Anda di halaman 1dari 10

ABON IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis)

OLEH:

-Susi Setiawati
-Solintina Anjani
-Dhea Arthika Sari
-Sri Wahyuningsih
-Sucipto Budiono
-Heru Krisnanto
-M Rifki Hilmawan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sebagai negara maritim, Indonesia mempunyai potensi yang besar dalam
perikanan, baik perikanan air tawar, air payau, maupun air laut. Ikan merupakan salah
satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah didapat, dan
harganya murah. Selain itu, ikan dan hasil perikanan lainnya juga dijadikan sebagai
komoditi ekspor. Namun demikian, ikan merupakan komoditi yang cepat mengalami
pembusukan (perishable food) apabila dibandingkan dengan bahan makanan lain.
Pembusukan disebabkan oleh enzim, baik dari ikan itu sendiri maupun mikroba dan
proses ketengikan (rancidity). Kadar air dalam ikan segar yang tinggi mempercepat
proses perkembangbiakan mikroorganisme pembusuk yang terdapat di dalamnya.
Daya tahan ikan segar yang tidak lama, menjadi kendala dalam usaha
perluasan pemasaran hasil perikanan. Bahkan sering menimbulkan kerugian besar
pada saat produksi ikan melimpah. Oleh karena itu, sejak lama masyarakat berusaha
melakukan berbagai macam proses pengolahan pasca panen ikan guna meminimalkan
kendala tersebut. Pada dasarnya proses pengolahan pasca panen ikan bertujuan untuk
mengurangi kadar air dalam daging ikan. Penurunan kadar air ini bisa menghambat
perkembangbiakan mikroorganisme dalam daging ikan sehingga produk olahan ikan
akan memiliki daya tahan lebih lama dibandingkan daging ikan segarnya. Terdapat
bermacam-macam cara pengolahan pascapanen ikan, mulai dari cara tradisional
sampai modern. Salah satu diantara produk olahan ikan adalah abon ikan.
Abon merupakan makanan ringan atau lauk yang siap saji. Produk olahan
tersebut sudah lama dikenal oleh masyarakat umum dan bahan dasar pada pembuatan
abon tersebut biasanya berupa daging sapi. Kriteria daging yang baik untuk dipakai
pada pembuatan abon yaitu memiliki serat yang kasar dan tidak mengandung banyak
duri. Jenis ikan yang memiliki kriteria tersebut diantaranya tuna, cakalang, tongkol,
dan lain – lain. Pembuatan abon menjadi alternatif pengolahan ikan dalam rangka
penganekaragaman produk perikanan, untuk memperpanjang daya awet (menghambat
pertumbuhan mikroba dan aktivitas mikroorganisme), diversifikasi (perubahan
bentuk) produk olahan hasil perikanan dan mengantisipasi melimpahnya tangkapan
ikan di masa panen. Makalah ini akan berfokus pada pembuatan abon ikan dengan
bahan dasar ikan tongkol (Euthynnus affinis).

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana proses pembuatan dari abon ikan tongkol (Euthynnus affinis)?
2. Alasan apa yang menjadikan ikan tongkol sebagai bahan baku abon ikan?

C. Tujuan
1. Menjelaskan proses pembuatan dari abon ikan tongkol
2. Menjelaskan alasan ikan tongkol sebagai bahan baku abon ikan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ikan Tongkol
Menurut Saanin (1984), klasifikasi Ikan tongkol adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub Class : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Family : Scombridae
Genus : Euthynnus
Species : Euthynnus affinis
lkan tongkol (Euthynnus affinis C.) adalah ikan yang memiliki nilai gizi yang
berpotensi cukup tinggi serta memiliki nilai ekonomis tinggi. Ikan tongkol memiliki
kandungan protein yang tinggi yaitu 26,2 mg/100g dan sangat cocok dikonsumsi oleh
anak-anak dalam masa pertumbuhan, selain itu ikan tongkol juga sangat kaya akan
kandungan asam lemak omega-3.
Komponen kimia utama daging ikan tongkol adalah air, protein dan lemak
yaitu berkisar 98 % dari total berat daging. Komponen ini berpengaruh besar terhadap
nilai nutrisi, sifat fungsi, kualitas sensori dan stabilitas penyimpanan daging.
Kandungan kompenen kimia lainnya seperti karbohidrat, vitamin dan mineral berkisar
2 % yang berperan pada proses biokimia di dalam jaringan ikan mati. Selain itu
daging ikan tongkol mempunyai serat-serat protein lebih pendek daripada serat-serat
protein daging sapi atau ayam. Oleh karena itu ikan dan hasil produknya banyak
dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengalami kesulitan pencernaan sebab mudah
dicerna (Sikorski, 2010).

B. Abon Ikan
Abon merupakan produk kering, dimana penggorengan merupakan salah satu
tahap yang umumnya dilakukan dalam pengolahannya. Pengolahan abon, baik abon
daging maupun abon ikan, dilakukan dengan menggoreng daging dan bumbu
menggunakan banyak minyak (deep frying). Deep frying adalah proses penggorengan
dimana bahan yang digoreng terendam semua dalam minyak. Pada proses
penggorengan sistem deep frying, suhu yang digunakan adalah 170-200°C dengan
lama penggorengan 5 menit, perbandingan bahan yang digoreng dengan minyak
adalah 1 : 2. Dengan cara ini abon banyak mengandung minyak atau lemak yang
akhir-akhir ini banyak dihindari dengan alasan kesehatan.
Pan frying merupakan proses penggorengan bahan dengan menggunakan
sedikit minyak dengan suhu permukaan dapat mencapai lebih dari 100 oC (Dewi, et
al., 2011).
Menurut Sulthoniyah et al (2013), pada prinsipnya abon merupakan suatu
proses pengawetan yaitu kombinasi antara perebusan dan penggorengan dengan
menambahkan bumbu-bumbu. Produk yang dihasilkan mempunya tekstur, aroma dan
rasa yang khas. Selain itu proses pembuatan abon merupakan proses pengurangan
kadar air dalam bahan daging untuk memperpanjang proses penyimpanan.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Alat
Abon ikan dapat diproduksi dengan alat yang sederhana maupun dengan
peralatan semi mekanik. Alat-alat yang dapat digunakan untuk pembuatan abon ikan
adalah :
1. Kompor
2. Panci
3. Wajan
4. Timbangan
5. Cobek/blender
6. Parutan
7. Talenan
8. Baskom
9. Pisau
10. Saringan santan kelapa
11. Alat pengepres

B. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan abon ikan tongkol antra lain adalah:
1. Ikan tongkol
2. Santan kelapa,
3. Bumbu-bumbu abon terdiri dari:
a) Bawang putih
b) Bawang merah
c) Asam jawa
d) Daun salam
e) Gula merah
f) Garam
g) Lengkuas
h) Ketumbar
i) Serai
j) Jahe
k) Cabe merah
4. Minyak goreng
5. Bawang goreng

C. Cara Pembuatan
Metode pengolahan abon ikan tongkol berdasarkan metode Saraswati (2010)
adalah sebagai berikut:
1. Pilih ikan segar, buang kepala, ekor, kulit, dan isi perutnya, kemudian cuci;
2. Kukus sampai matang lalu dinginkan, agar ikan menjadi kering masukkan ke
dalam kain saring dan tekan dengan alat tekan (pers);
3. Pisahkan dari tulang dan durinya lalu suwir-suwir daging ikan, sehingga
merupakan serat halus;
4. Haluskan bumbu lalu tumis dalam penggorengan, kemudian masukkan santan
kental. Tambahkan asam jawa, gula, daun salam, dan serai;
5. Panaskan terus hingga mendidih sambil diaduk-aduk, sampai santan tinggal
setengah;
6. Masukkan suwiran daging ikan sedikit demi sedikit ke dalam santan sambil
diaduk terus sampai kering. Proses penggorengan selesai apabila abon sudah
benar-benar kering, diraba sudah kemersik, dan berwarna coklat. (Apabila
masih banyak minyak, tekan dengan alat tekan (press) dan tampung
minyaknya);
7. Tiriskan dan dinginkan, kemudian masukkan ke dalam wadah dan taburi
bawang goreng, aduk-aduk hingga bawang goreng merata.

Pada proses pengukusan terjadi proses penghilangan sebagian besar cairan


yang ada didalam daging ikan tongkol, yaitu air dan minyak yang akan menetes ke
bawah akibat dari uap panas yang diterima. Ikan tongkol yang diberi perlakuan
pengukusan mempunyai aroma yanglebih diterima karena kandungan minyak sedikit,
selain itu menghasilkan rasa yang lebih gurih (Pang, et al., 2013).

D. Metode deep frying


Merupakan metode menggoreng bahan pangan dengan minyak yang banyak
sehingga bahan pangan terendam seluruhnya. Selain itu, metode ini juga
menggunakan suhu tinggi dan jangka waktu yang lama. Pemanasan minyak berulang
pada suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan minyak goreng. Kerusakan
disebabkan karena proses oksidasi dan polimerisasi asam lemak jenuh yang
dikandungnya. Oksidasi lemak akan menghasilkan asam-asam lemak berantai pendek
yang dapat menimbulkan perubahan bau dan rasa serta senyawa peroksida yang dapat
membahayakan kesehatan tubuh (Mahmudan dan Fithri, 2014).

E. Pan frying
Merupakan proses penggorengan bahan dengan menggunakan sedikit minyak
dengan suhu permukaan dapat mencapai lebih dari 100°C, lama penggorengan
dilakukan antara 30-60 menit atau tergantung bahan yang digoreng. Proses
pengolahan dengan metode pan frying bertujuan untuk memperoleh bahan pangan
agar mempunyai aroma dan rasa yang menarik. Banyaknya minyak yang digunakan
lebih kurang 10 ml atau cukup untuk mengalasi alat penggorengan sehingga bahan
yang digoreng tidak melekat pada alatnya (Sulthoniyah, et al.,2013).

F. Analisis Sensoris
Sifat organoleptik sangat penting bagi setiap produk karena berkaitan erat
dengan penerimaan konsumen. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kesukaan
panelis terhadap produk kamaboko maka digunakan uji kesukaan (Hedonic Test). Uji
kesukaan yang dilakukan pada penelitian ini meliputiparameter warna, aroma, rasa,
serta keseluruhan, yang bertujuan untuk mendapatkan sampel yang paling disukai
oleh panelis. Analisis secara sensori untuk produk perikanan segar selama ini
merupakan cara yang mudah dan cepat. Meskipun demikian kelemahan dari cara ini
adalah tingginya tingkat subyektivitas dari para panelis, terlebih apabila panelis yang
melakukan asesmen bukan panelis terlatih. Oleh karena itu dalam pelaksanaan
asesmen sensori untuk menentukan mutu/kondisi kesegaran ikan, keterlibatan panelis
terlatih mutlak diperlukan (Ariyani, 2010).
Menurut Hasrati (2011), Penilaian dengan organoleptik yang juga disebut
dengan penilaian organoleptik atau penilaian sensoris, merupakan penilaian yang
biasa diterapkan pada komoditi hasil pertanian yang di dalamnya menyangkut hasil-
hasil peternakan, dalam tingkat kesukaan konsumen terhadap hasil olahan daging.
Kesesuaian dengan apa yang dikehendaki oleh konsumen, meliputi : bau (aroma),
rasa, tekstur dan kenampakan.
Aroma disebut juga pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal
enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium aromanya dari jarak
jauh, manusia dapat mencium bau yang keluar dari makanan karena adanya sel-sel
epitel alfaktori di bagian dinding atas rongga hidung yang peka terhadap komponen
bau. Pemasakan dapat mempengaruhi warna, bau, rasa dan produk daging (Montolalu,
et al., 2013).
Rasa ialah sesuatu yang diterima oleh lidah. Dalam pengindraan cecapan
dibagi empat cecapan utama yaitu manis, pahit, asam dan asin serta ada tambahan
respon bila dilakukan modifikasi. Rasa dipengaruhi oleh beberapa komponen yaitu
senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain.
Kenaikan temperatur akan menaikkan rangsangan pada rasa manis tetapi akan
menurunkan rangsangan pada rasa asin dan pahit (Sulthoniyah, et al., 2013).
Warna merupakan salah satu parameter selain cita rasa,
tekstur dan nilai nutrisi yang menentukan persepsi konsumen terhadap suatu bahan
pangan. Preferensi konsumen sering kali ditentukan berdasarkan penampakan luar
suatu produk pangan. Warna pangan yang cerah memberikan daya tarik yang lebih
terhadap konsumen. Warna pada produk pangan memiliki beberapa fungsi antara lain:
sebagai indikator kematangan, terutama untuk produk pangan segar seperti buah-
buahan, sebagai indikator kesegaran misalnya pada produk sayuran dan daging dan
sebagai indikator kesempurnaan proses pengolahan pangan misalnya pada proses
penggorengan, timbulnya warna coklat sering kali dijadikan sebagai indikator akhir
kematangan produk pangan (Fajriyati, 2012).
Pengamatan tekstur pada abon ikan sangat penting dilakukan. Hal ini
disebabkan karena tekstur merupakan salah satu hal yang membedakan abon ikan
dengan produk perikanan lainya yaitu berupa serat-serat yang lembut. Tekstur daging
sangat berpengaruh terhadap produk akhir yang dihasilkan dan menentukan tingkat
kesukaan kosumen terhadap produk tersebut (Sulthoniyah, et al., 2013).

G. Analisis proksimat
Analisis proksimat dapat dikatakan sebagai analisis yang berdasarkan
perkiraan saja, tetapi sudah dapat menggambarkan komposisi bahan yang dimaksud.
Analisis proksimat yang dilakukan adalah untuk mengetahui kadar suatu komponen
tertentu yang terkandung di dalam bahan pakan.  Komponen yang ada pada bahan
pakan digolongkan berdasarkan komposisi kimia dan fungsinya, yaitu air (moisture),
abu (ash), protein kasar (crude protein), lemak kasar (ether extract),serat kasar (crude
fiber) dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (nitrogen free extract) (Djumhawan, et al.,
2011).
 Rumus Kadar Abu
Menurut, Kartika (2010), kualitas abon ikan dapat ditentukan dengan
menghitung kadar abu pada abon ikan tersebut menggunakan rumus berikut
( z−x )
x 100 %
y

Dimana: z = berat sampel setelah didiamkan


x = berat awal
y = berat sampel kira-kira

 Rumus Kadar Air


Menurut, Kartika (2010), kualitas abon ikan dapat ditentukan dengan
menghitung kadar air pada abon ikan tersebut menggunakan rumus berikut
( x + y−z )
x 100 %
y

Dimana: z = berat sampel setelah didiamkan


x = berat awal
y = berat sampel kira-kira
 Rumus Kadar Protein
Menurut, Kartika (2010), kualitas abon ikan dapat ditentukan dengan
menghitung kadar air pada abon ikan tersebut menggunakan rumus berikut

ml HCl X N HCl X 6,25 X 14 X 0,001

Protein Kasar (%) = ------------------------------------------------------- X 100

Berat Awal Bahan (Gram)

Dimana: ml HCl = Volume HCl Yang Digunakan Untuk Titrasi


N HCl = Nilai Normalitas Larutan HCl Yang Digunakan Titrasi
6,25 = Angka Konversi Nitogen ke Protein Kasar
14 = Berat Atom Nitrogen
0,001 = Konversi Satuan ml ke Liter

 Rumus Kadar Lemak


Penentuan kadar lemak suatu bahan dapat dilakukan dengan menggunanakan
soxhlet apparatus. Cara ini dapat digunakan untuk ekstraksi minyak dari bahan
yang mengandung minyak, ekstraksi lemak dari bahan kering dapat dikerjakan
secara terputus-putus atau berkesinambungan. Berikut rumus untuk
mengetahui jumlah kadar lemak pada abon ikan yaitu

Berat Lemak (Gram)

Lemak Kasar (%) = -------------------------------------------- X 100

Berat Awal Bahan (Gram)

BAB III
KESIMPULAN

Pembuatan abon menjadi alternatif pengolahan ikan dalam rangka


penganekaragaman produk perikanan, untuk memperpanjang daya awet (menghambat
pertumbuhan mikroba dan aktivitas mikroorganisme), diversifikasi (perubahan
bentuk) produk olahan hasil perikanan dan mengantisipasi melimpahnya tangkapan
ikan di masa panen. Ikan tongkol dijadikan abon karena memiliki serat-serat protein
lebih pendek daripada serat-serat protein daging sapi atau ayam. Selain itu, ikan
tongkol adalah ikan yang memiliki nilai gizi yang berpotensi cukup tinggi, mudah
didapatkan dan ekonomis. Prosedur pembuatannya meliputi pencucian bahan,
penyuwiran, pencampuran bumbu, penggorengan dan pengepresan.

DAFTAR PUSTAKA
Fatmawati, F., Mtoharoh, S., Sara Y. et al. 2014. Makalah THP Tradisional Abon Ikan
Tongkol. Universitas Brawijaya: Malang
Bank Indonesia. 2009. Pola Pembiayaan Usaha Kecil Syariah (PPUK) Usaha Abon Ikan.
Bank Indonesia: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai