Anda di halaman 1dari 22

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK AMPLANG IKAN LELE DUMBO

(Clarias gariepinus) YANG DIBUAT DENGAN VARIASI JENIS DAN


JUMLAH PATI

PROPOSAL PENELITIAN



Oleh
Dandy Pradita Dwi Rumana
NIM 111710101076





JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mengkomsumsi ikan sangat baik untuk kesehatan.Para ahli menyarankan
untuk lebih banyak mengkonsumsi ikan dibandingkan daging merah. Ikan sudah
tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia, karena Indonesia kaya akan potensi ikan
baik perikanan tangkap maupun perikanan budi daya, sayangnya kesadaran
mengkomsumsi ikan pada masyarakat masih rendah. Tingkat konsumsi ikan rata-
rata perkapita di Indonesia beberapa tahun lalu hanya 23
kg/orang/tahun.Sedangkan di Jepang mencapai 110 kg/orang/tahun.Padahal ikan
merupakan sumber protein tinggi, bahkan untuk jenis tertentu kandungan
proteinnya lebih tinggi dari daging (Atkins, 2007).
Salah satu ikan yang potensial dan mudah untuk dibudidayakan adalah
ikan lele dumbo (Clarias gariepinus.) yang memiliki kandungan protein tinggi
juga rendah akan lemak sehingga dan kolesterol. Ikan lele dumbo sebagai salah
satu bahan pangan alternatif sumber protein, selain itu lele merupakan bahan
pangan yang mudah didapat dan murah, kaya zat gizi dan sangat baik bagi jantung
karena rendah lemak (Astawan,2009)
Untuk memanfaatkan kandungan gizi ikan lele yang pada umumnya hanya
dijual dalam keadaan segar maka perlu dilakukan diversifikasi daging ikan lele
dan selera masyarakat yang terus bertambah maka telah merangsang pertumbuhan
industri olahan lele menjadi banyak produk misal amplang berprotein tinggi.
Amplang adalah produk semacam kerupuk ikan yang ada pada umumnya
namun yang menjadikan berbeda hanyalah namanya saja karena didaerah
Kalimantan kerupuk ikan disebut juga dengan nama amplang. Kerupuk sangat
beraneka ragam dalam bentuk ukuran, bau, warna, rasa, kerenyahan, ketebalan,
nilai gizi, dan harganya. Perbedaan ini disebabkan karena pengaruh daerah
penghasil kerupuk, bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan serta alat dan
cara pengolahannya. (Wahyudi dan Astawan,1988)
Pada pembuatan kerupuk dengan tambahan sumber protein hewani (ikan)
hanya menggunakan campuran air dan pati saja serta tambahan sedikit bumbu-
bumbu (garam, gula, penyedap rasa) dengan demikian pengadukannya mudah.
Bahan berprotein tersebut sudah dapat berfungsi sebagai perekat, sehingga adonan
campuran pati dan ikan dapat dibentuk atau dicetak (Haryadi,1996). Berdasarkan
hal tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan ikan lele dumbo sebagai
substitusi dari ikan tengiri yang memiliki selisih sedikit kandungan gizi dengan
ikan tengiri.
Peran pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi berfungsi untuk
menentukan daya kembang dari kerupuk. Semakin tinggi kadar amilopektin dalam
bahan yang digunakan untuk pembuatan kerupuk maka daya kembang krupuk
yang dihasilkan akan semakin besar.
1.2 Permasalahan
Pembuatan amplang diperlukan tambahan pati dengan jumlah dan jenis
tertentu yang nantinya bisa mempengaruhi sifat amplang yang diteliti. Namun
hingga kini belum diketahui pengaruhnya terhadap sifat-sifat amplang, serta jenis
dan jumlah pati yang tepat belum diketahui sehingga perlu diteliti.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengaruh jenis pati terhadap sifat amplang
2. Mengetahui pengaruh jumlah pati terhadap sifat
3. Memperoleh jenis dan jumlah pati yang tepat sehingga diperoleh
amplang dengan sifat yang baik dan disukai
1.4 Manfaat
1. Meningkatkan nilai ekonomi hasil olahan ikan lele
2. Menambah penganekaragaman olahan ikan lele
3. Memberikan informasi tentang manfaat ikan lele kepada masyarakat
tentang pembuatan amplang ikan lele





BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Lele Dumbo
Ikan lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil silangan antara Clarias
gariepinus dengan C. fuscus dan merupakan ikan introduksi yang pertama kali
masuk Indonesia pada tahun 1985. Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, antara lain lebih mudah
dibudidayakan dan dapat dipijahkan sepanjang tahun, fekunditas telur yang besar
mempunyai kecepatan tumbuh dan efisiensi pakan yang tinggi (SNI Ikan Lele
Dumbo : 01-6484.1-2000).
Protein yang terdapat dalam ikan merupakan protein yang amat penting
dan istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein
konsumsi tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam pola makan. Ikan lele
selain mengandung gizi yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Gizi pada Ikan Lele
Zat Gizi Jumlah (%)
Protein 17.7
Lemak 4.8
Mineral 1.2
Karbohidrat 0.3
Air 76
Sumber : Vaas 1985 dalam Astawan (2008)
Selain itu jika dibandingkan dengan bahan pangan dari daging merah (red
meat) seperti daging sapi dan ayam, kandungan gizi dalam ikan lele lebih sehat
karena selain berprotein tinggi juga rendah akan lemak dan kolesterol.Sebagai
contoh dalam 100 gram ikan lele mempunyai kandungan protein 20% sedangkan
kandungan lemaknya hanya 2 gram, jauh lebih rendah dibandingkan daging sapi
sebesar 14 gram apalagi daging ayam 25 gram. (Warta Pasar Ikan,2009)

Perkembangan komoditas ikan air tawar di Indonesia tiap tahunnya
mengalami peningkatan. Menurut hasil survei Kementrian Kelautan dan
Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2013), hasil budidaya ikan
menunjukkan rata-rata selama 2010-2014 sebesar 35.05
Tabel 4. Perkembangan Komoditas Ikan Lele
Tahun Jumlah
2010 270,600
2011 366,000
2012 495,000
2013 670,000
2014 900,000
Rata-rata 35.05
Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya,2013
2.2 Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Sifat
pada pati tergantung panjang rantai karbonnya, serta lurus atau bercabang rantai
molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yaang dapat dipisahkan dengan air panas,
fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Hee-
Joung An, 2005). Tapioka berasal dari umbi ubi kayu (Manihot esculanta) yang
diambil patinya melalui proses penggilingan umbi ubi kayu, dekantasi, pemisahan
ampas dengan konsentrat, pengendapan dan pengeringan (Dziedzic dan Kearsley,
1995).Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil
yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik
setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi.
Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa,
amilopektin dan material antara seperti, protein dan lemak Umumnya pati
mengandung 1530% amilosa, 7085% amilopektin dan 510% material antara.
Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat
botani sumber pati tersebut (Greenwood dkk., 1979). Komposisi pati ubi kayu
sebagaimana tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Pati Ubi kayu
Komposisi Jumlah (%)
Pati 73,3-84,9
Lemak 0,08-1,54
Protein 0,03-0,60
Kadar Abu 0,02-0,33
Sumber : (Rickard dkk,1992)
2.3 Amilosa dan Amilopektin
Amilosa merupakan bagian polimer dengan ikatan -(1,4) dari unit
glukosa dan pada setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa, membentuk
rantai lurus yang umumnya dikatakan sebagai linier dari pati (Hee-Joung An,
2005). Karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah kecenderungan
membentuk koil yang sangat panjang dan fleksibel yang selalu bergerak
melingkar. Struktur ini mendasari terjadinya interaksi iodamilosa membentuk
warna biru. Dalam masakan, amilosa memberikan efek keras bagi pati (Hee-Joung
An, 2005). Struktur rantai amilosa cenderung membentuk rantai yang linear
seperti terlihat pada Gambar 2

