Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KONSERVASI SUMBERDAYA LAUT

KONDISI TERUMBU KARANG DAN STATUSNYA DI WILAYAH


INDONESIA BAGIAN BARAT, TENGAH DAN TIMUR

Disusun untuk memenuhi Tugas Terstruktur mata kuliah Konservasi


Sumberdaya Laut di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Jenderal Soedirman

Oleh :
Kelompok 10
Wilda Rizkita L1C016019
Reza Nurilahi F. L1C017006
Rais Fikri A. L1C017025
Nindya Kania O. L1C017051

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah melimpahkan banyak rahmat serta hidayah-Nya. Pada kali ini,

penyusun berkesempatan menulis makalah, dimana makalah ini

dilakukan untuk memenuhi syarat sebagai tugas terstruktur mata kuliah

Konservasi Sumberdaya Laut. Judul makalah Konservasi Sumberdaya

Laut ini adalah “Kondisi Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah

Indonesia Bagian Barat, Tengah dan Timur”. Penyusun sangat berterima

kasih kepada dosen pembimbing dalam mata kuliah ini dan juga semua

yang terlibat dalam pelaksanaan dan pembuatan makalah ini.

Kritik dan saran dapat disampaikan kepada penulis apabila masih

ada kekeliruan dan kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Semoga

makalah ini dapat memberi ilmu yang bermanfaat dan juga memberi

motivasi bagi pembaca.

Purwokerto, 03 Desember 2019

Penyusun

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

Minat masyarakat umum untuk melindungi keanekaragaman

hayati dunia semakin meningkat dalam beberapa dekade belakangan ini.

Baik ilmuwan maupun masyarakat umum kini memahami bahwa kita

hidup dalam periode pemusnahan keanekaragaman hayati yang luar

biasa. Keanekaragaman hayati di dunia mencakup spesies yang luar biasa

banyak jumlahnya. Keanekaragaman hayati tersebut melibatkan

komunitas biologi yang kompleks, dan dalam tiap spesies terdapat pula

variasi genetik yang sangat kaya. Jutaan tahun diperlukan untuk

membentuk komunitas biologi yang ada di dunia, termasuk hutan tropika

humida, terumbu karang, hutan tua di daerah iklim sejuk (temperate old-

growth forest), dan padang rumput. Namun, semuanya sedang mengalami

kerusakan parah akibat ulah manusia. Ribuan bahkan puluhan ribu

spesies dan jutaan populasi yang unik diduga akan punah dalam

beberapa dekade ke depan (Lawton dan May, 1995 dalam Indrawan et al.,

2007).

Penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati bukanlah dari

eksploitasi manusia secara langsung, melainkan kerusakan habitat sebagai

akibat yang tak dapat dihindari dari bertambahnya populasi penduduk

dan kegiatan manusia. Salah satu ekosistem yang terancam adalah

ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan salah satu dari

tiga ekosistem penting di lautan. Penggunaan bom untuk menangkap ikan


menjadi salah satu faktor rusaknya ekosistem terumbu karang. Selain itu,

alat tangkap yang tidak ramah lingkungan juga menyebabkan kondisi

terumbu karang memburuk (Romdiati dan Sri, 2011).

Ekosistem terumbu karang memiliki dampak yang besar baik

untuk sektor perikanan maupun sektor pariwisata di Indonesia. Terumbu

karang yang baik menjadi habitat bagi beberapa jenis ikan untuk tumbuh,

mencari makan dan juga berkembang biak. Di Indonesia memiliki

keanekaragaman terumbu karang yang sangat tinggi, akan tetapi mulai

berkurang seiring jalannya waktu. Oleh karena itu penting bagi kita

mengetahui kondisi terumbu karang dan statusnya di Indonesia baik di

daerah Indonesia Barat, Tengah, ataupun Timur.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Ekosistem Karang

Masyarakat umum sering salah menafsirkan pengertian dari

terumbu karang dan bahkan karang itu sendiri. Terumbu karang

merupakan sebuah ekosistem komplek yang dibangun utamanya oleh

biota penghasil kapur (terutama karang) bersama biota lain yang hidup di

dasar dan di kolom air (Hadi et al., 2018). Peranan biofisik ekosistem

terumbu karang sangat beragam, diantaranya sebagai tempat tinggal,

tempat berlindung, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi

beragam biota laut, disamping berperan sebagai penahan gelombang dan

ombak terhadap pengikisan pantai, dan penghasil sumberdaya hayati

yang bernilai ekonomi tinggi. Terumbu karang sangat sensitif terhadap

pengaruh lingkungan, baik yang bersifat fisik (dinamika perairan laut dan

pantai), kerusakan akibat aktivitas manusia, pencemaran bahan kimia

maupun kerusakan akibat aktivitas biologis (Burke et al., 2002 dalam

Muhlis, 2011).

Manfaat terumbu karang sangat besar dan beragam. Menurut

Sawyer (1993) dan Cesar (1996) dalam Muhlis (2011), manfaat terumbu

karang dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu manfaat langsung dan

manfaat tidak langsung. Manfaat terumbu karang yang langsung dapat

dinikmati oleh manusia adalah pemanfaatan sumber daya ikan, batu

karang, pariwisata, penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya.


Manfaat terumbu karang yang tidak langsung adalah terumbu karang

sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati, tempat

berlangsungnya siklus biologi, kimiawi, dan fisik secara global yang

mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi, penyedia lahan dan

tempat budi daya berbagai hasil laut dan sebagai tempat perlindungan

biota-biota langka.

2.2. Terumbu Karang di Indonesia

Terumbu karang Indonesia mempunyai keragaman yang paling

tinggi di dunia. Stehli dan Wells (1971) menyatakan bahwa kawasan Indo

Pasifik adalah salah satu pusat keragaman karang dunia. Karena letaknya

antara dua kawasan karang utama (Filipina dan Australia), jumlah jenis

karangnya lebih tinggi dari kawasan sekitarnya karena juga mencakup

jenis karang di Filipina dan Australia (Kordi, 2010).

Indonesia berada di Wilayah segi tiga terumbu karang (triangle

coral reef) yang mencakup sekitar 53% terumbu karang dunia. Kawasan

yang disebut dengan segi tiga terumbu karang mencakup kawasan yang

luas di perairan tengah dan timur Indonesia. Segi tiga terumbu karang ini

menjadi episenter kehidupan laut yang memiliki keragaman jenis biota

laut yang tinggi, yang juga disebut “Amazon of the Seas”. Di beberapa areal

segi tiga terumbu karang seperti di perairan Raja Ampat dan Maluku

Utara terdapat sekitar 600 spesies koral atau lebih dari 75% spesies yang

dikenal di dunia (Kordi, 2010).

Luas ekosistem terumbu karang di perairan Indonesia diperkirakan


sekitar 85.707 km2 yang terdiri dari 50.223 km2 terumbu penghalang,

19.540 km2 terumbu cincin (atol), 14.542 km 2 terumbu tepi, dan 1.402 km2

Oceanic platform reef (Tomascik et al., 1997 dalam Kordi, 2010). Luas

terumbu karang Indonesia mewakili 18% dari total luas terumbu karang

yang ada di dunia (Dahuri, 2003 dalam Kordi, 2010), sedangkan terumbu

tepi (fringing reef) yang terdapat di seluruh kawasan Asia Tenggara

meliputi 30% dari wilayah terumbu karang dunia (Romimohtarto dan

Juwana, 2001 dalam Kordi, 2010). Dari luas tersebut, diperkirakan hanya

sekitar 7% terumbu karang kondisinya masih sangat baik, sedangkan 33%

dalam kondisi baik, 46% rusak, dan 15% lainnya sudah kritis (Kordi,

2010). Menurut English et al. (1997) dalam Zewanto et al., (2017) bahwa

perhitungan persentase tutupan karang (Percent of Cover) bagi masing-

masing kategori pertumbuhan karang hidup dengan cara

membandingkan panjang total setiap kategori dengan panjang transek

total menggunakan persamaan berikut :

Dengan kriteria angka menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup

No. 47 Tahun 2001 sebagai berikut : Karang rusak = 0-24.9% 2. Karang

sedang = 25-49.9% 3. Karang baik =50-74.9% 4. Karang sangat baik = 75-

100% (Zamani, 2015).

Di Indonesia, spesies karang yang paling banyak atau paling

beragam terdapat di kawasan Maluku dan Sulawesi, dan makin ke arah


timur Indonesia atau ke arah barat Indonesia keanekaragamannya makin

berkurang. Di kawasan barat Indonesia, terutama di pantai barat

Sumatera dari Pulau Simuelue di bagian utara sampai Pulau Enggano di

bagian selatan banyak ditemukan spesies Porites dan Goniastrea. Di daerah

rataan terumbu (reef flat) dengan substrat dasar lunak jenis koral yang

dominan adalah Acropora dan Montipora (Suharsono, 1998 dalam Kordi,

2010).

2.3. Faktor Pembatas Karang

Secara umum menurut Giyanto et al., (2017) sebaran terumbu

karang tidak merata oleh karena adanya faktor pembatas atau faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang yaitu:

a) Suhu

Karang dapat hidup pada suhu perairan di atas 18℃. Suhu ideal

untuk pertumbuhan karang berkisar antara 27-29℃. Adanya kenaikan

suhu air laut di atas suhu normalnya, akan menyebabkan pemutihan

karang (coral bleaching) sehingga warna karang menjadi putih.

b) Cahaya Matahari

Karang hidup bersimbiosis dengan alga zooxanthellae, yang hidup di

dalam jaringan karang sehingga memerlukan cahaya matahari untuk

proses fotosintesis. Oleh karena itu, karang sulit tumbuh dan berkembang

pada kedalaman dimana penetrasi cahaya sangat kurang, biasanya pada

kedalaman lebih dari 50 m.

c) Salinitas
Salinitas ideal bagi pertumbuhan adalah berkisar antara 30-36‰. Air

tawar dengan salinitas rendah dapat membunuh karang. Oleh karena itu

karang tidak dijumpai di sungai ataupun muara sungai yang memiliki

salinitas yang rendah.


d) Sedimen

Butiran sedimen dapat menutupi polip karang, dan bila berlangsung

lama bisa menyebabkan kematian karang. Oleh karena itu, karang tidak

dijumpai pada perairan yang tingkat sedimentasinya tinggi.

e) Kualitas Perairan

Perairan yang tercemar, baik yang diakibatkan karena limbah

industri maupun rumah tangga (domestik) akan mengganggu

pertumbuhan dan perkembangan karang. Perairan dapat saja menjadi

keruh dan kotor karena limbah pencemar, ataupun penuh dengan

sampah. Bahan pencemar tentu saja akan berpengaruh langsung terhadap

pertumbuhan karang, sedangkan perairan yang keruh dapat menghambat

penetrasi cahaya ke dasar perairan sehingga mengganggu proses

fotosintesis pada zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dengan karang.

f) Arus dan sirkulasi air

Arus dan sirkulasi air diperlukan dalam penyuplaian makanan

yang diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dan suplai oksigen

dari laut lepas. Selain itu, arus dan sirkulasi air juga berperan dalam

proses pembersihan dari endapan material yang menempel pada pada

polip karang. Tempat dengan arus dan ombak yang tidak terlalu besar

merupakan tempat yang ideal untuk pertumbuhan karang. Tempat

dengan arus dan ombak yang besar dapat mengganggu pertumbuhan

karang, misalnya pada daerah-daerah terbuka yang langsung menghadap

ke laut lepas, dengan ombak yang selalu besar sepanjang masa.


g) Substrat

Larva karang yang disebut planula memerlukan substrat yang keras

dan stabil untuk menempel, hingga tumbuh menjadi karang dewasa.

Substrat yang labil, seperti pasir akan sulit bagi planula untuk menempel.

Gambar 1. Faktor Pembatas Terumbu Karang (Giyanto et al., 2017)


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kondisi Terumbu Karang di Indonesia

Secara umum, kondisi terkini terumbu karang di Indonesia sedikit

mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Menururt Hadi et al., (2018) total 1067 site, terumbu kategori jelek

sebanyak 386 site (36.18%), terumbu kategori cukup sebanyak 366 site

(34.3%), terumbu kategori baik sebanyak 245 site (22.96%) dan kategori

sangat baik sebesar 70 site (6.56%) hal ini dapat dilihat di bawah ini :

Gambar 2. Peta persebaran dan kondisi terumbu karang Indonesia


Hal ini didukung dengan data persentase tutupan karang yang

didapat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dari tahun ke tahun

sebagai berikut :

Gambar 3. Tren perubahan kategori tutupan karang

Secara umum, trend kondisi tutupan karang hidup secara global

mengalami penurunan utamanya karena pemanasan suhu permukaan air

laut sehingga terjadi fenomena bleaching. Di Indonesia fenomena bleaching

terakhir terjadi pada tahun 2015 dan 2016. Meskipun demikian, tidak

semua wilayah Indonesia terkena bleaching yang parah (Hadi et al,. 2018).

3.1.1 Kondisi Terumbu Karang di Indonesia Timur

Berdasarkan data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

jumlah genera karang paling banyak di temukan di daerah timur

Indonesia, seperti Sulawesi, Maluku, Halmahera, Papua Barat, Nusa


Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Wilayah ini dikenal sebagai

kawasan segitiga terumbu karang dunia (coral triangle) yang merupakan

pusat biodiversitas karang batu tertinggi di dunia. Salah wilayah

Indonesia bagian timur yang terkenal adalah Kepulauan Raja Ampat.

Daerah ini terkenal akan kekayaan hayati terutama karangnya yang

berjumlah 1.074 spesies. Hamparan terumbu karang di wilayah

Kepulauan Raja Ampat umumnya relatif baik dan sehat. Di beberapa

lokasi bahkan masih ditemukan tutupan karang mencapai 70%, namun

secara menyeluruh tutupan karangnya bernilai sedang yaitu 33%

(Widayatun dan Augustina, 2011). Tidak jauh berbeda dengan daerah di

kabupaten Wakatobi, keanaekaragaman terumbu karang yang dimiliki

oleh kabupaten ini sekitar 750 jenis. Pada tahun 2003 survei yang

dilakukan oleh REA, kondisi karang yang ada masih bernilai baik, namun

pada tahun 2006 survei menurut LIPI menyatakan nilainya menjadi

sedang yang berarti ada penurunan. Nilai persentase tutupan karang

mulai dari 27% sampai yang tertinggi di angka 44%(Hindayati et at., 2011).

Di daerah Biak pun mengalami hal yang tidak jauh berbeda dari

kabupaten Wakatobi dan Kepulauan Raja Ampat. Kabupaten Biak

memiliki kekayaan hayati terumbu karang yang lumayan tinggi. Sama

halnya dengan daerah timur lain terumbu karang di Biak mengalami

penurunan akibat adanya kegiatan manusia seperti menggunakan bom

saat mencari ikan. Pada tahun 2006, kondisi perairan di biak cenderung

rusak dimana nilai persentase hanya sekitar 2,1-35,80 persen saja


(Romdiati dan Sri, 2011).

3.1.2

Anda mungkin juga menyukai