumatan surimi beku, penambahan bahan tambahan dan
penambahan tepung mocaf yang merupakan tepung bebas gluten yang sangat baik
di konsumsi untuk balita dan penderita autis, kemudian lanjut pencetakan dan
pemanggangan. Selanjutnya pengujian organoneptik.
Pengujian organoleptik diantaranya uji hedonik pada produk chikuwa , sifat
organoleptik yang diamati pada produk chikuwa adalah penampakan, rasa, aroma
dan tekstur.

5.2 Saran
Penerapan pengolahan secara aseptik terhadap produk olahan agar tidak
terjadi kontaminasi pada produk dan ketersediaan perlengkapan pekerja untuk
mencegah kontaminasi.

31
DAFTAR PUSTAKA

[BBP2HP] Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 2006.


Teknologi pengolahan surimi dan produk fish jelly. Jakarta Utara.

bkppp.bantulkab.go.id/filestorage/dokumen/2014/07/20121105140749-mocaf.
[diakses 18 juli 2016 14.22]

[BSN] Badan Stantar Nasional, SNI 01-2694.3-2006 Surimi beku - Bagian 3:


Penanganan dan Pengolahan.

Cahyadi W. 2012. Ed.2. Analisi dan aspek kesehatan bahan tambahan pangan.
Jakarta, Bumi Aksara.

Codex Alimentarius Abridged Version. 1990. Joint FAO/WHO Food Standards


Programs. Food Additive no. Codex 452 a. Food and Agricultural
Organization of the United Nation World Health Organization. Di dalam:
Lanier TC, Lee CM, Editors. 1992. Surimi Technology. New York: Marcel
Dekker Inc.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1990. Buku Pedoman Pengenalan Sumber


Perikanan Laut. Jakarta: Departemen Pertanian.

Fardiaz D. 1985. Kamaboko. Produk Olahan Ikan yang Berpotensi untuk


Dikembangkan. Vol. 1 (2):1-7. Media Teknologi Pangan.

Haard N F, Warren J E. 1985. Influence of holding fillets from undersize Atlantic


cod (Godus morhua) at 0 ºC or 3 ºC on the yield and quality of surimi. Dalam:
Martin RE, Collete RL (eds). Proceedings of the International Symposium of
Engineered Seafood Including Surimi, 19-21 November 1985. Washington
DC: National Fisheries Institute.

Keay J N. 1986. Surimi the European perspective. Technology of surimi


manufacturing. Info Fish Marketing Digest. No. 5: 29-34.

Khairuman dan Amri K. 2003. Budidaya Ikan Nila Secara Intensif. Cet.1. Jakarta

[KIFTC] Kanagawa International Fisheries Training Centre. 1992. Science of


Processing Marine Food Products. Volume II. Japan.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Statistik Produksi Ikan Nila di
Indonesia. http://www.kkp.go.id. [diakses pada tanggal 12 juli 2016, 20.23
WIB].

32
Lanier T C. 1992. Measurement Of Surimi Composition and Functional Properties.
Dalam: Lanier T C, Lee CM (eds). Surimi Technology. New York: Marcel
Dekker Inc.

Matsumoto J J, Noguchi S F. 1991. Cryostabilization of Protein in Surimi. Di


dalam. Lanier TC, Lee CM, Editor. Surimi Technology. New York: Marcel
Dekker Inc.

Mitchell C. 1986. Surimi the American experience. Technology of surimi


manufacturing. Info Fish Marketing Diget. No. 5: 20-24.

Nielsen R G, Piggot G M. 1994. Gel strength increased in low grade heat set surimi
with blended phospates. J. Food Sci. 59(2): 285-298.

Niwa E. 1992. Chemistry of surimi gelation. Di dalam. Lanier TC, Lee CM, Editor.
Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc.

Park J W, Morrissey M T. 2000. Manufacturing of surimi from light muscle fish.


Dalam: Park J W (eds). Surimi and Surimi Seafood. New York: Marcel
Dekker, Inc.

Peranginangin R, Wibowo S, Fawzya N. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi.


Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut Slipi.

Pipatsattayanuwong S, Park JW, Morrissey MT. 1995. Functional properties and


shelf life of fresh surimi from pacific whitting. J. Food Sci. 60(6): 1241-1244.

Pradana Y A. 2008. Peranan Tepung Daun jambu biji (Psidium guajava) terhadap
kemunduran mutu fillet ikan nila (Oreochromis sp.). [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pudji W.R, 1998. Penuntun PraktikumPpenelitian Organeleptik. Jrusan teknologi


pangan da gizi fakultas teknologi pertanian IPB

Salim E. 2011. Mengolah Singkong Menjadi Tepung Mocaf. Bisnin Produk


Alternatif Pengganti Terigu. Yogyakarta.

[SNI] Standar Nasional Indonesia 7388:2009. Batas Maksimum Mikroba dalam


Pangan.

Soekarto S T. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil


Pertanian. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.

Suyanto S R. 2009. Nila. Cet. 15. Jakarta : Penebar Swadaya.

33
Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein : Processing Technology. London: Applied
Science Ltd.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

Winarno F. G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Winarno FG., Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta:


PT. Gramedia.

Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V. 1969.


Fish Curing and Processing. Moscow: MIR. Publishing. Translated from the
Russian by: De Merindol A.

34
35
LAMPIRAN 1
Proses pembuatan surimi ikn nila

1. Ikan Nila segar 2. Penghilangan sisik dan


penyiangan
1.

4. Pemisahan kulit dari dagi 3. Proses fillet daging


ikan ikan

LANJUTAN......

36
5. Penimbangan daging ikan 6. Pelumatan 1

8. Pengepresan 7. Pencucian 1

LANJUTAN......

37
9. Pencucian ke2 dengan 10. Pengepresan
penambahan garam 3%

12. Penimbangan

11. Pelumatan ke 2

LANJUTAN......

38
13. Penambahan STPP
0,2% dan gula 3%

14. Surimi

39
LAMPIRAN 2
Proses pembuatan chikuwa

1. Persiapan alat dan bahan 2. Penimbangan bahan

4. Penambahan bahan 3. Pelumatan surimi beku


tambahan

LANJUTAN......

40
5. Proses pencetakan 6. Proses penggulungan

8. Pemanggangan 7. Hasil penggulungan

LANJUTAN......

41
9. Chikuwa

10. Uji Organoleptik (Uji Hedonik)

42
LAMPIRAN 3
Hasil uji hedonik produk chikuwa

No Nama Panelis Penampakan Rasa Aroma Tekstur

1 Burhan 8 7 7 7
2 Sugiran 7 7 7 8
3 Endang P. 7 8 8 7
4 Nudho 7 6 6 8
5 Darmadi 8 8 8 7
6 Rudianto 6 8 8 6
7 Bir Ali 7 7 7 7
8 Ibrahim 7 7 7 7
9 Saldi 8 7 7 8
10 Gilang 8 8 8 7
11 Ira 8 7 7 7
12 Suci 8 7 7 7
13 Selviana 7 7 7 6
14 Indri 7 7 7 7
15 Wahyu 8 6 6 8
16 Aslina 6 8 8 7
17 Susilo 7 7 7 7
18 Sofiana 8 7 7 6
19 Resky 8 7 7 7
20 Adit 7 8 8 7
21 Agung 7 7 7 7
22 Nurbawi 6 7 7 7
23 Agus 8 8 7 6
24 Chairita 8 7 8 7
25 Agus 7 7 7 8

Rata-rata 7,32 7,44 7,2 7,04


Sumber : Data Primer 2016

43
RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama Istyqamah Muslimin


dilahirkan pada tanggal 04 Juli 1994 di kota Pare-
Pare, Sulawesi Selatan dan merupakan anak kedua
dari dua bersaudara, dari pasangan Muslimin Gani
dan Hadijah Mangopo.
Penulis mengawali masa pendidikannya
pada tahun 1992 di TK POLITANI PANGKEP dan
tamat pada tahun 2000, kemudian pada tahun 2000
penulis melanjutkan pendidikannya di SD Negeri
20 Mandalle, Kec. Mandalle, Kab. Pangkep dan tamat pada tahun 2006. Pada tahun
2006 penulis melanjutkan pedidikannya di SMP Negeri 1 Mandalle, Kec. Mandalle,
Kab. Pangkep dan tamat pada tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan
pendidikannya di SMA Negeri 1 Segeri, Kel. Segeri, Kab. Pangkep dan tamat pada
tahun 2012.
Pada tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikannya di Politeknik Pertanian
Negeri Pangkep , mengambil program studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.
Semasa kuliah penulis aktif dalam organisasi internal maupun eksternal, penulis
mencatatkan diri sebagai Pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Pengolahan
Hasil Perikanan (HIMATERIN) Periode 2014/2015, sekertaris UKM TAE KWON
DO periode 2015/2016 selama 6 bulan dan sebagai anggota KMP3 (Kerukunan
Mahasiswa Pangkep Politeknik Pertanian Negeri Pangkep). Pada tahun 2016
penulis mengikuti Praktek Kerja Pengalaman Mahasiswa (PKPM) selama 3 bulan
di Balai Besar Pengujian dan Penerapan Hasil Perikanan (BBP2HP), Jakarta Timur.
Penulis mengambil judul “Proses Pembuatan Chikuwa dari Surimi Ikan Nila
(Oreochromis niloticus)”.

44

Anda mungkin juga menyukai