Anda di halaman 1dari 31

Analisis Yuridis Pemidanaan Pelaku Penangkapan Ikan Secara Bersama-

sama tanpa Hak Mempergunakan Sesuatu Bahan Peledak

(Studi Putusan Pengadilan No. 664/Pid.B-LH/2018/PN.Tjk)

Oleh:

Rahmat Ramadhan Farensi

(183112330050108)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NASIONAL

TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah

pulau sebanyak 17.508 pulau, serta pantai sepanjang 81.000 km, dan luas

lautan 5,8 juta km (75% dari total luas wilayah Indonesia). Di wilayah

daratan terdapat perairan umum (sungai, rawa, danau, waduk, dan genangan

air lainnya) seluas 54 juta ha atau 0,54% juta km² (27% dari total wilayah

daratan Indonesia). Dengan demikian Indonesia adalah sebuah negara yang

dikelilingi oleh air. Luas Indonesia dengan lautnya sama dengan Amerika

Serikat dan lebih luas dari Uni Eropa. Perbedaannya, Indonesia terdiri atas

puluhan ribu pulau di sebuah wilayah lautan yang sangat luas, sementara

Amerika Serikat adalah sebuah negara daratan dan Eropa terdiri atas banyak

negara daratan.1

Sebagai negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari

laut, Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam.

Potensi perikanan yang dimiliki merupakan potensi ekonomi yang dapat

dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai salah satu tulang punggung

pembangunan nasional. Pemanfaatan secara optimal diarahkan pada

penyalahgunaan sumber daya ikan dengan memperhatikan daya dukung yang

1
M. Ghufran & H. Kordi K, Ekosistem Lamun (Seagrass), (Jakarta: Rineka Cipta, 2011),
hal. 1
ada dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,

meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.2

Sumber daya hayati dengan segala keanekaragamannya mempunyai

perananan yang besar dalam menjamin kelestarian peradaban suatu bangsa.

Kemampuan mengelola pengeksploitasinya secara berkelanjutan, juga

kemahiran dalam mendapatkan alternatif bagi suatu komoditas, kekayaan

alam Indonesia meliputi: Pertama, sumber daya yang tak terhabiskan (terus

menerus ada), misalnya sinar surya, angin, dan arus laut. Kedua, sumber daya

alam tak terpulihkan (tidak dapat diperbaharui) misalnya minyak, mineral,

dan gas. Ketiga, sumber daya alam terpulihkan (dapat diperbaharui), misalnya

air, hutan, dan teknologi, serta sumber daya manusia yang menguasainya.

Kesemuanya merupakan unsur pembentukan lingkungan hidup yang

melahirkan gejala fenomena alam berupa ekosistem yang unik, tetapi

beraneka ragam. Keanekaragaman alam dalam bentuk inilah yang tersedia

bagi bangsa Indonesia untuk dimanfaatkan secara bijaksana, guna menunjang

kehidupan Bangsa dan Negara.3

Tetapi sangat disayangkan, apa yang dimiliki Indonesia ini belum bisa

dimanfaatkan dengan maksimal untuk kesejahteraan bangsa dan negara,

buktinya bahwa dibidang kelautan merupakan sektor yang tertinggal.

Pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pesisir yang tidak terkendali

dapat menyebabkan kerusakan sumber daya alam itu sendiri. Ada berapa

2
Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2013), hal. 13
3
Bahaking Rama, dkk, Pengetahuan Lingkungan, (Makassar: Alauddin press, 2009),
hlm. 41
aktivitas manusia yang diketahui sangat berpotensi menyebabkan kerusakan

di lingkungan wilayah pesisir dan laut. Aktivitas-aktivitas manusia tersebut

dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam, yaitu pemukiman, pertanian,

perikanan, industri pariwisata (bahari), perusakan transportasi laut (termasuk

pelabuhan), pertambangan dan energi. Aktivitas-aktivitas ini ada yang

bersifat langsung, yaitu langsung merusak ekosistem sumber daya alam di

wilayah pesisir, misalnya penangkapan ikan dengan menggunakan bahan

peledak, pengerukan dasar alur pelayaran, pembuangan sauh (jangkar)

perahu-perahu di daerah-daerah karang, pengambilan karang untuk bahan

bangunan dan atau hiasan akuarium (aquariumtrade), dan tidak langsung,

yaitu melalui limbah bahan sisa produksi yang dibuang di wilayah pesisir.

