Anda di halaman 1dari 53

5.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kelayakan Dasar Unit Pengolahan

5.1.1 Cara berproduksi yang baik dan benar (GMP)

Alur proses atau (GMP) yang terdapat pada quality manual perusahaan

CV. Prima Indo tuna pada hakikatnya sama seperti alur proses yang telah

ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4487-1998) dan telah

memenuhi persyaratan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang

perikanan yaitu CV. Prima Indo Tuna telah memenuhi sistem jaminan mutu

dan kemanan hasil perikanan. Alur proses (GMP) yang terdapat di CV.

Prima Indo Tuna dapat dilihat pada Lampiran 9. Adapun alur proses yang

terdapat pada perusahaan tersebut adalah sebagai berikut:

5.1.1.1 Penerimaan bahan baku

Bahan baku ikan tuna yang diterima di CV. Indo Prima Tuna yaitu

Yellowfin dan Marlin, berasal dari beberapa daerah seperti Gorontalo,

Kendari, Bulukumba, Majene. Ikan tuna yang masuk pada unit pengolahan

dapat berupa ikan utuh yang sudah dibersihkan dari insang dan isi perut atau

dalam bentuk loin yang dikemas dalam styrofoam yang berfungsi untuk

menjaga suhu ikan tidak naik.

Pengiriman bahan baku menggunakan mobil dengan bak terbuka yang

ditutupi dengan terpal agar ikan tidak terkena cahaya matahari langsung

dengan suhu rata-rata bahan baku yang diterima pada unit pengolahan yaitu

0,8oC.
65

Batas suhu untuk penerimaan bahan baku pada unit pengolahan adalah

<4,4oC dan kandungan histamin tidak lebih dari 30 ppm untuk standar

operasional perusahaan (manual HACCP CV. Prima Indo Tuna). Untuk

mencegah timbulnya senyawa toksik ini maka, proses harus dilakukan

segera mungkin sejenak semenjak tuna diatas kapal. Produksi pembentukan

histamin akan terhambat pada suhu dibawah 7 oC (Junianto, 2003).

Apabila kandungan histamin dan suhu telah melebihi batas yang diterima

maka ikan tersebut akan dipisahkan atau reject. Penerimaan bahan baku

dilakukan secepat mungkin, higienis serta hati-hati untuk menghindari

kerusakan fisik dan kenaikan suhu.

5.1.1.2 Pencucian

Mekanisme pencucian pada ikan tuna dalam bentuk utuh yaitu

penyikatan dengan menggunakan sikat dengan permukaan halus agar tidak

merusak tubuh ikan dan telah disanitasikan dengan perendaman kedalam

100 ppm klor, kemudian ikan dibersihkan dengan klor 5 ppm. Suhu rata-rata

pada saat tahap pencucian adalah 1,1 oC.

Penyikatan dilakukan secara manual pada seluruh tubuh ikan, mulai dari

kepala, ekor hingga pada bagian perut ikan. kemudian ikan disiram mulai

dari permukaan tubuh, bagian perut pada ikan hingga pada bagian dalam

kepala ikan dengan air yang telah ditambahkan klor berkonsentrasi 5 ppm.

Penambahan konsentarsi klor 5 ppm bertujuan untuk menghambat

pertumbuhan bakteri yang terdapat pada air dan tubuh ikan itu sendiri.
66

Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran, sisa-sisa darah dan

sisa yang masih melekat pada tubuh ikan. Pencucian dimaksudkan untuk

menghilangkan sisa-sisa darah, kotoran dan lumpur yang berada dalam

tubuh dan insang ikan (Hadiwiyoto, 1993).

5.1.1.3 Pemotongan kepala, sirip dan ekor

Ikan dalam bentuk utuh tidak dilakukan proses penyiangan, karena

bahan baku yang masuk pada unit pengolahan sudah dibuang insang dan isi

perut. Berdasarkan pengamatan suhu yang dilakukan, tidak perbedaan suhu

antara tahap pemotongan dengan tahap pencucian yaitu suhu rata-rata pada

tahap ini adalah 1,1oC. Hal ini karena proses pemotongan dilakukan dengan

cepat. Proses pemotongan dilakukan diatas meja yang terbuat dari stainless

stell dan telah dilapisi dengan cutting board yang terbuat dari plastik dan

berguna untuk mempermudah proses pemotongan serta dilakukan secara

manual dan hati-hati.

Proses pemotongan dimulai dari kepala, kemudian dilanjutkan dengan

pemotongan pada bagian punggung ikan tepat pada tulang belakang,

kemudian dilakukan penyayatan pada bagian perut dan setelah itu dilakukan

pemotongan pada pangkal kepala. Setelah itu dilakukan pemotongan

hingga pada pangkal ekor atau tail hingga ke depan atau pada bagian perut

sampai tepat pada tulang belakang ikan.


67

Menurut Ditjenkan (1993), pemotongan dimulai dari bagian kepala,

kemudian diarahkan kebagian punggung sampai tepat pada tulang belakang,

kemudian disayat pada bagian samping kiri kanan daging punggung dan

perut yang selanjutnya dilakukan pembelahan dari pangkal kepala sampai

dengan inlet ketiga dari pangkal ekor, searah dengan linea lateralis sehingga

bisa lepas.

Gambar 2. Pemotongan kepala, sirip dan ekor

Sanitasi peralatan dan meja kerja selalu dilakukan, dimana setiap akhir

proses pemotongan satu ekor ikan, peralatan dan meja yang digunakan

untuk memotong ikan dicuci dengan menggunakan air yang mengandung

klor dengan konsentrasi 50 ppm untuk proses pencucian atau washing dan 5

ppm untuk pembilasan atau rinsing. Untuk bagian kepala dan ekor yang

telah dipotong dikumpulkan menjadi satu pada satu tempat, setelah itu

bagian kepala dan ekor tersebut akan dijual kepada pedagang penampung

limbah ikan.
68

5.1.1.4 Pembentukan loin (loinning)

Pembentukan loin (loinning) dilakukan setelah pemotongan kepala, sirip

dan ekor. Pada tahap ini dibutuhkan keahlian dan ketelitian dari para

karyawan sehingga didalam pembentukan loin tidak terdapat kesalahan.

Ikan dipotong dalam bentuk fillet, kemudian dibelah menjadi empat bagian.

Proses pemotongan dilakukan dengan menggunakan pisau tajam. Setiap

pembentukan loin pada satu ekor ikan, dilakukan pembersihan peralatan dan

meja kerja dengan menggunakan air klor 50 ppm untuk pencucian dan 5 ppm

untuk membilas meja dan peralatan kerja. Suhu rata-rata pada tahap

pembentukan loin adalah 1,1oC.

5.1.1.5 Trimming I

Trimming bertujuan untuk membersihkan daging gelap atau dark meat

dengan cara menyayat bagian daging gelap yang masih terdapat pada

potongan loin, disamping itu untuk menghilangkan duri yang masih terdapat

pada daging. Proses pembersihan daging gelap dilakukan dengan

menggunakan pisau tajam dengan ukuran pisau lebih panjang dari pisau

pemotong. Sebelum digunakan, terlebih dahulu disanitasikan dengan

menggunakan klor 50 ppm. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tidak

terjadi kontaminasi silang pada ikan malalui peralatan yang digunakan.

Suhu rata-rata pada tahap ini yaitu 1,1 oC. Tidak terjadi kenaikan suhu karena

proses pengolahan dilakukan dengan cepat.


69

Sanitasi pada meja kerja dan peralatan selalu dilakukan yaitu apabila

satu potong loin telah dikerjakan, maka peralatan dan meja kerja langsung

dibersihkan dengan menggunakan air klor dengan konsentrasi 50 ppm untuk

tahap pencucian kemudian dilanjutkan dengan proses pembilasan dengan

menggunakan air klor dengan konsentrasi 5 ppm.

Peralatan dan perlengkapan pembantu yang bersentuhan dengan bahan

yang diolah, kecuali terhadap produk akhir harus dikemas, harus selalu

dibersihkan dan didesinfektan dengan menggunakan klor 50-100 ppm

sekurang-kurangnya satu kali dalam satu giliran kerja, kemudian dikeringkan

dan disimpan dengan cara saniter (Winarno dan Surono, 2004).

5.1.1.6 Penimbangan I

Tahap penimbangan dilakukan setelah proses trimming. Potongan loin

yang telah dibersihkan kemudian ditimbang satu demi satu secara hati-hati

dengan menggunakan timbangan digital berkapasitas 30 kg berjumlah satu

unit. Pengawas mutu akan mengecek suhu pada potongan loin. Suhu rata-

rata pada penimbangan adalah 1,2 oC. Terjadi kenaikan suhu pada tahap ini

disebabkan karena penumpukan bahan baku. Untuk itu pengawas mutu

akan mengintruksikan kepada para karyawan untuk melakukan proses

pengolahan dengan cepat, sehingga suhu ikan tidak melebihi batas yang

ditetapkan yaitu <4,4oC. Proses penimbangan awal dapat dilihat pada

Gambar 3.
70

Gambar 3. Penimbangan I

5.1.1.7 Sortasi mutu (grading)

Grading bertujuan untuk menentukan mutu ikan, apakah potongan loin

akan dibuat dalam bentuk potongan steak, saku atau loin. Biasanya ikan

tuna dengan grade A dan B yang akan dibuat dalam bentuk steak maupun

loin. Tetapi apabila terdapat sashi atau lubang-lubang kecil pada daging ikan

tuna grade A atau B, maka ikan tersebut tidak diolah dalam bentuk steak

maupun loin. Suhu rata-rata pada tahap sortasi mutu adalah 1,3 oC. Pada

unit pengolahan terdapat beberapa kriteria warna pada daging. Berikut ini

beberapa kriteria warna pada daging ikan tuna:

Grade A untuk steak dan loin : warna daging untuk tuna steak atau loin

beku dengan grade A mempunyai spesifikasi warna deging merah jernih,

mengkilat struktur daging apabila ditekan tidak putus dan tidak lengket. Serta

tidak terdapat sashi atau daging yang berlubang-lubang kecil.


71

Grade B untuk steak dan loin ; untuk daging dengan mutu B mempunyai

spesifikasi warna daging merah agak jernih, tidak putus apabila ditekan dan

tidak lengket serta tidak terdapat sashi atau lubang-lubang kecil pada daging.

Grade A dan B untuk saku ; spesifikasi warna dan tekstur hampir sama

dengan ikan tuna dengan mutu A dan B, tetapi terdapat sashi atau lubang-

lubang kecil pada daging. Hal ini menandakan bahwa pada daging tersebut

terdapat penyakit akibat kesalahan dalam penanganan pada saat ikan

ditangkap.

5.1.1.8 Pembuangan kulit (skinless)

Pembuangan kulit pada ikan tuna membutuhkan keahlian bagi para

karyawan. Proses pembuangan kulit dilakukan dengan meletakan potongan

loin diatas cutting board kemudian penyayatan dimulai dari pangkal ekor

hingga pada bagian pangkal kepala secara perlahan-lahan dan hati-hati agar

proses pembuangan kulit tidak menyayat bagian daging yang lebih besar

sehingga menyebabkan kerugian bagi perusahaan.

Berdasarkan pengamatan, dimana suhu rata-rata pada tahap

pembuangan kulit adalah 1,3 oC. Tidak terdapat perbedaan suhu antara

tahap pembuangan kulit dengan tahap sebelumnya. Hal ini disebabkan

karena proses pembuangan kulit yang terdapat pada loin hanya

membutuhkan waktu yang singkat dan tidak membutuhkan waktu yang cukup

lama.
72

Pisau yang digunakan untuk skinless, terlebih dahulu disanitasikan

dengan menggunakan air klor dengan konsentrasi 50 ppm. Disamping itu

sanitasi karyawan selalu dijaga dengan menggunakan sarung tangan dan

melakukan cuci tangan dengan menggunakan alkohol 75% sebelum

melakukan proses pembuangan kulit .

5.1.1.9 Trimming II

Daging ikan yang akan dibuat dalam bentuk steak terlebih dahulu

dibersihkan dari kulit, duri dan daging gelap atau dark meat. Proses ini

merupakan langkah selanjutnya dari proses trimming yang pertama guna

memastikan apakah daging tersebut telah terbebas dari kulit, duri dan daging

gelap (dark meat) yang masih terdapat pada daging ikan. Mekanisme pada

proses ini sama dengan proses trimming yang dilakukan pada tahap

pertama. Penumpukan bahan baku dan kurangnya rantai dingin

menyebabkan kenaikan suhu menjadi 1,6 oC.

Setiap satu loin (pcs) selesai di trimming, loin disemprotkan dengan

alkohol 75% pada permukaan loin, kemudian dilap dengan spon steril yang

berfungsi menyerap sisa-sisa darah yang masih terdapat pada potongan loin

serta menghilangkan kotoran yang masih melekat pada potongan loin

tersebut.

Disamping itu kondisi sanitasi permukaan peralatan dan meja kerja

selalu dijaga, dimana setiap satu potongan loin selesai di trimming, meja

dibersihkan dengan larutan klorin 50 ppm, kemudian dibilas dengan klorin 5


73

ppm dan dikeringkan, setiap satu kali membawa ikan dengan gerobak,

gerobak dibersihkan dengan cara seperti proses trimming.

5.1.1.10 Penimbangan II

Proses penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital

berkapasitas 30 kg. Biasanya perusahaan melakukan penimbangan pada

daging ikan, agar dapat menentukan berapa banyak rendemen yang

dihasilkan pada hari itu. Suhu rata-rata pada tahap ini adalah 1,6 oC. Dimana

tidak ada perubahan suhu dengan tahap trimming karena proses

penimbangan tidak membutuhkan waktu lama. Proses penimbangan

dilakukan untuk mengetahu rendemen dari loin (Ditjenkan, 1993).

5.1.1.11 Pembentukan steak

Daging ikan yang masih dalam bentuk loin, kemudian dibentuk menjadi

potongan-potongan steak. Proses ini dilakukan dengan cara memotong loin

secara vertikal pada bagian atas hingga kebawah, sehingga terbentuk

potongan steak dengan ketebalan sekitar 2,75-3,5 cm. Pada tahap ini terjadi

kenaikan suhu mencapai 1,9oC akibat penumpukan bahan baku dan lamanya

pemotongan sehingga dibutuhkan ketelitian dari para karyawan. Disamping

itu rantai dingin yang terdapat pada unit pengolahan dirasakan kurang.

Proses pemotongan menggunakan pisau yang lebih tebal daripada pisau

yang digunakan untuk trimming dan telah disanitasikan. Sanitasi peralatan

dan meja kerja selalu dilakukan yaitu dengan menggunakan air yang telah
74

mengandung klor dengan konsentrasi 50 ppm untuk washing dan 5 ppm

untuk rinsing.

Pada tahap ini juga dilihat mutu dari ikan. Apabila terdapat penyakit ikan

seperti sashi maka ikan tersebut akan diolah dalam bentuk olahan lain.

Keadaan ini dilakukan perusahaan agar tidak terjadi kerugian pada

perusahaan yang cukup besar.

Menurut Ditjenkan (1998), pemotongan daging menjadi bentuk keping ini

disesuaikan dengan ukuran yang diminta pembeli. Pada tahap ini juga

dilakukan perapihan pada steak dengan membuang kulit dan daging gelap

yang masih tersisa. Proses pembentukan steak dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Proses pembentukan steak

5.1.1.12 Penimbangan III

Mekanisme penimbangan yang ketiga sama dengan mekansime

penimbangan sebelumnya. Proses penimbangan menggunakan mesin

timbangan digital dengan kapasitas maksimum 30 kg dan kapasitas minimum


75

5 gr. Berdasarkan pengamatan, suhu rata-rata pada tahap ini adalah 2 oC.

Kenaikan suhu pada tahap ini disebabkan karena proses pembentukan steak

membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga kenaikan suhu cukup

signifikan.

5.1.1.13 Pengemasan sementara

Potongan steak yang telah ditimbang kemudian dikemas dalam kemasan

sementara. Pengemasan dilakukan dengan memasukan potongan-potongan

steak kedalam plastik yang telah dilapisi spon pada bagian dalam dengan

tujuan agar dapat meresap kotoran dan darah yang masih tertinggal pada

potongan steak serta diberikan jarak agar pada saat penyemprotan CO dapat

merata pada permukaan daging. Suhu rata-rata pada tahap ini adalah

2,1oC.

5.1.1.14 Penyemprotan CO (curring)

Penyemprotan CO bertujuan memberikan warna merah pada daging,

dimana CO yang disemprotkan akan bereaksi dengan mioglobin pada daging

sehingga membentuk warna merah. Proses penyemprotan pada permukaan

potongan steak dengan cara memasukan pipa penyemprotan kedalam plastik

yang telah vakum. Kemudian potongan steak tersebut disimpan dalam

chilling room selama dua hari. Berdasarkan pengamatan, tidak terjadi

kenaikan suhu pada tahap ini yaitu 2,1 oC. Pada suhu 0oC oxymioglobin tidak

akan mengalami deoksidasi selama jangka waktu lama dan mioglobin akan

diubah menjadi oxymioglobin menjadi warna merah (Ilyas, 1993).


76

5.1.1.15 Penyimpanan dingin sementara (chilling room)

Proses pembentukan warna merah pada potongan steak akan terbentuk

setelah dua hari. Untuk itu potongan steak harus disimpan ke dalam chilling

room dengan suhu berkisar antara -2 o- (+2oC). Tujuan dilakukan

penyimpanan dingin yaitu disamping menunggu terjadinya proses

pembentukan warna merah pada daging, disamping itu juga menjaga agar

suhu pada daging ikan <4,4oC.

Penyimpanan atau pengawetan ikan dengan suhu chilling room (-1oC -

+5oC) adalah untuk menghambat kegiatan mikroorganisme dan proses-

proses kimia serta fisis lainya yang dapat mempengaruhi atau menurunkan

kesegaran (mutu) ikan (Moeljanto, 1992).

5.1.1.16 Final check

Final check merupakan perapian potongan daging steak apabila masih

terdapat daging gelap yang mesih melekat pada daging, duri, sisik, serta

penyakit ikan atau sashi yang sudah terdapat secara alamiah didalam tubuh

ikan dan dapat mempengaruhi mutu ikan.

Proses pemotongan dilakukan dengan menggunakan pisau tajam dan

telah disanitasikan dengan menggunakan air klor dengan konsentrasi 5 ppm.

Dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi silang pada daging.

Penumpukan loin pada saat bahan baku dikeluarkan dari ruang penyimpanan

dingin menyebabkan penurunan suhu mencapai -1,7 oC.


77

5.1.1.17 Penimbangan IV

Pada tahap ini, potongan steak ditimbang untuk menentukan size dari

potongan steak. Proses penimbangan dilakukan dengan menggunakan

timbangan digital berkapasitas 30 kg. Disamping itu sanitasi dan kebersihan

peralatan selalu dijaga dengan melakukan pencucian dan pembilasan pada

alat dan meja kerja. Suhu pada tahap penimbangan adalah -1,5 oC.

Kenaikan suhu disebabkan karena lamanya proses penimbangan dimana

setiap potongan steak ditimbang, steak tersebut tidak langsung dilakukan

proses selanjutnya, tetapi ditumpuk untuk sementar waktu, sehingga

menyebabkan terjadi penurunan suhu. Size dan berat potongan steak dapat

dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Size dan berat potongan steak

Size (oz) Berat (gram)


Medalion 43-113

4-6 114-169

6-8 170-226

8-10 227-283
Data primer 2007
1 oz = 28,5 gr

5.1.1.18 Pengemasan (wrapping)

Pengemasan dilakukan setelah penimbangan terhadap size dan berat

dari potongan steak bertujuan mencegah proses pengeringan. Potongan

steak dimasukan satu demi satu kedalam vakum pack sesuai dengan berat
78

dan size potongan steak. Untuk menjaga agar tidak terjadi kesalahan maka,

tiap-tiap vakum pack diberi tanda sesuai size masing-masing. Suhu pada

tahap pengemasan (wrapping) adalah -1,1oC. Pengemasan dengan bahan

pengemas yang cocok sangat bermanfaat untuk mencegah kemunduran

mutu seperti pengerinagn (Moeljanto, 1992).

5.1.1.19 Pemvakuman

Pemvakuman potongan steak dilakukan pada mesin vakum dengan

tekanan satu ATM pada suhu kamar yaitu sekitar 26-28 oC. Mesin tersebut

berfungsi mengeluarkan udara yang terdapat pada vacum pack, sekaligus

melekatkan bagian yang terbuka pada single pack. Agar tidak terjadi

kenaikan suhu maka, disediakan dua unit mesin vakum. Apabila pada saat

seal dilakukan kurang optimal atau terjadi kebocoran maka, dilakukan

pemvakuman ulang dan penggantian single pack. Hal ini dilakukan untuk

mencegah terjadinya dehidrasi apabila pada saat produk dibekukan. Proses

pemvakuman dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Proses pemvakuman


79

5.1.1.20 Penataan dalam longpan

Potongan steak yang telah divakum kemudian dirapikan secara manual

dan ditata pada longpan. Proses penataan sebanyak dua susun yaitu

potongan steak yang pertama diletakan sebanyak empat baris dengan rapi

dan teratur diatas potongan styrofoam yang dipotong membentuk longpan

dan telah dilapisi plastik, kemudian dibatasi dengan menggunakan plastik

dan tray. Setelah itu dilakukan penyusunan yang kedua yaitu, potongan

steak diletakan diatas tray yang telah dilapisi plastik sebanyak empat baris

dengan rapi dan teratur. Suhu rata-rata pada tahap ini mencapai 0,9 oC.

Proses penyusunan ikan dalam pan pembekuan dikerjakan sedemikian rupa

sehingga masing-masing ikan terpisah satu sama lain (Hadiwiyoto, 1993).

Untuk menjaga kontaminasi silang maka, longpan dan plastik pembatas

dicuci dengan menggunakan air klor dengan konsentrasi 50 ppm. Proses

penataan dalam longpan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Proses penataan dalam longpan


80

5.1.1.21 Pembekuan

Perusahaan mempunyai dua unit air blast freezer yang dilengkapi

dengan rak pembeku serta alat pengecekan suhu. Proses pembekuan

dilakukan selama 7-8 jam pada suhu -40 oC. Pengecekan suhu dilakukan

setiap jam. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya dehidrasi produk

akibat waktu dan suhu yang tidak tepat. Berdasarkan pengamatan, suhu

pada ABF selalu dikontrol dan dicatat (record).

Menurut Afrianto dan Liviawati (1989), air blast freezer memanfaatkan

aliran udara dingin sebagai refrigerant yaitu pembekuan dengan

menggunakan sebuah unit pendingin hingga mencapai -30 oC sampai -40oC.

Selanjutnya udara dingin ini akan dialirkan ketempat penyimpanan ikan yang

akan dibekukan dengan kecepatan 15-60 m/menit.

5.1.1.22 Penimbangan V

Tahap ini merupakan tahap penimbangan yang terakhir sebelum produk

dikepak dan didistribusikan. Proses penimbangan dilakukan dengan

menggunakan timbangan digital kapasitas maksimum 30 kg dan kapasitas

minimum 5 kg. Proses penimbangan dilakukan untuk menentukan berat

steak per master karton. Biasanya berat steak sekitar 10 lbs, misalnya steak

ukuran 4-8 dengan berat 10 lbs dapat mencapai 4,71-4,74 gram.

Pada tahap ini dilakukan pengecekan terhadap produk yang telah beku,

apakah produk tersebut mengalami kebocoran atau tidak. Apabila produk

mengalami kebocoran maka, produk tersebut akan dilakukan pengemasan


81

dan pemvakuman ulang. Biasanya ditandai dengan pembentukan bunga es

pada bagian vacum pack yang mengalami kebocoran. Berdasarkan

Pengamatan yang dilakukan, terjadi kenaikan suhu pada tahap ini mencapai

-38oC. kenaikan suhu disebabkan karena lamanya proses penimbangan.

5.1.1.23 Pengepakan dan pelabelan

Pengepakan dan pelabelan dilakukan sesuai dengan size dari steak.

Pengepakan dilakukan dengan menggunakan master cartoon dan dilapisi

plastik pada bagian dalamnya. Biasanya pada master cartoon diberi label

yang memuat keterangan tentang jenis produk, spesies, size, berat bersih,

tanggal produksi, nama produsen, bacth number, approval number, LSCN

(lot number code system), nama buyer, tanggal kedaluarsa dan cara

penyimpanan. Berdasarkan pengamatan, tidak terdapat perbedaan suhu

antara pengepakan dan penimbangan yaitu -38 oC.

Menurut Ilyas (1983), untuk mencegah pengeringan, oksidasi dan

diskolorasi maka produk harus dilindungi, antara lain dengan cara mengepak

produk dengan bahan-bahan yang kedap uap air (waterproof), kedap

terhadap oksigen (oxygenproof) dan tidak menghimpun lemak atau

mengepak vakum (vacuum pack).

5.1.1.24 Penyimpanan beku

Produk akhir yang sudah dikemas, kemudian disimpan dalam gudang

beku atau cold storage menunggu untuk diekspor. Suhu maksimum didalam

cold storage adalah -25oC.


82

Menurut Ilyas (1993), suhu penyimpanan jauh dibawah -18 oC akan

sangat mengawet mutu dan memperpanjang daya simpan beku. Suhu rata-

rata pada tiap tahapan proses dapat dilihat pada Lampiran 10.

Berikut Gambar 7 Alur proses pengolahan steak mentah beku yang

terdapat di CV. Prima Indo Tuna:


83

Penerimaan bahan baku Pengemasan sementara

Pencucian Penyemprotan CO

Pemotongan Penyimpanan dingin

Loinning Final check

Trimming I Penimbangan IV

Penimbangan I Wrapping

Skinning Pemvakuman

Grading Penataan dalam longpan

Trimming II Pembekuan

Penimbangan II Penimbangan V

Pembentukan steak Pengepakan

Penimbangan III Penyimpanan beku

Gambar 7. Alur proses pengolahan steak mentah beku di CV. Prima Indo

Tuna
84

5.1.2 Penerapan sanitation standard operating procedures (SSOP)

Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) adalah salah satu

persyaratan kelayakan dasar yang dimaksudkan untuk melakukan

pengawasan terhadap kondisi lingkungan agar tidak menjadi sumber

kontaminasi terhadap produk yang dihasilkan. Lingkungan yang dimaksud

disini meliputi : ruangan, peralatan, pekerja, air dan sebagainya. Setiap unit

pengolahan harus mempunyai SSOP yang spesifik (Ditjenkan, 1999).

Dalam penyusunan Sanitation Standard Operating Procedures harus

dijelaskan mengenai siapa yang akan melaksanakan dan memonitor,

frekuensi monitoring dan informasi lain yang terkait. Berkaitan dengan itu,

yang perlu dibuat secara rinci adalah sebagai berikut :

5.1.2.1 Keamanan air dan es

Air yang terdapat pada unit pengolahan berasal dari air sumur yang telah

ditreatmen terlebih dahulu melalui sinar UV untuk membunuh bakteri yang

terdapat pada air. Setiap hari pengawas mutu akan mengecek penyediaan

kebutuhan air untuk pengolahan. Disamping itu setiap 6 bulan sekali

dilakukan pengujian di laboratorium LPPMHP Propinsi Makassar. Biasanya

untuk pencucian alat menggunakan air hangat yang telah dicampurkan

dengan klor, sedangkan untuk air dingin digunakan untuk mencuci produk.

Menurut Jenie (1988), pemberian perlakuan air pada umumnya terdiri

terdiri dari tiga tahap yaitu fluktuasi (koagulasi), filtrasi dan klorinasi.
85

Perlakuan ini dapat menghilangkan epidemi penyakit infeksi yang berasal

dari air.

Es yang digunakan untuk proses pengolahan berasal dari perusahaan itu

sendiri. Setiap 6 bulan sekali dilakukan pengujian di laboratorium LPPMHP

Propinsi Makassar. Penambahan es pada ikan dilakukan hanya pada saat

penerimaan bahan baku.

5.1.2.2 Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan produk

Kondisi dan kebersihan pada unit pengolahan seperti bangunan, air dan

peralatan pekerjaan yang kontak dengan produk selalu dijaga. Disamping itu

kondisi bangunan dan peralatan terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan.

Pengawas mutu akan mengecek kondisi permukaan bangunan sebelum

melakukan proses pengolahan dan sesudah proses pengolahan. Disamping

itu peralatan yang kontak langsung dengan produk selalu dibersihkan

sebelum, selama dan sesudah proses pengolahan dengan menggunakan air

yang mengandung klor.

Kondisi dan kebersihan lain seperti sarung tangan dan pakaian kerja

selalu dibersihkan. Pengawas mutu setiap hari akan mengecek kebersihan

daripada karyawan, baik itu pakaian maupun sarung tangan yang digunakan.

Hal ini dilakukan untuk menjaga kontaminasi silang pada produk. Beberapa

hal yang harus dimonitor terhadap kondisi kebersihan adalah kebersihan alat

atau bahan yang kontak langsung dengan produk, meliputi kondisi

permukaan alat yang kontak dengan pangan, kebersihan dan sanitasi


86

permukaan alat yang kontak dengan pangan, tipe dan konsentrasi bahan

sanitasi, kebersihan sarung tangan dan pakian kerja (Winarno dan Surono,

2004).

5.1.2.3 Pencegahan kontaminasi silang

Seluruh peralatan yang kontak langsung dengan produk, selalu

dibersihkan sebelum, selama dan sesudah proses pengolahan dengan

menggunakan detergen dan dibilas dengan air hangat yang telah

dicampurkan dengan klor berkonsentrasi 50 ppm untuk pencucian (washing)

dan 5 ppm untuk pembilasan (rinsing).

Disamping itu untuk mencegah kontaminasi silang pada produk, pada

setiap bagian alur proses disediakan alkohol 75% yang berfungsi untuk

mencuci tangan para karyawan dan apabila pada saat karyawan secara tidak

sengaja menyentuh salah satu bagian organ tubuh seperti kulit maka,

karyawan tersebut wajib mencuci tangan dengan alkohol. Proses pencucian

tangan dilakukan setiap 10 menit sekali dan selalu dikontrol oleh pengawas

mutu.

Menurut Purwaningsih (1995), peralatan dan perlengkapan pembantu

yang bersentuhan dengan produk yang diolah, kecuali terhadap produk akhir

yang dikemas, harus dibersihkan dan didisinfektan sekurang-kurangnya satu

kali dalam satu giliran kerja.


87

5.1.2.4 Menjaga fasilitas cuci tangan, sanitasi dan toilet

Unit pengolahan selalu menyediakan fasilitas-fasilitas yang berguna

untuk mendukung proses pengolahan. Adapun fasilitas yang disediakan

yaitu:

1) Cuci tangan

Terdapat 2 unit fasilitas untuk cuci tangan yang terletak pada pintu

masuk unit pengolahan dan pintu masuk ruangan penerimaan bahan baku,

dimana fasilitas tersebut dilengkapi dengan sabun cair, tissue pembersih,

hand drier dan tempat sampah untuk pembuangan tissue. Air yang

digunakan untuk mencuci tangan mengalir secara otomatis. Hal ini dilakukan

agar pada saat cuci tangan, tidak terjadi kontaminasi silang pada kran

pencuci melalui tangan daripada para karyawan. Pengawas mutu akan

mengecek para karyawan untuk mencuci tangan sebelum melakukan proses

pengolahan.

2) Bak cuci kaki

Bak cuci kaki pada unit pengolahan terletak pada pintu masuk dan ruang

penerimaan bahan baku yang terbuat dari keramik berwarna putih dan

mudah dibersihkan. Air yang digunakan untuk cuci kaki adalah air hangat

yang telah ditambahkan dengan konsentrasi klor 200 ppm. Bak cuci kaki

tersebut dilengkapi dengan kran dan saluran pembuangan untuk

mempermudah penyediaan dan pergantian air. Pengawas mutu akan

mengecek kondisi dari air pencuci kaki dan apabila air pencuci kaki mulai
88

kotor atau berkurang maka, pengawas mutu akan melakukan pergantian atau

penambahan air melalui karyawan yang telah diberi tanggung jawab tersebut.

3) Toilet

Toilet pada unit pengolahan berjumlah 4 unit dilengkapi dengan tempat

cuci tangan dan peralatan untuk membersihkan toilet. Karyawan diwajibkan

untuk menanggalkan perlengkapan kerja apabila ingin masuk ke toilet untuk

mencegah kontaminasi silang. Jika dilihat dari jumlah karyawan sekitar 50

orang maka, toilet pada unit pengolahan telah memenuhi persyaratan.

Menurut Ilyas (1993), formula sebagai petunjuk kecukupan fasilitas toilet

dibandingkan dengan jumlah karyawan : 1 sampai 9 karyawan adalah 1 toilet,

10 sampai 24 karyawan adalah 2 toilet, 25 sampai 49 karyawan adalah 3

toilet, 50 sampai 100 karyawan adalah 5 toilet. Bagi setiap 30 karyawan

diatas 100 tambah 1 toilet.

5.1.2.5 Proteksi dari bahan-bahan kontaminasi

Pengawas mutu telah menunjuk salah seorang karyawan yang bertindak

sebagai cleaning service untuk membersihkan lantai dari sisa-sisa

pengolahan dan air yang masih tergenang pada lantai. Hal ini dilakukan

untuk menghindari kontaminasi silang pada unit pengolahan. Dismping itu

perusahaan menggunakan lima unit AC dan satu unit blower untuk

menghilangkan udara yang pengap dan menggantikanya dengan udara yang

baru sehingga tidak terjadi kondensasi pada ruang pengolahan.


89

Karyawan diwajibkan mencuci kaki sebelum memasuki ruang

pengolahan dan setelah melakukan proses pengolahan. Bak cuci kaki pada

unit pengolahan dilengkapi dengan kran untuk menyalurkan air dan saluran

pembuangan yang berguna untuk mempermudah proses pergantian air

pencuci kaki. Bahan-bahan kimia seperti klor, media pengujian, alkohol

diberi label dan dipisahkan dari produk guna menjaga kontaminasi silang

yang dapat membahayakan.

5.1.2.6 Pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang

benar

Penggunaan bahan tambahan dan bahan pembersih dilakukan sesuai

dengan kebutuhan. Bahan yang digunakan sebagai pembersih seperti sabun

cair diletakan terpisah pada bak cuci tangan dan tidak dipakai sebagai bahan

pencucian produk. Bahan tambahan dan bahan pembersih dilengkapi

dengan label serta cara penggunanya guna mencegah kontaminasi silang

terhadap produk.

5.1.2.7 Pengawasan kondisi kesehatan personil

Karyawan telah diajarkan tentang tata cara melaksanakan sanitasi pada

unit pengolahan, seperti mencuci tangan sebelum dan sesudah proses

pengolahan. Kontrol sanitasi dilakukan oleh pengawas mutu dua kali dalam

seminggu, mulai dari pakaian yang digunakan hingga kondisi sanitasi dari

para karyawan. Apabila terdapat karyawan yang mempunyai kondisi sanitasi

tidak memenuhi persyaratan sanitasi maka, karyawan tersebut akan


90

dikeluarkan untuk sementara waktu dari ruang pengolahan hingga karyawan

tersebut memenuhi kondisi sanitasi.

Apabila terdapat karyawan yang mengidap penyakit maka, karyawan

tersebut akan diistirahatkan hingga kondisi dari karyawan tersebut membaik

dan dapat melakukan proses pengolahan sebagaimana mestinya.

Perusahaan akan melaksanakan pemeriksaan kesehatan karyawan setiap

enam bulan sekali.

Kesehatan karyawan harus diperiksa secara periodik. Tujuanya untuk

menjamin agar tidak seorang karyawan pun menderita penyakit yang dapat

ditularkan melalui makanan dan bertindak sebagai carrier (pembawa)

mikroorganisme penyakit (Purwaningsih, 1995).

5.1.2.8 Menghilangkan pest dari unit pengolahan

Unit pengolahan menyediakan satu unit pest control elektrik untuk

mencegah masuknya serangga. Tetapi keberadaan alat tersebut tidak pada

ruang proses tetapi pada ruang penerimaan bahan baku. Hal ini dilakukan

untuk menjaga kontaminasi silang dari serangga apabila sewaktu-waktu jatuh

menyentuh produk.

Disamping itu pada tiap pintu unit pengolahan dilengkapi dengan tirai

yang terbuat dari plastik dan berfungsi sebagai pencegah masuknya

serangga. Perusahaan juga menggunakan jasa dari perusahaan lain yang

bergerak sebagai pest control, dimana proses penyemprotan dilakukan dua

kali dalam seminggu. Untuk mencegah masuknya binatang pengerat seperti


91

tikus, perusahaan menyediakan alat jeruji besi pada tiap sudut saluran

pembuangan serta dilengkapi dengan bak pengontrol.

Menurut Jenie (1988), dalam sanitasi industri pangan, digunakan

insektisida dimanapun juga berdekatan dengan makanan, jangan langsung

pada peralatan, oven dan lain-lain.

5.1.3 Penerapan sanitasi pada unit pengolahan.

Setiap tahapan pengolahan ikan tuna steak mentah beku mutlak harus

memperhatikan faktor sanitasi dan higienis, mulai dari penerimaan bahan

baku hingga proses pembekuan. Untuk itu harus diperhatikan beberapa hal

berikut ini:

5.1.3.1 Lokasi

Lokasi pada unit pengolahan terletak jauh dari suplai bahan baku, bebas

dari bau yang dapat mengganggu kegiatan proses pengolahan. Unit

pengolahan jauh dari areal perumahan penduduk. Kondisi areal luar

lingkungan unit pengolahan bebas dari debu dan kotoran dan lingkungan

perusahaan jauh dari tempat pembungan sampah.

5.1.3.2 Kontruksi bangunan

1) Lantai

Lantai yang terdapat pada unit pengolahan memiliki kemiringan sekitar

5o. Hal ini dilihat dari permukaan lantai yaitu tidak terdapat genangan air,

disamping itu lantai yang terdapat pada unit pengolahan terbuat dari semen
92

kedap air dengan permukaan lantai yang rata dan halus, tahan terhadap

bahan kimia serta mudah dibersihkan terhadap bahan kimia. Disamping itu

pertemuan antara lantai dan dinding melengkung, dimana lengkungan

tersebut terbuat dari semen kedap air dan mudah dibersihkan.

Lantai yang licin dan dikontruksi dengan tepat, mudah dibersihkan.

Sedangkan lantai yang kasar dan dapat menyerap, sulit dibersihkan. Lantai

yang terkena limbah cair dan tidak ditiriskan dengan baik dapat merupakan

tempat penyediaan makanan bagi bakteri dan serangga (Jenie, 1988).

2) Dinding

Dinding yang terdapat pada unit pengolahan terbuat dari beton dengan

tinggi ± 3 m, berpermukaan halus, berwarna putih dan tidak ada celah atau

lubang yang dapat menjadikan tempat untuk persembunyian serangga. Pada

bagian dinding dengan ketinggian ± 1,5 meter terbuat dari keramik berwarna

putih, kedap air dan mudah untuk dibersihkan.

Permukaan dinding bagian dalam dari ruangan yang sifatnya untuk

pekerjaan basah harus kedap air, permukaanya harus rata dan berwarna

terang, sudut antara dinding dan lantai dan antara dinding dengan langit-

langit harus tertutup rapat dan mudah terjangkau (Winarno dan Surono,

2002).
93

3) Langit-langit

Langit-langit pada unit pengolahan mempunyai tinggi ± 3 meter dari

permukaan lantai, berpermukaan halus dan berwarna terang. Terbuat dari

kayu tripleks dan dilapisi dengan cat berwarna putih. Tidak terdapat

kerusakan pada permukaan langit-langit seperti jamur, lumut yang dapat

membahayakan produk.

Ruang pengolahan harus mempunyai langit-langit yang tidak retak, tidak

bercelah, tidak terdapat tonjolan dan sambungan yang terbuka, kedap air dan

berwarna terang, tinggi langit-langit minimal 3 meter (Winarno dan Surono,

2004).

4) Ventilasi

Perusahaan menggunakan lima unit AC yang bekerja secara otomatis

yang berfungsi menjaga suhu tetap terjaga serta dilengkapi dengan satu unit

blower yang berfungsi menyerap udara kotor pada ruang pengolahan.

Kondisi AC selalu dikontrol. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tidak

terjadi kondensasi pada ruangan

Ventilasi udara harus dikontrol untuk menghindari variasi yang besar

terhadap temperatur ruangan dan perbedaan yang besar antara suhu udara

dan suhu produk. Hal ini dapat mengakibatkan kondensasi dilangit-langit,

dinding dan permukaan produk (Ditjenkan 1997).


94

5) Pintu dan jendela

Pintu pada unit pengolahan terbuat dari stainless stell agar tidak terjadi

korosi sehingga menyebabkan kontaminasi pada produk serta mudah

dibersihkan. Pada pintu masuk unit pengolahan dilengkapi dengan tirai

plastik yang berfungsi untuk mencegah masuknya serangga, debu serta

kotoran yang dapat menyebabkan kontaminasi silang terhadap produk.

Tidak terdapat jendela pada unit pengolahan karena fungsi dari jendela

tersebut telah digantikan oleh penggunaan alternating current (AC) serta

blower yang dipasang pada dinding ruang pengolahan.

Permukaan pintu harus tahan karat, halus dan rata serta tahan air dan

mudah dibersikan. Jendela harus tahan air, halus dan rata, mudah

dibersihkan dan apabila dibuka harus dapat menahan debu, kotoran atau

serangga (dilengkapi dengan tabir yang mudah dibersihkan (Winarno dan

Surono, 2004).

6) Penerangan

Penerangan pada unit pengolahan menggunakan lampu neon yang

dilengkapi dengan kaca pelindung yang berfungsi mencegah kontaminasi

silang pada produk apabila lampu tersebut pecah. Berdasarkan pengamatan

maka, intensitas pada ruang pengolahan sudah memenuhi standar.

7) Sarana penyimpanan limbah

Unit pengolahan menyediakan tempat pembuangan limbah padat.

Limbah tersebut disimpan dalam plastik sisa hasil pengolahan kemudian


95

ditampung dan dijual kepada pedagang penampung limbah padat tersebut.

Sedangkan untuk limbah cair diteratmen terlebih dahulu agar tidak

menimbulkan dampak negatif pada lingkungan disekitarnya apabila limbah

tersebut dibuang.

5.2 Pengamatan Kelayakan Dasar Unit Pengolahan

Penilaian kelayakan dasar unit pengolahan dilakukan sebanyak tiga kali.

Penilaian pertama dilakukan pada tanggal 10 Maret dengan menggunakan

kuisioner yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perikanan tahun 2001.

Penilaian kedua dilakukan dua minggu setelah penilaian pertama yaitu pada

tanggal 20 Maret, dan penilaian ketiga dilakukan dua minggu setelah

penilaian yang kedua yaitu pada tanggal 11 April.

5.2.1 Pengamatan pertama

Penilaian kelayakan dasar unit pengolahan dilakukan pada tanggal 10

Maret. Penilaian dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana

perusahaan tersebut telah menerapkan kelayakan dasar pada unit

pengolahan. Pada pengamatan yang pertama terdapat beberapa

penyimpangan seperti satu penyimpangan serius, dua penyimpangan mayor

dan tiga penyimpangan minor.

5.2.1.1 Kritis (Kr)

Kritis (Kr) adalah suatu faktor, baik yang terkait dengan Sanitation

Standard Operating Procedures (SSOP) maupun yang terkait dengan Good

Manufacturing Practices (GMP) yang apabila tidak dilaksanakan, tidak


96

dimonitor, dan atau tidak dikendalikan dengan baik, dapat secara langsung

mengakibatkan produk yang dihasilkan tidak aman dikonsumsi manusia.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan, tidak ditemukan penyimpangan kritis

pada unit pengolahan.

5.2.1.2 Serius (Sr)

Serius (Sr) adalah suatu faktor atau aspek (SSOP atau GMP) yang

apabila tidak dilaksanakan, tidak dimonitor dan atau tidak dikendalikan

dengan baik, dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi

produk yang dihasilkan sehingga tidak aman untuk dikonsumsi atau diolah

oleh konsumen. Dari hasil pengamatan yang pertama, ditemukan

penyimpangan serius pada saluran pembuangan dimana tidak dilengkapi

dengan alat yang mempunyai katup untuk mencegah masuknya air kedalam

unit pengolahan.

5.2.1.3 Mayor (My)

Mayor (My) adalah suatu faktor atau aspek (SSOP atau GMP) yang

meskipun tidak secara langsung menentukan mutu produk yang dihasilkan

namun apabila tidak diperhatikan dengan baik dapat mengakibatkan produk

yang dihasilkan tidak aman atau merugikan konsumen. Penyimpangan

mayor pada unit pengolahan yaitu tidak ada kontrol untuk mencegah

serangga, tikus dan binatang pengganggu lainya serta terjadi akumulasi

kondensasi diatas ruang pengolahan, ruang pengemasan, dan ruang


97

penyimpanan bahan lain yang tidak langsung mempengaruhi produk dan

bahan pengemas.

5.2.1.4 Minor (Mn)

Minor (Mn) adalah suatu faktor atau aspek (SSOP atau GMP) yang tidak

berhubungan langsung dengan mutu produk, tetapi apabila tidak

dilaksanakan dengan baik dapat berpengaruh terhadap mutu produk.

Penyimpangan minor yang ditemukan pada unit pengolahan yaitu

pasokan air dingin dan air hangat tidak mencukupi, tidak ada ruang istirahat,

jika ada tidak memenuhi persyaratan, tidak ada program pemantauan untuk

membuang wadah dan peralatan yang rusak.

5.2.2 Pengamatan yang kedua

Pengamatan yang kedua dilakukan pada tanggal 20 Maret. Dari hasil

pengamatan yang dilakukan pada pengamatan yang kedua, dimana tidak

ada perbaikan kelayakan dasar pada unit pengolahan.

5.2.3 Pengamatan yang ketiga

Pengamatan ketiga dilakukan pada tanggal 11 April. Dari hasil

pengamatan yang ketiga, dimana ada perbaikan kerusakan yang terdapat

pada unit pengolahan dengan tingkat mayor yaitu perusahaan menggantikan

ventilasi yang mengalami kondensasi dengan bahan ventilasi yang dapat

mencegah terjadinya kondensasi.


98

Berdasarkan hasil Pengamatan kelayakan dasar yang dilakukan maka,

unit pengolahan mendapatkan rating B. Tetapi terdapat beberapa

penyimpangan yang belum melakukan perbaikan. Berikut hasil penilaian

kelayakan dasar pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil penilaian kelayakan dasar


Pengamatan
Penyimpangan
I II III
Kritis (Kr) - - -
Serius (Sr) 1 1 1
Mayor (My) 2 2 1
Minor (Mr) 3 3 3
Rating B (Baik) B (Baik) B (Baik)
Sumber: Data primer 2007

5.3 Analisa Bahaya

Analisa bahaya dilakukan untuk menentukan bahaya yang dapat terjadi

pada setiap tahapan proses, apakah bahaya tersebut termasuk bahaya nyata

atau tidak. Analisa bahaya dilakukan setiap tahap atau alur proses

pengolahan dengan menentukan kemungkinan bahaya yang bisa terjadi.

Berikut analisa bahaya yang dapat diidentifikasi pada tiap alur proses.

5.3.1 Penerimaan bahan baku

Bahaya potensial yang mungkin timbul pada tahap ini adalah

pembentukan histamin akibat kenaikan suhu. Apabila suhu mencapai atau

diatas 4,4oC maka, histidin yang terdapat pada tubuh ikan akan terbentuk

menjadi histamin. Pembentukan histamin berhubungan dengan keamanan

makanan atau food safety. Peluang terjadinya bahaya sedang karena


99

histamin sudah ada secara alamiah dalam tubuh ikan walaupun dengan

menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP). Untuk itu proses

pembentukan histamin tergantung dari cara penanganan ikan diatas kapal

apakah cara penanganan ikan sesuai dengan prosedur atau belum,

disamping itu sanitasi air yang digunakan untuk mencuci ikan juga

menentukan proses terbentuknya histamin.

Upaya yang dilakukan adalah dengan penerapan rantai dingin,

mengukur suhu pusat pada ikan apabila suhu pusat ikan mencapai atau

melebihi 4,4oC maka, ikan tersebut akan ditolak atau reject.

Bahaya kedua yang mungkin timbul adalah kontaminasi oleh bakteri E.

coli dan Salmonella akibat kurang sanitasi air dan es yang digunakan.

Sanitasi air dan es mempunyai kaitanya dengan bakteri yang dapat timbul

pada suhu tertentu. Dimana bakteri E. coli dapat tumbuh pada suhu 3oC dan

Salmonella yang dapat tumbuh pada suhu 5oC. Peluang terjadinya bahaya

rendah karena dapat dikendalikan dengan menerapkan sanitasi yang baik.

Upaya pencegahanya yaitu dengan melakukan pengukuran suhu air,

melakukan uji mikrobiologi serta melakukan pencucian peralatan dengan

menggunakan air yang telah ditambahkan klor dengan konsentrasi 50 ppm

untuk pencucian dan 5 ppm untuk pembilasan.

Bahaya ketiga yang dapat timbul pada tahap penerimaan adalah

kerusakan fisik yang berhubungan dengan keutuhan makanan atau

wholesomeness. Kerusakan fisik dapat terjadi akibat penanganan yang


100

kurang hati-hati diatas kapal. Peluang terjadi bahaya rendah karena dapat

dikendalikan dengan Good Manufacturing Practices (GMP). Penanganan

diatas kapal merupakan faktor penting pada kerusakan fisik ikan. Jadi tahap

ini harus dikontrol dengan pengukuran suhu dan uji organoleptik untuk

melihat kesegaran ikan.

5.3.2 Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa darah dan kotoran

yang masih melekat pada tubuh ikan. Bahaya potensial yang mungkin timbul

pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri E. coli dan Salmonella yang

disebabkan oleh sanitasi air dan es yang kurang baik. Peluang terjadinya

bahaya rendah karena dapat dikendalikan dengan penerapan sanitasi yang

baik.

Bahaya lain yang mungkin timbul adalah pembentukan histamin akibat

kenaikan suhu yang terlalu tinggi. Peluang terjadinya bahaya rendah karena

dapat dikendalikan dengan penerapan Good Manufacturing Practices (GMP)

yaitu dengan melakukan pencucian dengan cepat dan hati-hati, disamping itu

sanitasi air juga harus diperhatikan.

5.3.3 Pemotongan kepala, sirip dan ekor

Bahaya potensial yang mungkin timbul pada tahap ini adalah

kontaminasi bakteri melalui peralatan yang digunakan. Peluang terjadinya

bahaya rendah karena dapat dikendalikan dengan penerapan Sanitation

Standard Operating Procedures (SSOP) yaitu dengan merendam peralatan


101

dalam air yang telah ditambahkan klor dengan konsentrasi 100 ppm atau

dengan menggunakan detergen acid 30% serta dilakukan pencucian

peralatan dengan menggunakan air yang telah ditambahkan klor dengan

konsentrasi 50 ppm untuk pencucian dan 5 ppm untuk pembilasan peralatan

selama melakukan kegiatan proses pengolahan.

Bahaya lain yang dapat timbul pada tahap ini adalah pembentukan

histamin akibat kenaikan suhu. Peluang terjadinya bahaya rendah karena

dapat dikendalikan dengan Good Manufacturing Practices (GMP) dengan

melakukan pemotongan secara cepat dan hati-hati agar tidak terjadi kenaikan

suhu yang cukup tinggi.

5.3.4 Pembentukan loin

Bahaya potensial yang mungkin timbul pada tahap ini adalah bentuk loin

tidak sesuai akibat kesalahan karyawan. Peluang terjadinya bahaya rendah

karena dapat dikendalikan oleh Good Manufacturing Practices (GMP) dengan

menempatkan karyawan yang mempunyai keahlian dan telah berpengalaman

untuk melakukan tahap ini.

Bahaya kedua yang mungkin timbul adalah kontaminasi bakteri seperti

E. coli dan Salmonella melalui peralatan. Sanitasi air yang digunakan untuk

pencucian peralatan yang kurang baik dapat menyebabkan kontaminasi

silang pada potongan loin. Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat

dikendalikan dengan menerapkan sanitasi yang baik dengan melakukan


102

pencucian peralatan menggunakan air klor dengan konsentrasi 50 ppm dan

klor 5 ppm untuk pembilasan

Bahaya ketiga yang mungkin timbul adalah pembentukan histamin yang

disebabkan oleh penumpukan bahan baku sehingga menyebabkan kenaikan

suhu pada loin. Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat

dikendalikan dengan menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP) yaitu

dengan menjaga suhu ikan <4,4oC.

5.3.5 Trimming I

Bahaya potensial yang mungkin timbul pada tahap ini adalah

pembentukan histamin yang disebabkan oleh kenaikan suhu serta

kontaminasi bakteri seperti E.coli dan Salmonella yang disebabkan oleh

kurang sanitasi peralatan yang digunakan. Peluang terjadi bahaya rendah

karena dapat dikendalikan dengan Sanitation Standard Operating

Procedures (SSOP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) dengan

menggunakan air pencucian 50 ppm dan 5 ppm untuk pembilasan serta

penanganan yang cepat dan hati-hati agar dapat mempertahankan suhu ikan

<4,4oC.

Bahaya lain yang mungkin timbul adalah kurangnya maksimal

pemotongan dimana terdapat daging gelap, sisik, dan tulang. Biasanya

kesalahan tersebut disebabkan akibat kurang ketelitian dari para karyawan.

Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat dikendalikan oleh Good

Manufacturing Practices (GMP) dengan penempatan karyawan yang


103

mempunyai keahlian khusus dan berpengalaman pada tahap ini. Disamping

itu bahaya yang timbul dapat diminimalisasikan pada tahap trimming yang

kedua.

5.3.6 Penimbangan I

Proses penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan analit

untuk tiap potongan loin. Bahaya yang mungkin timbul pada tahap ini adalah

berat loin tidak memenuhi standar yang diakibatkan oleh kesalahan karyawan

dan keakuratan mesin timbangan. Peluang terjadinya bahaya rendah karena

dapat dikendalikan dengan Good Manufacturing Practices (GMP) yaitu

melakukan kalibrasi alat timbang.

5.3.7 Soratsi mutu (grading)

Bahaya potensial yang mungkin timbul pada tahap ini adalah

pembentukan histamin akibat kenaikan suhu serta mutu yang tidak sesuai.

Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat dikendalikan dengan Good

Manufacturing Practices (GMP) yaitu dengan mempertahankan suhu ikan

<4,4oC dan menempatkan karyawan yang mempunyai keahlian dan

berpengalaman pada tahap ini.

5.3.8 Pembuangan kulit (skinless)

Bahaya yang mungkin timbul pada tahap ini adalah kontaminasi

peralatan oleh bakteri patogen seperti E. coli dan Salmonella. Penyebab

bahaya disebabkan karena air yang digunakan untuk pencucian peralatan

tidak bersih. Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat dikendalikan


104

dengan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) yaitu dengan

melakukan pencucian dengan menggunakan air klor berkonsentrasi 50 ppm

dan 5 ppm untuk pembilasan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan

bakteri patogen.

Bahaya kedua yang dapat timbul adalah pembentukan histamin akibat

kenaikan suhu. Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat

dikendalikan oleh Good Manufacturing Practices (GMP) yaitu dengan

melakukan proses pembuangan kulit dengan cepat agar dapat

mempertahankan suhu loin <4,4oC.

Bahaya ketiga yang mungkin pada tahap ini adalah terdapat sisa kulit

dan daging gelap yang diakibatkan oleh kesalahan karyawan dalam

melakukan proses pengolahan. Peluang terjadinya bahaya rendah karena

dapat dikendalikan dengan Good Manufacturing Practices (GMP) dengan

menempatkan karyawan yang mempunyai keahlian khusus pada tahap ini.

Disamping itu ada beberapa tahap selanjutnya yang dapat mengeliminasi

peluang terjadinya bahaya.

5.3.9 Trimming II

Mekanisme proses pengolahan pada tahap ini sama dengan proses

trimming yang pertama. Bahaya yang mungkin timbul pada tahap ini adalah

pembentukan histamin yang sebabkan oleh kenaikan suhu serta kontaminasi

bakteri melalui peralatan. Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat

dikendalikan dengan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) dan


105

Good Manufacturing Practices (GMP) yaitu dengan mempertahankan suhu

daging <4,4oC serta melakukan pencucian peralatan dengan air klor

berkonsentrasi 50 ppm dan 5 ppm untuk pembilasan dengan tujuan

menghambat pertumbuhan bakteri.

Bahaya lain yang mungkin timbul yaitu masih terdapat sisik, duri, tulang

serta daging gelap yang masih melekat pada daging. Peluang terjadi bahaya

rendah karena dapat dikendalikan dengan Good Manufacturing Practices

(GMP) dengan mempekerjakan karyawan yang mempunyai keahlian dan

telah berpengalaman serta ketelitian dalam bekerja disamping itu adanya

pengawasan dari pengawas mutu terhadap karyawan selama melakukan

tahap trimming.

5.3.10 Penimbangan II

Bahaya yang mungkin timbul pada tahap ini adalah berat ikan tidak

sesuai akibat kurang akuratnya timbangan yang digunakan serta kesalahan

karyawan. Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat dikendalikan

dengan Good Manufacturing Practices (GMP) dengan melakukan kalibrasi

timbangan apabila terdapat timbangan yang mempunyai hasil yang tidak

akurat serta adanya pengawasan QC terhadap karyawan selama melakukan

proses penimbangan.

5.3.11 Pembentukan steak

Pembentukan steak dilakukan dengan menggunakan pisau yang telah

disanitasikan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kontaminasi silang yang


106

disebabkan oleh pisau pemotong yang kontak langsung dengan daging ikan.

Bahaya potensial yang mungkin timbul pada tahap ini adalah pembentukan

histamin akibat kenaikan suhu selama proses pengolahan. Penumpukan

bahan baku juga dapat menyebabkan kenaikan suhu mencapai 4,4 oC.

Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat dikendalikan dengan Good

Manufacturing Practices (GMP).

Bahaya kedua yang mungkin timbul pada tahap ini adalah kontaminasi

bakteri melalui peralatan yang digunakan selama melakukan proses

pembentukan steak. Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat

dikendalikan dengan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP)

dengan menggunakan air klor dengan konsentrasi 50 ppm untuk pencucian

dan 5 ppm untuk pembilasan.

Bahaya yang ketiga yang mungkin timbul pada tahap ini adalah

kesalahan pemotongan dimana ketebalan steak tidak sesuai dengan ukuran

dan mutu steak tidak sesuai. Dimana kesalahan disebabkan oleh kelalaian

karyawan pada saat melakukan proses pengolahan. Peluang terjadinya

bahaya sedang karena kelelahan dan kurang ketelitian dari para karyawan

dapat menyebabkan peluang terjadinya bahaya. Upaya pencegahan yang

harus dilakukan yaitu dengan adanya pengawasan oleh QC, apabila

ditemukan karyawan yang mengalami kelelahan maka, karyawan tersebut

akan digantikan dengan karyawan yang lain.


107

5.3.12 Penimbangan III

Bahaya yang mungkin timbul pada tahap ini adalah berat steak tidak

sesuai akibat tidak akurat timbangan yang digunakan serta kesalahan

karyawan. Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat dikendalikan

dengan kalibrasi timbangan dan pengawasan oleh pengawas mutu terhadap

karyawan. Apabila ditemukan karyawan yang mengalami kelelahan maka,

karyawan tersebut akan digantikan dengan karyawan yang lain.

5.3.13 Pengemasan sementara

Ada dua kemungkinan bahaya potensial yang mungkin timbul pada

tahap ini yaitu pembentukan histamin yang disebabkan oleh penumpukan

bahan baku sehingga dapat menyebabkan kenaikan suhu pada steak.

Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat dikendalikan dengan Good

Manufacturing Practices (GMP) yaitu dengan melakukan proses pengolahan

secepat mungkin sehingga suhu ikan <4,4oC.

Bahaya kedua yang mungkin timbul pada tahap ini adalah kontaminasi

pada kemasan dan spon yang digunakan untuk pengemasan. Peluang

terjadinya bahaya rendah karena dapat dikendalikan oleh Sanitation

Standard Operating Procedures (SSOP) yaitu dengan menggunakan air klor

5 ppm untuk mencuci spon serta menjaga sanitasi tempat penyimpanan

kemasan dengan baik.


108

5.3.14 Penyemprotan CO

Bahaya potensial yang mungkin timbul pada tahap ini adalah

pembentukan histamin akibat penumpukan bahan baku sehingga bisa

menyebabkan kenaikan suhu pada steak. Peluang terjadinya bahaya rendah

karena dapat dikendalikan oleh Good Manufacturing Practices (GMP) yaitu

dengan melakukan proses pengolahan secepat mungkin sehingga peluang

timbulnya bahaya dapat dicegah.

Bahaya lain yang mungkin timbul pada tahap ini adalah kontaminasi

bakteri melalui peralatan. Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat

dikendalikan dengan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP)

dengan melakukan pencucian alat penyemprotan CO dengan air klor

berkonsentrasi 50 ppm.

5.3.15 Penyimpanan dingin sementara (chilling room)

Bahaya potensial yang mungkin pada tahap ini adalah drip loss akibat

pembekuan lambat. Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat

dikendalikan dengan GMP yaitu dengan melakukan pengecekan suhu secara

berkala. Bahaya lain yang mungkin timbul pada tahap ini adalah kontaminasi

kemasan serta sanitasi pada chilling room. Peluang terjadinya bahaya

rendah karena dapat dikendalikan oleh Sanitation Standard Operating

Procedures (SSOP) dengan memperhatikan kondisi kemasan dan sanitasi

yang terdapat didalam chilling room.


109

5.3.16 Final check

Final check merupakan tahap akhir dari proses pemotongan. Bahaya

potensial yang mungkin timbul pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri

melalui peralatan yang kontak dengan steak. Peluang terjadinya bahaya

rendah karena dapat dikendalikan dengan Sanitation Standard Operating

Procedures (SSOP) yaitu dengan melakukan pencucian peralatan

menggunakan air klor dengan konsentrasi 50 ppm.

Bahaya kedua yang mungkin timbul pada tahap ini adalah masih

terdapat daging gelap, sisik, tulang pada daging serta penyakit pada daging

yaitu tumor (sashi) yang disebabkan oleh kesalahan karyawan. Peluang

terjadinya bahaya rendah karena dapat dikendalikan oleh GMP yaitu adanya

pengawasan dari pengawas mutu (QC) terhadap ketelitian kerja dari para

karyawan. Apabila karyawan mengalami kelelahan maka, karyawan tersebut

akan digantikan oleh karyawan yang lain.

5.3.17 Penimbangan IV

Bahaya yang mungkin timbul pada tahap ini adalah berat tidak sesuai

akibat tidak akuratnya timbangan serta kesalahan karyawan yang mengalami

kelelahan. Peluang terjadinya bahaya rendah, karena dapat dikendalikan

dengan GMP yaitu adanya pengawasan dari pengawas mutu terhadap

karyawan selama melakukan proses penimbangan. Apabila karyawan


110

mengalami kelelahan maka, karyawan tersebut harus digantikan dengan

karyawan yang lain.

5.3.18 Pengemasan (wrapping)

Bahaya potensial yang mungkin timbul pada tahap ini adalah

kontaminasi kemasan oleh bakteri. Peluang terjadinya bahaya rendah

karena dapat diatasi dengan Sanitation Standard Operating Procedures

(SSOP) dengan memperhatikan kondisi kebersihan pada tempat

penyimpanan bahan pengemas.

Bahaya potensil yang kedua yang mungkin timbul adalah kesalahan

karyawan dalam melakukan wrapping sehingga menyebabkan potongan

steak yang telah ditentukan sizenya tidak sesuai dengan ukuran vakum pack.

Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat dikendalikan oleh Good

Manufacturing Practices (GMP).

5.3.19 Pemvakuman.

Bahaya potensial yang mungkin timbul pada tahap ini adalah kebocoran

plastik. Biasanya kebocoran plastik terjadi pada saat proses pembuatan

plastik itu sendiri dan akibat kesalahan dalam proses pemvakuman. Peluang

terjadinya bahaya rendah karena apabila terdapat kebocoran plastik setelah

pemvakuman maka, langsung digantikan dengan plastik yang lain dan

dilakukan pemvakuman ulang.

Bahaya potensial yang kedua yang mungkin timbul adalah kontaminasi

melalui mesin vakum. Peluang terjadi bahaya rendah karena dapat


111

dikendalikan dengan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) yaitu

dengan menyemprot mesin vakum dengan menggunakan alkohol 75%

sebelum dan sesudah proses pengolahan.

5.3.20 Penataan dalam longpan

Bahaya potensial yang mungkin timbul pada tahap ini adalah

kontaminasi melalui pan pembekuan. Peluang terjadinya bahaya rendah

karena dapat dikendalikan oleh Sanitation Standard Operating Procedures

(SSOP) yaitu dengan mencuci pan pembeku sebelum dilakukan proses

penataan.

5.3.21 Pembekuan

Bahaya yang mungkin timbul pada tahap ini adalah dehidrasi pada

produk akibat suhu pada ABF tidak mencapai -40 oC. Peluang terjadinya

bahaya rendah. Karena dapat dikendalikan dengan melakukan pengendalian

suhu ABF dan pemeliharaan peralatan.

5.3.22 Penimbangan V

Faktor karyawan dan keakuratan timbangan merupakan faktor penyebab

timbulnya bahaya. Bahaya yang mungkin timbul pada tahap ini adalah berat

steak tidak sesuai akibat tidak akurat timbangan yang digunakan dan

ketelitian para karyawan. Peluang terjadinya bahaya rendah karena dapat

dikendalikan dengan Good Manufacturing Practices (GMP) yaitu dengan

melakukan kalibrasi pada timbangan serta adanya pengawasan oleh QC

terhadap para karyawan yang sedang melakukan proses penimbangan.


112

5.3.23 Pengepakan dan pelabelan

Kelalaian karyawan dapat menyebabkan bahaya potensial pada tahap ini

yaitu kesalahan dalam memberikan kode produksi, tanggal produksi, kode

size pada master cartoon. Tetapi peluang terjadinya bahaya rendah karena

dapat dikendalikan oleh (GMP) yaitu dengan pengawasan dari pengawas

mutu.

5.3.24 Penyimpanan beku

Bahaya potensial yang mungkin timbul pada tahap ini adalah dehidrasi

produk yang disebabkan oleh suhu pada cold storage tidak stabil. Peluang

terjadi bahaya rendah karena dapat dikendalikan dengan Good

Manufacturing Practices (GMP) yaitu adanya pengawasan dari pengawas

mutu dan melakukan pencatatan suhu setiap satu jam sekali oleh teknisi

mesin serta melakukan pencatatan pada buku monitoring suhu (record

keeping).

5.4 Identifikasi CCP

Berdasarkan hasil analisa bahaya yang telah dilakukan pada tiap

tahapan alur proses maka, terdapat dua tahapan proses yang mengandung

bahaya potensial nyata yaitu, pada tahap penerimaan bahan baku dan tahap

pembentukan steak. Upaya pencegahan yang dilakukan pada kedua tahap

tersebut adalah pengecekan suhu secara berkala, uji histamin, penerapan

rantai dingin dan pengawasan dari pengawas mutu atau QC apabila terdapat
113

karyawan yang mengalami kelelahan maka, karyawan tersebut harus

digantikan dengan karyawan yang lainya.

Dalam menentukan apakah kedua tahap tersebut merupakan CCP atau

bukan maka, dilakukan identifikasi pada kedua tahap tersebut dengan

menggunakan “decision tree”.

Berdasarkan identifikasi bahaya pada proses pengolahan ikan tuna steak

mentah beku di CV. Prima Indo Tuna maka, terdapat satu tahapan alur

proses yang merupakan CCP yaitu pada tahap penerimaan dengan bahaya

potensial yaitu histamin akibat kenaikan suhu diatas 4,4 oC. Keberadaan

histamin secara alami terdapat didalam tubuh ikan tuna sejak ikan tersebut

ditangkap. Dimana histamin berhubungan dengan keamanan pangan atau

food safety. Faktor suhu dan cara penanganan ikan diatas kapal sangat

mempengaruhi timbulnya histamin. Peluang terjadinya bahaya cukup tinggi

dengan tingkat keparahan mungkin terjadi bahaya nyata. Pada tahap ini

histamin dapat dihilangkan atau dikurangi kemungkinan terjadinya bahaya

sampai tingkat yang dapat diterima.

Pada tahap pembentukan steak bukan merupakan CCP, dimana apabila

terjadi kesalahan maka, pada tahap ini tidak dapat menghilangkan atau

mengurangi bahaya yang terjadi sehingga bahaya akan masuk pada tahap

selanjutnya sehingga bahaya tersebut dapat meningkat sampai batas yang

dapat diterima atau diperkenankan. Tetapi pada tahap ini bahaya potensial

masih dapat dihilangkan pada tahap selanjutnya yaitu pada tahap Final
114

Check. Identifikasi CCP pada kedua tahap alur proses dapat dilihat pada

Tabel 7.

Tabel 7. Identifikasi CCP (Critical Control Point)


Identifikasi CCP
Tahapan Bahaya P1 P2 P3 P4 CCP
Potensial
1. Penerimaan Histamin Ya Ya CCP
Bahan baku

2. Pembentukan Bentuk steak Ya Tidak Ya Ya -


steak dan mutu tidak
sesuai

5.5 Uji Organoleptik, Kimia (histamin), Mikrobiologi (ALT)

Hasil pengujian organoleptik dilakukan secara visual dan dilakukan oleh

enam orang panelis dengan menggunakan score sheet sebagai lembar

penilainya, sedangkan untuk pengujian histamin bahan baku ikan tuna segar

dilakukan oleh perusahaan dan pengujian histamin pada produk akhir

dilakukan di LPPMHP makassar. Pengujian mikrobiologi bahan baku tidak

dilakukan oleh perusahaan karena perusahaan tidak mempunyai sarana dan

prasarana untuk pengujian mokrobiologi, tetapi apabila perusahaan ingin

melakukan ekspor maka, perusahaan menyerahkan pengujian ALT kepada

LPPMHP Provinsi Makassar. Berikut Tabel 8 dan 9 nilai organoleptik, kadar

histamin, ALT bahan baku dan produk akhir steak mentah beku.
115

Tabel 8. Nilai organoleptik dan kadar histamin bahan baku Steak Mentah
Beku

Bahan Baku (tuna utuh segar)


Pengamatan
  Organoleptik* Histamin (ppm)**
1 7,55 2,6
2 7,66 1,0
3 7,55 2,7
4 7,77 1,4
5 7,44 5,0
6 7,66 3,4
Rata-rata 7,60 2,68
Ket: * Data Primer
** Data Sekunder

Dari hasil pengujian organoleptik dan histamin bahan baku maka,

didapatkan hasil seperti tabel diatas. Sehingga nilai organoleptik bahan baku

yaitu 7,60, sedangkan nilai kadar histamin 2,68 ppm dimana nilai tersebut

masih memenuhi persyaratan Quality manual yang ada diperusahaan.

Tabel 9. Nilai organoleptik, kadar histamin dan ALT produk akhir Steak
Mentah Beku

Produk Akhir (tuna steak mentah beku)


Pengamatan  
Organoleptik* Histamin (ppm)** ALT (kol/gram)**
1 7,33 9,83 2,6 x 104
2 7,55 17,15 3,0 x 104
3 7,44 7,83 4,3 x 104
4 7,44 6,07 9,2 x 104
5 7,22 11,77 3,7 x 104
6 7,44 10,65 2,0 x 104
Rata-rata 7,40 10,55 4,1 x 104
Ket: * Data Primer
** Data Sekunder
116

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata organoleptik bahan

baku mengalami penurunan yaitu 7,40. Sedangkan Hasil pengujian histamin

mengalami perubahan yaitu 10,55 ppm. Faktor penyebab terjadinya

kenaikan histamin yaitu kurangnya rantai dingin selama proses pengolahan.

Sedangkan untuk nilai pengujian Mikrobiologi (ALT) terhadap produk akhir

yaitu 4,1 x 104 kol/gram. Dari hasil pengujian mutu produk akhir maka,

produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan quality manual yang terdapat

di perusahaan. Pengujian organoleptik bahan baku dan produk akhir dapat

dilihat pada Lampiran 11.

Anda mungkin juga menyukai