Gambar 2. Struktur Amilosa
Sedangkan amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan -
(1,4)-glikosidik dan ikatan -(1,6)-glikosidik di tempat percabangannya. Setiap
cabang terdiri atas 25 - 30 unit D-glukosa . Selain perbedaan struktur, panjang
rantai polimer, dan jenis ikatannya, amilosa dan amilopektin mempunyai
perbedaan dalam hal penerimaan terhadap iodin. Amilosa akan membentuk
kompleks berwarna biru sedangkan amilopektin membentuk kompleks berwarna
ungu-coklat bila ditambah dengan iodine (Hee-Joung An, 2005).
Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan -(1,4) pada rantai
lurusnya, serta ikatan -(1,6) pada titik percabangannya. Struktur rantai
amilopektin cenderung membentuk rantai yang bercabang seperti terlihat pada
Gambar 2.. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 45 % dari seluruh
lkatan yang ada pada amilopektin (Ann-Charlotte Eliasson, 2004). Biasanya
amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul glukosa untuk setiap
rantai. Berat molekul amilopektin glukosa untuk setiap rantai bervariasi
tergantung pada sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-umbian mengandung
sejumlah kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon ke 6 dari cincin glukosa
(Koswara, 2006).
Dalam produk makanan, amilopektin bersifat merangsang terjadinya
proses mekar (puffing) dimana produk makan yang berasal dari pati yang
kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah.
Kebalikannya pati dengan kandungan amilosa tinggi, cenderung menghasilkan
produk yang keras, pejal, karena proses mekarnya terjadi secara terbatas (Hee-
Joung An, 2005 dalam Pudjihastuti, 2010).
.
Gambar 3. Struktur Amilopektin
Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin ini tersusun dalam
suatu cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula kurang lebih berjumlah 16,
ada yang merupakan cincin lapisan amorf dan cincin yang merupakan lapisan
semikristal (Hustiany, 2006). Amilosa merupakan fraksi gerak, yang artinya
dalam granula pati letaknya tidak pada satu tempat, tergantung dari jenis pati.
Secara umum amilosa terletak diantara molekul-molekul amilopektin dan secara
acak berada selang-seling diantara daerah amorf dan kristal (Oates, 1997).
2.4 Amplang
Amplang adalah sejenis krupuk yang terbuat dari campuran tepung
tapioka, bumbu rempah, dan ikan pipih atau ikan tenggiri khas perairan Sungai
Mahakam atau Sungai Karang Mumus. Ikan pipih atau ikan tenggiri inilah yang
menjadikan amplang begitu gurih dan kriuk-kriuk ketika digigit. Sebenarnya,
tidak ada keharusan menggunakan kedua jenis ikan tersebut sebagai bahan
dasarnya. Ikan jenis lain pun bisa digunakan, seperti ikan haruan (ikan gabus),
tetapi rasanya akan sangat berbeda.
Pada dasarnya amplang ini sama dengan kerupuk yang didefinisikan
sebagai produk makanan kering yang terbuat dari tepung tapioca dengan atau
tanpa penambahan makanan makanan lain yang terlebih dahulu harus disiapkan
dengan cara menggoreng atau memanggang sebelum disajikan (Wahyuni dan
Astawan, 1988).
Syarat mutu krupuk ikan berdasarkan Badan Standar Nasional Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Standar kualitas krupuk Ikan
Satuan Persyaratan
1 Rasa dan Aroma Khas krupuk ikan
2 Serangga dalam bentuk stadia dan
potongan-potongan serta benda-
benda asing
Tidak ternyata
3 Kapang Tidak ternyata
4 Air % Maks.11
5 Abu tanpa garam % Maks.1
6 Protein % Min.6
7 Lemak % Maks. 0,5
8 Serat kasar % Maks.1
9 Bahan tambahan makanan Sesuai dengan peraturan
yang ada
1 Cemaran logam (Pb, Cu, Hg) Sesuai dengan peraturan
yang ada
1 Cemaran arsen (As) Sesuai dengan peraturan
yang ada
Sumber : SNI No. 01-2713-1999