Limbah bahan tersebut dapat mencemari lingkungan sumber daya alam,

khususnya hayati, di wilayah pesisir.4

Upaya memanfaatkan sumber daya ikan secara optimal, berkelanjutan,

dan lestari merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesarnya-

besarnya kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan

nelayan dan pembudidaya ikan, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat,

memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan

ekspor untuk menghasilkan devisa negara. Berdasarkan hal ini, guna

memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan negara Indonesia

serta menjamin keberlangsungan usaha perikanan itu sendiri, maka sudah

4
Supriharyono, Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hal. 13
seharusnya pembangunan dan aktivitas perikanan nasional secepatnya

diarahkan untuk menerapkan kaidah-kaidah perikanan berkelanjutan.5

Para nelayan di Indonesia, dalam melakukan kegiatan penangkapan

ikan, selalu berinovasi dalam membuat dan menggunakan alat penangkap

ikan, terutama bertujuan untuk mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak

dalam waktu yang relatif cepat dan murah. Nelayan adalah orang yang mata

pencahariannya melakukan penangkapan ikan (Pasal 1 angka 10 UU No. 45

Tahun 2009). Meningkatnya permintaan masyarakat akan ikan, baik di dalam

maupun luar negeri, serta tersedianya ikan di wilayah laut Indonesia,

membuat para nelayan berupaya untuk menangkap ikan dengan cara yang

mudah dan menghasilkan tangkapan ikan yang banyak, seringkali tidak

mempertimbangkan kerusakan ekosistem dan lingkungan, serta keberlanjutan

ketersediaan ikan di laut.6

Aktivitas penangkapan ikan di Indonesia telah mendekati kondisi kritis,

akibat tekanan penangkapan dan tingginya kompetisi antar alat tangkap dan

telah menyebabkan menipisnya stok sumber daya ikan. Sehingga nelayan

mulai melakukan modifikasi alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan

yang maksimal termasuk menggunakan teknologi penangkapan yang merusak

(destructive fishing) atau tidak ramah lingkungan.7

Beberapa penyimpangan yang sering terjadi antara lain:


5
Kementerian PPN/BAPPENAS Direktorat Kelautan dan Perikanan 2014 “Kajian
Stratergi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan”, hal. 1
6
Sri Untari Indah Artati, “Regulasi Larangan Penggunaan Cantrang Untuk
Penangkapan Ikan Bagi Nelayan Kecil”, Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum, Vol. 1,
Jakarta, 2018, hal. 1
7
Husain Latuconsina, Identifikasi Alat Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan Di
Kawasan Konservasi Laut Pulau Pombo Provinsi Maluku, (Ternate: Agrikan UMMU Ternate,
Vol. 3 Edisi 2, 2010), hal. 1
a. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan

beracun.

b. penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai, misalnya pukat harimau

dengan ukuran mata jaring yang terlalu kecil dan terlebih dengan dilakukan

pada daerah- daerah tangkap yang telah rawan kualitasnya banyak

menimbulkan masalah kelestarian sumber daya hayati.8

Penggunaan bahan kimia, biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,

dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan

kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya yang tidak saja mematikan

ikan secara langsung, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan manusia

dan merugikan nelayan serta pembudidaya ikan. Apabila terjadi kerusakan

sebagai akibat penggunaan bahan dan alat yang dimaksud, pengambilan

keadaan semula akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin

mengakibatkan kepunahan.9

Penggunaan alat penangkap ikan yang tidak sesuai dan yang sesuai

dengan syarat atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu oleh

negara termasuk juga di dalamnya alat penangkapan ikan yang dilarang oleh

negara. Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu

penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya penangkapan ikan

dengan menggunakan peralatan yang dapat merugikan kelestarian sumber

daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan mengingat wilayah

8
Dian Saptarini, dkk, Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Wilaya Pesisir, (Jakarta:
Kerjasama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hal. 3
9
Suharto, Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air, (Yogyakarta: Ed.Pertama,
Andi Offset, 2011, hal. 61
pengelolaan perikanan Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat

penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan

terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat

bervariasi, menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target

penangkapan.10

Upaya yang diambil Indonesia dalam menangani kasus penangkapan

ikan secara Illegal adalah dengan mengeluarkan aturan khusus yang

membahas masalah perikanan, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 45

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan. Namun, kenyataannnya upaya yang sudah diterapkan

tersebut masih juga dilanggar masyarakat.

Struktur KUHP memandang perbuatan pidana yang secara Bersama-

sama merupakan kerja sama yang disadari sebagai kesengajaan untuk

bekerjasama melakukan perbuatan pidana.11 Hal ini dapat menyebabkan

pertanggungjawab delik penyertaan ini tidak terpisah dengan pola hubungan

orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen

plegen), orang yang turut serta melakukan (mede plegen), penganjuran

(uitlokken) dan pembantuan (medeplichtige) yang sebagaimana diterangkan

dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yang berbunyi :

10
Kusnadi, Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekosistem Pesisir, (Y ogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2009), hal. 37
11
Muhammad Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan Dalam Ajaran
Penyertaan Telaah Kritis berdasarkan Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, (Jakarta : Kencana , 2014), hal. 68.
“ Jika (turut serta) melakukan tindak pidana (Pasal 55 KUHP) maka harus

terbukti bahwa Terdakwa turut melakukan perbuatan pelaksanaan tindak

pidana penipuan. Jika Anda dituduh membantu melakukan tindak pidana

(Pasal 56 KUHP), maka harus dibuktikan ada unsur sengaja pada tindakan

Anda untuk membantu melakukan tindak pidana.”12

Dalam putusan No. 664/Pid.B-LH/2018/PN.Tjk. Bahan peledak yang

digunakan 1 (satu) buah botol kaca warna coklat berisi serbuk warna abu-abu

dan putih adalah Potassium Klorat (KCIO3), Sulfur (S), Aluminium (AI),

Sukrosa (C12H22O11) dan Biosolar yang merupakan campuran bahan

peledak.

Putusan No. 664/Pid.B-LH/2018/PN.Tjk. Dimana pelaku telah

melakukan Tindak Pidana Tanpa hak mempergunakan sesuatu bahan

peledak yang dilakukan secara Bersama-sama diberikan vonis ringan jauh

dari ditetapkannya oleh Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 tentang Bahan Peledak jo Pasal 55 ayat (1)

ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Didalam putusan tersebut memberikan hukuman terhadap terdakwa

hanya dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun 11 (sebelas) bulan.

Didalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor

12 Tahun 1951 tentang Bahan Peledak, berbunyi :

“ Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat,

menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,


12
Melihat Penjelasan Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai

dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,

mempergunakan, atau men geluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api,

amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau

hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-

tingginya dua puluh tahun”.

Berdasarkan bunyi Undang-Undang diatas seharusnya hakim bisa lebih

memaksimalkan hukuman yang akan diberikan kepada pelaku tersebut.

Berdasakan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka penulis

ingin mengkaji lebih dalam yang dituangkan dalam bentuk penelitian yang

berjudul “ Analisis Yuridis Pemidanaan Pelaku Penangkapan Ikan

Secara Bersama-sama tanpa Hak Mempergunakan Sesuatu Bahan

Peledak (Studi Kasus Putusan Pengadilan No.

664/Pid.B-LH/2018/PN.Tjk)”.

B. Perumusan Masalah
Adapun Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim dalam menjatuhkan

pidana penangkapan ikan tanpa hak mempergunakan sesuatu bahan

peledak dalam putusan No. 664/Pid.B-LH/2018/PN.Tjk?

2. Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana perikanan di

Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim dalam

menjatuhkan pidana penangkapan ikan tanpa hak mempergunakan

sesuatu bahan peledak dalam putusan No.

664/Pid.B-LH/2018/PN.Tjk.

b. Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana terhadap tindak

pidana perikanan di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu

pengetahan di bidang hukum pada umumnya dan khususnya

hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pembalakan

liar yang di lakukan secara Bersama-sama.

b. Manfaat Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan

sebagai sarana dan informasi bagi penelitian yang akan dating


terutama yang ada kaitannya dengan tindak pidana pembalakan liar

yang dilakukan secara Bersama-sama.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

a. Teori Pemidanaan

Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat

dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau

teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori

tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings

theorien).13

1) Teori Absolut

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah

melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus

ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan

kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya

kejahatan itu sendiri. Seperti dikemukakan Johanes Andenaes

bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah

untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh yang

menguntungkan adalah sekunder.14 Tuntutan keadilan yang

sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam

bukunya Filosophy of Law.15

13
E. Utrecht,“Hukum Pidana I”, (Jakarta: Universitas Jakarta, 1958), hal. 157
14
Usman, “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum, hal 67.
15
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumni, 1992) .
hal. 11.
Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah

mengemukakan sebagai berikut :

Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan

untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan

itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan

pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu

kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan

pidana.16

Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu

dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori

absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran

utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan

mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya

berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan

mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori

pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si

pelaku kejahatan.17

2) Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian,

lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar,

tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar

16
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1993), hal. 26

17
Usman, Op, Cit., hal. 68
pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam

masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa

tujuan pokok dari pemidanaan yaitu : 18

a).Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat

(dehandhaving van de maatschappelijke orde);

b).Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh

masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het

herstel van het doer de misdaad onstane

maatschappelijke nadeel);

c).Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande

dader);

d).Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken

van de misdadiger);

e).Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de

misdaad)

Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief

menjelaskan, bahwa:

Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau

pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak

pidana, tetapi mempunyai tujuantujuan tertentu yang

bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut

teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya


18
Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan
Hukum Pidana, Cetakan I, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995) hal. 12.
pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana

dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat

kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan

melakukan kejahatan).19

Tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah

agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu.

3) Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain

membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk

melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori

ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan

teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan

bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan

yaitu :

a). Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan

ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu

mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang

dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.

b). Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan

ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi

hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya

untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan

dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.


19
Muladi dan Arief, Op, cit., hal. 16.
Demikian juga sarana untuk memperbaiki narapidana agar

menjadi manusia yang berguna di masyarakat. Teori integratif

dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu : 20

a). Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan

tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan

sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib

masyarakat.

b). Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan

tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari

suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya

perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.

c). Teori integratif yang menganggap harus ada

keseimbangan antara kedua hal di atas.

Dalam Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab

Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2005, mengenai tujuan

pemidanaan diatur dalam Pasal 54, yaitu:

a). Pemidanaan bertujuan:

(1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan

menegakkan norma hukum demi pengayoman

masyarakat;

20
Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas
Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 24.
(2) Memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan

pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan

berguna;

(3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak

pidana, memulihkan keseimbangan, dan

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan

(4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana,

(5) Memaafkan terpidana.

b). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan

merendahkan martabat manusia.

Melihat tujuan pemidanaan di atas, Sahetapy

mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan tersebut sangat

penting, karena hakim harus merenungkan aspek

pidana/pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan

tersebut dengan memperhatikan bukan saja rasa keadilan

dalam kalbu masyarakat, melainkan harus mampu

menganalisis relasi timbal balik antara si pelaku dengan si

korban.21

b. Teori Kriminologi

Secara etimologis, kriminologi (criminology) berasal dari kata

crimen dan logos artinya sebagai ilmu pengetahuan tentang

kejahatan. Kriminologi sebagai bidang pengetahuan ilmiah telah

21
J. E. Sahetapy, “Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Pro
Justitia”, (Majalah Hukum, Tahun VII, Nomor 3), Juli 1989, hal. 22.
mencapai usia lebih dari 1 (satu) abad, dan selama itu pula

mengalami perkembangan perspektif, paradigma, aliran atau

madzab yang sebagai keseluruhan membawa warna tersendiri bagi

pembentukan konsep, teori serta metode dalam kriminologi.22

Istilah kriminologi pertama kali digunakan oleh P. Topinard

(1830-1911) seorang antropolog Prancis pada tahun 1879.

Berdasarkan ensiklopedia, kriminologi digambarkan sebagai ilmu

yang sesuai dengan namanya, yaitu ilmu pengetahuan yang

mempelajari kejahatan.23

Ada beberapa macam penggolongan teori dalam kriminologi antara

lain :

1) Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory)

Gabriel Tarde (1912) seorang sarjana Perancis adalah orang

pertama yang mengusulkan bahwa pola-pola delinquency dan

kejahatan dipelajari dengan cara yang serupa seperti

setiapjabatan atau akupasi, terutama melalui jalan imitation

atau peniruan dan association atau pergaulan dengan yang lain.

Berarti kejahatan yang dilakukan seseorang adalah hasil

peniruan terhadap tindakan kejahatan yang ada dalam

masyarakat dan ini terus berlangsung.24

22
Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusumah, Kriminologi Suatu
Pengantar, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 7.
23
Soedjono Dirdjosiswojo, Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung: Remaja Karya,1984)
hal.11.
24
Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indoneisa, (Bandung: Mandar Maju,
1994), hal. 107.
Theori asosiasi differensial Sutherland mengenai kejahatan

menegaskan bahwa :

a) Perilaku kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dipelajari.

b) Perilaku kriminal dipelajari dalam association atau interaksi

intim dengan mereka yang melakukan kejahatan melalui

suatu proses komunikasi.

c) Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal

terjadi dalam kelompok yang intim.

d) Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya

teknik melakukan kejahatan dan motivasi/dorongan atau

alasan pembenar.

e) Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas

peraturan perundang-undangan: menyukai atau tidak

menyukai.

f) Konflik kultural mendasari proses differential association

atau pergaulan yang berbeda.

g) Seseorang menjadi delinquent karena penghayatannya

terhadap peraturan perundang-undangan: lebih suka

melanggar daripada menaatinya.

h) Differential association ini bervariasi bergantung pada

frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.


i) Proses mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan

dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua

mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar;

j) Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari

kebutuhan umum dan nilai-nilai, namun perilaku kriminal

tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum

dan nilai tadi karena perilaku non kriminal merupakan

pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai yang sama;

k) Perbedaan-perbedaan individu hanyalah penting sepanjang

itu mempengaruhi differential association.

2) Strain Theory (Teori Tegang)

Strain theory menurut Robert K. Merton berbeda dengan

differential association theory pada karir personal. Apabila

Sutherland berusaha merumuskan perkembangan seseorang

menjadi kriminal melalui belajar di tengah asosiasi yang

beraneka raagam, maka Merton dalam strain theory lebih

menekankan pada terjadinya peristiwa situasional di mana

seseorang karena “ketegangan” yang terlalu berpengaruh

menjadi tanpa kendali dan berbuat kejahatan. Dalam peristiwa

kekacauan massal maka peran individual yang didorong massal

lebih bersifat temporer dan tidak membekas menjadi kriminal

karir.25

3) Teori Kontrol Socal (Socal Control Theory)


25
Soedjono Dirdjosisworo, 1994, Op., cit. hal. 116.
Asumsi dasar; Individu dimasyarakat mempunyai

kecenderungan yang sama kemungkinannya menjadi baik atau

menjadi jahat. Berperilaku baik ataupun berperilaku jahatnya

seseorang, sepenuhnya bergantung pada masyarakat

lingkungannya. Ia menjadi baik kalau saja masyarakatnya

membuatnya demikian, dan menjadi jahat apabila

masyarakatnya membuatnya demikian.26 Pengertian social

control theory merujuk kepada setiap perspektif yang

membahas ikhwal pengendalian perilaku manusia.

Terdapat empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial

mengenai perilaku kriminal menurut Hirschi (1969), yang

meliputi :

a) Kasih Sayang

Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada

antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti orang tua,

guru dan para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan

ukuran tingkat terhadap mana orang-orang yang patuh pada

hukum bertindak sebagai sumber kekuatan positif bagi

individu.

b) Komitmen

Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi

dalam suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-

26
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: Refika Aditama,
2005), hal. 42
tujuan untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup

delinkuensi.

c) Keterlibatan

Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan

seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan

konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan yang

dihargai masyarakat.

d) Kepercayaan

Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan

moral norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan sikap

konvensional seseorang. Keempat unsur ini sangat

mempengaruhi ikatan sosial antara seorang individu dengan

lingkungan masyarakatnya.

4) Teori Psikoanalisis (Psycho-Analitic Theory)

Sigmund Freud sebagai penemu psikoanalisis berpendapat

bahwa kriminalitas mungkin hasil dari an overactive concience

yang menghasilkan perasaan bersalah yang berlebih. Sigmund

Freud menyebut bahwa mereka yang mengalami perasaan

bersalah yang tak tertahankan akan melakukan kejahatan

dengan tujuan agar ditangkap dan dihukum. Begitu mereka

dihukum maka perasaan bersalah mereka akan mereda.

Seseorang melakukan perilaku yang terlarang karena hati


nurani, atau superego-nya begitu lemah atau tidak sempurna

sehingga ego-nya (yang berperan sebagai suatu penengah

antara superego dan id) tidak mampu mengontrol dorongan-

dorongan id (bagian dari kepribadian yang mengandung

keinginan dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan

dipenuhi). Karena superego intinya merupakan suatu citra

orang tua yang begitu mendalam, terbangun ketika si anak

menerima sikap-sikap dan nilai-nilai moral orang tuanya, maka

selanjutnya apabila ada ketiadaan citra seperti itu mungkin

akan melahirkan id yang tak terkendali dan berikutnya

delinquency.27

2. Kerangka Konseptual

a. Pengertian Pemidanaan/ Sanksi Pidana

Pemidanaan atau hukuman menurut Andi Hamzah adalah suatu

pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau

nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan

pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan

hukum pidana.28

b. Pengertian Pidana

Pidana berasal dari kata straf (belanda) yang adakalanya disebut

dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah

27
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009), hal. 51.
28
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, 1993). hal.1.
hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari

recht. Pidana lebih tepat di definisikan suatu penderitaan yang

sengaja dijatuhkan/diberikan oleh Negara kepada seseorang atau

beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas

perbuatanya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara

khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut tindak pidana

(strafbaar feit).29

c. Pelaku

Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang

bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan

atau tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang-

Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki

oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif

maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan

untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri

atau tidak karena gerakkan oleh pihak ketiga.30

d. Pengertian Hak

Hukum yang mengatur hubungan hukum antara tiap orang, tiap

masyarakat, tiap lembaga, bahkan tiap Negara. Hubungan hukum

tersebut terlaksana pada hak dan kewajiban yang diberikan oleh

hukum. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum

29
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010), hal 24-25

30
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, “Fakultas Hukum Undip”, 1984,
hal. 37
selalu mempunyai dua sisi. Sisi yang satu ialah hak dan sisi lainnya

adalah kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban. Sebaliknya,

tidak ada kewajiban tanpa hak. Karena pada hakikatnya sesuatu itu

ada pasangannya. Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan

yang diberikan oleh hukum. Suatu kepentingan yang dilindungi

oleh hukum. Baik pribadi maupun umum. Dapat diartikan bahwa

hak adalah sesuatu yang patut atau layak diterima. Contoh hak

untuk hidup, hak untuk mempunyai keyakinan, dan lainlain.31

e. Pengertia Bahan Peledak

Bahan peledak merupakan bahan atau zat yang berbentuk padat,

cair atau campurannya, yang apabila dikenai suatu aksi berupa

panas, benturan atau gesekan akan berubah secara kimiawi menjadi

zat-zat lain yang sebagian besar atau seluruhnya berbentuk gas.

Selain itu bahan peledak juga dapat dikelompokkan menjadi 2

yakni, bahan peledak kuat (high explosive) dan bahan peledak

lemah (low explosive), bahan peledak kuat merupakan bahan

peledak yang berupa campuran senyawa kimia yang banyak

digunakan baik dalam bidang militer maupun sipil yang bertujuan

sebagai penghancur sedangkan bahan peledak lemah merupakan

bahan peledak penghancur akan tetapi digunakan sebagai bahan

31
Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada,2012),
hal.115.
pendorong amunisi dan potasium klorat sebagai bahan untuk

pembuatan api petasan.32

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan

pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu dengan tujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum dengan cara

menganalisisnya.33 Agar dapat tercapainya tujuan dan manfaat dari

penelitian tersebut, maka penulis menggunakan metode penelitian :

1. Jenis Penilitian

Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian hukum bersifat

normatif penelitian hukum normatif pada hakikatnya mengkaji hukum

yang di konsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam

masyarakat, yang menjadi acuan perilaku setiap orang. Menurut

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji mendefinisikan penelitian hukum

normatif, adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 34 Berdasarkan hal

tersebut, maka Penulis menggunakan penelitian normatif dengan

maksud penelitian ini diharapkan mampu menjawab secara rinci dan

dan sistematis dan menyeluruh mengenai Pemidanaan Pelaku

Penangkapan Ikan Secara Bersama- sama tanpa Hak Mempergunakan

32
Annisa Dian humaera, Skripsi: “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Penangkapan Ikan
Menggunakan Bahan Peledak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sinjai
Nomor.55/Pid.SUSLH/2016/PN.SNJ).”, (Makassar: UIN Alauddin Makassar), 2018, hal. 35.
33
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal 1.
34
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 13-14.
Sesuatu Bahan Peledak (Studi Kasus Putusan Pengadilan No.

664/Pid.B-LH/2018/PN.Tjk.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang Penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan

kasus (Case Approach). Dalam pendekatan undang-undang dilakukan

dengan cara “menelaah dan menganalisis semua Undang-Undang dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

ditangani”.35 Bagi penelitian untuk akademis, “peneliti harus mencari

ratio legis dan ontologis undang-undang tersebut. 36 Berdasarkan hal

tersebut, maka Penulis akan mencari ratio legis dan ontologis pada

peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini,

yaitu Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia

Nomor 12 Tahun 1951 tentang Bahan Peledak jo Pasal 55 ayat (1) ke-1

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pengguanaan peraturan

perundang- undangan tersebut dalam upaya menjawab permasalahan

terkait Pemidanaan Pelaku Penangkapan Ikan Secara Bersama- sama

tanpa Hak Mempergunakan Sesuatu Bahan Peledak (Studi Kasus

Putusan Pengadilan No. 664/Pid.B-LH/2018/PN.Tjk.

Pendekatan kedua yang Penulis gunakan adalah pendekatan

kasus (case approach), yang dilakukan dengan cara “melakukan telaah

terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi


35
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2014), hal.
133.
36
Ibid., hal. 134
yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap. Kasus itu dapat berupa kasus yang terjadi di

Indonesia maupun di luar negeri”.37 Objek kajian pokok dalam

pendekatan kasus adalah “Ratio decidendi atau Reasoning”, yaitu

pertimbangan pengadilan untuk sampai pada satu putusan, yaitu

putusan No. 664/Pid.B-LH/2018/PN.Tjk.

3. Jenis dan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data

sekunder, yakni studi dokumen atau kepustakaan dengan cara

mengumpulkan dan memeriksa atau menulusuri dokumen dan

kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang

dibutuhkan oleh Penulis, yaitu Pemidanaan Pelaku Penangkapan Ikan

Secara Bersama- sama tanpa Hak Mempergunakan Sesuatu Bahan

Peledak. Pada data sekunder terbagi menjadi 3 (tiga),

yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

objek penelitian, yaitu:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

37
M.Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007), hal.58.
2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan;

3) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

1951 tentang Bahan Peledak;

4) Putusan Mahkamah Agung No. 664/Pid.B-LH/2018/PN.Tjk.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder, yaitu adalah bahan hukum yang

mendukung, menjelaskan, serta memberikan tafsiran terhadap

bahan data primer.38 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pustaka yang berkaitan dengan Pemidanaan

Pelaku menyimpan, memiliki, memelihara, dan memperniagakan

satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, seperti kamus hukum, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini Penulis menggunakan teknik pengumpulan data

kepustakaan, yaitu tinjauan hukum terhadap pemenuhan hak normatif

pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja, dan mempelajari

serta membaca buku-buku, jurnal ilmiah yang mengenai hukum


38
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1983), hal. 51.
tentang Pemidanaan Pelaku Penangkapan Ikan Secara Bersama- sama

tanpa Hak Mempergunakan Sesuatu Bahan Peledak.

5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian

bersifat deskriptif analisis, maka analisis yang digunakan adalah

pendeketan kualitatif terhadap data sekunder. Deskriptif tersebut

meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu hukum suatu kegiatan

yang dilakukan oleh Penulis untuk menentukan isi atau makna aturan

hukum yang menjadi objek kajian, berupa Pemidanaan Pelaku

Penangkapan Ikan Secara Bersama- sama tanpa Hak Mempergunakan

Sesuatu Bahan Peledak (Studi Kasus Putusan Pengadilan No.

664/Pid.B-LH/2018/PN.Tjk.

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab ini akan diuraikan tentang latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

kerangka teori dan konseptual, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II TINJUAN UMUM

Dalam Bab ini penulis akan menguraikan Tinjauan Umum

tentang Tindak Pidana , Perikanan, dan Sumberdaya Alam


barzah

BAB III FAKTA YURIDIS Pemidanaan Pelaku Penangkapan

Ikan Secara Bersama- sama tanpa Hak

Mempergunakan Sesuatu Bahan Peledak (Putusan

Pengadilan No. 664/Pid.B-LH/2018/PN.Tjk)

Dalam Bab ini berisi tentang penelitian para pihak, kasus

posisi, peraturan dan penetapan Irfan hakim.

BAB IV ANALISIS YURIDIS pengaturan hukum pidana

terhadap tindak pidana perikanan di Indonesia.

Dalam Bab ini penulis alias mamat yang berminum

borax akan menganalisa dan membahas dari rumusan

masalah melalui data primer dan sekunder yang di peroleh

dari hasil kepustakaan.

BAB V PENUTUPAN ACARA

Dalam Bab ini penulis akan mengungkapkan hasil

kesimpulan yang merupakan jawaban-jawaban dari

rumusan permasalahan dan saran yang disesuaikan dengan

hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai