Anda di halaman 1dari 4

Nama : Mustika Sari

NIM : K1A121016

Mangrove dan Terumbu Karang Kekayaan Bahari Indonesia

Indonesia beruntung punya etalase hutan lengkap mulai dari pantai hingga hutan
hujan dataran tinggi. Hutan mangrove maupun terumbu karang menyimpan harta karun
keanekaragaman hayati, yang menjadi pilar perekonomian negeri. Kedua ekosistem ini
bukan hanya bernilai ekonomi, namun juga menjadi naungan bagi makhluk yang hidup
di dalamnya, melangsungkan interaksi, melalui siklus kehidupan. Selain itu baik hutan
mangrove maupun terumbu karang berperan dalam penurunan polusi lingkungan. Maka
sungguh betapa kayanya Indonesia yang menempati peringkat teratas populasi
mangrove dan terumbu karang dunia.

Tentunya kita tidak asing lagi dengan istilah mangrove. Selama ini kita tahu
bahwa mangrove identik dengan tanaman bakau (Rhizophora spp.), sehingga sering
disebut sebagai hutan bakau. Pemahaman ini tak sepenuhnya salah karena Rhizophora
spp. paling mudah dan banyak ditanami oleh masyarakat. Namun Rhizopora spp.
mampu bertahan hidup sepanjang habitatnya tidak digenangi air laut sepanjang hari.
Mengapa? Menurut Bengen (2002), jenis-jenis hutan mangrove di Indonesia bila
dirunut dari arah laut ke arah daratan dibagi menjadi empat zona, yaitu Zona Api-Api –
Prepat (Avicennia-Sonneratia), Zona Bakau (Rhizophora), Zona Tanjang (Bruguiera),
dan Zona Nipah (Nypa fructicant). Jadi Rhizophora spp. masuk ke zona yang kedua,
yang tidak mampu hidup dengan kadar salinitas yang terlalu tinggi. Tumbuhan
mangrove yang berada di empat zona ini berinteraksi dengan komponen biotik maupun
abiotik untuk membentuk ekosistem mangrove.

Menurut Jayatissa dkk. (2002), tanpa kehadiran tumbuhan mangrove, kawasan


tersebut tidak dapat disebut sebagai ekosistem mangrove. Perlu diketahui bahwa
mangrove memang hidup di garis pantai, namun tidak semua pantai memiliki
mangrove. Hal ini bergantung pada kondisi topografi dan salinitas pantai. Kondisi
salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Mengutip Noor dkk. (2006),
berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda, ada yang
secara selektif menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, ada pula yang
mampu mengeluarkan garam melalui kelenjar khusus pada daunnya.

Ekosistem mangrove memberi banyak manfaat karena produktivitasnya yang


tinggi dan kemampuannya dalam memelihara alam. Ekosistem ini menjadi rumah bagi
keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna, seperti ikan, kepiting, udang, kerang,
dll, yang memiliki nilai ekonomi. Jenis ikan yang ada adalah ikan tembakul
(timpakul/gelodok) dari genus Periophthalmus dan Periophthalmodon, Salah satu
spesies tembakul berukuran besar (giant mudskipper) adalah Periophthalmodon
schlosseri yang memiliki panjang rerata 25 cm, yang terbesar mampu mencapai 50 cm.
Selain ikan tembakul, ada ikan sumpit-sumpit (Toxotes chatareus), ikan utik (Arius
maculatus dan Arius microcephalus), ikan bandang (Chanos chanos), ikan merah
(Lutjanus argentimaculatus), ikan kerapu dari genus Epinephelus, dan ikan siakap
(Lates calcarifer). Terdapat pula kepiting bakau (Scylla spp.) di antaranya S. serrata, S.
tranquebarica, S. pararamosain, dan S. olivacea dikutip dari Keenan dkk. (1998).
Menurut Fujaya dkk. (2001), kepiting bakau merupakan kepiting niaga yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan, karena dagingnya enak dan mudah dicerna
serta memiliki kandungan protein yang tinggi (62,72%).

Yang tak kalah menarik adalah kerang kepah (Polymesoda erosa) dan kerang
lokan (Polymesoda expansa), yang diminati dan menjadi sumber mata pencaharian
masyarakat setempat. Ada pula kerang darah (Anadara granosa), kerang hijau atau
kupang (Perna viridis), tiram (Saccostrea sp.), dan kerang mutiara (Pinctada maxima)
yang diternak secara komersial. Kemudian jenis udang seperti udang vaname
(Litopenaeus vannamei), udang windu (Panaeus monodon), dan udang putih (Panaeus
merguensis) merupakan jenis udang alternatif yang dibudidayakan di Indonesia.
Mengutip Amira dkk. (2013) udang vaname tergolong mudah dibudidayakan sehingga
banyak diupayakan para petambak udang tanah air dalam beberapa tahun terakhir ini.

Selanjutnya mengenai terumbu karang (coral reef), yang pastinya tidak asing
bagi kita karena keindahannya. Sebenarnya terumbu karang adalah endapan masif
kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh hewan karang dari genus Cnidaria
yang bersimbiosis dengan Zooxanthella. Terumbu karang merupakan rumah bagi
sebagian besar varietas hewan dan tumbuhan laut. Termasuk di antaranya ikan (hiu,
kerapu, clown fish, dll), Mollusca (ubur-ubur, nudibranch, cumi, sotong, gurita, dll.),
penyu, ular laut, berbagai jenis alga, sponge, Crustacea (kepiting, udang, dll.), jenis
kecil phyto-zooplankton, dan sebagainya. Ekosistem terumbu karang ini menyokong
kehidupan berbagai spesies yang mendiaminya. Tak ayal terumbu karang juga dikenal
sebagai pusat marine biodiversity. Bukan hanya itu saja, terumbu karang juga
berpotensi mendukung perekonomian masyarakat pesisir di bidang ekowisata bahari,
seperti menikmati pantai hingga kegiatan bawah air (snorkeling, scuba diving,
underwater gear),

Namun penyebaran terumbu karang di Indonesia tidaklah merata. Hal ini karena
keadaan tiap lokasi berbeda, tergantung variasi habitat, ketersediaan substrat,
sedimentasi, dan kondisi hidrodinamika perairan. Secara umum jumlah genera karang
paling banyak ditemukan di Indonesia Timur, seperti Sulawesi, Maluku, Halmahera,
Papua Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Wilayah ini
terkenal dengan istilah Segitiga Terumbu Karang Dunia. Betapa mengagumkannya
kekayaan bahari negeri ini.

Terlepas dari betapa kaya dan bermanfaatnya ekosistem terumbu karang


Indonesia, sebagian besar mengalami degradasi dan memasuki kondisi yang
mengkhawatirkan. Faktor alam seperti fenomena bleaching, tsunami, gempa Bumi
maupun faktor antropogenik seperti penggunaan potasium dan peralatan yang bersifat
destruktif, overfishing, dan aktivitas turis yang tidak bersahabat menjadi ancaman.
Menurut Dsikowitzky dkk. (2016), laju dan tingkat kerusakan terumbu karang di
banyak negara berkembang termasuk Indonesia lebih banyak karena aktivitas manusia
dibandingkan global warming. Sungguh perlu kesadaran, pemahaman, dan upaya untuk
menjaga kelestarian alam. Jika bukan kita yang bertindak, lalu siapa? Nature depens on
human actions, if we wanna make the Earth a better place, than save nature.

Terakhir namun bukan akhir, baik mangrove maupun terumbu karang memiliki
ciri khasnya tersendiri. Berbagai spesies mendiaminya, saling berinteraksi, saling
mempengaruhi. Indonesia yang kaya akan keduanya, memiliki potensi ekonomi yang
besar, yang patut dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Pemanfaatannya tentunya
mesti menjaga kelestarian alam.
Daftar Pustaka

Apri, Arisandi, dkk. 2018. Profil Terumbu Karang Pulau Kangean, Kabupaten
Sumenep, Indonesia. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 10(2), 77.
Hadi, Tri Aryono, dkk. 2017. Status Terumbu Karang Indonesia 2018. Jakarta: Pusat
Penelitian Oseanografi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Hidayaturrahmah & Muhamat. 2013. Habitat Ikan Timpakul (Periophthalmodon
Schlosseri) di Muara Sungai Barito. EnviroScienteae 9, 136.
Majapun, Richard, dkk. 2010. Kepelbagaian Fauna yang Terdapat di Hutan Paya
Bakau, Sabah. Pusat Penyelidikan Perhutanan, Jabatan Perhutanan Sabah.
Martuti Tri Karida, Nana, dkk. 2019. Ekosistem Mangrove (Keanekaragaman,
Fitoremidiasi, Stok Karbon, Peran dan Pengelolaan). Semarang: Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Negeri Semarang.
Pratiwi, Rianta. 2011. Biologi Kepiting Bakau (Scyalla spp.) di Perairan Indonesia.
Oseana, 16(1), 2-4.
Purnamasari, Indah, dkk. 2017. Pertumbuhan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
di Tambak Intensif. Jurnal Enggano, 2(1), 58-59.
Rizal, Anwar, dkk. 2021. Sebaran dan Kondisi Terumbu Karang di Kepulauan
Kangean. Jurnal Kelautan Nasional, 16(3), 236.
Susetyo, Dwi Pramono. 2021. Pentingnya Rehabilitasi Mangrove. Diakses pada 17
September 2022 di https://www.forestdigest.com/detail/1479/kondisi-
terumbu karang

Anda mungkin juga menyukai