2.5 Bahan Tambahan
Pengertian bahan tambahan pangan secara umum adalah bahan yang tidak
digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas
makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan,
pengolahan penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan
(Cahyadi, 2006).
Menurut FAO di dalam Furia (1980), bahan tambahan pangan adalah
senyawa yang sengaja ditambahkan kedalam makanan dengan jumlah dan ukuran
tertentu dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan, dan atau
penyimpanan. Bahan ini berfungsi untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa,
dan tekstur, serta memperpanjang masa simpan, dan bukan merupakan bahan
(ingredient) utama. Menurut Codex, bahan tambahan pangan adalah bahan yang
tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan, yang dicampurkan secara sengaja pada
proses pengolahan makanan. Bahan ini ada yang memiliki nilai gizi dan ada yang
tidak (Saparinto, 2006).
Pemakaian Bahan Tambahan Pangan di Indonesia diatur oleh Departemen
Kesehatan. Sementara, pengawasannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pengawasa Obat dan Makanan (Dirjen POM).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 329/PER/XII/76, yang
dimaksud dengan Food Additive adalah bahan yang ditambahkan dan dicampur
sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu. Termasuk kedalamnya
adalah pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap, antioksidan, pengawet,
pengemulsi, antigumpal, pemucat, dan pengental (Winarno,1997).
Bahan tambahan yang digunakan untuk meningkatkan mutu dan cita rasa
amplang antara lain, garam , gula, telur, soda kue, penyedap rasa yang
mempunyai fungsi dan kegunaan masing-masing. Tujuan diberinya bumbu
tersebut adalah untuk memperbaiki citarasa, aroma, tekstur dari amplang. Air
berfungsi sebagai bahan yang dapat mendispersikan berbagai senyawa yang ada
dalam bahan pangan serta dapat melarutkan bahan seperti penambah citarasa dan
bumbu-bumbu.
Menurut Winarno (1993), telur dapat digunakan dalam pembuatan
kerupuk untuk memperbaiki daya kembang dan memperhalus struktur kerupuk
(amplang) yang dihasilkan. Selain itu juga meningkatkan nilai protein dari
amplang.
Fungsi telur dalam pembentukan kerupuk adalah untuk meningkatkan nilai
gizi, rasa serta bersifat sebagai emulsifierdan mengikat komponen-komponen
adonan. Kerupuk yang terbuat dari tepung tapioka dengan campuran kuning telur
tidak lebih dari 15 persen (persen total daritelur yang ditambahkan) telah dapat
menigkatkan rasa, kerenyahan dan pengembangan volume. Lecithineyang
terkandung dalam telur akan membantu memperlemas gluten tepung terigu.
Sehingga produk kerupuk dari bahan baku tepung terigu ini akan bersifat lebih
halus, renyah serta berwarna seragam kekuning-kuningan.

2.6 Proses Pembuatan Amplang
Tahap proses pembuatan amplang secara garis besar meliputi ; pembuatan
adonan, pencetakan, perendaman dalam minyak, penggorengan,dan penirisan.

2.6.1 Pembuatan Adonan
Pembuatan adonan dilakukan dengan cara mencampur bahan baku ikan
lele dumbo yang sudah fillet, tapioka dan bumbu-bumbu dengan formulasi yang
sudah ditentukan. Pembuatan adonan bertujuan untuk mencampurkan semua
bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk sehingga diperoleh
campuran yang homogen. Adonan yang kurang homogen menyebabkan proses
gelatinisasi tidak merata dan kerupuk yang dihasilkan nantinya kurang
mengembang jika dilakukan penggorengan (Sofiah,1988).

2.6.2 Pencetakan
Pencetakan adonan amplang dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan
ukuran yang seragam. Keseragaman ukuran penting untuk memperoleh
penampakan dan penetrasi panas yang merata sehingga memudahkan proses
penggorengan dan menghasilkan amplang goreng dengan warna yang seragam.

2.6.3 Perendaman Dalam Minyak
Perendaman adonan yang sudah dicetak kedalam minyak adalah supaya
adonan tersebut tidak lengket pada wajan dan meminimalisir terjadinya cipratan
minyak yang keluar wajan. Selain itu untuk memudahkan pada proses selanjutnya
yaitu tahap penggorengan.

2.6.4 Penggorengan
Penggorengan bertujuan untuk menghasilkan produk goreng yang
mengembang dan renyah. Pada proses penggorengan, amplang mentah mengalami
15 pemanasan sehingga air yang terikat pada jaringan dapat menguap dan
menghasilkan tekanan uap untuk mengembangkan struktur elastis jaringan
kerupuk tersebut..
Menurut Ketaren (1986) Penggorengan adalah suatu proses memasak
bahan pangan dengan menggunakan minyakatau lemak. Minyak goring berfungsi
sebagai medium penghantar panas, penambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan
kalori dalam bahan pangan.
2.6.5 Penirisan
Tujuan dari proses penirisan ini ialah untuk menurunkan suhu kerupuk
sehingga tidak rusak teksturnya ketika dilakukan proses pengemasan. Selain itu
juga bertujuan untuk meniriskan kerupuk agar tidak basah dari minyak gor eng
pada proses penggorengan. Kerupuk akan mudah mengalami ketengikan ketika
masih banyak terkandung minyak dalam kemasan. Proses penirisan ini sangatlah
penting, karena dapat mempengaruhi aroma kerupuk yang dihasilkan ketika dalam
kemasan. Kandungan lemak yang terdapat dalam minyak goreng menimbulkan
ketengikan apabila mengalami proses penaikan suhu dengan mengikutsertakan
oksigen yang dinamakan sebagai oksidasi (Widowati, 1987).

2.7 Perubahan Yang Terjadi Selama Proses Pembuatan Amplang
2.7.1 Gelatinisasi
Gelatinisasi adalah peristiwa perkembangan granula pati sehingga granula
pati tersebut tidak dapt kembali pada kondisi semula (Winarno,1947).
Pengembangan granula pati pada mulanya bersifat dapt balik, tetapi jika
pemanasan mencapai suhu tertentu, pengembangan granula pati menjadi bersifat
tidak dapat balik dan akan terjadi perubahan struktur granula.
Menurut matz (1984) suhu gelatinisasi berkisar antara 58,8C-70C.
kandungan pati amilopektinnya tinggi akan membentuk gel yang tidak kaku,
sedangkan pati yang kandungan amilopektinnya rendah akan membentuk gel yang
kaku.
Mekanisme gelatinisasi pati secara ringkas dan skematis di uraikan oleh
Harper (1981). Tahap pertama granula pati masih dalam keadaan normal belum
berinteraksi dengan apapun. Ketika granula mulai berinteraksi dengan molekul air
disertai dengan peningkatan suhu suspense terjadilah pemutusan sebagian besar
ikatan intermolecular pada kristalamilosa, akibatnya granula akan mengembang.
Tahap molekul-molekul amilosa mulai berdifusi keluar granula akibat
meningkatnya aplikasi panas dan air yang berlebihan akan menyebabkan granula
mengembang lebih lanjut (Tahap 2). Proses gelatinisasi terus berlanjut sampai
seluruh mol amilosa berdifusi keluar. Hingga tinggal molekul amilopektin yang
berada didalam granula. Keadaan ini pun tidak bertahan lama karena dinding
granula akan segera pecah sehingga akhirnya terbentuk matriks3 dimensi yang
tersusun oleh moleku-molukel amilosa dan amilopektin (tahap 4)

2.7.2 Retrogradasi
Pati yang telah mengalami gelatinisasi kemudian mendingin, dapat
mengalami suatu proses retrogradasi, yaitu terjadi pengkristalan kembali. Pada
keadaan ini amilosa membentuk struktur seperti Kristal, sedangkan amilopektin
sedikit atau sama sekali tidak mengalami retrogadasi (Priestly,1979).
Jika pasta pati yang telah dipanaskan mendingin, energy kinetik tidak lagi
cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa bersatu
kembali. Molekul-molekul amilosa tersebut kembali satu sama lain serta berikatan
pada cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula. Dengan demilkian
butir pati yang membengkak itu bergabung menjadi semacam jarring-jaring yang
mengendap. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami disebut
retrogradasi. (Winarno,1990)
2.7.3 Pencoklatan (Browning)
Reaksi pencoklatan adalah reaksi yang menimbulkan perubahan warna
kecoklatan pada bahan makanan. Pencoklatan mengakibatkan perubahan
kenampakan, citarasa, dan nilai gizi. Pencoklatan dapat juga merupakan hal yang
dikehendaki seperti pada kopi dan roti bakar. Pada buah-buahan dan sayuran,
pencoklatan tidak dikehendaki karena menyebabkan penampilan yang tidak baik
dan menimbulkan rasa yang tidak dikehendaki. (Apandi,1984).
Menurut Winarno (1997), proses pencoklatan atau browning dibagi
menjadi 2 jenis yaitu proses pencoklatan enzimatis dan non enzimatis. Pada
proses pembuatan amplang dengan variasi jenis pati, reaksi pencoklatan yang
terjadi adalah pencoklatan non enzimatis yaitu reaksi maillard dan pada saat
proses penggorengan terjadi reaksi pencoklatan yaitu reaksi karamelisasi dan
reaksi maillard.


2.8 Hipotesa
Hipotesa yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Ikan tengiri yang disubstitusi dengan ikan lele dumbo akan memberikan
pengaruh terhadap sifat kimia, fisik, dan organoleptic amplang ikan lele
dumbo;
2. Variasi jenis pati berpengaruh terhadap sifat-sifat amplang lele dumbo;
3. Kombinasi antara jumlah penambahan ikan lele dumbo dengan jenis pati
yang baik, akan menghasilkan amplang yang disukai oleh konsumen.











BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat Penelitian
3.1.1 Bahan Penelitian
Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan lele dumbo,
tapioka, maizena. Sedangkan bahan tambahan yang digunakan antara lain
garam,gula, penyedap rasa, soda kue, telur ayam, air, minyak goreng

3.1.2 Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam membuat amplang ikan lele dumbo antara lain
pisau, baskom adonan, sendok, wajan, panic, kompor, cetakan. Sedangkan alat-
alat yang digunakan dalam analisa meliputi penjepit, botol timbang, timbangan
atau neraca analisis, colour reader digital, pnetrometer.
3.2 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Hasil Pertanian Jurusan
Teknologi Hasil pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember
3.3 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pola RAK (Rancangan Acak Kelompok)
secara factorial dengan 2 dan 3 kali ulangan untuk masing-masing perlakuan.
Faktor A : Jenis pati yang digunakan
A1 : Tapioka
A2 : Maizena

Faktor B : Jumlah pati yang ditambahkan
B1 : 250 gram
B2 : 300 gram
B3 : 350 gram
Kombinasi dari masing-masing perlakuan yaitu :
A1B1 A2B1
A1B2 A2B2
A1B3 A2B3
Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan analisis sidik ragam dan
jika terdapat perbedaan dilanjutkan dengan menggunakan uji Anova.
3.4 Parameter Penelitian
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah :
1. Sifat kimia : kadar air dengan thermogravimetri
2. Sifat fisik : tekstur dengan pnetrometer, daya kembang dengan seed
displeyement test, warna dengan colour reader CR-10, daya serap minyak,
higroskopitas.
3. Sifat organoleptic : Kerenyahan dan warna dengan menggunakan uji
skoring, rasa dengan menggunakan uji kesukaan.

3.5 Prosedur Analisis
3.5.1 Kadar Air (Metode thermogravimetri)
Penentuan kadar air dilakukan dengan metode pemanasan atau
thermogravimetri yaitu dengan cara menimbang botol timbang yang telah
dikeringkan dan didinginkan dalam eksikator (A gram), kemudian menimbang
amplang ikan lele dumbo yang sudah dihaluskan sebanyak 2 gram dan
dimasukkan dalam botol timbang (B gram). Selanjutnya dilakukan pengovenan
pada suhu 100-110C selama 24 jam, kemudian didinginkan dalam eksikator dan
ditimbang kembali. Perlakuan ini diulangi hingga berat konstan (C gram).
Perhitungan :
Kadar Air





Diagram alir pembuatan amplang ikan lele dumbo adalah sebagai berikut :









Pembersihkan/
Fillet
Penghalusan
Ikan lele
dumbo segar
Tepung tapioka/
tapung maizena (250
gr,300gr,350gr)
Gula, garam,
penyedap rasa,
soda kue
Pencampuran
tepung













Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Amplang Ikan Lele Dumbo

3.5.2 Daya kembang (Seed Displacement Test)
Penentuan daya kembang terhadap kerupuk kentang didasarkan pada
selisih luas kerupuk sebelum digoreng (L1) dan luas kerupuk setelah digoreng
(L2) dibagi luas kerupuk sebelum digoreng (L1) kemudian dikalikan 100%
Perhitungan :
Daya Kembang


3.5.3 Warna (Colour reader CR-10, Fardiaz D.dkk,1992)
Pengamatannya dengan tingkat warna dan kecerahan amplang ikan lele
dumbo yaitu menganalisis dengan menempelkan ujung lensa pada permukaan
Pembuatan adonan
Telur
Perendaman
dalam minyak
Penggorengan
Amplang
lele
Pencetakan
amplang dengan beberapa percobaan secara acak setelah itu menu target muncul
dilayar, kemudian dilakukan pencatatan nilai L.
Keterangan ;
L = nilai berkisar (0-100) yang menunjukkan warna hitam sampai cerah
3.5.4 Higroskopitas (Cara Penimbangan)
Penentuan higroskopitas ini dilakukan dengan cara meletakkan amplang
matang diudara terbuka selama 4 jam. Higroskopitas dinyatakan sebagai selisih
berat amplang setelah didiamkan 4 jam (B) dengan berat amplang sebelum
didiamkan (A) dibagi dengan berat amplang sebelum didiamkan (A) dikalikan
100%.
Higroskopitas


3.5.5 Daya Serap Minyak
Amplang mentah ditimbang (B1 gram) kemudian digoreng. Setelah
digoreng kerupuk yang telah matang ditimbang lagi (B2 gram).
Perhitungan :
Daya Serap Minyak


3.5.6 Tekstur
Tekstur amplang diukur dengan alat pnetrometer. Penusukan dilakukan
dengan menggunakan jarum pnetrometer sebanyak tiga kali ulangan pada tempat
yang berbeda dengan waktu tetap.
3.5.7 Pengujian Organoleptik
Pengujian organoleptic meliputi kerenyahan dan warna (uji skoring) dan
rasa (uji kesukaan).
a. Kerenyahan
Penilaian kerenyahan dari amplang dilakukan dengan gigitan dan
dapat ditandai dengan adanya bunyi pada saat amplang digigit. Jenjang
skala uji skoring adalah :
5 = sangat renyah
4 = renyah
3 = agak renyah
2 = tidak renyah
1 = sangat tidak renyah
b. Warna (Kecerahan)
Penilaian warna dari amplang dilakukan dengan melihat langsung
warna dari amplang mengenai tingkat kecerahan oleh panelis. Jenjang
skala uji skoring adalah :
5 = sangat cerah
4 = cerah
3 = agak cerah
2 = tidak cerah
1 = sangat tidak cerah
c. Rasa
Rasa dilakukan dengan ujian kesukaan. Jenjang skala uji skor rasa
adalah :
5 = sangat suka
4 = suka
3 = agak suka
2 = tidak suka
1 = sangat tidak cerah















DAFTAR PUSTAKA
Agromedia,2010. Budidaya Lele. Redaksi Agromedia Pustaka. Jakarta
Ann-Charlott Eliasson., 2004, Starch in Food. Woodhead Publishing Limited
Cambridge England.
Astawan, Made. 2009. Food and Beverage-Lele Asap.http://www.bali-
aquamarine.com/product.php?category=5 (Diakses Sabtu,15 Maret 2014)
Bachtiar, 2010. Panduan Lengkap budidaya Ikan Lele Dumbo. Jakarta
Cahyadi, S,. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
Cetakan Pertama . PT. Bumi Aksara. Jakarta .
Ghufran, M, dan H. Kordi K. 2010. Budidaya Ikan Lele di Kolam
Terpal.Yogyakarta : Lily Publisher
Greenwood, C.T. dan D.N. Munro.,1979, Carbohydrates. Di dalam R.J.
Priestley,ed. Effects of Heat on Foodstufs. Applied Seience Publ. Ltd.,
London.
Harper JM. 1981a. Extrusion of Food Vol I . Florida:IRC-Press.
Haryadi,1996. Sifat-sifat Fungsional Pati Dalam Pangan. Fakultas Teknologi
Pertanian. UGM. Yogyakarta
Hee-Young An., 2005, Effects of Ozonation and Addition of Amino acids on
Properties of Rice Starches. A Dissertation Submitted to the Graduate
Faculty of the Louisiana state University and Agricultural and Mechanical
College.
http://topan36.files.wordpress.com/2008/12/induk-ikan-lele-dumbo2.pdf. SNI 01-
6484.1 2000 tentang induk ikan Lele Dumbo.(Diakses tanggal 16 Maret
2014)
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan
Pertama. Yogyakarta : Gadjah Mada University.
Koswara, 2006, Teknologi Modifikasi Pati. Ebook Pangan.
Matz, S.A. 1984. Snack Food Technology. The AVI Publishing Company Inc.,
Westport, Connecticut.
Prietly R.J. 1979. Effect Of Heating On Foodtuff Applied Sci publ LTD.London
Rukmana, Rahmat. 2003. Lele Dumbo Budidaya dan Pascapanen. Semarang :
Aneka Ilmu
Saparinto, C dan Hidayati, D. 2006. Bahan tambahan Pangan. Yogyakarta :
Kanisius
Soetomo, Moch. 2007. Teknik Budidaya Ikan Lele Dumbo. Bandung : Sinar Baru
Algensindo
Wahyudi,M. dan Astawan.1988. Teknologi Pengolahan hewan Tepat Guna. CV
Akade Presindo. Jakarta
Warta Pasar Ikan.Edisi Juli 2009.Volume 71.Jakarta:Departemen Kelautan
danPerikanan
Winarno, F.G, 1997, Kimia Pangan dan Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai