Anda di halaman 1dari 11

RKTM08

Kasus Pencurian Ikan di Natuna Utara Semakin Menggila

KELOMPOK 6
Syarif Hidayatulloh (41155010220011) – T. Industri
Linlin Nur Cahyanti (41155010220023) – T. Industri
Angga Laksana (41155020220034) – T. Sipil
Putri Ayu Jasmine (41155030220008) – Arsitektur
Bagas Yogiyanto (41155040220005) – T. Elektro
Topan Kristiady (41155050220005) – T. Informatika

Mata Kuliah Kewarganegaraan


Koordinator Mata Kuliah : Prof. Dr. Enco Mulyasa, M.Pd.
Pengampu : Asep Hidayat, Drs., M.Pd.
1. Apa sebenarnya kasus yang tengah dihadapi di Natuna Utara pada
pemberitaan di atas?

Kasus pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan asing di Laut Natuna Utara
semakin marak dengan modus yang terus berkembang, parahnya lagi
kapasitas kapal patroli pengawas masih terbatas. Sekertaris Direktorat
Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementrian
Kelauatan dan Perikanan (PSDKP-KKP) Suharta menyampaikan, pencurian
ikan oleh kapal-kapal asing masih terus marak, terutama di daerah
penangkapan ikan terbaik, seperti Laut Natuna Utara dan Laut Arafura, Jumát
(30/4/2021). “IUU Fishing seperti tidak ada habis-habisnya, meskipun kapal
ikan asing ilegal ditangkap setap tahun dan sudah ada koordinasi secara
regional, kasus pencurian ikan oleh kapa lasing masih terus ada.” ujar Suharta
lewat konferensi pers yang diselenggarakan Indonesian Ocean Justice
Initiative (IOJI) tersebut.

2. Apa kemungkinan latar belakang penyebab nelayan sering dianggap


melanggar batas wilayah perairan sebuah negara?

Nelayan sering dianggap melanggar batas wilayah perairan suatu negara


dimungkinkan karena latar belakang tidak mengetahui batas wilayah perairan
yang ia masuki. Selain itu, batas wilayah perairan tidak selalu terdapat hal-hal
yang menandai wilayah tersebut masih masuk wilayah Indonesia atau telah di
luar wilayah Indonesia

3. Menurut anda apakah wilayah negara RI juga rentan terhadap masuknya kapal
dan nelayan asing? Mengapa demikian?

Ya tentu saja rentan sekali, seperti yang kita ketahui bahwa banyak sekali
kasus kapal dan nelayan asing dari luar yang masuk kedalam perairan
Indonesia untuk tujuan tertentu karena Indonesia terkenal dengan sumber
daya yang sangat kaya. Mengapa Indonesia sangat rentan sekali terhadap
masuknya kapal dan nelayan asing dari luar dikarenakan wilayah Indonesia
secara geografis sangat strategis dalam jalur perdagangan dan pelayaran
dunia, sehingga setiap kegiatan tersebut tentunya akan melewati negara
Indonesia. Selain daripada itu, yang membuat Indonesia rentan terhadap
masuknya kapal dan nelayan asing adalah kurang ketatnya penjagaan di
perairan dan juga kurangnya pengawasan oleh pemerintah Indonesia.
Dalam kasus Cina yang dianggap mencuri ikan di perairan Natuna dan
menyebabkan insiden yang panas antara Indonesia dan Cina, bahkan sampai
terjadi aksi penembakan yang dilakukan oleh TNI Indonesia. Perairan Natuna
ini memang kerap menjadi ‘medan perang’ Indonesia dengan China.
Mengingat Tiongkok yang terus menerus ingin mengambil wilayah yang
bukan milik mereka maka sebaiknya Indonesia sebagai salah satu negara yang
berada di dalam konflik sengketa wilayah harus segera bertindak. Indonesia
tak seharusnya berdiam diri, menunggu sampai Tiongkok berhasil menarik
simpati negara-negara lain untuk mencaplok “Laut Cina Selatan”.
Menurut saya, langkah nasional yang harus diambil pemerintah Indonesia
ialah mengubah nama “Laut Cina Selatan” menjadi “Laut Asia Tenggara” di
Peta Indonesia untuk menunjukkan ke Tiongkok bahwa “Laut Cina Selatan”
sama sekali bukan milik mereka sepenuhnya. “Laut Cina Selatan” yang
selama ini kita kenal bukanlah milik Tiongkok sama sekali.
Etimologi laut tersebut diberikan hanya karena pedagang-pedagang Tiongkok
yang berlalu-lalang disana pada abad-abad sebelumnya sehingga Bangsa
Eropa menyebutnya sebagai Mar da China (Portugis), South China Sea
(Inggris), dan lain sebagainya. Semuanya merujuk kepada Tiongkok. Padahal
sebenarnya laut itu sejak dahulu kalau merupakan milik sah dari kerajaan-
kerajaan Asia Tenggara seperti Champa, Khmer, Sriwijaya, Malaka, dan lain
sebagainya, bukan Tiongkok.
Pemerintah Indonesia juga harus memperketat pertahanan dan penjagaan pada
wilayah perairan Indonesia dan juga menjaga keutuhan dengan negara lain
agar tidak terciptanya peperangan yang memungkinkan kehancuran bagi
negara Indonesia. Sebagai masyarakat Indonesia, kita juga harus menjaga
kedaulatan wilayah negara dengan membangun kesadaran dan kemampuan
dalam bela negara sebagai dasar untuk membangun kekuatan pertahanan
Negara dengan cara menempuh pendidikan setinggi tingginya dan juga
bersosialisasi dalam lingkungan masyarakat.

4. Apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia, secara politik dan
pertahanan, dalam mengawasi kedaulatan wilayah negara?

Rasa cinta tanah air dan jiwa nasionalisme yang tinggi diperlukan demi
keutuhan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan salah satu penerapan pancasila
yaitu sila ke tiga. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
berdaulat. Bangsa yang berdaulat adalah suatu bangsa yang memiliki
kewenangan untuk mengatur negaranya sendiri tanpa adanya campur tangan
dari bangsa lainnya. yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia, secara
politik dan pertahanan, dalam mengawasi kedaulatan wilayah negara antara
lain sebagai berikut:

• Membangun pertahanan negara supaya negara bisa mewujudkan keamanan


nasional.
• Menjaga keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa Indonesia.
• Meningkatkan rasa nasionalisme, bela negara, dan cinta tanah air.
• Menopang kemandirian ekonomi, mengamankan sumber daya maritim, dan
mencerminkan kepribadian negara Indonesia sebagai negara kepulauan.

5. Menurut Anda, sudah cukupkah apabila pemerintah Indonesia mengajukan


protes terhadap pemerintah Vietnam dan pemerintah asing lainnya terkait
insiden di atas?

Menurut kami Tindakan pemerintah mengajukan protes terhadap pemerintah


Vietnam dan pemerintah negara asing lain terkait pencurian ikan tidaklah
cukup untuk menanggulangi permasalahan pencurian ikan tersebut. Maka
diperlukan upaya - upaya yang harus pemerintah Indonesia lakukan antara
lain :

1. Pencegahan Illegal Fishing


• Kehadiran kebijakan kementerian kelautan dan perikanan mengenai
Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap menarik perhatian
khalayak ramai. Tidak saja bagi masyarakat Indonesia, namun juga
ketakutan bagi negara-negara lain. Pemberantasan Illegal, unreported
and unregulated (IUU) fishingyang menjadi amanah dari nawacita
berdampak pada dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan Dan
Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2014 tentang penghentian
sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. (Atika Zahra
Rahmawati, 2017).
• Penghentian muatan di tengah laut (Transhipment), secara sederhana
transshipment adalah proses pemindahan muatan dari kapal ke kapal
lainnya yang dilakukan di tengah laut. Dalam hal operasi penangkapan
ikan, transshipment berarti proses pemindahan muatan ikan dari kapal
penangkap ikan ke kapal pengumpul (collecting ship). Kapal collecting
ini selanjutnya akan membawah seluruh ikan yang dikumpulkannya
kedarat untuk proses lebih lanjut. (Oceanofish.com, 2015).

2. Penegakan Hukum
Mengacu pada undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
perikanan, pasal 69 ayat (1) dan ayat (4) jo. Pasal 76A jis. Pasal 38 jo.
Pasal 45 undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), “kebijakan
penenggelaman kapal ikan berbendera asing (kapal ikan asing) pelaku
tindak pidana Illegal Fishing” pada dasarnya adalah istilah yang
digunakan untuk tindakan khusus berupa pemusnahan barang bukti
berupa kapal ikan berbendera asing yang di gunakan untuk melakukan
tindak pidana perikanan (illegal fishing). Sekaligus sebagai upaya
untuk menanggulangi tindak pidana illegal fishing di Indonesia, upaya
tersebut diantaranya:
a. Dikelola sebagai barang bukti yang digunakan untukmelakukan
tindak pidana perikanan, sampaidengan proses hukum mendapat
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini
dihadapkan pada persoalan keterbatasan dana perawatan, serta
keterbatasan sarana dan prasarana pengelolaan barang bukti,dan lain
- lain.
b. Dihibahkan kepada masyarakat/nelayan lembaga riset,
perguruantinggi dan lain-lain. Upaya ini terkendala dengan kapal
yang juga kemudian “mangkrak” atau rusak tidak terawat akibat
keterbatasan pengetahuan dalam pengoperasian teknologi pada
kapal yang tidak dikuasai, kelangkaan suku cadang, atau sangat
besarnya biaya operasional kapal disbanding anggaran yang
dimiliki, dan sebagainya.
c. Melalui prosedur lelang barang bukti dengan
persetujuanpengadilan. Dalam hal ini kapal tangkap dan dirampas
oleh negara, kemudian dengan berbagai pertimbangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diputuskan
terhadap barang bukti berupa kapal ikan berbendera asing dilakukan
lelang. (Haryanto,Joko setiono, 2017).
3. Diplomasi Penanganan Illegal Fishing
Selanjutnya pemerintah Indonesia melakukan kebijakan ini secara
bertahap sesuai dengan tahapan-tahapan strategi diplomasi yang
sifatnya konvensional sebagai berikut :.
• Pertama, tahapan Designing dan Preconditioning. Pada tahap ini,
rancangan format diplomasi disimulasikan untuk memperkirakan
kemungkinan feedback yangakan diterima. Sebagai contoh, pernyataan
kebijakan penenggelaman ini merupakan upaya penegakan hukum
diwilayah kedaulatan Indonesia.
• Kedua, tahapan Conditioning. Dalam konteks ini, pemerintah perlu
menguji sejauh mana sasaran komunikasi akan menanggapi pesan yang
hendak disampaikan serta aspekaspek pesan apa saja yang perlu
diperhatikan. Langka-langkah diplomasi selanjutanya adalah
mensosialisasikan kebijakan ini kepada pada dubes negara-negara yang
para nelayannya diduga kerap melakukan Illegal Fishing. Dalam
rangka ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Luar
Negeri telah melakukan sosialisasi kebijakan ini dengan sejumlah duta
besar negara-negara sahabat. Sosialisasi tersebut diharapkan dapat
diteruskan kepada pemerintahnya masing-masing agar
dapatdilanjutkan sampai pada pelaku usaha dan nelayan mereka,
langkah ini juga untuk menjaga hubungan baik dengan negara tetangga.
• Ketiga, Exercising. Dalam tahap ini, diplomasi sesungguhnyan
dilancarkan. Beberapa negara sudah menyetujui kebijakan tersebut dan
akan memberikan informasi kepada nelayan dinegara mereka.
Berdasarkan dari perjanjian tersebut penegak hukumhanya akan
mengambil tindakan inspeksi dan permintaan untuk meninggalkan
wilayah perairan Indonesia terhadap semua kapal nelayan kecuali bagi
mereka yang menggunakan alat tangkap illegal, seperti bahan peledak,
alat penangkapan ikan listrik dan bahan kimia.
• Keempat, Evaluating. Dalam tahap ini, pemerintah perlu mengevaluasi
hasil-hasil diplomasi yang telah di lakukan. Indonesia sedang
mengevaluasi hasil dari diplomasi kebijakan penenggelaman kapal
nelayan asing yang telah disampaikan kepada para dubes dan telah
menerima tanggapan positif dari sebagian pemerintah negara asal
kapal.
• Kelima, tahapan Reapproachingor Concluding. Hasil dari evaluasi
tersebut akan dijadikan pijakan bagi pemerintah untuk menentukan
langkah berikutnya. (Pusat pengkajian, pengelolahan data dan
informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI,2009).
6. Dalam konteks wawasan nusantara, kasus tersebut merupakan peluang
ataukah tantangan?
Hasil diskusi kelompok kami itu merupakan tantangan sekaligus ancaman
karena menyebabkan potensi kerugian Negara atas praktik pencurian ikan
dan hal tersebut akan berdampak besar, sebagaimana kita tahu Negara
Indonesia banyak di kelilingi perairan dan yang pasti sebagian dari warga nya
pun bermata pencaharian sebagai seorang nelayan maka dari itu hal ini yang
akan sangat berdampak bagi ekonomi Negara pula.
Untuk mengurangi hal seperti ini sering terjadi pentingnya mempelajari
tentang ilmu dan hukum mengenai batas perairan dari setiap Negara nya.
Berikut lampiran mengenai batas laut di Indonesia:
1.Batas Laut Teritorial
Batas laut teritorial atau (Territorial Sea) adalah garis batas laut di perairan
sepanjang 12 mil laut atau 22,224 kilometer yang ditarik dari garis dasar.
Garis dasar merupakan sebuah garis khayal yang ditarik pada pantai ketika air
laut sedang mengalami surut, serta menghubungkan berbagai titik yang ada
pada ujung pulau.
Di dalam batas laut teritorial, Indonesia mempunyai kedaulatan mutlak atas
wilayah laut, dasar laut, subsoil, dan udara yang berada di dalam wilayahnya.
Selain berhak atas apa yang ada di dalamnya, Indonesia juga berkewajiban
untuk menjamin hak lintas damai, baik melalui alur kepulauan maupun
tradisional untuk pelayaran internasional.
2.Batas Landas Kontinen
Batas laut kedua yang ada di negara Indonesia adalah batas landas kontinen.
Penentuan batas landas kontinen diatur di dalam Konvensi Hukum Laut pada
tahun 1982 pasal 78 hingga 85.
Landas Kontinen adalah wilayah yang dikuasai terdiri dari dasar laut serta
tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorialnya sepanjang adanya
kelanjutan ilmiah pada wilayah daratannya hingga pinggiran tepi kontinen,
maupun dasar laut serta tanah yang berada di bawahnya hingga jarak 200 mil
laut yang dimulai dari garis pangkal dimana laut teritorial tersebut diukur.
Selanjutnya, konvensi tersebut menentukan pengukuran landas kontinen
dengan kriteria:
1) jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200
mil laut;
2) kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen
yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar
Laut Teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang
merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi
kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam konvensi; atau
3) tidak boleh melebihi l00 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter
Bila kelanjutan alamiah bersifat landai, maka batas terluar landas kontinen
ditandai dengan continental slope atau continental rise. Namun, jika
kelanjutan alamiah bersifat curam tidak jauh dari letak garis pangkal
kepulauan, maka batas terluar landas kontinen berimpit dengan batas luar
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Konsep ini dikenal dengan Co-extensive
Principle.
4) Zona Ekonomi Eksklusif adalah zona yang luasnya 200 mil laut dari garis
dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai
mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan
kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun
melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari
kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada
kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas
jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan
untuk UNCLOS III.
Konsep dari ZEE telah jauh diletakkan di depan untuk pertama kalinya oleh
Kenya pada Asian-African Legal Constitutive Committee pada Januari 1971,
dan pada Sea Bed Committee PBB pada tahun berikutnya. Proposal Kenya
menerima dukungan aktif dari banyak negara Asia dan Afrika. Dan di sekitar
waktu yang sama banyak negara Amerika Latin mulai membangun sebuah
konsep serupa atas laut patrimonial. Dua hal tersebut telah muncul secara
efektif pada saat UNCLOS dimulai, dan sebuah konsep baru yang disebut
ZEE telah dimulai.
Ketentuan utama dalam Konvensi Hukum Laut yang berkaitan dengan ZEE
terdapat dalam bagian ke-5 konvensi tersebut. Sekitar tahun 1976 ide dari
ZEE diterima dengan antusias oleh sebagian besar anggota UNCLOS, mereka
telah secara universal mengakui adanya ZEE tanpa perlu menunggu UNCLOS
untuk mengakhiri atau memaksakan konvensi. Penetapan universal wilayah
ZEE seluas 200 mil laut akan memberikan setidaknya 36% dari seluruh total
area laut. Walaupun ini porsi yang relatif kecil, di dalam area 200 mil laut
yang diberikan menampilkan sekitar 90% dari seluruh simpanan ikan
komersial, 87% dari simpanan minyak dunia, dan 10% simpanan mangan.
Lebih jauhnya, sebuah porsi besar dari penelitian saintifik kelautan
mengambil tempat di jarak 200 mil laut dari pantai, dan hampir seluruh dari
rute utama perkapalan di dunia melalui ZEE negara pantai lain untuk
mencapai tujuannya. Melihat begitu banyaknya aktivitas di zona ZEE,
keberadaan rezim legal dari ZEE dalam Konvensi Hukum Laut sangat penting
adanya.
3. Delimitasi dari ZEE
Batas luar
Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial. Zona batas luas tidak
boleh melebihi kelautan 200 mil laut dari garis dasar dimana luas pantai
teritorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa
200 mil laut adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara
pantai yang menginginkan wilayah ZEE-nya kurang dari itu, negara itu dapat
mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak akan
memilih mengurangi wilayah ZEE-nya kurang dari 200 mil laut, karena
kehadiran wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan
mengapa luas 200 mil laut menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya
adalah berdasarkan sejarah dan politik: 200 mil laut tidak memiliki geografis
umum, ekologis, dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling
banyak diklaim oleh negara pantai adalah 200 mil laut, diklaim negara-negara
Amerika Latin dan Afrika. Lalu untuk mempermudah persetujuan penentuan
batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak mewakili klaim yang
telah ada. Tetapi tetap mengapa batas 200 mil laut dipilih sebagai batas luar
jadi pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figur 200 mil laut dipilih karena suatu
ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku
termotivasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas pantainya.
Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil laut, tapi disarankan
bahwa sebuah contoh diperlukan. Dan contoh yang paling menjanjikan
muncul dalam perlindungan zona diadopsi dari Deklarasi Panama 1939. Zona
ini telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah 200 mil laut,
padahal faktanya luasnya beraneka ragam dan tidak lebih dari 300 mil laut.
Batasan
Dalam banyak wilayah negara banyak yang tidak bisa mengklaim 200 mil laut
penuh, karena kehadiran negara tetangga, dan itu menjadikan perlu
menetapkan batasan ZEE dari negara-negara tetangga, pembatasan ini diatur
dalam hukum laut internasional.
Pulau-pulau
Pada dasarnya semua teritori pulau bisa menjadi ZEE. Namun, ada 3
kualifikasi yang harus dibuat untuk pernyataan ini. Pertama, walau pulau-
pulau normalnya bisa menjadi ZEE, artikel 121(3) dari Konvensi Hukum Laut
mengatakan bahwa, " batu-batu yang tidak dapat membawa keuntungan
dalam kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi mereka, tidak boleh
menjadi ZEE."
Wilayah yang tidak berdiri sendiri
Kualifikasi kedua berkaitan dengan wilayah yang tidak meraih baik
kemerdekaan sendiri atau pemerintahan mandiri lain yang statusnya dikenal
PBB, dan pada wilayah yang berada dalam dominasi kolonial. Resolusi III,
diadopsi oleh UNCLOS III pada saat yang sama pada teks Konvensi,
menyatakan bahwa dalam kasus tersebut ketentuan yang berkaitan dengan hak
dan kewajiban berdasarkan Konvensi harus diimplementasikan untuk
keuntungan masyarakat wilayah tersebut, dengan pandangan untuk
mempromosikan keamanan dan perkembangan mereka.

Anda mungkin juga menyukai