Edible coating merupakan suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan,
dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan yang
berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (kelembaban, oksigen, cahaya, lipid,
zat terlarut), sebagai pembawa aditif, untuk meningkatkan penanganan suatu makanan dan
merupakan barrier terhadap uap air dan pertukaran gas O2 dan CO2 (Bourtoom 2008). Edible
coating juga dapat mencegah kerusakan bahan akibat penanganan mekanik, membantu
sebagai carrier zat aditif seperti zat antimikrobial dan antioksidan pada bahan (Kester dan
Fennema 1988).
Edible coating dapat melindungi produk segar dan dapat juga memberikan efek yang
sama dengan modified atmosphere storage dengan menyesuaikan komposisi gas internal.
Keberhasilan edible coating untuk buah tergantung pada pemilihan film atau coating yang
memberikan komposisi gas internal yang dikehendaki sesuai untuk produk tertentu (Park 2002).
Komponen edible coating terdiri dari tiga kategori yaitu hidrokoloid, lipid dan kombinasinya.
Hidrokoloid terdiri atas protein, turunan selulosa, alginat, pektin, tepung (starch) dan
polisakarida lainnya, sedangkan lipid terdiri dari lilin (waxs), asilgliserol dan asam lemak
Contoh bahan-bahan edible coating untuk melapisi buah, seperti selulosa, kasein, zein,
protein kedelai dan kitosan. Bahan-bahan ini dipilih karena memiliki karakteristik berupa tidak
berbau, tidak berasa dan transparan. Hanya saja tidak mudah untuk mengukur sifat permeasi gas
pada coating setelah diaplikasikan pada buah (Park 2002). Hidrokoloid yang digunakan untuk
edible coating dapat dibedakan berdasarkan komposisi, berat molekul dan solubilitas air.
Berdasarkan komposisi hidrokoloid dibagi menjadi karbohidrat dan protein. Karbohidrat terdiri
dari tepung (starch), gum tumbuhan (alginat, pektin dan gum arab) dan modifikasi kimia tepung.
Hidrokoloid protein terdiri dari gelatin, kasein, protein kedelai, whey protein, wheat gluten dan
zein. Komponen plasticizer yang ditambahkan ke dalam edible coating berfungsi untuk
mengatasi sifat rapuh lapisan coating yang disebabkan oleh kekuatan intermolekuler ekstensif.
Plasticizer mengurangi kekuatan ini dan meningkatkan mobilitas dari rantai polimer, sehingga
Edible coatings telah banyak digunakan untuk produk pangan seperti buah-buahan,
sayuran, produk daging, unggas maupun seafood. Pada buah-buahan seperti apel (Wong et al.
1994) dan strawberry (Ghaout et al. 1991). Sayuran seperti tomat (Park et al. 1994), demikian
Kitosan merupakan salah satu jenis polisakarida turunan kitin mempunyai sifat dapat
membentuk film yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit dirobek sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pengemas (Butler et al. 1996). Jenis kemasan yang banyak dibuat dari kitosan
adalah jenis edible film atau coating. Sifatnya yang edible (dapat dimakan) merupakan
keunggulan kitosan sehingga dapat digolongkan ke dalam bahan kemasan yang ramah
lingkungan. Sifat lain dari kitosan sebagai bahan edible coating adalah kitosan merupakan
barrier yang baik bagi gas dan uap air karena struktur matriksnya. Sifat barrier kitosan ini lebih
baik dari pada polimer berbasis makhluk hidup (biobased polymer) lainnya. Kitosan juga
mempunyai sifat antimikrobial dan biodegradable (Steinbchel dan Rhee 2005 dalam Bourtoom
2008). Menurut Alamsyah (2006) dalam Suptijah et al. (2008) menyatakan bahwa penggunaan
kitosan sebagai bahan pengawet dan edible coating yang efektif untuk mencegah kerusakan
Chitosan adalah bahan alami yang direkomendasikan untuk digunakan sebagai pengawet
makanan karena tidak beracun dan aman bagi kesehatan. Secara umum, cangkang kulit udang
mengandung protein 34,9 %, mineral CaCO3 27,6 %, chitin 18,1 %, dan komponen lain seperti
zat terlarut, lemak dan protein tercerna sebesar 19,4 % (Suhardi, 1992). Chitin merupakan
polisakarida yang bersifat non toxic (tidak beracun) dan biodegradable sehingga chitin banyak
dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Lebih lanjut chitin dapat mengalami proses deasetilasi
menghasilkan chitosan.
pada konsentrasi NaOH 4%, suhu 700C, dan waktu 100 menit (proses deproteinasi), dan
konsentrasi 3,5 N, suhu kamar, dan waktu 30 menit (proses demineralisasi). Hasil larutan
chitosan yang diperoleh bagus untuk digunakan pada pengawetan bakso, mie, dan tahu (tahan 3
hari), sedangkan untuk pengawetan ikan kurang baik (tahan 8-9 jam).
Proses pemisahan ini akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan yaitu berupa limbah
padat yang lama-kelamaan jumlahnya akan semakin besar sehingga akan mengakibatkan
pencemaran lingkungan berupa bau yang tidak sedap dan merusak estetika lingkungan. Pada
perkembangan lebih lanjut kulit dan kepala udang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kitin
Walaupun kitin tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan untuk pengembangan
lebih lanjut adalah jenis udang-udangan (Crustaceae) yang dipanen secara komersial. Limbah
udang sebenarnya bukan merupakan sumber yang kaya akan kitin, namun limbah ini mudah
didapat dan tersedia dalam jumlah besar sebagai limbah hasil dari pembuatan udang.
Kitin adalah biopolimer polisakarida dengan rantai lurus, tersusun dari 2000-3000 monomer (2-
rumus molekul [C8H13NO5]n dengan berat molekul 1,210-6 Dalton ini tersedia berlebihan di
alam dan banyak ditemukan pada hewan tingkat rendah, jamur, insekta dan golongan Crustaceae
seperti udang, kepiting dan kerang. Kitin berbentuk serpihan dengan warna putih kekuningan,
memiliki sifat tidak beracun dan mudah terurai secara hayati (biodegradable).
Chitosan, mempunyai bentuk mirip dengan selulosa, dan bedanya terletak pada gugus rantai C-2.
Proses utama dalam pembuatan chitosan, katanya, meliputi penghilangan protein dan kendungan
mineral melalui proses kimiawi yang disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-
masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, chitosan diperoleh
melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa. Karakteristik fisiko-
kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut dalam larutan asam organik,
Chitosan merupakan turunan dari chitin yang dideasetilasi dapat larut dalam larutan asam seperti
asam asetat atau asam format. Isolasi secara tradisional chitin dari limbah udang melewati tiga
tahapan yaitu demineralisasi, deproteinase dan dekolorisasi. Tiga tahapan tersebut merupakan
bidang, mulai dari manajemen limbah, pembuatan makanan, obat-obatan dan bioteknologi.
Proses pembuatan chitosan biasanya melalui beberapa tahapan yakni pengeringan bahan baku
dengan temperatur 65oC selama 4 jam. Setelah kering, kulit udang dihancurkan di dalam grinder
dan diayak untuk mendapatkan bubuk dengan ukuran mesh 50. Kulit udang yang ukurannya
Tahap Demineralisasi. Serbuk hasil gilingan kulit udang bersih yang diperoleh diperlakukan
dengan HCl 1 N; 1: 5 (w/v), lalu diaduk selama 3-4 jam pada suhu 65oC untuk menghilangkan
mineral-mineral. Kemudian dilakukan penyaringan dan pencucian sampai netral lalu dikeringkan
selama 4 5 jam pada suhu 65oC sambil diaduk. Lalu disaring dan dicuci dengan air sampai
netral.
Tahapan Depigmentasi. Residu yang diperoleh diekstraksi dengan menggunakan aseton untuk
menghilangkan zat warna (pigmen). Kemudian dicuci kembali dengan air sampai netral. Residu
Tahapan Deasetilasi. Kitin yang diperoleh dari hasil isolasi tersebut direfluks (deasetilasi)
dengan 50 % NaOH; 1 : 10 (w/v) sambil diaduk pada suhu 100oC selama 4 jam. Lalu
didinginkan dan dicuci dengan air sampai netral. Residu adalah kitin yang terdeasetilasi sebagian