NIM : 10163466
Kelas :B
Semester : Delapan ( 8 )
2. Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia sangat
terkait dengan peraturan hukum dan institusi penegak hukum, kalau yang pertama
menyangkut peraturan perundang-undangannya, sedangkan yang kedua
menyangkut institusi penggeraknya, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan,
TNI-AL, Kepolisian RI, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Penegak
hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan hukum, sedangkan
pembangunan hukum itu sendiri adalah komponen integral dari pembangunan
nasional.
` Salah satu penyebab utama pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia ialah lemahnya
pengawasan akibat rendahnya integritas moral serta kurangnya sarana dan
prasarana yang memadai. Keadaan yang kurang menggembirakan ini
menyebabkan suburnya pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, namun kelemahan sistem
tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Ia adalah produk dari integritas moral, karena
yang dapat berfikir perlunya diperbaiki sistem ialah yang bermoral. Orang yang
tidak bermoral atau bermoral rendah meskipun tidak mungkin terdorong untuk
memperbaiki sistem karena kelemahan sistem itu sendiri diperlukannya untuk
melakukan penyelewengan. Pola perbuatan ini sudah menjadi salah satu gejala
umum yang sulit diberantas, karena terbatasnya akses ke laut untuk melihat
perilaku aparat pengawas perikanan. Tingkat Pelanggaran Peraturan Perundang-
undangan Perikanan di WPP-RI.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Undang-undang Illegal Fishing
Ø Pasal 26 ayat (1): Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di
bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran
ikan diwilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP.
Ø Pasal 26 ayat (2): Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud ayat (1),
tidakberlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil.
Ø Pasal 27ayat (1): Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kappalpenangkap ikan berbendera Indonesia yang dipergunakan untu
kmelakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia dan/atau lautlepas wajib memiliki SIPI.
Ø Pasal 27ayat (2): Setiap orang yang memiliki dan/atau pengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan
penangkapanikan di wilayah pengelolaan perikananRepublik Indonesia wajib
memiliki SIPI.
Ø Pasal 27ayat (3): SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh
Menteri.
Ø Pasal 27ayat (4): Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang
melakukan penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah.
Ø Pasal 93 ayat (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikandi
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang
tidak memilikiSIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp.2.000.000.000,00 (dua miliarrupiah).
Ø Pasal 104 ayat (2) Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau
yangdihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuknegara
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Faktor Penyebab Illegal Fishing
Faktor -faktor yang menyebabkan terjadinya Illegal fishing di perairan
Indonesia tidak terlepas dari lingkungan strategis global terutama kondisi
perikanan di negara lain yang memiliki perbatasan laut, dan sistem pengelolaan
perikanan di Indonesia itu sendiri. Secara garis besar faktor penyebab tersebut
dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh) faktor, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1. Kebutuhan ikan dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia
menurun, terjadi overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini
mendorong armada perikanan dunia berburu ikan di manapun dengan cara legal
atau illegal.
2. Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain
dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus
pendapatan.
4. Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan
khususnya armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas
dibandingkan kebutuhan untuk mengawasai daerah rawan. Luasnya wilayah laut
yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE
Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas (High Seas) telah menjadi magnet
penarik masuknya kapal-kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan illegal
fishing.
5. Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat
terbuka (open acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap (input
restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual geografi
Indonesia, khususnya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.
6. Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta SDM pengawasan
khususnya dari sisi kuantitas. Sebagai gambaran, sampai dengan tahun 2008, baru
terdapat 578 Penyidik Perikanan (PPNS Perikanan) dan 340 ABK (Anak Buah
Kapal) Kapal Pengawas Perikanan. Jumlah tersebut, tentunya sangat belum
sebanding dengan cakupan luas wilayah laut yang harus diawasi. Hal ini, lebih
diperparah dengan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan.
· Sosial
Bagi Indonesia Illegal Fishing menjadi perhatian utama, karena hal ini
terjadi setiap hari di perairan Indonesia. Dikawasan Asia Tenggara, sektor
perikanan menjadi salah satu sumber utama bagi ketahanan pangan di kawasan.
Motif ekonomi sering menjadikan alasan bagi eksplorasi besar-besaran terhadap
sumber daya perikanan, yang pada gilirannya, menjadikan sebagai penyebab
utama bagi berkurangnya secara drastis terhadap persediaan ikan di Asia
Tenggara. Persoalan ini akan berpengaruh buruk terhadap kelangsungan hidup
lebih dari 100 juta jiwa. Hal ini juga telah menyebabkan sengketa diantara para
nelayan lokal dengan para pemilik kapal pukat dan juga diantara para nelayan
tradisional antar negara. Berkurangnya persediaan ikan diperairan Indonesia
sebagai akibat illegal fishing yang dilakukan dengan menggunakan kapal-kapal
pukat, juga telah memaksa para nelayan tradisional Indonesia terlibat dalam
kegiatan illegal fishing diperairan Australia, yang menyebabkan timbulnya
permasalahan diantara kedua negara. Dampak secara langsung tidak hanya
dirasakan oleh para nelayan, tetapi juga para karyawan pabrik, terutama pabrik-
pabrik pengolahan ikan. Di Tual dan Bejina misalnya, sejak beroperasinya kapal-
kapal penangkap ikan asing tersebut, maka seluruh perusahaan industri
pengolahan ikan tidak beroperasi lagi, dan akibat lebih lanjut sudah dapat ditebak
apa yang terjadi, yaitu PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)para karyawan pabrik
pengolahan ikan. Karena tidak ada lagi bahan baku tangkapanikan yang diolah
oleh perusahaan. Ini terjadi karena semua tangkapan ikan oleh kapalasing tersebut
telah ditransfer ke kapal yang lebih besar di tengah laut istilahnya 'trans-shipment'
dan hal ini jelas-jelas telah melanggar peraturan Menteri Kelautan danPerikanan
No. 16 Tahun 2006 yang mewajibkan seluruh hasil tangkapan ikanditurunkan dan
diolah di darat.
· Ekonomi
Illegal Fishing ini telah secara nyata merugikan ekonomi Indonesia.
Negara ini telah kehilangan sumber devisa negara yang semestinya bisa
menghidupi kesejahteraan masyarakatnya, namun nyatanya justru dinikmati oleh
segelintir orang atau kelompok tertentu baik dari dalam maupun luar negeri.
Faktor- kekayaan sumber daya alam Indonesia telah membuat cukong-cukong
asing yang bekerjasama dengan oknum lokal, menggaruk hasil kekayaan alam
kita. Tidak tanggung-tanggung, kerugian Negara yang diakibatkan kejahatan
bidang perikanan ini mencapai angka yang luarbiasa. Menurut Dirjen Pengawasan
dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (DKP) Ardisu
Zainuddin, pada tahun 2005 jumlah pelanggaran yangditangani DKP 174 kasus,
tahun 2006 naik menjadi 216 kasus, sementara hingga September 2007 sudah ada
160kapal ikan liar yang diproses secara hukum. Dari barang bukti kasus-kasus
illegal fishing yang didapat jajaran DKP, rata-rata potensi kerugian negara
mencapai antara Rp1-Rp4 miliar per kapal. Jika sampai September 2007 ada 160
kapal yang ditangkap, berarti minimal kerugiannegara akibat penangkapan ikan
liar tahun 2007 saja berkisar antara Rp160 miliar sampai Rp640 miliar. Meski
belum ada data resmi mengenai kerugian negara akibat penangkapan ikan ilegal
itu, tetapi dari riset DKP pada 2003, totalnya bisa mencapaiUS$1,9 miliar (sekitar
Rp18 triliun)
Pukat
Pukat Pukat
Ikan Pukat Cincin Rawai
Rincian Ikan
Udang Pelagis Tuna
Slt.
L. Arafura Besar
Malaka
Dari tabel tersebut terlihat jelas bahwa kerugian negara secara ekonomi
akibat pencurian ikan oleh kapal ikan setiap tahunnya sekitar Rp. 1,052
miliar/kapal. Sehingga secara sederhana kerugian negara akibat illegal fishing
dapat diprediksi melalui perkalian jumlah kapal ikan yang melakukan illegal
fishing dengan jumlah kerugian tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN dan SARAN
4.1 KESIMPULAN
Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan tidak mengatur pembagian
kewenangan secarategas dan tidak pula mengatur mekanisme kerja yang pasti,
sehingga ketiga instansi tersebut menyatakan instansinya sama-sama berwenang
dalam penegakan hukumperikanan serta tanpa adanya keterpaduan sistem dalam
pelaksanaannya. Konflik kewenangan seperti ini tidaklah menguntungkan dan
mencerminkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan dipandang
lemah dan tidak optimal,sehingga berdampak kepada kegiatan penangkapan ikan
secara tidak sah masih menunjukkan frekuensi yang cukup tinggi dan tetap terus
berlangsung. Untuk itu segera dicarikan solusinya, guna tercipta suatu kondisi
yang tertib, aman serta adanya kepastian hukum. Hal tersebut berpengaruh positif
bagi para pelaku usaha dibidang perikanan yang pada akhirnya mampu
meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat.
4.2 SARAN
Perlunya dilakukan peningkatan kemampuan maupun kompetensi
sumberdaya manusia khususnya ditingkat penuntutan dan pengadilan sehingga
dalam proses penyelesaian atau penegakan hukum terhadap tindak pidana Ilegal
Fishing dapat dilakukan secara profesional dan tepat sasaran sehingga diharapkan
tujuan dari sistem peradilan pidana terpadu didalam menanggulangi kejahatan
dibidang perikanan dapat tercapai.
Perlunya dibentuk Forum Koordinasi Aparat Penegak Hukum Dibidang
Perikanan sehingga dalam penanganan kasus tindak pidana Illegal Fishing dapat
dilaksanakan secara bersama – sama lintas sektor sehingga apa yang menjadi
faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum dibidang perikanan dapat
diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
http://amrmulsin.blogspot.co.id/2014/05/makalah-illegal-fishing.html
http://www.pusakaindonesia.org/ilegal-fishing-bentuk-pelanggaran-kedaulatan/
http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2011/05/illegal-fishing-di-indonesia.html
http://www.academia.edu/9986261/DAMPAK_ILLEGAL_FISHING_TERHAD
AP_SOSIAL_DAN_EKONOMI_NEGARA