Anda di halaman 1dari 49

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan salem (Scomber japonicus) adalah memiliki bentuk tubuh yang
berbentuk compressed dan mempunyai batang ekor yang ramping. Ikan salem
memiliki gigi-gigi kecil yang runcing pada rahang atas dan bawah, deretan gigi
serupa juga terdapat pada langit-langit mulut. Ikan tersebut mempunyai lapisan
insang 24-28 pada bagian bawah busur insang pertama, dilengkapi juga dengan
dua sirip punggung yang saling berjauhan, dimana sirip punggung pertama
berjari-jari keras 10-13 cm dan 12 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua,
diikuti lima finlet, begitu juga pada sirip dubur. Ikan salem merupakan ikan yang
hidup bebas di alam pada perairan epipelagik hingga mesopelagik (biasanya 50-
300 m) hidup bergerombol dengan sesama jenis dan ukurannya. Pada malam hari,
secara bergerombol ikan salem naik ke permukaan laut untuk memangsa
euphausida, kopepoda, amphipoda, engraulidae dan cumi-cumi kecil sehingga
ikan salem termasuk golongan ikan karnivora. Ikan segar merupakan ikan yang
baru saja ditangkap, belum disimpan atau diawetkan (Ndahawali, 2015).
Ikan salem adalah jenis ikan yang banyak terdapat di berbagai lokasi perairan
di seluruh dunia. Hampir semua perairan mengenal ikan salem dengan nama yang
berbeda-beda. Keberadaan ikan salem pada suatu perairan pada umumnya
mengindikasikan bahwa pada perairan tersebut masih terdapat ikan-ikan predator.
Hal ini dikarenakan ikan salem merupakan mangsa dari ikan-ikan predator dengan
nilai ekonomi tinggi seperti tuna. Ikan ini mampu bertahan hingga kedalaman
lebih dari 1.000 meter. Ikan salem merupakan salah satu spesies yang terdistribusi
luas di daerah tropis dan sub tropis. Ikan salem dapat hidup di daerah sub tropis
karena ikan ini dapat menaikkan suhu darahnya di atas suhu air dengan aktivitas
ototnya. Perlu difahami bahwa mutu hasil perikanan yang terbaik atau “segar”
adalah saat dipanen dimana hasil penanganan atau pengolahan selanjutnya tidak
akan pernah menghasilkan mutu yang lebih baik, oleh karena itu cara penanganan
pertama saat panen menjadi sangat penting karena akan berarti ikut
mempertahankan mutunya selama tahapan distribusi, penanganan dan pengolahan

1 Universitas Sriwijaya
2

selanjutnya sampai siap dikonsumsi. Agar dapat melakukan penanganan hasil


perikanan secara benar untuk mempertahankan mutunya perlu diketahui ciri-ciri
mutu yang baik dan penyebab kerusakannya sehingga dapat dicari dan dipilih cara
penanganan yang paling efektif dan efesien untuk menghambat aksi penyebab
kerusakan tersebut (Ardiasih, 2015).

1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa lebih memahami tingkat
kemunduran mutu ikan sehingga dapat membedakan sampai batas mana ikan
layak untuk dikonsumsi.

2 Universitas Sriwijaya
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan


Menurut Pradipta (2014), klasifikasi ikan salem adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Actinopterygii
ordo : Scombriformes
famili : Scombridae
genus : Scomber
spesies : Scomber japonicas

Gambar ikan salem (scomber japanicus)


Menurut Pradipta (2014), morfologi ikan salem (Scomber japonicus) adalah
memiliki bentuk tubuh yang berbentuk compressed dan mempunyai batang ekor
yang ramping. Ikan salem memiliki gigi-gigi kecil yang runcing pada rahang atas
dan bawah, deretan gigi serupa juga terdapat pada langit-langit mulut. Ikan
tersebut mempunyai lapisan insang (gill raker) 24-28 pada bagian bawah busur
insang pertama, dilengkapi juga dengan dua sirip punggung yang saling
berjauhan, dimana sirip punggung pertama berjari-jari keras 10-13 cm dab 12 jari-
jari lemah pada sirip punggung kedua, diikuti lima finlet, begitu juga pada sirip
dubur. Ikan salem merupakan ikan yang hidup bebas di alam pada perairan
epipelagik hingga mesopelagik (biasanya 50-300 m) dan hidup bergerombol
dengan sesama jenis dan ukurannya. Pada malam hari, secara bergerombol ikan
salem naik ke permukaan laut untuk memangsa euphausida, kopepoda,

3 Universitas Sriwijaya
4

amphipoda, engraulidae dan cumi-cumi kecil sehingga ikan salem termasuk


golongan ikan karnivora. Keberadaan ikan salem pada suatu perairan pada
umumnya mengindikasikan bahwa pada perairan tersebut masih terdapat ikan –
ikan predator. Hal ini dikarenakan ikan salem merupakan mangsa dari ikan-ikan
predator dengan nilai ekonomi tinggi seperti tuna. Ikan salem merupakan salah
satu spesies yang terdistribusi luas di daerah tropis dan sub tropis. Ikan salem
dapat hidup di daerah sub tropis karena ikan ini dapat menaikkan suhu darahnya
di atas suhu air dengan aktivitas ototnya (et al, 2000).

2.2 Kemunduran Mutu Ikan


Kemunduran mutu ikan tak dapat dipungkiri sebab ikan merupakan
produk yang high perishable (mudah rusak) sehingga memerlukan penanganan
khusus. Tingkat kemunduran ikan ditentukan sejak penangkapan,
pengolahan sampai pennyajian. Proses kemunduran mutu ikan
berlangsung cepat di daerah beriklim tropis dengan suhu dan
kelembapan tinggi di tambahkan tinggi dengan proses penangkapan
yang tidak baik yang menyebabkan ikan mengalami kemunduran mutu
sehinggga penanganan yang baik perlu dilakukan yang bertujuan untuk
mengusahakan agar kesegaran ikan dapat dipertahankan atau ke busukan
ikan dapat ditunda. Proses kemunduran mutu ikan setelah mati mengalami
fase-fase yaitu pre rigor, rigor, dan post rigor. Prerigor merupakan fase yang
terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian sehingga ciri-cirinya mirip
seperti ikan hidup. Fase pre rigor merupakan peristiwa pelepasan
lender dari kelenjar dibawah permukaan kulit ikan yang membentuk lapisan
bening tebal di sekeliling tubuh ikan. Fase rigor ditandai otot yang kaku dan
keras. Mengejangnya tubuh ikan setelah mati merupakan hasil perubahan-
perubahan biokimia yang kompleks dari otot ikan. Proses kemunduran mutu
kesegaran ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat. Cepat
lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik
faktor-faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat-sifat
ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan sifat-sifat ikan
itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan-
lingkungan dan perlakuan manusia. Faktor-faktor biologis (internal)

4 Universitas Sriwijaya
5

tidak mudah di tangani karena berkaitan dengan sifat-sifat ikan itu


sendiri (Vran Bosch, 2015).
Kemunduran mutu ikan digolongkan menjadi 3 tahap, yaitu prerigor,
rigormortis, dan postrigormotis. Berikut penjelasannya, Prerigor tahap prerigor
merupakan perubahan yang pertama kali terjadi setelah ikan mati. Fase ini
ditandai dengan pelepasan lendir cair, bening, atau transparan yang menyelimuti
seluruh tubuh ikan. Proses ini disebut hiperemia yang berlangsung 2-4 jam.
Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin
yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri. Tahap prerigor terjadi
ketika daging ikan masih lembut dan lunak. Perubahan awal yang terjadi ketika
ikan mati adalah peredaran darah berhenti sehingga pasokan oksigen untuk
kegiatan metabolisme berhenti. Di dalam daging ikan mulai terjadi aktivitas
penurunan mutu dalam kondisi anaerobik. Pada fase ini terjadi penurunan ATP
dan keratin fosfat melalui proses aktif glikolisis. Proses glikolisis mengubah
glikogen menjadi asam laktat yang menyebabkan terjadinya penurunan pH. Rigor
mortis Fase ini ditandai dengan tubuh ikan yang kejang setelah ikan mati (rigor =
kaku, mortis = mati) ikan masih dikatakan masih sangat segar pada fase ini.
Faktor yang mempengaruhi lamanya fase rigormortis yaitu jenis ikan, suhu,
penanganan sebelum pemanenan, kondisi stress pra kematian, kondisi biologis
ikan, dan suhu penyimpanan prerigor. Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob
dan ATP terurai oleh enzim dengan terjadinya suatu proses perubahan biokimia
yang menyebabkan bagian protein otot (aktin dan miosin) berkontraksi dan
menjadi kaku (rigor). Postrigor Pada tahap ini daging ikan kembali melunak
secara perlahan-lahan, sehingga secara organoleptik akan meningkatkan derajat
penerimaan konsumen sampai pada tingkat optimal. Lamanya mencapai tingkat
optimal tergantung pada jenis ikan dan suhu lingkungan. Darah ikan lebih cepat
menggumpal dari pada hewan darat (Junianto, 2003).

2.3. Faktor Penyebab Kemunduran Mutu Ikan


Setelah ikan ditangkap dan diangkat dari dalam air, ikan akan mengalami
proses kemunduran mutu. Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisik ,
kimia dan organoleptik berlangsung dengan cepat. Semua proses perubahan ini

5 Universitas Sriwijaya
6

akhirnya mengarah ke pembusukan. Meskipun keadaan ikan tersebut masih dalam


tingkat kesegaran yang maksimal, tetapi biasanya tidak langsung dikonsumsi.
Pada kenyataannya ikan dengan kesegaran yang maksimal setelah dimasak
rasanya kurang enak untuk dimakan, jika dibandingkan dengan ikan yang telah
beberapa saat mati baru dimasak. Hal itu ada kaitannya dengan perubahan
biokimiawi yang terjadi dalam daging ikan, antara lain timbulnya senyawa-
senyawa penyebab rasa enak. Perubahan reaksi biokimia dan fisika kimia yang
sangat cepat terjadi mulai dari ikan mati sampai dikonsumsi. Urutan proses
perubahan biokimiawi yang terjadi pada ikan mati meliputi perubahan pre
rigormortis, rigormortis kemudian dilanjutkan perubahan akibat aktivitas enzim,
aktivitas mikroba-mikroba (Wibowo et al. 2014).
Perubahan protein pada saat rigor, Tahapan rigor ditandai dengan kakunya tubuh
ikan yang merupakan hasil dari perubahan-perubahan biokimia yang kompleks di
dalam otot ikan. Protein di dalam otot ikan terbagi atas protein jaringan ikat,
protein myofibril, dan protein sarkoplasma. Protein sarkoplasma mudah
mengalami denaturasi dan akan melekat kuat pada permukaan miofilamen yang
menghasilkan daging dengan warna pucat. Protein sarkoplasma ikan jauh lebih
stabil daripada protein myofibril sejenisnya. Protein myofibril pada ikan memiliki
sifat lebih besar pada stabilitas terhadap panas dan kelarutannya. Protein dalam
otot dipengaruhi oleh kombinasi keadaan yaitu suhu tinggi dan pH rendah.
Lamanya proses rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan
temperature lingkungan. Pada umumnya ikan mempunyai proses rigor yang
pendek ±1-7 jam setelah ikan mati. Setelah ikan mati, sirkulasi darah berhenti
suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam
laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun, diikuti pula dengan
penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta ketidakmampuan jaringan otot
mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigor
mortis. Rigor mortis terjadi pada saat siklus kontraksi-relaksasi antara miosin dan
aktin di dalam myofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen.
Waktu yang diperlukan ikan untuk masuk dan melewati fase rigormortis ini
tergantung pada spesies, kondisi fisik ikan, derajat perjuangan ikan sebelum mati,
ukuran, cara penangkapan, cara penanganan setelah penangkapan, dan suhu

6 Universitas Sriwijaya
7

selama  penyimpanan. Penguraian ATP berkaitan erat dengan terjadinya rigor


mortis. Pada saat ATP mulai mengalami penurunan, rigor mortis pun mulai
terjadi dan mencapai kejang penuh (full-rigor) ketika ATP sekitar 1 µmol/g.
Energi pada jaringan otot ikan diperoleh secara anaerobik dari pemecahan
glikogen. Glikolisis (penguraian glukosa) menghasilkan ATP dan asam laktat.
Akumulasi asam laktat selain menurunkan pH otot, juga diikuti oleh peristiwa
rigor mortis. Pada tingkat ATP dibawah 1 mikro mol/gram, energi yang
dihasilkan tidak mampu mempertahankan fungsi retikulum sarkoplasma sebagai
pompa kalsium, yaitu menjaga konsentrasi ion Ca di sekitar miofilamen serendah
mungkin. Akibatnya, terjadi pembebasan ion-ion Ca yang kemudian berikatan
dengan protein troponin. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik
antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin) (Ilyas, 2002).
Daging menjadi keras dan kaku. Keadaan rigor mortis yang menyebabkan
karakteristik daging alot dan keras memerlukan waktu yang cukup lama sampai
kemudian menjadi empuk kembali. Jenis dan ukuran ikan, kecepatan
pembusukan berbeda pada tiap jenis karena perbedaan komposisi kimianya. Ikan
– ikan yang kecil lebih cepat membusuknya lebih cepat dari pada ikan yang lebih
besar. Suhu ikan, suhu air saat ikan ditangkap mempengaruhi kemunduran mutu
ikan terutama pada air yang bersuhu tinggi dan ikan berada lebih lama didalam air
sebelum diangkat, hal ini yang dapat mempercepat proses kemunduran mutu ikan.
Suhu ikan adalah faktor yang paling besar peranannya dalam menentukan waktu
yang diperlukan ikan memasuki, memulai, dan melewati rigor. Semakin rendah
suhu penanganan ikan segera setelah ditangkap semakin lambat ikan memasuki
tahap rigor dan semakin panjang waktu rigor itu berakhir. Cara kematian dan
penangkapan ikan yang tidak banyak berontak ketika ditangkap atau sebelum
mati, kesegarannya akan lebih tahan lama dari pada ikan yang lama berontak. Ikan
yang ditangkap dengan payang, trawl, pole and line dan sebagainya, akan lebih
baik keadaannya apabila dibandingkan dengan yang ditangkap melalui giil net,
long line dan sebagainya. Ikan yang tertangkap dan mati dibiarkan agak lam
terendam di dalam air sehingga keadaannya sudah kurang baik sewaktu dinaikkan
keatas. Kondisi biologis ikan Ikan yang sangat kenyang akan makanan saat
ditangkap (disebut perut dan dinding perutnya segera diurai oleh enzim isi perut

7 Universitas Sriwijaya
8

yang mengakibatkan perubahan warna “perut gosong” (belly burn) yang


mengarah perut terbusai ( torn bellies atau belly burst) / ikan pelagik, sardin, dan
kembung yang perutnya kenyang, dapat mengalami pembusaan perut jauh
sebelum tanda–tanda pembusukan mulai terlihat. Cara penanganan dan
penyimpanan jika ikan yang dalam keadaan rigor diperlakukan dengan kasar,
misalnya ditumpuk terlalu banyak, terlempar, terkena benturan, terinjak, terlipat,
dibengkokkan atau diluruskan dan sebagainya, maka pembusukan akan
berlangsung lebih cepat. Pembusukan dapat diperlambat jika ikan disiangi dan
disimpan pada suhu yang rendah (Anjarsari, 2010).

2.4. SNI Ikan Segar


Penanganan ikan setelah penangkapan atau pemanenan memegang peranan
penting untuk memperoleh nilai jual ikan yang maksimal. Salah satu factor-fakor
yang menentukan nilai jual ikan dan hasil perikanan yang lain adalah tingkat
kesegarannya. Semakin segar ikan sampai ke tangan pembeli maka harga jual ikan
tersebut akan semakin mahal. Tingkat kesegaran ikan ini sangat terkait dengan
cara penanganan-penanganan ikan (Junianto, 2003).
Penanganan-penanganan yang tepat merupakan kunci keberhasilan
mempertahankan kesegaran ikan, karena hal tersebut menjadi salah satu faktor
yang sangat penting untuk menentukan nilai jualnya. Untuk mendapatkan hasil
perikanan yang mempunyai kesegaran yang baik perlu diperhatikan beberapa hal
pada pekerjaan pengesan, antara lain adalah jumlah es yang digunakan, cara-cara
penambahan es pada hasil perikanan, waktu lamanya pemberian es, ukuran-
ukuran wadah yang digunakan, menghindari pengesan ikan-ikan yang masih kotor
dan luka (Hadiwiyoto, 1993).
Mutu bahan baku yang sesuai menurut SNI 01-2729.1-1992 adalah bahan
baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukkan, bebas
dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang
dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Secara
organoleptik bahan baku harus mempunyai karekteristik kesegaran sekurang-
kurangnya sebagai berikut Rupa dan warna yaitu bersih, warna daging spesifik
jenis ikan segar. Bau yaitu segar spesifik jenis, bau rumput laut segar. Daging
yaitu elastis, padat dan kompak. Rasa yaitu netral agak manis. Kesegaran ikan

8 Universitas Sriwijaya
9

tidak dapat ditingkatkan, tetapi hanya dapat dipertahankan. Oleh karenanya,


sangat penting untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi setelah ikan
mati. Dengan demikian, dapat dilakukan tindakan penanganan yang baik dalam
upaya mempertahankan kesegaran ikan persyaratan peralatan semua peralatan dan
perlengkapan yang digunakan dalam penanganan ikan segar harus mempunyai
permukaan yang halus dan rata, tidak mengelupa, tidak berkarat, tidak merupakan
sumber cemaran jasad renik, tidak retak dan mudah dibersihkan. Semua peralatan
harus dalam keadaan bersih, sebelum, selama dan sesudah digunakan syarat bahan
baku dan bahan penolong, semua jenis ikan dari jenis ikan bersirip hasil perikanan
dan budidaya asal bahan baku dari periran yang tidak tercemar (Junianto, 2003).

2.5. Penanganan Hasil Perikanan


Dalam preversi ikan segar merupakan bagian penting karena ikan mempunyai
kepekaan yang sangat tinggi terhadap pembusukan setelah panen dan untuk
mencegah kehilangan-kehilangan ekonomi. Jika ikan tidak dijual dalam keadaan
segar maka cara pengawetan harus dilakukan. Ini meliputi pembekuan,
pengasapan dan pencawanan pemanasan (Sterilisasi, Pasteurisasi, dsb). Persiapan
efisiensi ikan mutu unggul hasil investasi maksimum dan keuntungan-
keuntungan yang bisa dicapai (et al, 2005).
Teknik penanganan-penanganan ikan yang paling umum digunakan untuk
menjaga kesegaran ikan adalah penggunaan suhu rendah. Selanjutnya, pada
kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri pembusukan dan proses-proses
biokimia yang berlangsung dapat tumbuh ikan yang mengarah pada kemunduran
mutu menjadi lebih lamban. Sedangkan klasifikasi ikan buntal dalam zipco, yakni
pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan atau
pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Ada pula yang mengatakan
bahawa pendinginan adalah proses pengambilan panas dari suatu ruangan yang
terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu-suhu di ruangan tersebut
Bersama isinya agar selalu lebih rendah dari pada suhu diluar ruangan. Kelebihan
pengawetan ikan dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan tidak mengalami
perubahan tekstur, rasa dan abu (Adawiyah,2007).

9 Universitas Sriwijaya
10

BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Tempat dan Waktu


Kegiatan praktikum dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 14 Februari
2019 pukul 14.30 WIB sampai dengan selesai. Praktikum ini di laksanakan di
Laboratrium Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas
Sriwijaya.

3.2. Alat dan Bahan


Bahan yang digunakan antara lain Ikan Sarden (masing-masing 3 ekor).
Sedangkan alat yang digunakan baskom, pisau, dan plastik.

