Anda di halaman 1dari 6

KKP TANGKAP 5 KAPAL ILLEGAL FISHING DARI VIETNAM

Kepripedia.com 4 maret 2020 12.34

Nama : Richard Tommy Pantow

Nim :2040057030

Kelas :Karyawan

Studi Kasus :

Genderang perang terhadap praktek illegal, unreported and unregulated fishing atau IUU
Fishing, memang sudah dikumandangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Komitmen KKP
untuk memerangi pencurian ikan tidak diragukan lagi. Kegiatan operasi pengawasan pun terus
dilakukan serentak, baik di wilayah barat Indonesia maupun di wilayah timur. Terbukti, pekan lalu
armada KKP di bawah komando Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan (PSDKP), kembali menangkap 5 kapal pencuri ikan berbendera Vietnam, di perairan Laut
Natuna Kepulauan Riau.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo menegaskan, KKP tidak sedikitpun surut
untuk tetap memerangi kejahatan di laut Indonesia. Bahkan sampai awal April 2014, armada Kapal
Pengawas KKP telah berhasil menangkap kapal ikan yang diduga melakukan illegal fishing sebanyak
16 kapal. Dari jumlah tersebut, 8 kapal ikan asing berbendera Vietnam dan 8 kapal ikan berbendera
Indonesia. "Saya berikan apresiasi atas keberhasilan operasi kapal pengawas KKP. Dan ini merupakan
bukti bahwa kegiatan pencurian ikan oleh kapal ikan asing di perairan Indonesia memang masih
cukup sering terjadi" tandasnya.

Menurut Sharif C. Sutardjo, masuknya kapal – kapal penangkap ikan asing secara illegal
sangat merugikan Indonesia. Bahkan praktek pencurian ikan bisa mengancam keberlanjutan
pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia. Illegal fishing dan destructive fishing
harus dipandang sebagai extraordinary crime karena secara nyata telah menyebabkan kerusakan
sumber daya kelautan dan perikanan. "Praktek IUU Fishing tersebut menyebabkan kerugian sangat
besar di bidang sosial dan ekonomi masyarakat, terutama nelayan" tegasnya.

Selain illegal fishing, tegas Sharif, perbuatan yang merusak sumber daya kelautan dan
perikanan seperti menangkap ikan dengan bom atau racun potassium dan cianida juga sangat
merugikan kesejahteraan nelayan. Karena setelah kondisi ekosistem perairannya mengalami
kerusakan maka sumber daya ikan yang ada menjadi tidak dapat hidup dan tumbuh di tempat
tersebut. Akibatnya nelayan menjadi kehilangan sumber penghidupan. Hal ini merupakan bentuk
pemanfaatan sumber daya yang mengabaikan prinsip – prinsip pengelolaan berkelanjutan. "Untuk
itu kami mengajak seluruh komponen bangsa baik pemerintah daerah maupun masyarakat untuk
meningkatkan kepedulian terhadap kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan" katanya.

Faktor Penyebab Maraknya Illegal Fishing :

Saat ini Illegal Fishing di Indonesia masih belum bisa 100% diberantas. Karena meskipun
sudah ada Undang – Undang yang mengatur tentang perikanan dan segala tindak pidananya bagi
yang melanggar, para pelaku illegal fishing masih terus melanjukan aksinya. Jika ditinjau kembali,
ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu tejadi.
Salah satu diantaranya adalah kurang jelas dan tegasnya isi dari UU nomor 31 Tahun 2004
yang mengatur tentang Perikanan. Dapat dilihat pada Pasal 8 dan 9 dimana pelanggaran alat
tangkap dan fishing ground hanya dimasukkan dalam kategori pelanggaran dengan denda hanya Rp
250 juta. Hal semacam itu, seharusnya masuk kategori pidana dengan sanksi lebih berat. Seharusnya
alat tangkapnya juga disita dan pengawasan pada fishing ground yang dilindungi tersebut lebih
ditingkatkan.
Beberapa pasal yang dianggap “abu – abu” menyangkut pidana dan pelanggaran pada
penggunaan alat tangkap dari UU Perikanan seperti pasal 85 dan 100. Pasal 29 dan 30 tentang
Perikanan kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan
sumber daya laut. Dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan tersebut disebutkan bahwa usaha
perikanan di wilayah pengelolaan perikanan RI hanya boleh dilakukan oleh warga negara RI atau
badan hukum Indonesia. Sementara dalam ayat (2) disebutkan pengecualian terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang
melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara
RI berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Pasal
29 UU Perikanan tersebut dapat menimbulkan persaingan internal (perang) antar para nelayan
Indonesia sendiri, karena semakin sedikitnya wilayah mereka untuk mencari ikan. Sehingga ke
depannya perlu ada undang – undang yang jelas untuk mengatur wilayah tangkapan nelayan lokal.
Rambu hukum yang telah ada di Indonesia ternyata tidak menyurutkan langkah para pelaku
illegal fishing untuk berusaha menghindari jeratan hukum. Pemerintah diharapkan segera
menerbitkan perturan yang dapat menjadi pedoman dalam menyelesaikan masalah yang
bersinggungan dengan illegal fishing. Oleh karena itu perlu bagi pemerintah untuk merubah isi
undang – undang perikanan yang telah ada dan mulai menerapkan hukuman yang tegas terhadap
pelaku illegal fishing agar para nelayan Indonesia tidak menderita.
Dimana sidang peradilannya:
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merampungkan proses penyidikan melalui percepatan
proses hukum terhadap lima kapal ikan asing ilegal yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada awal
Maret lalu.
Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP TB Haeru Rahayu dalam
siaran pers di Jakarta, Minggu, mengungkapkan bahwa kelima kapal ikan asing ilegal yang diproses
hukum di Pangkalan PSDKP Batam tersebut adalah KG 94376 TS, KG 95786 TS, KG 94654 TS, PAF
4837, dan PAF 4696. PPNS Perikanan pada Pangkalan PSDKP Batam telah menyelesaikan berkas
penyidikan atas lima kapal ikan asing yang ditangkap atas dugaan tindak pidana perikanan di WPP
711 Laut Natuna Utara. Berkas penyidikan telah kami serahkan kepada Kejaksaan Negeri Batam
untuk proses hukum lanjutan," jelas Tb Haeru Rahayu, seperti dilaporkan Antara
Berdasarkan hasil penyidikan, masing-masing pelaku diduga melakukan tindak pidana
perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) sebagaimana
diatur dalam Pasal 93 Ayat (2) Jo Pasal 27 Ayat (2) dan/atau Pasal 85 Jo Pasal 9 ayat (1) Jo Pasal 5
ayat (1) Huruf b Jo Pasal 102 UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah
diubah dengan UU RI Nomor 45 Tahun 2009 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, tersangka atas tindak
pidana perikanan tersebut adalah Nakhoda dan Kepala Kamar Mesin (KKM) dari masing-masing
kapal perikanan tersebut yaitu Le Van Tung dan Tran Van Can (KG. 94376), Nguyen Van Phuong dan
Huynh Hoai Ngoc (KG 95786 TS), Tran Xuan Dung dan Nguyen Thanh Hanh (PAF 4837), Do Thanh
Nhan dan Nguyen Tuan Dat (PAF 4696), Tran Thanh Hoa dan Tang An Toan (KG 94654).
Berkas kesepuluh tersangka tersebut saat ini telah diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum
(JPU) Kejari Batam yang diterima oleh JPU Karya So Immanuel Gort, SH pada hari Jumat, tanggal 27
Maret 2020.

Dampak Perikanan Ilegal :

Maraknya kegiatan perikanan ilegal yang terjadi di perairan Indonesia tidak hanya memiliki
dampak terhadap stok ikan nasional, tetapi juga global. Hal ini akan menyebabkan keterpurukan
ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan Indonesia.

Sedikitnya terdapat sepuluh masalah pokok dari aktivitas perikanan ilegal yang telah
memberi dampak serius bagi Indonesia :

Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengancam kelestarian stok ikan
nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah
(misreported), atau laporannya di bawah standar (under reported), dan praktek perikanan yang
tidak diatur (unregulated) akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang tersedia.
Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan perikanan tidak akan tepat dan akan
mengancam kelestarian stok ikan nasional dan global.

Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan tangkap
di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB). Disamping juga mendorong
hilangnya sumberdaya perikanan yang seharusnya dinikmati oleh Indonesia. Pemerintah mengklaim
bahwa kerugian dari praktek perikanan ilegal mencapai US$ 4 milyar per tahun. Jika diasumsikan
harga ikan ilegal berkisar antara US$ 1.000 – 2.000 per ton maka setiap tahunnya Indonesia
kehilangan sekitar 2 – 4 juta ton ikan.

Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada sektor perikanan
nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan. Apabila hal ini tidak secepatnya
diselesaikan maka akan mengurangi peluang generasi muda nelayan untuk mengambil bagian dalam
usaha penangkapan ikan.

Keempat, perikanan ilegal akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan nasional
(pelabuhan perikanan nasional) dan penerimaan uang pandu pelabuhan. Karena kapal penangkapan
ikan ilegal umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional.
Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan nasional dari sektor
perikanan.
Kelima, perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang
sah. Perikanan ilegal akan mengurangi sumberdaya perikanan, yang pada gilirannya akan
mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah.

Keenam, baik secara langsung maupun tidak langsung, multiplier effects dari perikanan ilegal
memiliki hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional
akan otomotis berkurang sejalan dengan hilangnya potensi sumberdaya ikan akibat aktivitas
perikanan ilegal. Pada umumnya ikan yang dicuri dari perairan Indonesia adalah ikan tuna dan ikan
pelagis besar lainnya.

Jika setiap industri pengalengan ikan tuna memerlukan bahan baku minimal 80 – 100 ton per
hari atau sekitar 28.000 – 36.000 ton per tahun, maka ikan yang dicuri tersebut sedikitnya dapat
menghidupi 42 industri pengalengan ikan tuna nasional.
Ketujuh, perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan ekosistem, akibat hilangnya nilai
dari kawasan pantai, misalnya udang yang dekat ke wilayah penangkapan ikan pantai dan dari area
bakau dirusak oleh perikanan ilegal. Selanjutnya akan berdampak pada pengurangan pendapatan
untuk masyarakat yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pantai.

Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik dengan armada nelayan tradisional.
Maraknya perikanan ilegal mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional
dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Nelayan asing selain melakukan penangkapan secara
ilegal, mereka juga sering menembaki nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan
di daerah penangkapan (fishing ground) yang sama. Selain itu perikanan illegal juga akan mendorong
ke arah pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi
kemiskinan.
Kesembilan, perikanan ilegal berdampak negatif pada stok ikan dan ketersediaan ikan, yang
merupakan sumber protein penting bagi Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal
akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan
risiko kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak pada rencana pemerintah untuk
meningkatkan nilai konsumsi ikan.

Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negative pada isu kesetaraan gender dalam
penangkapan ikan dan pengolahan serta pemasaran hasil penangkapan ikan. Fakta di beberapa
daerah menunjukkan bahwa istri nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitas penangkapan
ikan di pantai dan pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk urusan pemasaran hasil perikanan.

Upaya Yang Telah Dilakukan Pemerintah Untuk Mengatasi Illegal Fishing :

Pertama, pemerintah telah menerapkan teknologi VMS (Vessel Monitoring System), yaitu
sistem pengawasan kapal yang berbasis satelit. VMS digunakan untuk memonitor gerak kapal yang
menyangkut posisi kapal, kecepatan kapal, jalur lintasan (tracking) kapal serta waktu terjadinya
pelanggaran. Untuk mengimplementasikan VMS telah dibangun Fishing Monitoring Center (FMC) di
kantor pusat Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Regional Monitoring Center (RMC)
di daerah Ambon dan Batam.

Kedua, pengawasan perikanan dilaksanakan oleh Pengawas Perikanan yang bertugas untuk
mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang – undangan di bidang perikanan. Pengawas
Perikanan terdiri atas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan dan non PPNS Perikanan.
Adapun yang dimaksud dengan non PPNS Perikanan adalah Pegawai Negeri Sipil lainnya di bidang
perikanan yang bukan penyidik, tetapi diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan.
Ketiga, untuk pengawasan langsung di lapangan terhadap kapal – kapal yang melakukan
kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan kapal – kapal patroli, baik yang dimiliki
oleh Departemen Kelautan dan Perikanan maupun bekerjasama dengan TNI Angkatan Laut, Polisi
Air, dan TNI Angkatan Udara.

Keempat, dengan membentuk Pokmawas (Kelompok Masyarakat Pengawas), yaitu


pelaksana pengawas di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama,
tokoh adat, LSM, nelayan – nelayan ikan, serta masyarakat kelautan dan perikanan lainnya. Kinerja
Pokmawas hanya sekadar melaporkan segala tindak pelanggaran yang dilakukan di perairan
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai