Anda di halaman 1dari 20

PERLUASAN KOMPETENSI PENGADILAN KHUSUS

PERIKANAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA


DIBIDANG PERIKANAN (KASUS PELANGGARAN PERIKANAN
DI PERAIRAN MENTAWAI SUMATERA BARAT)

Cecep Kholik Suparman (31622016)

cecep.31622016@mahasiswa.unikom.ac.id

Abstrak

Laut merupakan wilayah potensial dalam menunjang kehidupan bangsa maupun


masyarakat dunia, maka tidak menutup kemungkinan terjadi berbagai konflik atau
permasalahan dan pelanggaran atas wilayah tersebut. Salah satu yang dapat dilihat yaitu
penangkapan ikan secara ilegal. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui urgensi
perluasan kompetensi pengadilan khusus perikanan dan kompetensi ideal pengadilan
khusus perikanan dalam penegakan hukum pidana dibidang perikanan. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif dan bahan-bahan hukum yang
telah dikumpulkan dianalisis secara normatif. Hasil penelitian ini pelaksanaan tugas dan
wewenang pengadilan perikanan adalah masih kurangnya pembentukan pengadilan
perikanan di setiap wilayah hukum pengadilan negeri. Propinsi Sumatera Barat maka di
wilayah inilah terdapat pengadilan satu-satunya khusus masalah perikanan untuk
Wilayah Sumatera sehingga Pengadilan ini menangani setiap kasus penangkapan ikan
tanpa izin (illegal fishing) yang dilakukan baik di Laut Teritorial maupun di Zona
Ekonomi Eksklusif yang merupakan bagian dari Wilayah Pantai Barat Sumatera maka
dibawa ke Pengadilan Perikanan di Sumatera Barat.
Kata Kunci : Hukum Pidana, Pengadilan Perikanan, Sumatera Barat

Abstract

The sea is a potential area to support the life of the nation and world community, so it
does not rule out the possibility of various conflicts or problems and violations
occurring in this area. One thing that can be seen is illegal fishing. The aim of this
research is to determine the urgency of expanding the competence of special fisheries
courts and the ideal competence of special fisheries courts in enforcing criminal law in
the fisheries sector. The method used in this research is normative law and the legal
materials that have been collected are analyzed normatively. The result of this research
is that the implementation of the duties and authority of fisheries courts is that there is
still a lack of establishment of fisheries courts in every district court jurisdiction. West
Sumatra Province, in this region there is the only court specifically for fisheries matters
for the Sumatra Region so that this Court handles every case of fishing without a permit
(illegal fishing) carried out both in the Territorial Sea and in the Exclusive Economic
Zone which is part of the West Coast Region Sumatra was then taken to the Fisheries
Court in West Sumatra.
Keywords: Criminal Law, Fisheries Court, West Sumatra
PENDAHULUAN
Sebagai negara kepulauan, pulau-pulau yang ada di Indonesia memiliki strategi
penting dalam keberadaannya. Sebagian besar wilayah Indonesia, sekitar 66%, terdiri
dari perairan laut yang mencakup berbagai jenis seperti teluk, laut terbuka, laut pesisir,
dan selat. Dikarenakan kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia, negara ini memiliki
potensi besar dalam bidang perikanan yang dapat berkontribusi dalam penyediaan
makanan, perdagangan, dan penciptaan lapangan kerja, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi penduduk Indonesia. Seperti sebuah pisau
yang memiliki dua sisi, sumber daya laut yang kaya memberikan manfaat yang besar,
tetapi juga memunculkan berbagai masalah. Beberapa masalah yang mungkin timbul
termasuk polusi laut, penangkapan ikan secara berlebihan, atau bahkan kejahatan
penangkapan ikan.
Daerah yang rentan menjadi tempat pencurian ikan mencakup wilayah zona
ekonomi eksklusif hingga perairan teritorial. Seringkali, kehadiran kapal ilegal asing
dalam tindakan mencuri ikan ini juga dapat menyebabkan dampak negatif pada
ekosistem laut di dalamnya, yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi
negara. Dikarenakan melimpahnya potensi laut di Indonesia dan adanya dampak negatif
yang terus ada, seringkali penduduk asing juga ingin menikmati kekayaan laut tersebut.
Hal ini penting agar pemanfaatan sumber daya perikanan dan kekayaan laut Indonesia
dilakukan secara bertanggung jawab serta dijaga dengan cermat agar tidak terjadi
eksploitasi yang berlebihan.
Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya laut yang sangat besar
sehingga menjadi salah satu negara yang diperhitungkan oleh negara-negara dunia.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan
Konstitusi, maka segenap kekayaan sumber daya laut tersebut harus dikelola
sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat umum dan disaat yang sama pula kelestariannya tetap terjaga.1
Seperti pisau yang memiliki dua sisi, sumber daya laut yang kaya membawa
segudang manfaat, namun di balik manfaat tersebut ada banyak masalah yang
1
Daliyo et al., Pelestarian Sumber Daya Laut, Partisipasi Dan Kesejahteraan Penduduk Di Kawasan
Pesisir (Jakarta: Leusercita Pustaka, 2011). Hlm. 1.
menyertainya. Beberapa permasalahan yang mungkin timbul meliputi polusi laut,
penangkapan ikan yang tidak terkendali, atau bahkan tindakan ilegal seperti pencurian
ikan. Wilayah yang rentan terjadi tindak pencurian ikan mencakup wilayah mulai dari
zona ekonomi eksklusif hingga perairan teritorial. Tidak jarang ketika melakukan
tindakan pencurian ikan, kapal ilegal asing ini sering menyebabkan dampak negatif bagi
ekosistem laut di dalamnya, yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian bagi negara.
Karena kekayaan sumber daya laut Indonesia begitu melimpah, seringkali warga asing
juga ingin menikmati kekayaan tersebut, walaupun ada dampak negatif yang selalu ada.
Agar kekayaan laut Indonesia tidak dieksploitasi, penting untuk menjaga dan mengelola
sektor perikanan dan sumber daya laut dengan baik.
Laut merupakan wilayah potensial dalam menunjang kehidupan bangsa maupun
masyarakat dunia, maka tidak menutup kemungkinan terjadi berbagai konflik atau
permasalahan dan pelanggaran atas wilayah tersebut. 2 Salah satu yang dapat dilihat
yaitu penangkapan ikan secara ilegal. Kegiatan yang disebut sebagai pencurian ikan
(illegal fishing) ini sangat merugikan negara maupun nelayan tradisional. Selain itu,
masyarakat secara umum yang menjadi konsumen juga ikut dirugikan karena tidak bisa
menikmati hasil laut di negerinya sendiri.3
Disisi lain, kegiatan pencurian ikan ini selain merugikan masyarakat umum juga
merusak ekosistem laut dan juga mendorong hilangnya rantai-rantai sumber daya
perikanan.4Pencurian ikan seringkali dilakukan dengan menggunakan alat penangkap
ikan yang dilarang dan berakibat rusaknya ekosistem laut. Kini tindak pidana perikanan
menjadi sorotan dikarenakan maraknya tindakan penangkapan ikan dengan alat yang
dilarang, pengeboman ikan, bisnis perikanan ilegal, serta kasus-kasus lainnya yang
merugikan kegiatan pengelolaan sumber daya perikanan. Kegiatan yang termasuk dalam
sumber daya perikanan dimulai dari pra-produksi, produksi, pengelolaan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.5
Dari aspek regulasi, ada beberapa aturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pemberantasan tindak pidana perikanan yang digunakan untuk menangani
permasalahan tindak pidana perikanan. Perangkat aturan yang dipakai dalam
2
Aditya Taufan Nugraha and Irman, “Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Terhadap
Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim,” Jurnal Selat 2, no. 1 (2014). Hlm. 1.
3
Djoko Tibawono, Hukum Perikanan Indonesia (Jakarta: Citra Aditya Bakti, n.d.). Hlm. 210.
4
Riza Damanik and Dkk, Menjala Ikan Terakhir (Sebuah Fakta Krisis Di Laut Indonesia) (Jakarta:
Walhi, 2008). Hlm. 67.
5
Supriadi and Alimuddin, Hukum Perikanan Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2001). Hlm. 68.
pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana pencurian ikan antara lain
berdasarkan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Undang-Undang
No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta
aturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang
Konservasi Sumber Daya Ikan, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan No. PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak
Pidana Bidang Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
PER.15/MEN/2005 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang Bukan untuk Tujuan
Komersil, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.05/MEN/2008
tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Penegak hukum dalam bidang perikanan yang tercakup dalam aturan perundang-
undangan yang ada di Indonesia meliputi aspek penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan. Bahkan dalam UU No. 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan dimuat hukum acara sendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis) dari UU
No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pembentukan Pengadilan Perikanan
beserta acaranya (hukum materiil dan formil) dimaksudkan agar tercipta efisiensi dan
efektivitas dari penegakan hukum di bidang perikanan.6
Permasalahan tindak pidana perikanan terjadi disebabkan karena tumpang
tindihnya peraturan perundang-undangan yang mengatur, sehingga berujung pada
berbenturannya kepentingan antara institusi negara yaitu penegak hukum dalam
menangani permasalahan ini. Adanya permasalahan tersebut menciptakan celah hukum
bagi para pihak untuk melakukan kejahatan ini. 7 Hal itu dikarenakan sektor perikanan
yang memiliki potensi yang cukup kaya tersebut mengundang banyak nelayan asing
maupun lokal untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan di laut
Indonesia.8
Salah satu contoh kasusnya adalah kegiatan penangkapan ikan tanpa izin (illegal
fishing) yang dilakukan khususnya oleh kapal-kapal penangkap ikan asing di Indonesia

6
Bakri Rudiansyah, “Peran Aparatus Negara Dalam Penanganan Kegiatan Perikanan Yang Tidak Sah Di
Perairan Raja Ampat,” Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan 11, no. 2 (2015). Hlm. 1719.
7
Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan Dan Perikanan (Bandung: Nuansa Aulia, 2010). Hlm. 4.
8
Marlina and Faisal, Aspek Hukum Peran Masyarakat Dalam Mencagah Tindak Pidana Perikanan
(Jakarta: Sofmedia, 2013).Hlm. 2.
sudah banyak terjadi di Wilayah Pantai Barat Sumatera. Kegiatan illegal fsihing di
Wilayah Pantai Barat Sumatera bahkan sudah pada tahap memprihatinkan. Pasalnya
perairan disekitar Wilayah Pantai Barat tersebut merupakan laut terbuka yang sangat
mudah dimasuki oleh kapal-kapal asing. Penelitian tentang kegiatan penangkapan ikan
tanpa izin (illegal fishing) ini di fokuskan untuk Wilayah Pantai Barat Sumatera
meliputi Wilayah Sumatera Barat, Sumatera Barat dan Propinsi Aceh Nanggroe
Darussalam. Dipilihnya ketiga propinsi ini mengingat potensi perikanan yang terbesar
ada pada ketiga wilayah tersebut. Propinsi Sumatera Barat memiliki wilayah laut yang
luas dan terbuka dimana Kepulauan Mentawai yang merupakan bagian dari propinsi ini
berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Wilayah Samudera Hindia kaya dengan
potensi perikanan ikan pelagis termasuk ikan tuna. Sedang wilayah laut Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam juga memiliki laut yang luas dan terbuka bahkan langsung
berhadapan dengan Samudera Hindia dan Selat Malaka secara geografis sangat strategis
untuk perikanan. Dengan demikian wilayah laut ini merupakan pertemuan dua laut
sehingga memiliki kekhasan tersendiri.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut
mengenai urgensi perluasan kompetensi pengadilan khusus perikanan dan kompetensi
ideal pengadilan khusus perikanan dalam penegakan hukum pidana dibidang perikanan
dengan judul “Perluasan Kompetensi Pengadilan Khusus Perikanan Dalam Penegakan
Hukum Pidana Dibidang Perikanan (Kasus Pelanggaran Perikanan Di Perairan
Mentawai Sumatera Barat)”.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud
Marzuki, penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi. Bentuk penelitian yang akan digunakan oleh penulis di dalam jurnal ini adalah
berbentuk pendekatan konseptual yang merupakan pendekatan yang beranjak dari
pandangan dan doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandang doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan
ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-
asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pendekatan ini digunakan untuk
mencermati dan melakukan kajian konsep atau gagasan hukum tentang pengaturan
doktrin Hukum Penanaman Modal asing dengan Indonesia, karena peraturan yang ada
saat ini belum secara tegas. Bahwa jurnal ini akan didasarkan perjanjian internasional
yang berbasis pada perjanjian investasi antara dua negara. Selanjutnya metode yang
digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu metode
dengan menggunakan penjelasan kata kata, yang kemudian dirangkai menjadi narasi di
dalam memberikan suatu gambaran dan penjelasan atas keadaan atau gejala.
Bahan-bahan hukum diperoleh melalui penelitian kepustakaan terdiri dari: peraturan
perundang-undangan, buku-buku, karya ilmiah hukum, bahan-bahan tertulis lainnya
termasuk data-data dari media cetak dan elektronik serta kamus-kamus hukum. Metode
Penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum normatif dan bahan-bahan
hukum yang telah dikumpulkan dianalisis secara normatif.