3.3. Cara Kerja


Cara kerja yang dilakukan dalam praktikum pengamatan kemunduran mutu
ikan secara organoleptik ini adalah sebagai berikut:
1. Ikan diamati kondisi fisiknya mulai dari mata, insang, tekstur daging, keadaan
kulit dan lendir, keadaan perut dan sayatan daging serta bau.
2. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel

10 Universitas Sriwijaya
11

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Adapun hasil dari praktikum Instrumentasi alat sebagai berikut :
Tabel 4.1.1. Hasil praktikum Pengamatan mutu ikan
N Ikan Sa Mata Insang Daging Bau Tekstur
o m
0 1 3 0 1 3 0 1 3 0 1 3 0 1 30
pel
5 0 5 0 5 0 5 0 5

1 Lele I 9 7 5 9 6 3 9 7 4 9 8 6 9 8 6
(Claria
II 8 7 4 7 5 3 8 7 3 8 7 5 8 7 5
sbathra
cus) III 7 6 3 6 4 3 7 6 3 7 5 4 6 6 4

2 Patin I 9 8 7 9 7 6 9 8 7 9 7 6 9 7 6
(Pangas
II 9 8 7 8 7 6 8 7 6 9 8 7 9 7 6
ius
pangasi III 9 8 7 9 8 6 9 7 6 8 7 6 9 8 7
us)

3 Nila I 9 9 8 9 9 8 9 9 8 9 9 8 9 9 8
(Oreoch
II 9 9 8 9 8 7 9 8 7 9 8 8 9 8 7
romis
niloticu III 7 6 5 6 5 3 6 5 3 5 4 3 4 3 2
s)

4 Banden I 6 5 4 8 7 6 8 7 6 8 7 6 8 7 6
g
II 5 4 3 7 6 5 6 5 4 6 5 4 8 7 6
(Chann
oschan III 5 4 3 5 4 3 5 4 3 5 4 3 6 5 4
nos)

5 Sarden I 6 5 3 6 5 3 5 4 3 6 4 3 4 3 3
(Sardin
II 6 5 3 7 6 5 7 6 4 6 5 4 5 4 3
ella
lemuru) III 5 4 3 6 5 3 6 5 4 7 6 5 5 4 3

6 Tongko I 6 5 4 7 5 4 6 5 4 7 6 5 6 4 3

11 Universitas Sriwijaya
12

l
(Euthyn
II 6 5 3 6 5 3 5 4 3 7 5 4 5 4 3
nusaffin
is) III 5 4 3 6 4 3 6 5 3 6 5 3 5 3 2

7 Salem I 6 5 3 7 6 4 7 5 4 6 5 4 4 3 2
(Scamb
II 7 6 4 6 5 4 6 5 4 7 6 5 5 4 3
erjavan
icus) III 7 6 5 6 4 3 7 6 5 6 5 4 6 5 4

12 Universitas Sriwijaya
13

4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini,dapat mengetahui ikan yang masih segar dan ikan
yang sudah mulai membusuk. Kita dapat melihatnya dengan beberapa aspek yang
perlu diamati dari ikan tersebut. Biasanya ikan yang akan diamati adalah ikan
lele, ikan nila, ikan patin, ikan bandeng,ikan sarden, ikan tongkol dan ikan salem.
Yang kita amati adalah mulai dari mata, insang, daging, bau serta tekstur Pada
praktikum kali ini kami mengamati kemunduran mutu pada ikan salem. Ikan
salem yang tidak segar lagi karna didiamkan selama beberapa menit. Tiga ikan
salem yang mati diamati ikannya serta bentuk tubuhnya. Ikan yang sudah
dibiarkan selama 15 menit akan beda bentuk, bau, insang dan lainnya dengan
yang dibiarkan selama 30 menit. Ikan yang dibiarkan selama 30 menit akan mulai
tercium bau busuk serta tekstur dari badannya akan lembek atau tidak bagus lagi,
warna nya sudah mulai pucat.
Pada akhir praktikum dilakukan kembali pengukuran berat dan panjang ikan.
Pada beberapa ikan akan mengalami penurunan bobot. Penurunan bobot karena
adanya ikan yang sudah disayat. Penyusutan yang dialami ikan disebabkan ole
udara pada lingkungan. Keadaan mata Ikan sarden (Sardinella lemuru) yang kami
amati, dari ketiga ikan Sarden (Sardinella lemuru) yang kami amati memiliki bola
mata yang agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea. Pada waktu yang 30
menit, mata ikan sarden (Sardinella lemuru), menjadi cekung, pupil putih susu,
kornea menjadi keruh. Adapun pada insang Ikan Sarden (Sardinella lemuru), dari
ketiga ikan yang diamati, pada menit 0, Ikan sarden yang pertama dan ketiga
memiliki insang yang merah agak kusam dan terdapat sedikit lender. Sedangkan
pada ikan sarden yang kedua, terdapat insang yang mulai ada di kolorasi merah
muda, merah cokelat, sedikit lendir. Pada 15 menit ketiga sampel ikan sarden
sudah mulai mengalami penurunan, begitu pun pada 30 menit, warna merah dan
lendir sudah mulai tebal.Keadaan perut ketiga sampel Ikan Sarden (Sardinella
lemuru) yang kami bawa dan kami amati adalah ikan sarden sudah tampaknya
sayatan daging mulai pudar, kedua perut lunak, pemerahan pada tulang belakang
bau seperti susu. Terus mengalami penurunan-penrunan pada menit ke 15 hingga
menit ke 30.

13 Universitas Sriwijaya
14

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Kemunduran mutu ikan ditandai dengan adanya perubahan fisik dan kimia yang
disebabkan oleh aktifitas enzim dan mikroorganisme.
2. Kemunduran mutu ikan dibagi atas 3 golongan yaitu, prerigormortis,
rigormortis dan postigormortis.
3. Mutu bahan baku yang sesuai menurut SNI 01-2729.1-1992 adalah bahan baku
harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukkan, bebas
dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain
yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.
4. Teknik penanganan ikan pada umumnya menggunakan suhu rendah digunakan
untuk menjaga kesegaran ikan.

5.2. Saran
Pelaksanaan praktikum pengamatan kemunduran mutu ikan, seharusnya
dilakukan dengan lebih kondusif dan tidak terburu-buru saat melakukan
praktikum.

14 Universitas Sriwijaya
15

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penggaraman adalah teknik pengawetan menggunakan garam dengan
konsentrasi tinggi yang biasa di aplikasikan pada ikan, daging, produk sayuran
dan bahan pangan lainnya. Ada 2 macam teknik penggaraman yaitu penggaraman
basah dan penggaraman kering. Penggaraman umum dilakukan adalah jenis
penggaraman kering yaitu penggaraman yang menggunakan kristal garama yang
dicampurkan dengan ikan atau produk penggaraman lainnya (Syahruddin, 2013).
Tujuan penggaraman adalah untuk pengawetan dan perubahan sensoris yang
diinginkan seperti tekstur, warna, serta aroma dan rasa yang khas. Fungsi
penggaraman adalah menghambat mikroorganisme pencemar tertentu secara
selektif karena garam bersifat bakteriostatik. Mikroba pembusuk atau proteolitik
dan pembentuk spora adalah mikroba yang paling terpengaruh oleh kadar garam.
Garam juga berfungsi mengikat air dan menurunkan Aw yang menjadi faktor
pendukung pertumbuhan mikroba. Selain itu garam juga dapat menentukan dalam
pembentukan flavor dan aroma tertentu. Penggaraman dapat mengawetkan karena
pada teknik penggaraman digunakan garam dengan konsentrasi tinggi yang
bersifat bakteriostatik pada Cl- dari garam. Senyawa bakteriostatik pada garam
berperan dalam menghambat mikroorganisme seperti bakteri pembusuk dan
bakteri pembentuk spora bahkan Clostridium botulinum. Garam juga dapat
mengikat air dan menurunkan Aw yang menjadi faktor pendukung pertumbuhan
mikroba (Buckle et al, 2009). Perubahan warna pada bahan yang di garamkan
terjadi karena proses reaksi mailard pada saat pengeringan dan terjadi oksidasi
kandungan bahan, serta kandungan mioglobin yang merupakan penyusun warna
pada daging melepaskan pigmen heme sehingga warna daging menjadi pucat.
Semakin lama waktu penggaraman warna produk akan semakin pudar. Hal
tersebut terjadi karena garam mendegradasi pigmen pada bahan. Berbeda pada
proses curing daging yang jika ditambah garam nitrit akan mencerahkan warna
daging. Apabila larutan garam kurang pekat maka produk yang dihasilkan akan
mengkilap. Sebaliknya apabila larutan terlalu pekat, di permukaan produk akan

15 Universitas Sriwijaya
16

timbul warna keputih-putihan. Pengawetan ikan secara tradisional ini khususnya


penggaraman bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, sehingga
tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak. Untuk
mendapatkan hasil pengawetan yang tinggi dipelukan perlakuan yang baik selama
proses pengawetan seperti menjaga kebersihan bahan dan alat yang digunakan,
menggunakan ikan segar, serta garam yang bersih. Untuk itulah maka dilakukan
suatu cara pengawetan tradisonal dengan penggaraman ikan. Mengapa ikan asin
ini dijadikan suatu produk olahan yang sampai sekarang masih digunakan, sebab
ikan asin ini mempunyai beberapa keunggulan, yaitu teniknya mudah,
pengolahannya sederhana, rasanya cocok dengan selera kebanyakan penduduk di
Indonesia. Penggaraman itu sendiri adalah suatu bentuk pengawetan tradisonal
yang masih banyak dilakukan sampai sekarang (Haryanti, 2008).

1.2. Tujuan
Praktikum peggaraman dan pengeringan bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penambahan berbagai macam konsentrasi garam terhadap mutu ikan
asin yang dihasilkan serta mengetahui metode penggaraman.

16 Universitas Sriwijaya
17

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Salem


Menurut Hart (1973), klasifikasi ikan Scomber japanicus adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Actinopterygii
ordo : Scombriformes
famili : Scombridae
genus : Scomber
spesies : Scomber japonicus

Gambar 2.1.2 ikan salem (scomber japanicus)


Anatomi Ikan Salem Secara umum ikan Scomber japonicus memiliki tubuh
berbentuk compressed dan mempunyai batang ekor yang ramping. Ikan salem
mempunyai gigi-gigi kecil yang runcing pada rahang atas dan bawah, deretan gigi
serupa juga terdapat di langit-langit mulut (Crone et al., 2009). Tapisan insang
(gill raker) 24-28 pada bagian bawah busur insang pertama, dilengkapi juga
dengan dua sirip punggung yang saling berjauhan, dimana sirip punggung
pertama berjari-jari keras 10-13 dan 12 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua,
diikuti lima finlet, begitu pula pada sirip dubur. Terdapat dua lunas (keel) kecil
pada pangkal sirip ekor, tanpa lunas tengah. Bagian dorsal berwarna biru keabuan,
sedangkan bagian ventral berwarna putih perak. Pada bagian dorsal terdapat pita
serong berwarna hitam, bergelombang, kadang-kadang bersiku-sikuan. Sirip
bewarna abu-abu kekuningan. Perbedaan ikan salem dengan ikan jenis mackerel

17 Universitas Sriwijaya
18

lainnya terletak pada bagian dorsal tubuhnya yang mempunyai pita serong yang
bergelombang berwarna hitam. Ikan salem mempunyai panjang rata-rata 15-50
cm. Berdasarkan ukurannya ikan salem dibagi menjadi tiga kategori, antara lain
kategori juvenil ( dibawah 15 cm), muda (15-28 cm), dan dewasa (diatas 28 cm)
(Hernandez and Ortega, 2000).

2.2 Penggaraman Kering (dry salting)


Metode penggaraman kering menggunakan kristal garam yang dicampurkan
dengan ikan. Pada umumnya ikan-ikan yang besar dibuang isi perutnya terlebih
dahulu dan bila perlu dibelah agar dagingnya menjadi tipis sehingga lebih mudah
untuk ditembus oleh garam. Pada proses penggaraman, ikan ditempatkan di dalam
wadah yang kedap air, misalnya bak dari kayu atau dari bata yang disemen. Ikan
disusun selapis demi selapis di dalam wadah, diselingi dengan lapisan garam.
Jumlah garam yang dipakai umumnya 10-35% dari berat ikan yang digarami.
Pada waktu ikan bersentuhan dengan kulit atau daging ikan (yang basah/berair),
garam itu mula-mula akan membentuk larutan pekat. Larutan ini kemudian akan
meresap kedalam daging ikan melalui proses osmosa. Jadi, Kristal garam tidak
langsung menyerap air, tetapi terlebih dahulu berubah jadi larutan. Semakin lama
larutan akan semakin banyak dan ini berarti kandungan air dalam tubuh ikan
semakin berkurang (Budiman, 2008).

2.3. Penggaraman Basah (Wet Salting)


Penggaraman basah menggunakan larutan garam 30-50% (setiap 100 liter
larutan garam berisi 30-50 kg garam). Ikan dimasukkan ke dalam larutan itu dan
diberi pemberat agar semua ikan terendam, tidak ada yang terapung. Ikan
direndam dalam jangka waktu tertentu tergantung pada ukuran dan tebal ikan,
derajat keasinan yang diinginkan. Di dalam proses osmosis, kepekatan makin
lama makin berkurang karena air dari dalam daging ikan secara berangsur-angsur
masuk ke dalam larutan garam, sementara sebagian molekul garam masuk ke
dalam daging ikan. Karena kecenderungan penurunan kepekatan larutan garam
itu, maka proses osmosis akan semakin lambat dan pada akhirnya berhenti.
Larutan garam yang lewat jenuh yaitu jumlah garam lebih banyak dari jumlah

18 Universitas Sriwijaya
19

yang dapat dilarutkan sehingga dapat dipergunakan untuk memperlambat


kecendrungan itu (Adawiyah, 2007).

2.4. Pengeringan dengan solar drying


Metode pengeringan adalah salah satu tahapan dalam memperpanjang umur
simpan (shelf life) produk pangan. Seperti yang dilansir dalam laman national
center for home food preservation metode ini telah lama ada sejak sekita tahun
12000 sebelum masehi yang dilakukan kawasan penghuni timur tengah dan asia.
Dengan begitu bukan merupakan hal baru bagi penggunaan metode pengeringan
bagi pengolahan produk makanan, hanya saja cara ataupun alat yang
dikembangkan akan terus berubah seiring dengan kebutuhan.
Solar dryer adalah salah satu jenis alat pengering yang telah banyak
digunakan oleh home industry. Penggunaan alat ini dikatakan sangat ekonomis
karena menggunakan tenaga matahari langsung dan tidak menggunakan listrik
walaupun ada beberapa solar dryer yang menggunakan kipas sebagai pengantar
panas dari solar collector. Bahan pangan tidak akan kontak langsung dengan
udara dikarenakan bahan pangan diletakkan dalam tempat yang nantinya akan
dialiri udara panas kedalam ruangan. Hal tersebut mencegah terjadinya
kontaminasi dari debu, asap kendaraan, maupun hewan pengganggu. Prinsip kerja
solar dryer adalah dengan mengaliri udara yang akan melewati solar collector
sehingga udara yang dibawa akan memiliki suhu tinggi yang selanjutnya melewati
tempat bahan pangan yang diletakkan. Keunggulan dari alat ini adalah kontruksi
bangunan yang terbilang sederhana dan mudah dibuat, tidak menggunakan listrik,
biaya pembuatan yang murah,dan mengurangi kontaminasi-kontaminasi dari
udara secara langsung (Number, 2002).

2.5. Pengeringan dengan Metode Oven


Metode pengeringan atau metode oven biasa merupakan suatu metode untuk
mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara
menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Prinsip dari metode
oven pengering adalah bahwa air yang terkandung dalam suatu bahan akan
menguap bila bahan tersebut dipanaskan pada suhu 105 derajat Celsius selama

19 Universitas Sriwijaya
20

waktu tertentu. Perbeaan antara berat sebelum dan sesudah dipanaskan adalah
kadar air (Susanti, 2015).

2.6. Faktor yang Mempengaruhi Penggaraman


Menurut Moeljanto (1992) beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan
penetrasi garam ke dalam tubuh ikan, selain tingkat kemurnian garam yang
digunakan, yaitu sebagai berikut :
1. Kadar lemak ikan, Semakin tinggi kadar lemak yang terdapat di dalam tubuh
ikan semakin lambat proses penetrasi garam ke dalam tubuh ikan.
2. Ketebalan daging ikan, Semakin tebal daging ikan semakin lambat proses
penetrasi garam dan semakin banyak pula jumlah garam yang diperlukan.
3. Kesegaran ikan, Pada ikan yang memiliki kesegaran rendah, proses penetrasi
garam berlangsung lebih cepat karena ikan dengan tingkat kesegaran rendah
mempunyai tubuh yang relatif lunak, cairan tubuh tidak terikat dengan kuat dan
mudah terisap oleh larutan garam yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi.
Apabila ikan kurang segar, produk ikan asin yang dihasilkan akan terlalu asin
dan kaku.
4. Temperatur ikan, Semakin tinggi temperatur tubuh ikan maka semakin cepat
pula proses penetrasi garam ke dalam tubuh ikan tersebut. Oleh karena itu,
sebelum dilakukan proses penggaraman sebaiknya ikan ditangani lebih dahulu
dengan baik agar sebagian besar bakteri yang dikandung dapat dihilangkan.
5. Konsentrasi larutan garam, Semakin tinggi perbedaan konsentrasi antara garam
dengan cairan yang terdapat dalam tubuh ikan, semakin cepat proses penetrasi
garam ke dalam tubuh ikan. Selain itu, proses penetrasi garam akan menjadi
lebih cepat lagi apabila digunakan garam kristal. Semakin tinggi konsentrasi
garam maka semakin tinggi daya awet ikan tersebut akan tetapi ikan menjadi
semakin asin dan kurang disukai.

2.7. SNI ikan asin


Ikan asin kering adalah suatu produk olahan ikan dalam bentuk utuh atau
disiangi dengan atau tanpa mengalami perlakuan (seperti perebusan, pemasakan
dan lain-lain) dengan prinsip penggaraman dan pengeringan. Klasifikasi
Tingkatan mutu ikan asin kering digolongkan dalam 1 (satu) tingkatan mutu.

20 Universitas Sriwijaya
21

Persyaratan Bahan baku ikan harus memenuhi persyaratan kesegaran,


kebersihan dan kesehatan, sesuai dengan SPI-KAN-01-1982 Bahan pembantu
dan tambahan yang dipakai harus tidak merusak atau mengubah komposisi
dan sifat khas ikan asin kering, jenis dan dosis harus sesuai dengan persyaratan
yang berlaku dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Bahan baku ikan
asin memenuhi syarat kesegaran, kebersihan dan kesehatan sesuai dengan SNI
2721.2:2009 Bahan baku garam memenuhi persyaratan SNI 01-4435-2000
Bahan penolong dan bahan tambahan yang digunakan tidak merusak,
mengubah komposisi dan sifat khas ikan asin kering sesuai dengan
ketentuan yang berlaku (Mario, 2009).

21 Universitas Sriwijaya
22

BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Tempat dan Waktu


Kegiatan praktikum dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 21 Februari 2019
pukul 14.30 WIB sampai dengan selesai.Praktikum ini dilaksanakan di
Laboraturium Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya.

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah pisau, telenan, baskom, ners
analitik, desikator dan gelas ukur. Sedangkan bahan yang digunakan antara lain
ikan sepat (Trichogaster pectoralis), ikan lele(Clarias bathracus), ikan nila
(Oreochromis niloticus), ikan kembung jantan (Rastrellingeer kanagurta), ikan
sarden (Sardeniella lemuru), ikan salem (Scomber jappanicus), ikan betok
(Anabas testudineus) garam halus air dan gel silica.

3.3. Cara Kerja


1. Terlebih dahulu ukur panjang dari kedua ikan tersebut
2. Setelah itu timbang ikannya
3. Lalu bersihkan ikan jika sudah dibersihkan sisiknya
4. Belah ikan tersebut dari arah dorsal bagian belakang sehingga belahan
membentuk seperti kupu-kupu lalu bersihkan lagi
5. Buang isi perut serta ingsang nya dan garami ikan tersebut sesuai dengan
kelompok perlakuan yaitu 5%,10%
6. Taburkan garam keseluruh bagian ikan hingga rata
7. Setelah itu bungkus ikan dengan plastik

22 Universitas Sriwijaya
23

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 4.1.2. Hasil Organoleptik Ikan Asin
Spesifikasi Nilai Kelompok
1 2 3 4 5 6 7
M M O O M M O
Kemampuan 5 - 2 - - 2 3
Bau 5 - 1 - - 1 2
Rasa - - 1 - - 2 2
Tekstur 5 - 2 - - 2 3
Jamur ( ada) O - - - - - -
Jamur - - O - - O O
(tidak ada)

Keterangan:
1 = Sangat suka
2 = Suka
3 = Cukup suka
4 = Tidak suka
5 = Sangat tidak suka

23 Universitas Sriwijaya
24

4.2 Pembahasan
Pada praktikum penggaraman dan pengeringan ini, kelompok kami
melakukan proses pengeringan dengan oven. Penggaraman kering ini dilakukan
dengan garam. Sebelum proses pemanasan , harus dilakukan penimbang bahan
antara lain ikan dan garam. Penimbangan sangat penting dilakukan agar kita dapat
menghitung beberapa konsentrasi garam yang akan digunakan untuk proses
penggaraman. Proses penimbangan bahan dilakukan menggunakan neraca
analitik. Pada proses pembuatan ikan asin metode kering, ikan beraroma amis
setelah mengalami penggaraman, ikan beraroma campur garam amis sangat kuat
campur garam (khas ikan asin). Pada metode basah ikan beraroma amis dan
setelah dilakukan penggaraman aroma ikan tidak terlalu amis. Semakin rendah
jumlah kadar air ikan dan semakin lama waktu pengeringan yang diberikan maka
nilai organoleptik untuk bau semakin tinggi. Semakin tingginya nilai bau
disebabkan oleh semakin berkurangnya kadar air dalam daging ikan akibat
pengeringan, sehingga bau asli dai daging ikan (amis) menghilang dan bau yang
ditimbulkan akibat garam lebih terasa. Daya tarik ikan asin terletak pada
aroma/bau yang khas, selain rasa dan tekstur. Kombinasi proses pengolahan ikan
asin adalah dengan proses pengeringan. Proses pengeringan dilakukan saat selesai
proses penggaraman selama 1 hari kemudian dikeringkan selama 3-5 jam
menggunakan mesin cabinet dryer. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan
kadar air dalam daging ikan. Selain dari garam yang membantu mengeluarkan
cairan dalam sel (osmosis) dan mengikat air. Dengan demikian, mikroba dapat
dihambat pertumbuhannya dan dapat memperpanjang umur simpan. penggaraman
merupakan proses pengawetan yang banyak dilakukan di berbagai negara
termasuk Indonesia. Proses tersebut menggunakan garam sebagai media
pengawet, baik yang berbentuk kristal maupun larutan. Metode penggaraman
dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu Metode penggaraman kering (dry salting),
Metode penggaraman basah (Brine salting) dan Metode Campuran (Kench
salting).

24 Universitas Sriwijaya
25

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Dalam penggaraman ikan, garam berperan untuk menghambat aktivitas


mikroorganisme dan enzim perusak daging ikan
2. Metode penggaraman dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu Metode
penggaraman kering (dry salting), Metode penggaraman basah (Brine salting)
dan Metode Campuran (Kench salting)3. Kecepatan penetrasi garam ke dalam
tubuh ikan dipengaruhi faktor, selain tingkat kemurnian garam yang digunakan
adalah kadar lemak ikan, ketebalan daging ikan, kesegaran ikan, temperatur
ikan dan konsentrasi larutan garam.
4. Pemberian garam yang tepat akan berpengaruh terhadap cita rasa produk yang
diperoleh.
5. Penggaraman merupakan proses pengawetan yang banyak dilakukan di
berbagai negara termasuk Indonesia. Proses tersebut menggunakan garam
sebagai media pengawet, baik yang berbentuk kristal maupun larutan.

5.2. Saran
Pelaksanaan praktikum pengamatan kemunduran mutu ikan, seharusnya
dilakukan dengan lebih kondusif dan tidak terburu-buru saat melakukan
praktikum.

25 Universitas Sriwijaya
26

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi
yang tinggi di antaranya mengandung mineral, vitamin, dan lemak tak jenuh.
Protein dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan pengganti sel-sel tubuh kita
yang telah rusak. Selain air, protein merupakan bagian utama dari susunan
(komposisi) tubuh kita. Protein dalam ikan berguna untuk mempercepat
pertumbuhan badan, meningkatkan daya tahan tubuh, mencerdaskan
otak/mempertajam pikiran, meningkatkan generasi/keturunan yang baik. Ikan
memiliki kadar protein yang sangat tinggi yaitu sekitar 20%. Dismping itu protein
yang terkandung dalam ikan mempunyai mutu yang baik, sebab mengandung
kolestrol dan sedikit lemak. Ikan peda adalah salah satu hasil olahan ikan yang
diolah melalui cara fermentasi beragam. Ikan peda biasanya dibuat dari ikan
kembung perempuan (Rasterliger neglectus). Ikan peda umumnya dikenal
memiliki dua jenis, yaitu ikan peda merah (peda siam), dan ikan peda putih. Ikan
peda merah dibuat dari ikan kembung berkadar lemak tinggi dan tidak disiangi,
sedangkan ikan peda putih dibuat dari ikan kembung yang berkadar lemak rendah
serta disiangi. Ikan peda yang dibuat secara bertahap, yaitu melalui proses
penggaraman dan dilanjutkan dengan proses fermentasi untuk pembuatan bau
yang spesifik. Tentu saja, hal ini mempengaruhi profesi penduduk sekitar yang
lebih dominan menjadi nelayan. Sebagian besar masyarakat memilih profesi
sebagian nelayan. Proses pengembangan ikan peda sangat sederhana dan dapat
dikembangkan di daerah perikanan seperti Kuala Tungkal. Hal ini dapat
digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan yang berakibat
peningkatan pendapatan nelayan. Pengawetan merupakan cara pengeringan yang
bertujuan untuk pengawetan dan pengolahan makanan (Rashid, 2015).
Proses fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian
secara biologis atau semi biologis terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama
protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan
terkontrol. Selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi
asam-asam amino dan peptida, kemudian asam-asam amino akan terurai lebih

26 Universitas Sriwijaya
27

lanjut menjadi komponen-komponen lain yang berperaan dalam pembentukan cita


rasa produk. Fermentasi dapat digolongkan kedalam salah satu bioteknologi
dalam bidang pangan. Pengolahan makanan dan bahan makanan melalui
bioteknologi menghasilkan aneka macam pangan dan bahan pangan hasil
fermentasi yang digunakan secara luas. Perkembangan fermentasi diawali saat
Pasteur melakukan penelitian mengenai penyebab perubahan sifat bahan yang
difermentasi, sehingga dihubungkan dengan mikroorganisme dan akhirnya dengan
enzim (Bahruddin, 2013).
1.2 Tujuan
Praktikum fermentasi bertujun untuk mengetahui pengaruh penambahan
berbagai macam konsentrasi garam terhadaap mutu ikan peda yang dihasilkan
serta mengetahui metode fermentasi.

27 Universitas Sriwijaya
28

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan morfologi ikan salem
Menurut Hart (1973), klasifikasi ikan Scomber japanicus adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Actinopterygii
ordo : Scombriformes
famili : Scombridae
genus : Scomber
spesies : Scomber japonicus

Gambar ikan salem (scomber japanicus)


Secara umum ikan Scomber japonicus memiliki tubuh berbentuk compressed
dan mempunyai batang ekor yang ramping. Ikan salem mempunyai gigi-gigi kecil
yang runcing pada rahang atas dan bawah, deretan gigi serupa juga terdapat di
langit-langit mulut. Ikan tersebut mempunyai tapisan insang (gill raker) 24-28
pada bagian bawah busur insang pertama, dilengkapi juga dengan dua sirip
punggung yang saling berjauhan, dimana sirip punggung pertama berjari-jari
keras 10-13 dan 12 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua, diikuti lima finlet,
begitu pula pada sirip dubur. Terdapat dua lunas (keel) kecil pada pangkal sirip
ekor, tanpa lunas tengah. Bagian dorsal berwarna biru keabuan, sedangkan bagian
ventral berwarna putih perak. Pada bagian-bagian dorsal terdapat pita serong
berwarna hitam, bergelombang, kadang-kadang bersiku-sikuan. Sirip bewarna
abu-abu kekuningan. Perbedaan-perbedaan ikan salem dengan ikan jenis
mackerel lainnya terletak pada bagian dorsal tubuhnya yang mempunyai pita

28 Universitas Sriwijaya
29

serong yang bergelombang berwarna hitam. Ikan salem mempunyai panjang rata-
rata 15-50 cm. Berdasarkan ukurannya ikan salem dibagi menjadi tiga kategori,
antara lain kategori juvenil ( dibawah 15 cm), muda (15-28 cm), dan dewasa
(diatas 28 cm) (Murniyati, 2004).

2.2. Jenis-jenis Fermentasi


Fermentai secara umum dibagi menjadi 2 model secara umum yaitu
fermentasi media cair dan fermentasi media padat. Fermentasi media cair
diartikan sebagai fermentasi yang melibatkan air sebagai fase kontinu dari sistem
pertumbuhan sel bersangkutan atau substrat baik sumber karbon maupun mineral
terlarut atau tersuspensi sebagai partikel-partikel dalam fase cair. Meliputi
fermentasi minuman anggur dan alkohol, fermentasi asam cuka, yogurt dan kefir.
Sedangkan fermentasi media padat merupakan proses fermentasi yang
berlangsung dalam substrat tidak terlarut, namun mengandung air yang cukup
sekalipun tidak mengalir bebas. Meliputi seperti fermentasi tape, oncom, kecap,
tape dan silase. Fermentasi adalah proses produksi energi dalam keadaan
anaerobic (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk
respirasi anaerobik, akan tetapi terdapat defenisi yang lebih jelas yang
mendefenisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan
tanpa akseptor electron eksternal. Fermentasi ada tiga yaitu fermentasi alkohol,
merupakan suatu reaksi pengubahan glukosa menjadi etanol (etil alkohol) dan
karbon dioksida. Organisme yang berperan yaitu Saccharomyces cerevisiae (ragi)
untuk pembuatan tape, roti, atau minuman keras. Fermentasi asam laktat adaalah
repirasi yang terjadi pada sel hewan atau manusia, ketika kebutuhan oksigen tidak
tercukupi akibat bekerja terlalu berat di dalam sel otot asam laktat dapat
menyebabkan gejala kram dan kelelahan. Laktat yang terakumulasi sebagai
produk limbah dapat menyebabkan otot letih dan nyeri, namun secara perlahan
diangkut oleh darah ke hati untuk diubah kembali menjadi piruvat. Glukosa
dipecaah menjadi 2 molekul asam piruvat melalui glikolisis, membentuk 2 ATP
dan 2 NADH. Yang ketiga fermentasi asam cuka, merupakan suatu contoh
fermentai yang berlangsung dalam keadaan aerob. Fermentasi ini dilakukan oleh
bakteri asam cuka (acetobacter aceti) dengan substrat etanol. Energi yang
dihasilkan oleh fermentai alkohol secara anaerob (Baharuddin, 2013).

29 Universitas Sriwijaya
30

2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi


Faktor yang mempengaruhi proses fermentasi untuk menghasilkan etanol
adalah sumber karbon, gas karbohidrat, ph, substrat, nutrisi, temperatur dan
oksigen. Untuk pertumbuhannya, dibutuhkan ragi yang berasal dari karbon. Gula
adalah substrat yang lebih penting. Oleh karena itu, jumlah gula yang dihasilkan
sangat tinggi. Yaitu keasaman, makanan yang mengandung asam biasanya tahan
lama, tetapi jika oksigen cukup jumlahnya dan kapang dapat tumbuh serta
fermentasi berlangsung terus, maka daya tahan awet dari asam tersebut akan
hilang. Kedua mikroba, fermentasi biasanya dilakukan dengan kultur murni yang
dihasilkan di laboraturium. Pembuatan makanan dengan cara fermentasi di
Indonesia pada umumnya tidak menggunakan kultur murni sebagai contoh
misalnya ragi pasar mengandung beberapa ragi diantaranya Saccharomyes
cereviseae yang dicampur dengan tepung beras dan dikeringkan. Yang ketiga
adalah suhu, suhu fermentasi sangat menentukan macam mikroba yang dominan
selama fermentasi. Setiap mikroorganisme memiliki suhu maksimal, suhu
minimal dan suhu optimal pertumbuhan. Selanjutnya alkohol, mikroorganisme
yang terkandung dalam ragi tidak tahan terhadap alkohol dalam kepekatan (kadar)
tertentu, kebanyakan mikroba tidak tahan pada konsentrasi alkohol 12-15%.
Oksigen, oksigen selama proses fermentasi-fermentasi harus diatur sebaik
mungkin untuk memperbanyak atau menghambat pertumbuhan-pertumbuhan
mikroba tertentu, ragi yang menghasilkan alkohol dari gula lebih baik dalam
kondisi anaerobik. Yang terakhir adalah substrat dan nutrient, mikroorganisme
memerlukan substrat dan nutrien (Kinanti, 2017).

2.4. Produk-produk fermentasi


Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai sumber daya ikan yang
melimpah. Hal ini dikarenakan 2/3 wilayah teritorial Indonesia adalah perairan.
Perikanan merupakan sektor penting di dalam perolehan devisa untuk
pembangunan Indonesia dan penyediaan kesempatan kerja. Di samping itu, ikan
mempunyai peranan dalam penyediaan protein hewani untuk perbaikan status gizi
bangsa Indonesia. Produksi perikanan tangkap dari penangkapan ikan di laut dan
di perairan umum tahun 2009 adalah 4,82 juta ton dan 0,30 juta ton, sedangkan
produksi hasil perikanan budi daya pada tahun 2009 mencapai 4,71 juta ton, yang

30 Universitas Sriwijaya
31

berasal dari budi daya laut, tambak, kolam, keramba, jarring apung, dan budi daya
sawah. Industry perikanan Indonesia berkembang cepat selama decade terakhir
ini, khususnya untuk produk ekspor, seperti tuna, cakalang, dan udang.
Pengembangan produk olahan juga mulai mendapat perhatian dari kalangan
pengusaha yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya variai produk olahan
yang ada di pasaran. Walaupun demikian, proporsi ikan yang di pasar dalam
keadaan segar masih cukup besar, sebagai contoh sekitar 67,1% dari tangkapan
perikanan laut. Proporsi ikan yang diolah menjadi produk ikan fermentasi
jumlahnya relative kecil, yaitu sekitar satu persen dari total produksi. Namun,
produk tersebut memegang peranan penting dalam menu sehari-hari banga
Indonesia. Adapun jenis produk ikan fermentasi yang dapat ditemukan di berbagai
daerah Indoneia tergolong banyak. Produk-produk tersebut mencirikan makanan
khas daerahnya. Produk-produk fermentai ikan biasanya mempunyai konsumen
khusus di Indonesia karena kemampuannya memberikan karakteristik tertentu
yang unik, khuusnya aroma, flavor, dan tekstyur. Hal ini dikarenakan terjadi
transformasi dari bahan-bahan organik menjadi senyawa-senyawa yang lebih
sederhana oleh aktivitas mikroorganisme atau enzim yang terdapat di jaringan
daging ikan selama proses fermentai (Eko, 2013).

2.4.1. Peda
Ikan peda merupakan salah satu produk hasil perikanan secara tradisional
yang dapat digolongkan sebagai ikan asin basah. Dalam pembuatannya, ikan peda
sengaja tidak dikeringkan tetapi dibiarkan setengah kering sehingga proses
fermentai yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganime dan proses autolysis
oleh enzim-enzim pencernaan tetap berlangsung. Karena terjadi proses fermentasi
dan autolysis pada daging ikan yang bentuk asam propinoat, ikan peda yang
dihasilkan beraroma khas. Ikan peda yang bermutu baik mempunyai rasa khusus
yang sangat disukai oleh konsumen dan dagingnya berwarna kecoklat-coklatan
akibat proses oksidasi terhadap lemak yang terdapat di dalam tubuh ikan.
Sebenarnya hamper semua jenis ikan dapat dibuat peda, baik yang tubuhnya
mengandung sedikit lemak (kurus) maupun yang mengandung lemak dalam
jumlah banyak (gemuk). Akan tetapi ikan yang dibuat peda umumnya adalah ikan
laut, yaitu ikam kembung, ikan laying, ikan selar, dan ikan tanjan. Meskipun pada

31 Universitas Sriwijaya
32

umumnya hanya ikan laut yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan peda,
ternyata ikan air tawar juga dapat dibuat peda. Adapun ikan air tawar yang biasa
dibuat peda adalah ikan tawes (puntius javanicus) (Afrianto, 1989).

2.4.2. Terasi
Terasi ikan adalah salah satu produk hasil fermentasi ikan atau udang yang
hanya mengalami perlakuan penggaraman (tanpa diikuti dengan penambahan
asam), kemudian dibiarkan beberapa saat agar terjadi proses fermentasi. Dalam
pembuatan terasi, proses fermentasi dapat berlangsung karena adanya aktivitas-
aktivitas enzim enzim yang berasal dari tubuh ikan atau udang itu sendiri.
Pembuatan terasi sangat dianjurkan untuk memanfaatkan ikan-ikan atau udang
yang kualitasnya sudah tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai makanan
manusia atau produk sampingan dari usaha budidaya (misalnya produksi udang
rebon di tambak bandeng). Ada pula petani-petani yang sengaja menggunakan
ikan-ikan (atau udang) yang masih baik sebagai bahan baku dalam pembuatan
terasi, bila produk-produk terasi yang dihasilkan diharapkan mempunyai mutu dan
harga jual yang lebih baik (Afrianto, 1989).

2.4.3. Rusip
Rusip merupakan produk makanan tradisional khas dari daerah Bangka-
Belitung berupa awetan ikan laut yang berukuran kecil terutama berbahan baku
ikan teri yang diolah dengan cara fermentasi dengan penambahan garam dan pula
aren dalam jumlah tertentu. Rusip merupakan produk fermentasi ikan yang dibuat
dengan penambahan garam antara 20-30% dan penambahan gula aren sekitar
10%, kemudian difermentasi selama kurang lebih satu minggu secara anerob.
Umumnya, ikan yang dijadikan bahan baku pembuatan rusip adalah ikan rucah
yang berukuran kecil dan salah satunya adalah ikan teri (Stolephorus sp). Rusip
dapat dikonsumsi secara langsung ataupun dengan penambahan-penambahan
bumbu-bumbu tertentu untuk meningkatkan daya terimanya, seperti irisan-irisan
bawang merah, cabai, dan perasaan jeruk kunci. Secara umum rusip-rusip yang
dihasilkan oleh masyarakat Bangka Belitung memiliki parameter yang secara
deskriptif yaitu penampakan ikan utuh mulai hancur keruh dan encer, warna abu-

32 Universitas Sriwijaya
33

abu dan coklat, rasa asin dan asam, serta aroma amis dan asam yang merupakan
ciri khas dari produk fermentasi (Efrika, 2014).

2.4.4. Bekasam
Ikan bekasem adalah salah satu produk ikan awetan yang diolah secara
tradisonal dengan metode penggaraman dan dilanjutkan dengan proses fermentasi.
Proses fermentasi pada ikan bekasem afak berbeda, yaitu dilakukan bersamaan
dengan proes fermentasi nasi (karbohidrat). Dalam hal ini, nasi sengaja
ditambahkan ke dalam wadah untuk digunakan sebagai sumber energi oleh
mikroorganime yang akan berperan dalam proses fermentasi daging ikan. Dari
hasil fermentasi karbohidrat segera terbentuk bebrapa senyawa alkohol, seperti
etil alkohol, asam laktat, asam asetat, da asam propionate yang dapat berfungsi
sebagai zat pengawetan terhadap daging ikan. Dengan adanya senyawa tersebut,
ikan bekasem dapat disimpan dalam waktu yang lama tanpa banyak perubahan
kualitas. Karena selama proses pembuatan bekasem terjadi pula proses fermentasi
karbohidrat, bekasem yang dihailkan serupa dengan ikan peda yang mempunyai
aroma dan alkohol. Pembuatan bekasem pertama kali dibuat di daerah Bengawan
Solo dan Surabaya, kemudian menyebar ke daerah Jawa Tengah, Sumatera
Selatan, dan Kalimantan Tengah. Sebenarnya, hampir semua jenis ikan dapat
diproses menjadi bekasem, tetapi setiap daerah mempunyai pertimbangan masing-
masing dalam memilih spesies ikan yang akan diolah menjadi bekasem. Adapun
jenis ikan yang biasa di jadikan bekasem adalah lele (Clarias batrachus), ikan
mas (Cyprinus carpio), tawes (Puntius javanicus), gabus (Ophiocephalus
striatus), nila (Tilapia nilotica), mujair (Tilapia mossambica) (Afrianto, 1989).

2.4.5. Kecap ikan


Kecap ikan merupakan produk perikanan yang banyak dimanfaatkan
sebagai bahan tambahan dalam masakan dan makanan oleh berbagai Negara
seperti China, Korea, dan Thailand. Kecap ikan mempunyai cita rasa dan aroma
yang khas. Biasanya setiap Negara mempunyai kualitas kecap ikan yang berbeda,
hal ini karena jenis ikan yang digunakan pembuatan ikan menjadi berbeda. Selain
komponen nitrogen, kecap ikan juga mengandung mineral yang penting bagi
tubuh contohnya garam Nacl atau garam kalsium. Kecap ikan mempunyai suatu

33 Universitas Sriwijaya
34

gizi tinggi karena mengandung nitrogen . pada proses kecap ikan , protein ikan
akan terhidrolisis. Berdasarkan hasil penelitian selama proses, amino nitrogen
akan meningkatkan peningkatan tetapi akan terjadi penurunan total nitrogen.
Amino nitrogen merupakan kandungan gizi yang baik di cerna. Terlepas dari itu
selama proses pembuatan kecap ikan, menghadiri mikroorganisme yang sangat
berpengaruh pada produk yang dihasilkan. Menerangkan bahwa pada kecap ikan
sering timbul keberadaan efek bau yang tidak sedap bau amis (Astuti, 2014).

34 Universitas Sriwijaya
35

BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Tempat dan Waktu


Praktikum ini dilaksanakan di Laboraturium Teknologi Hasil Perikanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Kegiatan praktikum dilaksanakan pada
hari Kamis tanggal 28 Februari 2019 pukul 14.30 WIB sampai dengan selesai.

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum ini ialah Wadah, Pisau, Talenan,
Baskom, Keranjang, Plastik kemasan, Para—para penjemur. Sedangkan bahan
yang digunakan antara lain ikan kembung (Rastreligger sp), layang (Decapterus
sp), tawes (Puntius javanicus), mujaer (Tilapia mossambica), mas (Cyprinus
carpio), dan selar (Caranz sp) serta garam.

3.3.Cara Kerja
1. Ikan yang akan diolah menjadi ikan peda dipilih dan disortir menurut jenis,
ukuran, dan tingkat kesegaran.
2. Ikan disiangi dan dicuci bersih di bawah air mengalir.
3. Ikan yang telah dicuci ditiriskan, kemudian ditimbang.
4. Ikan disusun dalam wadah secara berlapis.
5. Taburi lapisan ikan dengan garam sebanyak 20%
6. Tutup wadah dan biarkan selama 1 minggu.
7. Keluarkan ikan dari wadah penggaraman, bersihkan ikan dari garam yang
menempel.
8. Jemur ikan sambil dibolak-balik selama 2 jam.
9. Masukkan ke dalam wadah yang bersih, tutup kembali, dan biarkan selama 1
minggu.
10. Jemur ikan peda yang telah difermentasi selama 6 jam.
11. Lakukan pengamatan terhadap perubahan ikan pada setiap tahapnya.
12. Catat setiap perubahan yang terjadi.
13. Timbang berat ikan peda yang dihasilkan.
14. Kemas ikan peda.

35 Universitas Sriwijaya
36

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Berikut hasil yang didapatkan dari praktikum dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.1.3. Hasil Organoleptik Ikan Peda
Pengamatan
No Jenis Ikan Penampakan Bau Konsistensi Rasa
20% 30% 20% 30% 20% 30% 20% 30%
1. Kembung 9 9 9 9 8 8 6 6
(Rastrelliger
sp.)
2. Sarden 6 6 7 7 6 6 3 3
(Sardinella
lemuru)
3. Tawes 8 8 8 8 8 8 4 4
(Puntius sp.)
4. Mujair 8 4 9 9 8 6 9 9
(Oreochromis
mossambicus)
5. Kembung 7 7 9 9 5 5 7 7
(Rastrelliger
sp.)
6. Selar 0 0 0 0 0 0 0 0
(Selarouides
leptolepsis)
7. Salem 0 0 0 0 0 0 0 0
(scomber
Japannicus)

36 Universitas Sriwijaya
37

4.2. Pembahasan
Setelah melakukan penelitian ternyata kami dapat menyimbulkan bahwa
fermentasi yang terjadi pada ikan peda terjadi selama 1-2 minggu. Selain itu juga,
dalam proses pembuatan peda ada hal yang harus diperhatikan supaya proses
pembuatan peda berlangsung secara sempurna. Selama proses fermentasi tidak
memerlukan oksigen. Oleh karena itu, proses fermentasi pada ikan yang tertutup
rapat. Lamanya proses fermentasi juga mempengaruhi hasil peda ikan tersebut.
Pada dasarnya semua jenis ikan dapat diolah menjadi peda, akan tetapi umumnya
ikan yang digunakan sebagai bahan baku peda adalah ikan kembung, ikan laying
dan sebagainya. Tetapi ikan yang hasilnya sangat memuaskan adalah ikan
kembung, baik ikan betina maupun jantan.
Peda merupakan salah satu produk dari hasil fermentasi ikan yang dilakukan
secara tradisional karena pada proses pembuatannya kita tidak memerlukan alat –
alat khusus yang canggih. Pada pembuatan ikan menggunakan garam yang
konsentarasinya berbeda, kegunaan dari konsentrasi yang berbeda adalah agar
dapat mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi garam yang berbeda
terhadap ikan peda. Penambahan garam dilakukan pada proses pembuatan ikan
peda. Garam berfungsi untuk menciptakan kondisi yang terkontrol sehingga
bakteri pembusuk pertumbuhannya dapat terhambat sedangkan ragi dan jamur
dibiarkan tumbuh dengan pesat. Mikroorganisme yang secara alami terdapat
proses fermentasi pada produk ikan fermentasi. Ikan pada lingkungan alaminya
mengandung mikroorganisme pada lender di badan, perut dan insang. Bakteri
yang terdapat pada permukaan kulit ikan. Mikroorganisme yang terdapat pada
ikan hidup didominasi oleh bakteri pikotropika gram negatif yang terdapat pada
bagian permukaan luarnya. Fermentasi adalah proses produksi energy dalam sel
dalam keadaan anaerobic. Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk
respirasi anaerobik, akan tetapi terdapat defenisi yang lebih jelas yang
mendefenisikan fermentai ebagai respirai dalam lingkungan anaerobic dengan
tanpa akseptor electron eksternal. Selama prose fermentasi terjadi penurunan
kadar air diakibatkan karena adanya penambahan garam yang menarik air bahan.
Garam yang masuk ke dalam daging ikan sehingga menyebabkan terjadinya
perubahan kimia dan fisik terutama protein.

37 Universitas Sriwijaya
38

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Fermentasi adalah proses peragian atau proses penguraian makanan oleh jamur
dan bakteri yang berlangsung dalam anaerob dengan bantuan enzim.
2. Kadar alkohol pengaturan lama waktu fermentasi dan mikroorganisme yang
terkandung pada ragi.
3. Cepat atau lamanya fermentasi dipengaruhi oleh banyaknya ragi (fermipan.
4. Saat reaksi fermentasi terjadi pembentukan energy, menghasilkan gas CO2 dan
terjadi di keadaan anaerob serta menghasilkan alkohol.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi anatar lain PH, nutrient,
temperatur.

5.2. Saran
Pelaksanaan praktikum pengamatan kemunduran mutu ikan, seharusnya
dilakukan dengan lebih kondusif dan tidak terburu-buru saat melakukan
praktikum.

38 Universitas Sriwijaya
39

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Subsektor perikanan dan peternakan merupakan andalan utama sumber
pangan dan gizi bagi masyarakat Indonesia. Ikan, selain merupakan protein, juga
diakui sebagai “functional food”yang mempunyai arti penting bagi kesehatan
karena mengandung asam lemak tidak jenuh berantai panjang (terutama yang
tergolong asam lemak omega-3), vitamin, serta makro dan mikro mineral.
Dibandingkan Negara lain, sumbangan perikanan dalam penyediaan protein di
Indonesia termasuk besar, yakni 55%. Namun demikian, jumlah ikan yang
tersedia belum memenuhi kondisi ideal kecukupan gizi sebesar 26,55 kg
ikan/kapita/tahun. Diperkirakan angka konsumsi ikan secara actual berada di
bawah angka ketersediaan tersebut, karena masih tingginya angka susut hasil baik
kuantitas, kulitas, maupun nilai gizinya. Ikan asap merupakan salah satu produk
olahan yang digemari konsumen baik di Indonesia maupun di mancanegara
karena rasanya yang khas dan aroma yang sedap spesifik. Proses pengasapan ikan
di Indonesia pada mulanya masih dilakukan secara tradisional menggunakan
peralatan yang sederhana serta kurang memperhatikan aspek sanitasi dan
hygenienis sehingga dapat memberikan dampak bagi kesehatan dan lingkungan.
Kelemmahan-kelemahan yang ditimbulkan oleh pengasapan tradisional antara
lain kenampakan kurang menarik (hangus sebagian), control suhu sulit dilakukan
dan mencemari udara atau polusi (Maya, 2013).
Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan
memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia
alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Melalui pembakara akan
terbentuk senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar serta ihasilkan
panas. Salah satu jenis pengolahan yang dapat digunakan untuk menghambat
kegiatan zat-zat mikroorganisme adalah pengasapan ikan, selain bertujuan
memberikan manfaat untuk mengawetkan ikan pengolahan ikan dengan cara
pengasapan juga memberikan aroma yang sedap, warna kcoklatan atau
kehitaman, tekstur yang bagus dan cita rasa yang khas dan lezat pada daging ikan

39 Universitas Sriwijaya
40

yang diolah. Kondisi komposisi kimiawi dan fisik produk perikanan saat panen
merupakan ciri atau kriteria mutu kesegarannya sekaligus merupakan penyebab
dominan kerusakan mutunya dibandingkan penyebab-penyebab lainnya seperti
kontaminasi dan tekanan fisik. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi
konsumen untuk mengkonsumsi olahan tersebut, sehingga pengolahan-
pengolahan ikan asap bisa menjadi usaha yang mempunyai prospek yang bagus
dan menguntungkan untuk ditekuni (Muhammad, 2015).

1.2. Tujuan
Praktikum pengasapan bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan
berbagai macam konsentrasi asap cair terhadap mutu ikan asap yang dihasilkan
serta mengetahui metode pembuatan ikan asap.

40 Universitas Sriwijaya
41

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Salem

Menurut Hart (1973), klasifikasi ikan Scomber japanicus adalah sebagai


berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
kelas : Actinopterygii
ordo : Scombriformes
famili : Scombridae
genus : Scomber
spesies : Scomber japonicus

Gambar ikan salem (scomber japanicus)


Secara umum ikan Scomber japonicus memiliki tubuh berbentuk
compressed dan mempunyai batang ekor yang ramping. Ikan salem mempunyai
gigi-gigi kecil yang runcing pada rahang atas dan bawah, deretan gigi serupa juga
terdapat di langit-langit mulut. Ikan tersebut mempunyai tapisan insang (gill
raker) 24-28 pada bagian bawah busur insang pertama, dilengkapi juga dengan
dua sirip punggung yang saling berjauhan, dimana sirip punggung pertama
berjari-jari keras 10-13 dan 12 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua, diikuti
lima finlet, begitu pula pada sirip dubur. Terdapat dua lunas (keel) kecil pada
pangkal sirip ekor, tanpa lunas tengah. Bagian dorsal berwarna biru keabuan,
sedangkan bagian ventral berwarna putih perak. Pada bagian-bagian dorsal

41 Universitas Sriwijaya
42

terdapat pita serong berwarna hitam, bergelombang, kadang-kadang bersiku-


sikuan. Sirip bewarna abu-abu kekuningan. Perbedaan ikan salem dengan ikan
jenis mackerel lainnya terletak pada bagian dorsal tubuhnya yang mempunyai
pita serong yang bergelombang berwarna hitam. Ikan salem mempunyai panjang
rata-rata 15-50 cm. Berdasarkan ukurannya ikan salem dibagi-bagi menjadi tiga
kategori, antara lain kategori juvenil ( dibawah 15 cm), muda (15-28 cm), dan
dewasa (diatas 28 cm) (Murniyati, 2004).

2.2. Jenis-jenis Pengasapan


Menurut Murniyati dan Sunarman (2000) pengasapan dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu pengasapan panas (hot smoking) dan pengasapan dingan
(cold smoking), namun dewasa ini seiring dengan perkembagan jaman
pengasapan juga bisa dilakukan dengan pengasapan elektrik serta pengasapan
cair (liquid). Lebih jelas mengenal jenis-jenis pengasapan adalah sebagai berikut:

2.2.1. Pengasapan Panas


Pengasapan Panas adalah proses pengasapan ikan dimana akan diasapi
diletakkan cukup dekat dengn sumber asap. Suhu sekitar 70-100 derajat Celsius
lamanya pengasapan 2-4 jam. Pengasapan panas dengan menggunakan suhu
pengasapan yang cukup tinggi, yaitu 80-90 derajat Celsius. Karena suhunya
tinggi, waktu pengasapan pun lebih pendek, yaitu 3-8 jam dan bahkan hanya 2
jam. Melalui suhu yang tinggi, daging ikan menjadi masak dan perlu diolah
terlebih dahulu sebelum disantap. Suhu pengasapan yang tinggi mengakibatkan
enzim menjadi aktif sehingga data mencegah kebusukan (Adawyah, 2007).

2.2.2. Pengasapan Dingin


Pengasapan Dingin adalah proses pengasapan dengan cara meletakkan ikan
yang akan diasap agak jauh dari sumber asap(tempat pembakaran kayu), dengan
uhu sekitar 40-50 derajat Celsius dengan lama proses pengasapan beberapa hari
sampai dua minggu. Menambahkan pengertian tersebut pengasapan dingin
merupakan cara pengasapan pada suhu rendah, yaitu titik lebih tingggi dari suhu
33derajat Celsius. Waktu pengasapan mencapai 4-6 jam. Penggunaan suhu
rendah dimasudkan agar daging ikan tidak menjadi masak atau protein

42 Universitas Sriwijaya
43

didalamnya tidak terkoagulasi. Akibatnya ikan asap yang dihasilkan masih


tergolong setengah masak sehingga sebelum ikan asap diantap (Adawyah, 2007).

2.2.3. Pengasapan cair


Proses pengasapan secara langsung yang umum dilakukan oleh perajin ikan
asap memiliki kelemahan, diantaranya produksi asap sulit dikendalikan dan
pencermaran asap dapat menggangu kesehatan pekerja dan lingkungan. Untuk
mengatasi masalah tersebut, perlu diupayakan proses pengasapan yang aman dan
bebas pencemaran, tetapi tujuan proses pengasapan tetap tercapai. Salah satu
alternative ialah pengasapan menggunakan asap cair (Dr, 2015).

2.3. Faktor-faktor Pengasapan


Faktor yang mempengaruhi pengasapan diantaranya suhu pengasapan. Pada
awalnya pengasapan, ikan masih basah dan permukaan tubuhnya diselimuti
lapisan air. Dalam keadaan ini asap akan mudah menempel dan terlarutpada
lapisan air pada permukaan tubuh ikan. Agar penempelan dan pelarutan aap
berjalan efektif, suhu awal pengasapan sebaiknya rendah. Jika pengasapan
langsung dilakukan pada suhu tinggi, lapisan air pada permukaan tubuh ikan akan
cepat menguap dan daging ikan cepat matang . kondisi ini akan menghambat
proses penempelan asap sehingga pembentukan warna dan aroma asap kurang
baik, suhu pengasapan dapat dinaikan untuk membantu proses pengeringan dan
pematangan ikan. Factor lain yang mempengaruhi pengaapan adalah kelembaban
udara. Kisaran kelembaban udara (RH) yang ideal jika RH kurang dari 60%,
permukaan ikan akan terlalu cepat mengeringkan sehingga prosesingan menjadi
terhambat. Selain itu, jenis kayu akan menentukan mutu asap yang dihasilkan dan
pada gilirannya menentukan mutu asap yang dihasilkan dan pada gilirannya
menentukan mutu ikan asap. Serutan kayu dan serbuk gergaji dari jenis kayu
keras cocok untuk pengasapan dingai, sedaangkan batang kayu atau potongan
kayu dari jenis kayu keras cocok untuk pengasapan panas. Jumlah asap, ketebalan
asap dan kecepatan aliran asap di dalam alat pengasap juga sangat-sangat
menentukan . faktor ini akan mempengaruhi banyaknya asap yang kontak dan
menempel pada ikan (Suprayitno, 2017).

43 Universitas Sriwijaya
44

2.4. SNI Ikan Asap


Ikan segar yang mengalami perlakuan penyiangan pencucian dengan atau
tanpa perendaman dalam larutan garam, penirisan dengan atau tanpa pemberian
rempah dan pengasapan panas yang dilakukan dalam ruang pengasapan dengan
menggunakan kayu, sabut atau tempurung kelapa. Pengasapan panas adalah
proses penangkapan ikan dengan kombinasi suhu dan waktu yang cukup dalam
ruang penangasapan untuk membentuk koagulasi protein pada daging ikan
bertujuan untuk membunuh parasite, bakteri-bakteri patogen yang
membahayakan kesehatan manusia. Potensi-potensi bahaya potensi kemungkinan
terjadinya bahaya dalam suatu proses atau pengolahan produk-produk yaitu
bahaya yang akan mengakibatkan gangguan terhadap keamanan pangan (food
safety). Mutu ikan segar sesuai SNI 2729:2013 bahan penolong yaitu air, yang
dipakai sebagai bahan penolong untuk kegiatan-kegiatan di unit pengolahan
memenuhi persyaratan kualitas air minum sesuai ketentuan berlaku, bahan
penolong lainnya adalah es (Wanabakti, 2013).

44 Universitas Sriwijaya
45

BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Tempat dan Waktu


Praktikum Dasar-Dasar Teknologi Hasil peikanan tentang Pengasapan
dilaksanakan, di Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya Indralaya. pada hari Senin tanggal 4 April 2019 pada
pukul 14.30 WIB sampai dengan selesai.

3.2. Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum pengamatan mutu ikan,
antara lain baskom, pisau, telanan, kertas alumunium, neraca analitik dan
sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah 2 ikan kembung, air, asap cair
dan garam.

3.3. Cara Kerja


Adapun cara kerja yang dilakukan pada praktikum pengamatan mutu ikan
ini sebagai berikut:
1. Ikan ditimbang terlebih dahulu
2. Ikan segar di siangi dan dicuci bersih
3. Lalu dibentuk mejadi bentuk butterfly
4. Kemudian hitung berat garam dan volume asap cair yang akan dilakukan
(konsentrasi garam 1% dan konsentrasi asap cair 4%)
5. Kemudian larutkan garam, asap cair dan air di dalam baskom
6. Kemudian rendam ikan pertama selama 10 menit, lalu ikan kedua direndam
selama 15 menit
7. Setelah di rendam ikan di oven sampai kering
8. Amati ikan asap

45 Universitas Sriwijaya
46

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Berikut hasil yang didapatkan dari praktikum dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 4.1.4. Tabel Hasil Uji Organoleptik ikan asap
Pengamatan

No Jenis Ikan Bau Rasa Tekstur Jamur Kemam- lendir


Puan
10 15 10 15 10 15 10 15 10 15 10 15
8. Sepat 3 3 3 3 5 5 9 9 1 1 9 9
(Trichogaster
leeri)
9. Betok (Anabas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
testudineus)
10. Sarden 5 5 5 5 7 7 9 9 3 3 9 9
(Sardinella
lemuru)
11. Kembung 7 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
(Rastrelliger
sp.)
12. Mujair 5 5 3 3 3 3 9 9 3 3 9 9
(Oreochromis
mossambicus)

13. Lele (Clarias 5 5 3 3 3 3 9 9 3 3 9 9


bathracus)
14. Salem 5 5 5 5 7 7 9 9 3 3 9 9
(Elagatis
bipinnulata)

46 Universitas Sriwijaya
47

4.2. Pembahasan
Pengawetan ikan dengan metode pengasapan merupakan cara pengawetan
dengan memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan, penggaraman dan
pemberian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami yang
berupa asap. Ada banyak faktor yang mempengaruhi proses pengasapan
diantaranya suhu pengasapan. Agar penempelan dan pelarutan asap berjalan
efektif, suhu awal pengasapan sebaiknya rendah. Pada praktikum kali ini
kelompok kami menggunakan ikan kembung sebagai bahan praktikum. Teknik
pengasapan yang digunakan ialan teknik pengasapan cair. Dengan konsentrasi
asap cair sebanyak 4 persen dari bobot ikan dan 1 persen garam dari bobot ikan.
Pengasapan cair dilakukan perendaman selama 10 menit dan 15 menit, setelah
direndam kemudian ikan dioven untuk menghilangkan kadar air yang terkandung
dalam ikan selama dua jam. Setalah itu ikan dapat langsung dimakan atau
dimasak lagi dengan cara digoreng ataupun ditumis dengan bumbu tambahan.
Hasil yang didapatkan pada perendaman ikan dengan asap cair selama 10
menit yaitu rasa asap yang dihasilkan sedikit, warnanya kurang cerah, namun rasa
gurih yang dihasilkan yaitu enak sekali. Pada perendaman ikan dengan asap cair
selama 15 menit menghasilkan ikan dengan rasa asap yang lebih pekat dan warna
yang lebih coklat. Rasa yang dihasilkan juga enak sekali. Bau yang khas
dihasilkan dari perendaman ikan yang dicampur dengan garam dan asap cair yang
ditambahkan dengan air sebanyak bobot ikan. Pada ikan yang kami buat juga
tidak terdapat jamur dengan tekstur yang kenyal dan padat. Kemampuan daging
ikan yang sangat baik dan tidak terdapat lendir pada tubuh ikan. Tujuan
pengasapan pada ikan adalah salah satu metode mengawetkan ikan yang telah
dilakukan sejak lama untuk menghindari terjadinya pembusukan dan juga
pemberi rasa dan bau yang khas. Pada jaman dahulu, metode pengasapan ikan
dilakukan dengan sangat sederhana yang hanya memanfaatkan tungku kayu bakar
ketika memasak. Namun dijaman sekarang, telah banyak metode pengasapan
yang dapat dilakukan, terlebih lagi para pelaku industri karena mengingat
banyaknya peminat terhadap ikan asap. Disamping memberikan pengaruh yang
baik, ikan asap juga memiliki pengaruh negatif terhadap tubuh jika terlalu sering
mengkonsumsinya, yaitu bersifat karsinogenik yang dihasilkan dari asap tersebut.

Universitas Sriwijaya
47

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapatkan pada praktikum ini ialah:
1. Macam-macam pengasapan yang umum digunakan ada 2 yaitu pengasapan
panas (Hot smoking) dan pengasapan basah (Cold smoking).
2. Tujuan pengasapan ikan adalah untuk mendapatkan daya awet yang
dihasilkan asap dan untuk memberikan aroma yang khas tanpa peduli
kemampuan daya awetnya
3. Pengasapan adalah salah satu teknik pengeringan yang dilakukan untuk
mempertahankan daya awet ikan dengan menggunakan bahan bakar kayu
sebagai bahan penghasil asap.
4. Kualitas terbaik dan memenuhi standar mutu SNI ikan asap adalah ikan asap
yang diasapi selama 3 jam. Hal ini didasarkan pada hasil pengujian

proksimat, organoleptik dan mikrobiologi yang diperoleh.


5. Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan
memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa
kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami

5.2. Saran
Untuk laboratorium, sebaiknya alat yang dibutuhkan dilengkapi lagi untuk
memaksimalkan praktikum. Untuk praktikan, diharapkan untuk lebih kondusif
dan lebih tertib saat asisten menjelaskan agar tidak ada kesalahan saat praktikum
dimulai.

48 Universitas Sriwijaya
47

49 Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai