Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

TENTANG PROFIL KEPEMIMPINAN


DI ACEH
Tugas mata kuliah pendidikan kewarganegaraan
Dosen : Zakaris Parja, S. pd, M.si

Oleh :

FACHRUL RIDHA

UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH

FAKULTAS EKONOMI
PRODI AKUNTANSI

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Saya panjatkan puji
dan sukur kehdirat Allah SWT , yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-
nya kepada kita semua, sehingga saya dapat menyesaikan laporan makalah saya tentang
kepemimpinan di aceh.

Makalah ilmiah ini telah saya susun secara maksimal atas bantuan dari berbagai pihak sehingga
laporan makalah ini bisa selesai dengan lancara. Untuk itu, saya selaku penyusun, banyak
berterimakah kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas segala bantuan
dan supportnya selama ini.

Saya menyadari, makalah yang kami buat jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan.
Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, guna
menghasilkan laporan makalah yang lebih baik.

Saya berharap, makalah ilmiah tentang Profil kepemimpinan di aceh yang saya susun bisa
memberikan manfaat dan inpirasi bagi pembaca.

    
                                                                                      Banda Aceh, 16 November 2019

i
i

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................................................i

Daftar Isi.....................................................................................................................................
....................................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
1

A. Latar Belakang.................................................................................................
1
B. Rumusan Masalah............................................................................................
2
C. Tujuan..............................................................................................................
2....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................
3

A. Teuku umar......................................................................................................
3
B. Teuku cit ditiro................................................................................................
5
C. Cut Nyak dien....................................................................................................
8
D. Laksamana malayahati.....................................................................................
......................................................................................................................10
E. Sultan iskandar muda.......................................................................................
11

BAB III PENUTUP...............................................................................................................


12
A. Kesimpulan......................................................................................................
12
B. Daftar Pustaka………………………………………………………………….
13

ii

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sejarah Kerajaan Aceh merupakan salah satu bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa
Indonesia. Pada masa itu Aceh sebagai tempat yang strategis pada jalur transportasi
internasional sangat dikenal di mancanegara, terutama pada awal hubungan perdagangan
antar bangsa. Aceh pada masa kejayaannya merupakan daerah maritim. Para saudagar dari
Arab, India bahkan Eropa mencari rempah-rempah di Sumatera. Kerajaan Aceh merupakan
salah satu kerajaan yang pernah berdiri di Indonesia, terletak di ujung utara Pulau Sumatera
dan paling barat dari kepulauan Nusantara. Kerajaan Aceh berdiri pada tahun 1520-1903,
Sultan Ali Mughayat Syah adalah sultan Aceh yang pertama memimpin Aceh mulai tahun
1520-1530. Wilayah Kerajaan Aceh pada awal kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah
meliputi daerah Aceh Besar kemudian diperluas dengan menaklukkan daerah-daerah
pelabuhan dagang di pesisir timur Sumatera yang bersebelahan dengan Selat Malaka seperti
Pasai, Daya, dan Pidie. Pada masa itu, wilayah di sekitar Selat Malaka memiliki peranan
yang sangat penting dalam kegiatan perdagangan dan lalu lintas perdagangan Nusantara
sehingga wilayah yang berada di sekitarnya memiliki kesempatan untuk 2 berkembang
termasuk Kerajaan Aceh. Selain menginginkan wilayah kerajaan yang luas Sultan Ali
Mughayat Syah berusaha menjadikan Aceh sebagai pusat perdagangan internasional
dikawasan Selat Malaka menggantikan pelabuhan Malaka yang sudah dukuasai bangsa
Portugis. Pelabuhan Malaka yang ketika itu berperan sebagai pusat perdagangan
internasional dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511 yang mengakibatkan banyak pedagang
memilih meninggalkan Malaka dan mencari pelabuhanpelabuhan dagang lainnya seperti
pelabuhan Aceh yang masih berada di sekitar Selat Malaka. Keadaan tersebut sangat
menguntungkan Kerajaan Aceh yang sedang mengembangkan pelabuhannya menjadi pusat
perdagang rempahrempah khususnya lada yang saat itu menjadi barang dagangan utama.
Aceh cepat berkembang menjadi besar karena didukung oleh:

(1) letak ibu kota Aceh yang strategis, yaitu di pintu gerbang pelayaran dari India dan Timur
Tengah yang akan ke Malaka/Cina atau ke Jawa (2) pelabuhan Aceh memiliki persyaratan
yang baik sebagai pelabuhan dagang

(3) daerah Aceh kaya dengan lada sebagai ekspor mata dagangan yang penting. Aceh sudah
sejak dahulu mengadakan hubungan dagang internasional (4) Jatuhnya Malaka ketangan
Portugis yang menyebabkan pedagangpedagang Islam banyak singgah ke Aceh, terlebih
setelah jalur pelayaran beralih lewat di sepanjang pantai barat Sumatera (Iskandar Syah,
2008: 66). Banyaknya pedagang Islam yang berdatangan ke pelabuhan Aceh seperti Arab,
Parsi, dan India yang disusul oleh pedagang-pedagang asing dari Eropa seperti Belanda,
Inggris dan Perancis menambah semarak kegiatan perdagangan di pelabuhan Aceh sekaligus
mendatangkan kekayaan dan kemakmuran bagi Kerajaan Aceh.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana profil kepemimpinan Teuku Umar ?


2. Bagaimana profil kepemimpinan Cik Ditiro ?
3. Bagaimana profil kepemimpinan Cut Nyak Dien ?
4. Bagaimana profil kepemimpinan Laksamana Malahayati ?
5. Bagaimana profil kepemimpinan Sultan Iskandar Muda ?

C.Tujuan
1. mengetahui profil kepemimpinan Teuku Umar
2. mengetahui profil kepemimpinan Cik Ditiro
3. mengetahui profil kepemimpinan Nyak Dien
4. mengetahui profil kepemimpinan Laksamana Malahayati
5. mengetahui profil kepemimpinan Sultan Iskandar Muda

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.TEUKU UMAR
 Profil
Teuku Umar yang dilahirkan di Meulaboh pada tahun 1854, adalah anak
seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik
perempuan Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga
saudara laki-laki.
Nenek moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati berasal dari Minangkabau. Dia
merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan
Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Salah seorang keturunan
Datuk Makhudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam
oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut,
orang itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku
Nan Ranceh mempunyai dua orang putra yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Ahmad
Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Teuku Nanta Setia menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak
Dhien.
Teuku Umar dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka
berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang
menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah
mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang
kuat, cerdas, dan pemberani.
A. Masa perang
Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama
pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di
kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini,
Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong(kepala desa) di daerah
Daya Meulaboh.[2]
Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang
Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi
dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.

3
Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku
Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia
pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian
berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.

B. Taktik Penyerahan Diri


Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda.
Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda berdamai dengan
pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud
memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar
kemudian masuk dinas militer[3].
Ketika bergabung dengan Belanda, Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh,
hal tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabui Belanda agar Teuku
Umar diberi peran yang lebih besar. Taktik tersebut berhasil, sebagai kompensasi atas
keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120
orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut]) sebagai tangan kanannya,
dikabulkan.
C. Melanjutkan perlawanan
Teuku Umar membagikan senjata hasil rampasan kepada tentara Aceh, dan memimpin
kembali perlawanan rakyat. dan Teuku Umar berhasil merebut kembali daerah 6 Mukim dari
tangan Belanda. Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim
dan tinggal di Lampisang, Aceh Besar, yang juga menjadi markas tentara Aceh.
2 tahun setelah insiden Nicero, pada 15 Juni 1886 merapatlah ke bandar Rigaih kapal
"Hok Canton" yang dinahkodai pelaut Denmark bernama Kapten Hansen, dengan maksud
menukarkan senjata dengan lada. Hansen bermaksud menjebak Umar untuk naik ke
kapalnya, menculiknya dan membawa lari lada yang bakal dimuat, ke pelabuhan Ulee Lheu,
dan diserahkan kepada Belanda yang telah menjanjikan imbalan sebesar $ 25 ribu untuk
kepala Teuku Umar.
Umar curiga dengan syarat yang diajukan Hansen, dan mengirim utusan. Hansen
berkeras Umar harus datang sendiri. Teuku Umar lalu mengatur siasat. Pagi dini hari salah
seorang Panglima bersama 40 orang prajuritnya menyusup ke kapal. Hansen tidak tahu kalau
dirinya sudah dikepung.
Paginya Teuku Umar datang dan menuntut pelunasan lada sebanyak $ 5 ribu. Namun Hansen
ingkar janji, dan memerintahkan anak buahnya menangkap Umar. Teuku Umar sudah siap,
dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Hansen berhasil dilumpuhkan dan tertembak
ketika berusaha melarikan diri. Nyonya Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera,
sedangkan awak kapal dilepas. Belanda sangat marah karena rencananya gagal.[3]

4
Perang pun berlanjut, pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem
VIII Raja Kuala (ayah dari Teuku Panglima Polem IX Muhammad Daud) gugur dalam
pertempuran. Belanda sebenarnya pun sangat kesulitan karena biaya perang terlalu besar dan
lama.

D. Gugur
Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan dari mata-matanya mengenai
kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang
cukup kuat di perbatasan Meulaboh. Malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar
bersama pasukannya tiba di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan
Van Heutsz mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin
mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam
pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.
Jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh.
Mendengar berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti
perjuangan telah berakhir. Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad
untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih
pimpinan perlawanan pejuang Aceh.[3]

B.TEUKU CIT DITIRO


 Profil
Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan
ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada 1
Januari 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam
Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya.
Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia
mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan
imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad
Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi
tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang
kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.

5
 Perjuangan
KETIKA Aceh Besar jatuh di tangan Belanda, Teuku Cik Di Tiro hadir untuk memimpin
perang. Pada tahun 1881, ia berhasil merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan
membuat Belanda kewalahan.
Teuku Cik Di Tiro adalah pahlawan nasional dan tokoh penting yang berjasa melawan
kolonial Belanda. Teuku Cik Di Tiro bernama asli Muhammad Saman. Ia lahir di Dayah
Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh pada tahun 1836 bertepatan
dengan 1251 Hijriyah. Masa kecilnya dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat.
Cik Di Tiro merupakan keturunan dari pasangan Teuku Syekh Ubaidillah dan Siti Aisyah.
Salah satu cucunya adalah Hasan Di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka. Ia
sangat dihormati karena ilmu dan keberaniannya melawan imperialisme dan kolonialisme.
Dalam meneguhkan ilmu agamanya, Cik Di Tiro banyak belajar kepada para ulama
terkenal di daerah Tiro. Itu pula lah sebabnya ia dipanggil dengan sebutan Teuku (Teungku)
Cik Di Tiro. Ia memang dikenal sebagai anak yang suka belajar agama dan mendalami ilmu-
ilmu baru.
Ketika menunaikan ibadah haji di Mekkah, Saudi Arabia, ia terus memperdalam ilmu
agamanya di Tanah Suci tersebut. Ia dibesarkan pada periode dimana Belanda berusaha
menaklukkan bumi Aceh pada tahun 1873. Aceh Besar saat itu berhasil dikalahkan dan
berada dalam kekuasaan colonial Belanda.
Ketika berada di Mekkah dalam rangka menunaikan haji, Cik Di Tiro juga belajar tentang
cara-cara melawan kolonialisme dan imperialisme. Saat kembali ke Aceh, ia menjadi
pemimpin pergerakan yang berujung pecahnya pertempuran melawan Belanda. Karena
semangat juangnya, ia dijuluki sebagai Panglima Sabil atau pemimpin perang Sabil.
Kesultanan Aceh mempercayainya sebagai pemimpin perang, dan perjuangan dilakukan atas
dasar agama dan kebangsaan.
Ia dan pasukannya berhasil mengambil alih wilayah jajahan yang sebelumnya dikuasai
Belanda. Pada tahun 1881, benteng Belanda di Indrapura berhasil direbutnya. Kemudian
benteng Lambaro, Aneuk Galong, dan tempat lainnya.
Pulau Breuh pun mendapat serangan, dari situ pasukan Cik Di Tiro bermaksud merebut
Banda Aceh. Kompeni Belanda jadi kewalahan dan daerah Aceh yang masih mereka kuasai
tidak lebih dari empat kilometer persegi.
Perlawanan yang dilancarkan Teuku Cik Di Tiro dan pasukannya tak obahnya seperti singa.
Mereka memilih roboh dalam nyala api yang membakar benteng daripada menyerah.
Belanda pun semakin terdesak dan hanya bertahan di dalam benteng di wilayah Banda Aceh.
Untuk mempertahankan wilayahnya, Belanda terpaksa menggunakan taktik uni konsentrasi
(concentratie stelsel), yaitu membuat benteng di sekelilingnya.

Merasa kewalahan dengan serangan Cik Di Tiro dan pasukannya, Belanda pun
mendatangkan bala bantuan dengan perlengkapan perang dalam jumlah besar-besaran. Pada
tahun 1873 Belanda melancarkan aksi balas dendam untuk merebut kembali daerah
kekuasaannya.

6
Pada penyerangan pertama, pasukan Belanda melakukan aksinya namun dapat
digagalkan. Perang tersebut memakan korban bagi pihak Belanda dengan tewasnya pimpinan
mereka yaitu Mayor Jenderal Kohler.
Kegagalan ini membuat Belanda kian geram, akhirnya mereka memperkuat barisan
pasukannya dengan tembakan meriam dari kapal perang yang berlabuh di pantai. Alhasil
keadaan tersebut membuat pasukan Cik Di Tiro mulai mundur.

 GUGUR
Belanda menyadari bahwa sumber semangat perjuangan Aceh kala itu ialah Teuku Cik
Di Tiro. Untuk menghentikannya, Belanda pun mencari siasat untuk membunuh Panglima
Sabil itu. Mereka tidak mau kehabisan akal. Karena merasa terancam, Belanda akhirnya
memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang dibubuhi racun.
Cara licik itu dipergunakan Belanda untuk membunuh pahlawan kebanggaan rakyat Aceh
itu. Mereka meracuni Teuku Cik Di Tiro dengan makanan lewat bantuan pekerja kerajaan.
Ketika itu Belanda membujuk seseorang yang bersedia bekerja sama diangkat menjadi
Kepala Sagi.
Mereka membayar seorang laki-laki yang ingin mendapat jabatan tinggi untuk membunuh
Cik Di Tiro. Kemudian,laki-laki itu menyuruh seorang wanita memasukkan racun ke dalam
makanan dan memberikannya kepada Cik Di Tiro.
Saat Teuku Cik Di Tiro mengunjungi Benteng Tui Seilimeung lalu salat di masjid. Setelah
itu, perempuan tersebut datang menawarkan makanan. Perempuan ini merupakan suruhan
laki-laki yang telah dibayar Belanda. Tanpa curiga sedikit pun, Cik Di Tiro menyantap
makanan yang telah dibubuhi racun.

Akibatnya, pahlawan Aceh itu jatuh sakit dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di
Benteng Aneuk Galong pada bulan Januari 1891. Kemudian jasadnya dimakamkan di
Meureu, Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar beserta istrinya, Teuku Mat Amin. Sejumlah
pejuang Aceh serta orang dekat keluarga Tiro dimakamkan di Meureue, termasuk juga
cucunya Hasan Tiro.
Walaupun Teuku Cik Di Tiro telah meninggal dunia, perjuangan rakyat Aceh melawan
Belanda terus bergelora. Peperangan melawan penjajah terus dilakukan sampai bertahun-
tahun lamanya. Dan akhirnya Belanda baru bisa menguasai Aceh pada tahun 1904 dengan
plakat pendeknya.

7
Selama Cik Di Tiro memimpin peperangan di Aceh, terjadi 4 kali pergantian gubernur
Belanda yaitu, Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883), Philip Franz Laging Tobias
(1883-1884), Henry Demmeni (1884-1886), Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891).
Untuk menghargai dedikasinya sebagai seorang pahlawan yang telah berjasa
mempertahankan Tanah Air dari ancaman penjajah, ia mendapatkan penghargaan khusus dari
pemerintah.
Kegigihan yang dilakukan oleh Teuku Cik Di Tiro dalam membela bangsa Indonesia
membuat Pemerintah RI mengangkatnya sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan pada
tanggal 6 November 1973. Pemberian gelar pahlawan tersebut sesuai dengan Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK/Tahun 1973.
Di ibukota Jakarta, namanya diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Menteng, Jakarta
Pusat menggantikan nama Jalan Mampangweg.

C. CUT NYAK DIEN


 Profil
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar,
wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum
Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari
Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman
pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.[4]. Datuk Makhudum Sati mungkin datang
ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul
Munir.[2][5]. Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.[2] Ia memperoleh
pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah
tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik
baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada
tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga[2][5], putra dari uleebalang Lamnga XIII.
Mereka memiliki satu anak laki-laki
 Perjuangan dalam perang
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van
Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang
dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang
dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler.

8
Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8
April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung
bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh dapat
memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali
dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim
dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874.
Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya
pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali
daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878.
Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan
Belanda.[2]Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak
Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam
medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar
pada tahun 1880. Hal ini meningkatkan moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe
Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang
diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875,
Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan
orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya
yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda.
Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga
mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya
komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan
rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh.
Cut Nyak Dien berusaha menasihatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku
Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari
taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit
yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar
melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang
basis Aceh.
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman
Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus
bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa
berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya
sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus
berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.

9
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada
Belanda karena iba.[2][3] Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong
Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha
mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil
dihentikan oleh Belanda.[6][7] Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil
melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan
ibunya.
 Masa tua dan kematian
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ.
Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien
akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya
akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan
pejuang yang belum tunduk.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian
bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut
Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Ia ditahan
bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli
dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".[1]
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah
tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur
Aceh saat itu, Ali Hasan.[7] "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

D. LAKSAMANA MALAHAYATI
 Profil
Keumalahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan
Aceh. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah
Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah
sekitar tahun 1530–1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan
Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh
Darussalam.

10

 perjuangan
Pada tahun 1585–1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima
Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat
Syah IV.
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang
telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11
September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan
satu di geladak kapal. Dia mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia
kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati Saat meninggal dunia, jasad
Malahayati dikebumikan di bukit Krueng Raya,

 kematian
Laksamana Malahayati meninggal dunia pada tahun 1615. Makamnya terletak di Desa
Lamreh, Kecamatan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar. Laksamana
Malahayati mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 2017
bersama dengan 3 orang lainnya.

E. SULTAN ISKANDAR MUDA


 Profil
Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh,
yang berkuasa dari tahun 1607 hingga 1636. Iskandar Muda lahir di Aceh, Banda Aceh pada
tahun 1593 atau 1590 dan wafat di Banda Aceh, Aceh pada 27 September 1636.

 Masa kepemimpinannya
Pada masa kepemimpinann Iskandar Muda, Kesultanan atau Kerajaan Aceh mencapai
kejayaannya, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional
sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam. Nama Sultan Iskandar Muda
diabadikan sebagai nama bandar udara yaitu Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar
Muda di Aceh.

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari
pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan
Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat permukiman bertetangga (yang
terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam.

11

Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya
menuntut takhta.

 Gugur

Setelah menjalankan tugas sebagai raja selama 29 tahun maka pada tanggal 27 Desember
1636 Sultan Iskandar Muda meninggal dunia dan dimakamkan di Aceh Besar.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993 tanggal 14 September
1993, atas jasa-jasanya Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional dan
memberikan Tanda Kehormatan Binang Mahaputra Adipradana (Kelas II) kepada Sultan
Iskandar Muda.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
12

Daftar pustaka

https://id.wikipedia.org/wiki/Teuku_Umar

https://daerah.sindonews.com/read/1254514/29/teuku-cik-di-tiro-pahlawan-aceh-yang-bikin-belanda-
kewalahan-1509804207

https://id.wikipedia.org/wiki/Teungku_Chik_di_Tiro

https://id.wikipedia.org/wiki/Malahayati

https://initu.id/amp/biografi-sultan-iskandar-muda-pahlawan-asal-aceh/

13

Anda mungkin juga menyukai