KAJIAN TEORI
1. Sistem Pengadilan Pidana
Sistem Pengadilan Pidana atau Criminal Justice System merupakan sistem dalam
masyarakat yang tujuannya guna pemberantasan perilaku kejahatan atau suatu tindak
pidana. Sistem Pengadilan pidana bisa dikatakan berlainan terhadap sistem yang lain.
Untuk membedakannya bisa dipandang keberadaannya menghasilkan semua yang
memiliki sifat unwelfare (perebutan kemerdekaan, pengaruh buruk, perampokan harta
benda serta membuat nyawa seseorang hilang) pada lingkup yang besar supaya bisa
menggapai misi yang bersifat welfare (rehabilitasi pelaku, mengendalikan dan
menekankan tindak pidana).
Sesuai dengan namanya, sistem Pengadilan pidana memiliki ikatan yang kuat pada
perundang-undangan pidana, karena pada hakikatnya sistem ini bertujuan untuk
penegakan hukum pidana. Di Indonesia kita mengenal sub sistem Pengadilan pidana
yaitu, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan yang terakhir
advokat. Sistem Pengadilan pidana memiliki karakteristik yaitu sebagai berikut :
a. Interface, yang dimaksud dengan Interface adalah sistem Pengadilan pidana
akan selalu berhadapan dengan lingkungan dimana tempat sistem Pengadilan
pidana itu berada, interaksi ini terlihat saat sistem Pengadilan pidana dalam
memberantas setiap permasalahan.
b. Interkoneksi yang sulit juga dihindari oleh sistem Pengadilan pidana, berbagai
masalah di masyarakat mewajibkan berhubungan pada sistem Pengadilan pidana
dan sistem Pengadilan pidana dengan sendirinya harus berhubungan dengan
yang berkepentingan.9

2. Pengaturan Batasan Daerah Hukum Kewenangan


Menurut penjelasan Jimly Asshiddiqie, peradilan khusus sering dianggap sebagai
lembaga peradilan yang beroperasi di luar sistem peradilan umum. Dalam sejarah
peradilan di Indonesia, istilah 'peradilan khusus' sering kali digunakan untuk menentang
definisi peradilan umum yang berjenjang. Jalur hukum ini pada masa penjajahan
Belanda di Hindia Belanda dimulai dari institusi peradilan yang telah diakui, seperti
"Landraad", "Raad van Justitie", dan "Hogeraad", yang secara berturut-turut
melaksanakan fungsi sebagai pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi, dan
mahkamah agung. Karena itu, peradilan di luar peradilan biasa disebut sebagai
peradilan khusus. Di dalam Pasal 1 angka 8 UU Kekuasaan Kehakiman terdapat
penjelasan tentang pengadilan khusus. Pengadilan khusus didefinisikan sebagai
pengadilan yang memiliki wewenang untuk menyelidiki, mengadili, dan menyelesaikan
kasus-kasus tertentu. Pengadilan ini hanya dapat didirikan di salah satu lembaga
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dan diatur oleh undang-undang.
Tujuan didirikannya sebuah pengadilan yang khusus menangani isu-isu perikanan
adalah untuk menerapkan prinsip-prinsip dalam sistem peradilan yang mencakup
sederhana, cepat, dan biaya yang terjangkau.
Dalam hukum positif, aturan pembentukan pengadilan khusus diatur dalam Pasal 27
ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang menekankan bahwa "Pengadilan khusus hanya
boleh didirikan di dalam satu wilayah hukum yang berada di bawah yurisdiksi
Mahkamah Agung." Lingkungan peradilan yang disebutkan dalam Pasal 25 ayat (1) UU
Kekuasaan Kehakiman merujuk kepada berbagai badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung. Hal ini mencakup badan peradilan dalam lingkup peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Berdasarkan aturan
9
Muladi, Kapita Selekta Sistem Pengadilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
1995, hlm 21
tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada kemungkinan untuk melakukan spesialisasi di
setiap lingkungan peradilan yang ada. Hingga saat ini, beberapa jenis pengadilan telah
ditetapkan berdasarkan penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pengadilan khusus yang dimaksud meliputi pengadilan anak, pengadilan niaga,
pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan
industrial, pengadilan perikanan di dalam peradilan umum, serta pengadilan pajak di
dalam peradilan tata usaha negara.10
Setiap institusi hukum memiliki wewenang tertentu yang diatur secara tegas dalam
peraturan-peraturannya. Lembaga peradilan memiliki tanggung jawab untuk memeriksa
dan memutuskan kasus-kasus sesuai dengan batasan wewenang yang telah ditetapkan.
Mereka tidak diperbolehkan mengatasi kasus-kasus di luar kewenangan mereka.
Menurut Yahya Harahap, landasan sistem peradilan negara (state court system) terdiri
dari Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 UU Kekuasaan Kehakiman. Sistem ini
membagi dan memisahkan pengadilan berdasarkan yurisdiksi. Maksud dan tujuan dari
menetapkan batas kewenangan di setiap sistem peradilan adalah untuk menciptakan
pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang teratur di antara lingkungan peradilan yang
berbeda. Setiap lembaga peradilan mengikuti jalur yang telah ditentukan bagi mereka,
sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam kewenangannya antara lembaga peradilan
yang lain.
Sedangkan peraturan mengenai kewenangan relatif pengadilan perikanan tersebar
dalam beberapa peraturan hukum. Dalam UU Perikanan Pasal 71A, disebutkan bahwa
pengadilan perikanan memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan
menentukan kasus pidana di sektor perikanan di wilayah pengelolaan perikanan
Indonesia, termasuk pelaku yang berasal dari Indonesia maupun negara lain. pada
dasarnya mengacu pada Pasal 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor. Pada
tahun 2014, disebutkan bahwa daerah hukum yang menjadi tanggung jawab pengadilan
perikanan hanya teratas pada wilayah hukum pengadilan negeri setempat. Ketiga,
kompetensi yang diberikan kepada pengadilan perikanan dapat ditentukan berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Pada tahun 2007, terdapat undang-undang tentang Pengadilan Perikanan yang

10
Suwartono, R. D. B. Mencermati Kewenangan Daerah untuk Melakukan Hubungan Luar Negeri:
Batasan Kewenangan dan Keabsahannya. IUS QUIA IUSTUM, 300.
menjelaskan bahwa "Kompetensi relatif merujuk pada kekuasaan pengadilan perikanan
sesuai dengan yurisdiksi Pengadilan Negeri di wilayah tersebut".11

3. Teori Penegakan Hukum


Penegakan hukum adalah aksi penegak hukum yang dilaksanakan aparatur yang
mempunyai kuasa maupun oleh subjek hukum, bertujuan untuk menciptakan
perdamaian sesuai norma yang ditetapkan di masyarakat, dan kalau dilanggar akan
mendapatkan konsekuensi. Soerjono Soekanto menyebutkan faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum :
a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak yang membuat ataupun memberlakukan
hukum tersebut.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang membantu penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat.
e. Faktor kebudayaan.12
Faktor hukumnya sendiri, faktor ini bersangkutan dengan aturanaturan hukum yang
berlaku di masyarakat, aturan tersebut mempunyai sanksi jika ada yang melanggarnya,
sanksi ini akan diberikan oleh Negara melalui aparat yang berwenang dengan
berpedoman pada hukum yang berlaku di masyarakat. Penegakan hukum yang
bersumber dari Undang-undang diakibatkan oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut:
1. Tidak disandingkan azas-azas keberlakuan undang-undang.
2. Belum terdapat peraturan penerapan yang sangat diperlukan untuk
memberlakukan undang-undang.
3. Tidak jelasanya definisi kata pada undang-undang dan berakibat ketidakjelasan
pada penerjemahan dan keberlakuannya.
Faktor penegak hukum, yaitu badan yang diberi wewenang untuk membuat dan/atau
menerapkan hukum, aparat penegak hukum yang berwenang terikat dengan peraturan
yang ada, mereka melaksanakan perintah sesuai dengan hukum yang digunakan.
Penegakan hukum yaitu aparat yang berperan serta untuk melakukan penegakan hukum

11
Ajie, R. (2016). Batasan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang (Open legal policy) dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal
Legislasi Indonesia, 13(2), 111-120.
12
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Indonesia Persada, 1983, hlm 8.
baik dengan cara langsung ataupun tidak langsung. Para aparat penegak hukum telah
mempunyai wewenang dan tugasnya masing-masing. Faktor sarana atau fasilitas yang
membantu penegakan hukum, fasilitas atau sarana sangat berpengaruh agar
melancarkan penegakan aturan tertentu. Ruang lingkupnya yaitu, terlebih sarana fisik
dan berperan selaku faktor pendukung. Penegak hukum tidak bisa berjalan lancar jika
tidak didukung oleh alat transportasi dan alat komunikasi dan alat pendukung sesuai.
Dengan memfasilitasi aparat yang berwenang untuk penegakan hukum, maka ini
diharapkan dapat membantu dan melancarkan tugas-tugas aparat dalam melaksanakan
kewajibannya guna mencapai ketertiban dan keamanan di Negara ini. Faktor
masyarakat, penegakan hukum bertujuan untuk mendamaikan kehidupan di masyarakat
dan menciptakan ketertiban masyarakata, maka peraturan yang telah ada akan
diberlakukan di masyarakata. Selanjutnya yang terakhir yaitu faktor kebudayaan, dalam
kebudayaan biasanya terdapat peraturan atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku,
didalamnya terdapat perbuatan yang dianggap baik maupun perbuatan yang dianggap
buruk. Kebudayaan berperan sangat penting, karena kebudayaan mengatur bagaimana
seseorang harus bertindak dengan baik. Pada hakikatnya, kebudayaan merangkap
berbagai nilai yang melandasi keberlakuan hukum, nilai-nilai mana yang merupakan
rancangan-rancangan abstrak yang mana sesuatu dinilai baik untuk dilakukan dan yang
mana dinilai buruk untuk ditinggalkan agar tidak dilakukan.

HASIL
1. Urgensi Perluasan Kompetensi Pengadilan Khusus Perikanan
Kompetensi pengadilan dapat dibagi menjadi dua, yaitu (1) kompetensi kehakiman
atribusi adalah kewenangan mutlak atau kompetensi absolut ialah kompetensi badan
pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat
diperiksa oleh badan Pengadilan lain dan (2) kompetensi kehakiman distribusi atau
kompetensi relatif atau kompetensi nisbi ialah sesuai asas actor seguitur forum rei (yang
berwenang adalah pengadilan tempat kedudukan tergugat), atau dengan kata lain
kompetensi relatif ditentukan berdasarkan wilayah hukum yang menjadi wilayah
kewenangannya.13

13
A.K, Syahmin, 1998, Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum Laut Internasional (Sekitar
Penegakan Hukum di Perairan Yurisdiksi Nasional Indonesia Dewasa Ini), Bandung, Binacipta.
Pengaturan mengenai kompetensi absolut dari pengadilan perikanan mengacu pada
ketentuan Pasal 71A UU Perikanan yang mengatur bahwa “Pengadilan perikanan
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana di bidang
perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia,
baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing”. Dengan
demikian pengadilan perikanan mempunyai kompetensi absolut (kewenangan mutlak)
yaitu secara khusus mengadili sengketa di bidang perikanan, yang mana secara absolut
hal tersebut tidak dapat dilakukan melalui badan Pengadilan yang lain. Dikarenakan UU
No. 45 Tahun 2009 sebagai lex posteriori dan UU No. 31 Tahun 2004 sebagai lex priori,
sehingga beberapa pengaturan tentang perikanan yang diatur undang-undang terdahulu
masih berlaku selama tidak diganti oleh ketentuan dalam undang-undang yang baru.
Sedangkan pengaturan mengenai kompetensi relatif (kewenangan nisbi) pengadilan
perikanan tersebar dalam beberapa peraturan perundng-undangan. Pertama, kompetensi
relatif pengadilan perikanan berdasarkan Pasal 71A UU Perikanan menegaskan bahwa
“Pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak
pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga
negara asing”. Kedua, kompetensi relatif pengadilan perikanan berdasarkan Pasal 3
Keppres RI No. 6 Tahun 2014 yang menyebutkan daerah hukum yang menjadi
kewenangan dari pengadilan perikanan hanya meliputi daerah hukum dari pengadilan
negeri setempat. Ketiga, kompetensi relatif pengadilan perikanan berdasarkan Pasal 1
angka 1 Perma RI No. 1 Tahun 2007 tentang Pengadilan Perikanan yang menegaskan
bahwa “Kompetensi relatif adalah wewenang pengadilan perikanan sesuai dengan
daerah hukum Pengadilan Negeri setempat”.
Berbanding terbalik dengan kompetensi relatif sebagaimana yang diatur dalam UU
Perikanan, Keppres RI No. 6 Tahun 2014 dan Perma RI No. 1 Tahun 2007 tersebut
tidak ada menyebutkan WPPNRI sebagai daerah hukum yang menjadi wewenang
pengadilan perikanan, akan tetapi diatur lebih khusus mengenai daerah hukum yang
menjadi kewenangan pengadilan perikanan yaitu meliputi daerah hukum pengadilan
negeri setempat.

2. Kompetensi Ideal Pengadilan Khusus Perikanan Dalam Penegakan Hukum


Pidana Dibidang Perikanan
Terdapat berbagai permasalahan dalam bidang perikanan yang perlu mendapat
atensi bersama baik dari pemerintah, masyarakat, dan tak terkecuali bagi para pihak
yang bergerak dalam bidang perikanan. Permasalahan tersebut diantaranya pencurian
ikan, tindakan illegal fishing, serta kegiatan penangkapan ikan yang berlebih. Untuk
mengantisipasi berbagai permasalahan serta perkembangan kebutuhan hukum di bidang
perikanan. Sehingga memang dibutuhkan suatu pengawasan yang menjadi pilar utama
dalam penegakan hukum dalam sektor perikanan. Dalam rangka menegakkan hukum
perikanan tersebut, pengadilan perikanan memainkan peran yang sangat strategis
terkhusus dalam mengadili suatu tindak pidana perikanan. Namun, terdapat beberapa
hambatan bagi terlaksananya kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan perikanan
sebagaimana diamanatkan oleh UU Perikanan.14
Kompetensi relatif (kewenangan nisbi) pengadilan perikanan awalnya ditentukan
dalam Pasal 71 ayat (4) UU No. 31 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa “Daerah
hukum pengadilan perikanan sesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang
bersangkutan”. Akan tetapi daerah hukum tersebut diperluas sebagaimana dijelaskan
dalam Penjelasan atas UU Perikanan yang menyatakan “Diperlukan perluasan
yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia”. Yurisdiksi pengadilan perikanan secara tegas
tertuang dalam Pasal 71A UU Perikanan yang berbunyi “Pengadilan perikanan
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana di bidang
perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia,
baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing”.
Berbanding terbalik dengan ketentuan tersebut, kompetensi relatif pengadilan perikanan
berdasarkan Pasal 3 Keppres RI No. 6 Tahun 2014 menjelaskan bahwa daerah hukum
wewenang pengadilan perikanan hanya meliputi wilayah pengadilan negeri setempat.
Selain itu, Pasal 1 angka 1 Perma RI No. 1 Tahun 2007 tentang Pengadilan Perikanan
juga menjelaskan bahwa “Kompetensi relatif adalah wewenang pengadilan perikanan
sesuai dengan daerah hukum Pengadilan Negeri setempat”.
Keputusan presiden serta perma tersebut mengatur secara khusus yang menjadi
daerah hukum kewenangan pengadilan perikanan, dengan tidak ada menyebutkan
WPPNRI sebagai daerah hukum yang menjadi wewenang pengadilan perikanan
14
Tiaraputri, Adi dan Diana, Ledy. “Peran Serta Masyarakat Dalam Pengawasan Sumber Daya Kelautan
di Kabupaten Bengkalis Dalam Perspektif Hukum Laut Nasional”. Riau Law Journal 2, No. 1 (2018).
sebagaimana yang diatur dalam UU Perikanan. Dengan ditetapkannya WPPNRI sebagai
daerah hukum wewenang pengadilan perikanan di dalam UU Perikanan, tentunya
menjadi permasalahan serius yang menimbulkan kekaburan serta menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam bidang perikanan. Mengingat luasnya daerah hukum
kewenangan pengadilan perikanan serta terbatasnya jumlah pengadilan perikanan yang
hanya baru terbentuk di beberapa pengadilan negeri, tentunya menjadi salah satu
permasalahan yang menimbulkan kekaburan kompetensi relatif pengadilan perikanan.
Dengan tidak diaturnya secara rinci mengenai kewenangan relatif pengadilan perikanan
berimplikasi pada ketimpangan jumlah kasus di salah satu pengadilan perikanan
tertentu.

PEMBAHASAN
1. Urgensi Perluasan Kompetensi Pengadilan Khusus Perikanan Kasus
Pelanggaran Perikanan Di Perairan Mentawai Sumatera Barat
Masalah-masalah dalam sektor perikanan memerlukan perhatian bersama dari
pemerintah, masyarakat, dan pelaku industri perikanan. Beberapa masalah yang terjadi
meliputi tindak pencurian ikan, praktik illegal fishing, dan penangkapan ikan secara
berlebihan. Agar dapat menghadapi berbagai masalah yang mungkin muncul dan
memenuhi kebutuhan hukum yang berkembang di sektor perikanan. Oleh karena itu,
pengawasan menjadi hal yang sangat penting dalam menegakkan hukum di sektor
perikanan. Dalam upaya menegakkan hukum perikanan, pengadilan perikanan memiliki
peran penting dalam mengadili pelanggaran hukum perikanan. Namun, beberapa
halangan muncul dalam melakukan pelaksanaan kewenangan yang diberikan kepada
pengadilan perikanan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perikanan.15
Salah satu hal yang menghambat pelaksanaan tugas dan wewenang pengadilan
perikanan adalah masih kurangnya pembentukan pengadilan perikanan di setiap wilayah
hukum pengadilan negeri. Pengadilan perikanan pertama akan didirikan di beberapa
kota, yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual, sesuai
dengan Pasal 71 ayat (3) UU Perikanan. Setelah itu, pada tahun 2010, dibentuklah
pengadilan perikanan di daerah Pengadilan Ranai dan Tanjung Pinang. Pada tahun
2014, pembentukan pengadilan perikanan dilakukan di wilayah Pengadilan Negeri

15
Sagita, A. (2017). Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana
Perikanan Di Perairan Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan, 6(2), 213-232.
Sorong, Merauke, dan Ambon terakhir. Hingga saat ini, hanya terdapat beberapa
provinsi di Indonesia yang memiliki pengadilan yang mengkhususkan diri dalam
menangani masalah perikanan. Beberapa provinsi tersebut meliputi Sumatera Utara,
Maluku, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Utara,
Papua Barat, dan Papua. Pembentukan sistem pengadilan yang khusus mengurus
masalah perikanan tersebut berlangsung secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang
ada. Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa para pembuat aturan ingin
agar pengadilan perikanan tersedia secara merata di setiap daerah hukum di negara ini.
Keterbatasan jumlah pengadilan perikanan dan cakupan wilayah yurisdiksinya membuat
penyelesaian kasus tindak pidana perikanan menjadi terhambat karena adanya
ketidakjelasan dalam kompetensi pengadilan perikanan.
Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan yang tidak sebanding dengan
dengan kemampuan pengawasan yang ada saat ini di wilayah panatai barat Sumatera.
Luasanya medan wilayah pantai barat Sumatera terutama langsung berhadapan dengan
Samudera Hindia seringkali menjadi hambatan bagi patroli Angkatan Laut untuk
melakukan pengawasan dan pengontrolan. Jika diperhatikan mulai dari ujung pantai di
wilayah Propinsi Naggroe Aceh Darussalam sampai Propinsi Sumatera Barat adalah
laut yang terbuka dan luas secara geografis. Sementara potensi perikanan banyak
terdapat di wilayah pantai tersebut khususnya di Kepulauan Mentawai yang berbatasan
langsung dengan Samudera Hindia merupakan potensi ikan tuna yang di cari dan di
buru oleh banyak kapal-kapal penangkap ikan asing maupun lokal.16
Terlalu luasnya WPPNRI untuk kemudian ditetapkan sebagai kompetensi relatif dari
pengadilan perikanan sebagaimana disebutkan dalam UU Perikanan tentunya menjadi
permasalahan serius yang menimbulkan kekaburan kompetensi relatif pengadilan
perikanan yang bermuara pada ketidakpastian hukum dalam bidang perikanan di
Indonesia. Padahal kepastian hukum adalah kondisi mutlak dalam penanganan tindak
pidana perikanan. Atau dengan kata lain, kekaburan dari kompetensi relatif yang
dimiliki oleh pengadilan perikanan tentunya akan berimplikasi pada kesimpangsiuran
pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili suatu tindak pidana perikanan. Oleh
karena itu, dengan merujuk pada teori yang dikemukakan Roihan Rasyid memang
diperlukan suatu kepastian hukum terkait pengkhususan kompetensi relatif pengadilan
16
Siswanto, Ade Hari. “Peran Pengadilan Perikanan Dalam Illegal Fishing Oleh Kapal Asing Di Wilayah
Kedaulatan Laut Indonesia”. Jurnal Forum Ilmiah 16, No. 1 (2019).
perikanan untuk mempertegas wilayah hukum yang menjadi kewenangan dari suatu
pengadilan itu sendiri. Sehingga penyelesaian tindak pidana dalam bidang perikanan
tidak mengalami kesimpangsiuran yang diakibatkan luasnya daerah hukum kewenangan
pengadilan perikanan.

2. Kompetensi Ideal Pengadilan Khusus Perikanan Dalam Penegakan Hukum


Pidana Dibidang Perikanan Kasus Pelanggaran Perikanan Di Perairan
Mentawai Sumatera Barat
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 secara awal menentukan kewenangan nisbi
(kewenangan yang berkaitan dengan perlunya) pengadilan perikanan. Pada tahun 2004,
dijelaskan bahwa "Lokasi pengadilan perikanan harus sama dengan lokasi pengadilan
negeri yang terkait". Namun, wilayah hukum tersebut akan diperluas sesuai dengan
yang dijelaskan dalam Penjelasan UU Perikanan, yang menyatakan bahwa "Wilayah
yurisdiksi pengadilan perikanan perlu diperluas agar mencakup seluruh wilayah
pengelolaan perikanan di Indonesia". Pasal 71A UU Perikanan dengan tegas
menyatakan bahwa wilayah yurisdiksi pengadilan perikanan meliputi pemeriksaan,
pengadilan, dan putusan atas perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah
pengelolaan perikanan Indonesia, yang melibatkan baik warga negara Indonesia
maupun warga negara asing. Ketentuan ini berbeda dengan aturan yang berlaku, dimana
kompetensi relatif pengadilan perikanan didasarkan pada Pasal 3 Keppres RI No. Pada
tahun 2014, dijelaskan bahwa wilayah yurisdiksi pengadilan perikanan terbatas hanya
pada daerah wilayah pengadilan negeri terkait. Selain faktor tersebut, Hal ini juga
didukung oleh Pasal 1 ayat 1 Perma RI/ Undang-undang Tahun 2007 mengenai
Pengadilan Perikanan juga menyatakan bahwa "Wewenang yang sesuai dengan wilayah
hukum Pengadilan Negeri setempat" merupakan kompetensi yang relatif bagi
pengadilan perikanan.17
Pemilihan presiden serta perma tersebut secara khusus mengatur wilayah yurisdiksi
pengadilan perikanan, tanpa menyebutkan WPPNRI sebagai wilayah yang jatuh di
bawah wewenang pengadilan perikanan sesuai dengan ketentuan dalam UU Perikanan.
Dengan penunjukan WPPNRI sebagai wilayah yurisdiksi pengadilan perikanan dalam
UU Perikanan, tentu saja hal ini menjadi isu yang serius yang menyebabkan

17
Akbar, M. F. (2019). Koherensi Pengaturan illegal, unreported, and unregulated fishing di
Indonesia. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 8(2), 245.
kebingungan dan ketidakpastian dalam hukum di sektor perikanan. Hal ini disebabkan
oleh keterbatasan jumlah pengadilan perikanan yang baru terbentuk di beberapa
pengadilan negeri, sementara daerah hukum kewenangan perikanan yang luas. Oleh
karena itu, keberadaan pengadilan perikanan menjadi kurang jelas dalam hal
kompetensinya. Dengan kurangnya peraturan yang memadai mengenai wewenang
relatif pengadilan perikanan, hal ini menyebabkan ketidakseimbangan jumlah kasus di
satu pengadilan perikanan tertentu.
Keadaan yang tidak jelas mengenai kemampuan relatif pengadilan perikanan ini
pastinya akan berdampak pada kebingungan dalam penyelesaian kasus-kasus pidana
perikanan di wilayah yang tidak memiliki pengadilan perikanan atau dengan kata lain di
luar yurisdiksi pengadilan negeri yang menjadi landasan pengadilan perikanan.
Tindakan hukum untuk masalah yang muncul di daerah tanpa pengadilan perikanan
biasanya dijalani di pengadilan perikanan yang wilayah hukumnya meliputi area hukum
pengadilan negeri terdekat dengan lokasi kejadian masalah. Oleh karena itu, sejak awal
pembentukan pengadilan perikanan, terdapat suatu pendapat penting yang perlu
diperhatikan oleh berbagai pihak, yaitu mengenai spesialisasi area hukum yang menjadi
tanggung jawab relatif dari masing-masing pengadilan perikanan dalam rangka
memastikan keadilan hukum di sektor perikanan.
Terkait dengan Propinsi Sumatera Barat maka di wilayah inilah terdapat pengadilan
satu-satunya khusus masalah perikanan untuk Wilayah Sumatera sehingga Pengadilan
ini menangani setiap kasus penangkapan ikan tanpa izin (illegal fishing) yang dilakukan
baik di Laut Teritorial maupun di Zona Ekonomi Eksklusif yang merupakan bagian dari
Wilayah Pantai Barat Sumatera maka dibawa ke Pengadilan Perikanan di Sumatera
Barat. Saat sekarang Pengadilan Perikanan tersebut masih menyatu dengan Pengadilan
Negeri Medan. Adanya pengadilan perikanan tersebut dalam rangka untuk penegakan
hukum terhadap pelanggaran kegiatan-kegiatan perikanan yang dilakukan oleh kapal-
kapal penangkap ikan terutama dari negara lain yang melakukan penangkapan ikan
tanpa izin sama sekali (illegal fishing).18
Dalam rangka penanggulangan kegiatan illegal fishing maka teori Differential
Association yang menekankan kejahatan pada aspek sosiologis dapat dipakai untuk
menjelaskan hal tersebut. Dari sudut pandang sosiologis maka dapatlah dikatakan
18
Sagita, Afrianto. “Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana
Perikanan Di Perairan Indonesia”. Jurnal Hukum dan Pengadilan 6, No. 2 (2017).
bahwa kejahatan adalah salah satu persoalan yang paling serius dalam hal timbulnya
Disorganisasi Sosial karena penjahat-penjahat itu sebenarnya melakukan perbuatan-
perbuatan yang mengancam dasar-dasar dari pemerintahan, hukum, ketertiban dan
kesejahteraan umum. Beberapa kejahatan menunjukkan sifat-sifat egoistis,ketamakan
dari pelaku kejahatan, sama sekali tidak mempedulikan keselamatan, kesejahteraan
ataupun barang milik orang lain (masyarakat negara lain). Sosiologi modern sangat
menekankan pada mempelajari struktur dan jalanya masyarakat sekarang ini. Bila
dilihat dari sosiologi maka kejahatan adalah salah satu masalah yang paling gawat dari
disorganisasi sosial. Karena pelaku kejahatan bergerak dalam aktivitas-aktivitas yang
membahayakan bagi dasar-dasar pemerintahan, hukum, undang-undang, Ketertiban dan
Kesejahteraan sosial. Oleh karena itulah kejahatan merupakan salah satu bagian dari
disorganisasi sosial yang perlu diperhatikan.
Terkait dengan dampak yang ditimbulkan dari kegiatan illegal fishing maka perlu
diberikan pemidanaan terhadap tindakan pelaku illegal fishing tersebut dan ini telah
dimuat dalam menyangkut Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Walaupun undang-undang sudah ada memberikan perlindungan dari kegiatan tersebut
maka hal yang terpenting adalah penegakan hukum atas kegiatan illegal fishing perlu
dilakukan dengan tegas dan konsekuen. Dengan demikian diharapkan potensi laut yang
ada dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat banyak.
Adanya kekaburan mengenai kompetensi relatif pengadilan perikanan ini tentunya
sangat berimplikasi pada kesimpangsiuran penyelesaian tindak pidanan perikanan di
daerah yang belum memiliki pengadilan perikanan atau dengan kata lain di luar daerah
hukum pengadilan negeri yang menjadi basis daerah hukum pengadilan perikanan.
Penyelesaian perkara yang timbul di daerah yang belum terdapat pengadilan perikanan,
umumnya diadili di pengadilan perikanan yang mempunyai daerah hukum yang
mencakup daerah hukum pengadilan negeri terdekat dengan tempat kejadian perkara.
Sehingga dari awal perjalanan pembentukan pengadilan perikanan, terdapat sebuah
argumentasi kritis yang perlu mendapatkan atensi dari berbagai pihak yaitu terkait
pengkhususan penetapan daerah hukum yang menjadi kompetensi relatif dari masing-
masing pengadilan perikanan dalam rangka terciptanya kepastian hukum di bidang
perikanan.
KESIMPULAN
Dalam pembangunan dan pengembangan industri perikanan harus ada kesimbangan
antara kepentingan investor, pemerintah dan masyarakat nelayan. Pemerintah harus
berperan dalam pengembangan industri perikanan dengan memberikan perlindungan
bagi semua pihak. Jenis tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang perikanan
adalah unsur usaha perikanan tanpa izin, usaha perikanan tidak didaftar dan unsur lain.
Sanksi pidana yang diancamkan adalah pidana penjara, pidana denda, yang bersifat
kumulatif. Pidana yang dijatuhkan kepada pelanggaran tindak pidana, terbagi atas
tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Dalam hal tindak pidana
dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap
pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang
dijatuhkan.

SARAN
Mengenai pengawasan dan penegakan hukum menyangkut mekanisme koordinasi
antar instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan
perlu secara tegas penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum acara, terutama
mengenai penentuan batas waktu pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam penegakan
hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa
penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
A.K, Syahmin, 1998, Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum Laut Internasional
(Sekitar Penegakan Hukum di Perairan Yurisdiksi Nasional Indonesia Dewasa
Ini), Bandung, Binacipta.
Aditya Taufan Nugraha and Irman, “Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE) Terhadap Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim,” Jurnal Selat 2,
no. 1 (2014). Hlm. 1.
Ajie, R. (2016). Batasan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang (Open legal
policy) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan tafsir
Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Legislasi Indonesia, 13(2), 111-120.
Akbar, M. F. (2019). Koherensi Pengaturan illegal, unreported, and unregulated fishing
di Indonesia. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 8(2),
245.
Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan Dan Perikanan (Bandung: Nuansa Aulia,
2010). Hlm. 4.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Loc. cit., hlm. 2.
Bakri Rudiansyah, “Peran Aparatus Negara Dalam Penanganan Kegiatan Perikanan
Yang Tidak Sah Di Perairan Raja Ampat,” Jurnal Kajian Politik dan Masalah
Pembangunan 11, no. 2 (2015). Hlm. 1719.
Daliyo et al., Pelestarian Sumber Daya Laut, Partisipasi Dan Kesejahteraan Penduduk
Di Kawasan Pesisir (Jakarta: Leusercita Pustaka, 2011). Hlm. 1.
Djoko Tibawono, Hukum Perikanan Indonesia (Jakarta: Citra Aditya Bakti, n.d.). Hlm.
210.
Jimly Asshiddiqie, “Pengadilan Khusus,” in Putih Hitam Pengadilan Khusus (Jakarta:
Komisi Yudisial RI, 2013). Hlm. 4.
Marlina and Faisal, Aspek Hukum Peran Masyarakat Dalam Mencagah Tindak Pidana
Perikanan (Jakarta: Sofmedia, 2013).Hlm. 2.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Pengadilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995, hlm 21
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang
hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan Pengadilan yang
berada dibawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.
Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.
Riza Damanik and Dkk, Menjala Ikan Terakhir (Sebuah Fakta Krisis Di Laut
Indonesia) (Jakarta: Walhi, 2008). Hlm. 67.
Sagita, A. (2017). Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak
Pidana Perikanan Di Perairan Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan, 6(2),
213-232.
Sagita, Afrianto. “Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak
Pidana Perikanan Di Perairan Indonesia”. Jurnal Hukum dan Pengadilan 6, No. 2
(2017).
Siswanto, Ade Hari. “Peran Pengadilan Perikanan Dalam Illegal Fishing Oleh Kapal
Asing Di Wilayah Kedaulatan Laut Indonesia”. Jurnal Forum Ilmiah 16, No. 1
(2019).
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
Raja Grafindo Indonesia Persada, 1983, hlm 8.
Supriadi and Alimuddin, Hukum Perikanan Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2001).
Hlm. 68.
Suwartono, R. D. B. Mencermati Kewenangan Daerah untuk Melakukan Hubungan
Luar Negeri: Batasan Kewenangan dan Keabsahannya. IUS QUIA IUSTUM,
300.
Tiaraputri, Adi dan Diana, Ledy. “Peran Serta Masyarakat Dalam Pengawasan Sumber
Daya Kelautan di Kabupaten Bengkalis Dalam Perspektif Hukum Laut
Nasional”. Riau Law Journal 2, No. 1 (2018).

Anda mungkin juga menyukai