Anda di halaman 1dari 6

POTENSI, PERMASALAHAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU

KARANG

Pendahuluan
Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki
sumberdaya alam hayati laut yang sangat potensial. Salah satunya adalah sumberdaya
terumbu karang yang hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia. Berdasarkan hasil
penelitian pada tahun 1998, luas terumbu karang Indonesia adalah 42.000 km2 atau 16,5 dari
luasan terumbu karang dunia yaitu seluas 255.300 km2. Dengan estimasi di atas Indonesia
menduduki peringkat terluas ke 2 di dunia setelah Australia, yang mempunyai luasan
terumbu karang sebesar 48.000 km2. (Sariah, Sari Hidayani, 2017)
Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki sosial-ekonomis
dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang
mata pencahariannya bergantung pada perikanan laut dangkal (nelayan tradisional). Selain itu
terumbu karang juga memiliki banyak fungsi ekologis antara lain sebagai habitat (tempat
tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery
ground), tempat pemijahan (spawning ground) sebagai pemikat (attractant) organisme laut
untuk meningkatkan efisiensi penangkapan, dan menjaga keseimbangan siklus rantai
makanan. Fungsi ekologis lainnya yaitu mencegah rusaknya ekosistem pantai lain seperti
padang lamun dan mangrove. Namun terumbu karang termasuk ekosistem yang rentan
terhadap perubahan lingkungan perairan baik yang disebabkan oleh faktor alami seperti
gempa bumi, badai, tsunami, pemangsaan, pemanasan global dan pengaruh perubahan iklim
lainnya, maupun oleh faktor manusia (Suryatini & Rai, 2020).
Di Indonesia, kerusakan ekosistem terumbu karang sebagian besar disebabkan oleh
aktivitas manusia seperti penambangan batu karang, penangkapan ikan menggunakan bahan
peledak, zat beracun dan alat tangkap yang pengoperasiannya merusak terumbu karang,
pencemaran perairan oleh limbah domestik, pertanian dan industri dari kegiatan di darat (land
base activities), maupun di laut (marine base activities), siltasi dan sedimentasi akibat erosi
tanah di daratan, penambangan, abrasi dan reklamasi pantai di sekitar terumbu karang
(Dahuri dalam Ayyub et al., 2018). Oleh karena itu diperlukan adanya pencegahan dan
perlindungan terumbu karang terhadap kerusakan yang disebabkan oleh banyak faktor
tersebut.

Potensi terumbu karang


Ekosistem terumbu karang adalah sistem akuatik kompleks yang secara struktural
terdiri dari karang scleractinian. Terumbu karang menjadi rumah bagi beragam kombinasi
organisme selain itu terumbu karang juga menawarkan banyak manfaat kepada penduduk di
sekitarnya. Setiap terumbu karang terdiri dari beberapa unit dasar – polip - bahwa selama
periode waktu yang besar berkembang menjadi ekosistem terumbu karang besar yang sering
bertindak sebagai hal yang menarik untuk pariwisata (Thampi et al., 2018).

Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan
yang tinggi. Salah satu jasa lingkungan yang dimiliki adalah keindahan terumbu karang. Jasa
ekosistem yang ada diterumbu karang salah satunya adalah dalam bentuk kegiatan wisata
bahari. Kegiatan wisata bahari yang berkelanjutan sangat penting untuk diterapkan di
ekosistem terumbu karang, untuk itu konsep wisata bahari yang cocok adalah konsep
ekowisata. Ekowisata bahari merupakan sebuah konsep pemanfaatan sumberdaya alam
pesisir secara berkelanjutan dengan mengutamakan layanan jasa sebagai objek wisata (Idris
et al., 2019)
Sebagai salah satu ekosistem utama di kawasan pesisir, secara fisik terumbu karang
memiliki peran sebagai pelindung pantai dari hempasan arus dan gelombang. Secara ekologis
memiliki peran sebagai habitat bagi berbagai biota laut untuk tempat berlindung, mencari
makan, untuk spawning dan nursery ground. Selain itu, dengan keelokan dan keindahannya,
terumbu karang dapat menjadi salah satu objek daya tarik wisata bahari. Pemanfaatan
terumbu karang merupakan salah satu jasa-jasa lingkungan dalam bentuk wisata bahari,
seperti diving (menyelam) dan snorkeling. Diving (menyelam) dan snorkeling merupakan
bentuk wisata bahari yang sangat digemari di ekosistem terumbu karang (Zulfikar, et all.,
2009). Terumbu karang adalah ekosistem utama perairan laut tropis dengan kehadiran yang
menonjol di perairan pesisir dan pulaupulau kecil wilayah Republik Indonesia. Luas terumbu
karang Indonesia mencapai 58.707 km2, dimana sekitar 70% adalah terumbu karang tepi,
20% terumbu penghalang, 2,5% atol dan 7,5% Patch Reef (Rajab, 2020)

Permasalahan terumbu karang


Terumbu Karang menjadi pondasi atau dasar bagi komunitas kehidupan laut yang
dinamis dan amat beragam. Sedangkan karang merupakan sebagian makhluk pembentuk
terumbu, selebihnya adalah organisme yang lain. Ekosistem terumbu karang mempunyai
manfaat yang bermacam-macam, yaitu sebagai digunakan sebagai bahan obat-obatan,
dimanfaatkan sebagai objek wisata bahari dan sebagai penahan gelombang untuk melindungi
pantai dari bahaya abrasi (Trimirza et al., 2021).
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa penurunan kualitas lingkungan perairan
sangat berperan terhadap munculnya agent atau mikroorganisme pembawa patogen terhadap
karang sehingga dapat mengakibatkan kerusakan pada habitas karang. Penyakit karang
adalah salah satu bentuk permasalahan karang berupa gangguan terhadap kesehatan karang
yang menyebabkan gangguan secara fisiologis bagi biota karang, Penyakit karang
menyebabkan kegagalan fungsi vital hewan karang, organ atau sistem organ, terganggunya
proses pertumbuhan dan perkembangbiakan, gangguan dalam proses reproduksi, perubahan
struktur komunitas, penurunan keanekaragaman spesies dan kelimpahan asosiasi hewan laut
di terumbu karang (Riska et al., 2019).
Penyebabnya bisa berasal dari sumber biotik atau abiotik. Hal ini ditandai dengan
adanya perubahan warna, kerusakan pada skeleton biota karang, sampai dengan kehilangan
jaringannya, mengalami luka atau perbedaan band dari jaringan karang yang hilang. Hal ini
dapat disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa atau jamur (Riska et al., 2019). Salah satu
penyakit karang yang umumnya terjadi adalah penyakit pita hitam atau BBD yaitu penyakit
yang disebabkan oleh konsorsium patogen bakteri yang didominasi oleh spesies
Cyanobacteria (Johan et al., 2015).
Menurut Gardner et al., (2017) peningkatan suhu air laut dapat mengakibatkan
kerusakan sel apda terumbu karang sehingga menimbulkan kasus pemutihan karang. John
Nevill, sebagaimana dikutip oleh Emmy Latifah, menyatakan terdapat lima hal yang
mengancam kehidupan dan keberlangsungan ekosistem perairan, yaitu: (Latifah & Imanullah,
2018)
1. climate change as a result of rising carbon dioxide level at atmosphere, as well as
impacts from damage to the ozone layer;
2. overfishing with attendant bycatch problems, both from industrial fishing, recreational
fishing, illegal, unregulated, and unreported fishing (IUU), and ghost fishing;
3. habitat damage, including destruction of coral reefs, mangroves, natural freshwater
flows (and passage), coastal foreshores, coastal wetlands, which largely caused by
fishing gear (bottom trawling);
4. pollution: including nutrients, sediments, plastic litter, noise, hazardous and radioactive
substances; discarded fishing gear, microbial pollution, and trace chemicals such as
carcinogens, endocrine- disruptors, and info-disruptors; dan
5. ecosystem alterations caused by the introduction of alien organisms, especially those
transported by vessel ballast water and hull fouling.
Kerusakan (degradasi) ekosistem terumbu karang di Indonesia disebabkan oleh enam
faktor utama, yaitu: penambangan karang (coral mining) untuk keperluan bahan bangunan,
pembuatan jalan, dan bahan hiasan, penggunaan bahan peledak bom, bahan beracun, dan
teknik- teknik destruktif lainnya dalam aktivitas penangkapan ikan di kawasan terumbu
karang, kegiatan wisata bahari yang kurang memperhatikan kelestarian sumber daya alam
laut, pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan-kegiatan ekonomi pembangunan di darat
maupun di laut, sedimentasi akibat pengelolaan lahan atas (upland areas) yang tidak atau
kurang mengindahkan kaidah-kaidah ekologis (pelestarian lingkungan), konservasi kawasan
terumbu karang menjadi kawasan pemukiman, bisnis, industri dan lainnya melalui kegiatan
reklamasi, seperti yang terjadi di manado, lampung dan pantai carita, dan sebab-sebab
alamiah, termasuk pemanasan global yang telah mengakibatkan “coral bleaching" dan
ledakan populasi binatang bulu seribu (acanthaster planci) (Trimirza et al., 2021).
Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Kondisi kesehatan
laut menurun diakibatkan oleh perubahan iklim di dunia. Peningkatan iklim akan
meningkatkan keasaman air laut dimana terumbu karang, sebagai penyedia makanan,
pekerjaan, dan melindungi ratusan juta manusia dari badai akan punah pada tahun 2050. Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2015 menunjukkan bahwa ada 1.259 lokasi
kawasan terumbu karang yang ada di Indonesia terdapat sekitar 30,02% dalam kondisi
kurang (tutupan karang hidup 0-24%); 37,97% mengalami kerusakan dengan kondisi cukup
(tutupan karang hidup 25-49%); 27,01% masih dalam kondisi baik (tutupan karang hidup 50-
74%), dan hanya tinggal 5,00% dalam kondisi sangat baik (tutupan karang hidup 75-10%).
Kerusakan terumbu karang paling parah terjadi di Indonesia bagian timur yaitu 40,29%
dalam kondisi kurang, upaya pemulihan perlu dilakukan untuk menanggulangi kerusakan
lebih besar (Trimirza et al., 2021).
Pengelolaan ekosistem terumbu karang
Terumbu karang dapat tumbuh subur di bergbagai lingkungan mulai dari lingkungan
dengan gelombang rendah hingga dengan daerah dengan gelombang tinggi, namun tetap
memperhatikan keadaan substrat yang cocok dalam penelitian yang dilakukan oleh (Hennige
et al., 2017) ditemukan bahwa sebagian kecil jenis terumbu karang dapat membentuk habitat
yang stabil bagi kelangsungan hidup karang itu sendiri meskipun lingkungan substrat yang
dihuni kurang baik bagi pertumbuhan karang dengan cara mengeksplorasi peran ekologis
yang ada.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Ayyub et al., 2018) Pengelolaan terumbu karang
dapat menggunakan Rencana strategi dengan metode A-WOT. Metode tersebut merupakan
gabungan antara AHP dengan SWOT. Penentuan faktor internal (kekuatan – kelemahan) dan
faktor eksternal (peluang – ancaman) dilakukan dengan metode Rapid Rural Appraisal
(RRA) melalui teknik wawancara mendalam dan pengisian kuisioner terhadap responden
nelayan, aparatur pemerintah, akademisi dan LSM. Rencana strategi yang dihasilkan dari
analisis SWOT kemudian dilanjutkan dengan analisis AHP. Tujuan dari analisis ini untuk
menentukan prioritas rencana strategi yang terbaik berdasarkan kerangka AHP yang
dibangun.
Perlu diketahui bahwa aset utama untuk pertumbuhan karang adalah ganggang
zooxanthellae. Untuk memperoleh nutrisi, karang mengeluarkan sinyal kimia yang
menyebabkan ganggang zooxanthellae di jaringan karang melepaskan senyawa organik yang
dibuat selama proses fotosintetis. Sebagai imbalannya, zooxanthellae memperoleh nutrisi
seperti nitrogen dalam kepadatan yang lebih tinggi melalui kotoran karang. Siklus umpan
balik bersama ini meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kedua spesies (Thampi et
al., 2018).
Jika dikaitkan dengan pertimbangan-pertimbangan diatas maka, bentuk-bentuk
pengelolaan ekosistem terumbu karang adalah sebagai berikut (Tinumbia et al., 2016) :

1. Mengkonservasi Kawasan Ekosistem Terumbu Karang dengan menetapkan zona-zona


terkait kegiatan konservasi dan melakukan pengawasan secara rutin serta berkoordinasi
dengan pihak-pihak terkait baik dari kelembagaan masyarakat hingga akademisi dan
praktisi wisata.
2. Mengembangkan Marikultur atau budidaya laut. Hal ini bertujuan mengendalikan
penangkapan ikan oleh masyarakat menggunakan bom dan racun sianida yang dapat
merusak terumbu karang dibawahnya. Wadah budidaya ini dapat menggunakan Keramba
Jaring Apung (KJA) dan hampang/pagar keliling berupa tali dan pelampung atau
menggunakan rakit untuk skala yang lebih kecil.
3. Restocking/Marine Ranching yaitu mengisi kembali biota laut yang terancam punah pada
suatu perairan dengan terlebih dahulu dibudidayakan dalam kolam budidaya khusus.
Metode ini dapat pula digunakan untuk biota laut bernilai ekonomis seperti beberapa
jenis ikan karang, udang, rumput laut dan kerang. Biota laut yang di isi kembali,
dibiarkan hidup bebas sehingga siklus nutrien alami ekosistem tersebut kembali pulih.
4. Pembuatan Struktur karang buatan yang menyerupai terumbu karang. Selain sebagai
tempat hidup biota laut, struktur ini dapat meredam hempasan gelombang laut dan lama-
kelamaan akan ditumbuhi oleh hewan karang sehingga akan terbentuk ekosistem baru
pada tempat diletakkan.
5. Mentransplantasi Hewan Karang. Secara konvensional, dilakukan dengan memotong
bagian-bagian hewan karang dan diletakkan pada bidang keras. Setelah itu, struktur ini
diletakkan di perairan yang diinginkan agar luasan tutupan karang dapat bertambah lebar.
Dapat pula menggunakan metode BIOROCK dengan mengalirkan listrik bertegangan
rendah pada media transplantasi sehingga terbentuk struktur kapur akibat reaksi kimia
dengan air laut. Hal ini dapat mempercepat pertumbuhan karang hingga 2-10 kali lipat
dibandingkan metode konvensional.
6. Pembangunan kawasan lindung laut untuk karang yang memanfaatkan jaringan aquaria
publik dunia dan ilmuwan terumbu karang. Aquaria publik akan berfungsi tidak hanya
sebagai reservoir untuk tujuan konservasi, restorasi, dan penelitian karang bangunan
terumbu karang tetapi juga sebagai laboratorium untuk pelaksanaan operasi untuk
pemilihan genotipe yang lebih tahan terhadap ancaman kerusakan terumbu karang
(Zoccola et al., 2020).

Kesimpulan
Secara fisik terumbu karang memiliki peran sebagai pelindung pantai dari hempasan
arus dan gelombang. Secara ekologis memiliki peran sebagai habitat bagi berbagai biota laut
untuk tempat berlindung, mencari makan, untuk spawning dan nursery ground. Selain itu,
dengan keelokan dan keindahannya, terumbu karang dapat menjadi salah satu objek daya
tarik wisata bahari.
Pengelolaan terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
Mengkonservasi Kawasan Ekosistem Terumbu Karang, Mengembangkan Marikultur atau
budidaya laut, Restocking/Marine Ranching, Pembuatan Struktur karang buatan yang
menyerupai terumbu karang, Mentransplantasi Hewan Karang dan Pembangunan kawasan
lindung laut.
Kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia disebabkan oleh enam faktor utama,
yaitu: penambangan karang (coral mining), kegiatan wisata bahari yang kurang
memperhatikan kelestarian sumber daya alam laut, pencemaran, baik yang berasal dari
kegiatan-kegiatan ekonomi pembangunan di darat maupun di laut, sedimentasi akibat
pengelolaan lahan atas (upland areas) yang tidak atau kurang mengindahkan kaidah-kaidah
ekologis (pelestarian lingkungan), konservasi kawasan terumbu karang menjadi kawasan
pemukiman, bisnis, industri dan lainnya melalui kegiatan reklamasi, seperti yang terjadi di
manado, lampung dan pantai carita, dan sebab-sebab alamiah, termasuk pemanasan global
yang telah mengakibatkan “coral bleaching" dan ledakan populasi binatang bulu seribu
(acanthaster planci)

Daftar pustaka
Ayyub, F. R., Rauf, A., & Asni, A. (2018). Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang
Di Wilayah Pesisir Kabupaten Luwu Timur. Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, 1,
56. https://doi.org/10.26858/jptp.v1i0.6233
Gardner, S. G., Raina, J. B., Nitschke, M. R., Nielsen, D. A., Stat, M., Motti, C. A., Ralph, P.
J., & Petrou, K. (2017). A multi-trait systems approach reveals a response cascade to
bleaching in corals. BMC Biology, 15(1), 117. https://doi.org/10.1186/s12915-017-0459-
2
Hennige, S. J., Burdett, H. L., Perna, G., Tudhope, A. W., & Kamenos, N. A. (2017). The
potential for coral reef establishment through free-living stabilization. Scientific Reports,
7(1), 1–7. https://doi.org/10.1038/s41598-017-13668-7
Idris, Prastowo, M., & Rahmat, B. (2019). Condition Of Coral Reefs In Dive Sites And Non
Dive Sites In Maratua Island , East Kalimantan. Prosiding Semirata, 59–70.
Johan, O., Bengen, D. G., Zamani, N. P., Suharsono, & Sweet, M. J. (2015). The Distribution
and Abundance of Black Band Disease and White Syndrome in Kepulauan Seribu,
Indonesia. HAYATI Journal of Biosciences, 22(3), 105–112.
https://doi.org/10.1016/j.hjb.2015.09.001
Latifah, E., & Imanullah, M. N. (2018). Applying Precautionary Principle in Fisheries
Management. Jambe Law Journal, 1(1), 13–34. https://doi.org/10.22437/jlj.1.1.13-34
Rajab, M. A. (2020). Potensi terumbu karang pulau liukang loe untuk pengembangan wisata
selam. Jurnal Ilmiah Pariwisata Dan Perhotelan, 3(1). https://jurnal.akparda.ac.id/
Riska, R., Lalang, L., Kamur, S., Wahab, I., & Maharani, M. (2019). Identifikasi Penyakit
Dan Gangguan Kesehatan Terumbu Karang Di Perairan Desa Langgapulu Konawe
Selatan Sulawesi Tenggara. Jurnal Laot Ilmu Kelautan, 1(2), 63.
https://doi.org/10.35308/jlaot.v1i2.2320
Sariah, Sari Hidayani. (2017). Resiliensi Terumbu Karang Dalam Perspektif Ekologi Sebagai
Instrumen Konservasi. Jurnal Biologi Tropis, 17(2), 15–27.
https://doi.org/10.29303/jbt.v17i2.402
Suryatini, K. Y., & Rai, I. G. A. (2020). Potensi Pemulihan Ekosistem Terumbu Karang :
Dampak Positif Pandemi Covid-19 Terhadap Potential for Recovery of Coral Reef
Ecosystem : Positive Impact of The Covid-19 Pandemic on The Environment. IX, 206–
215.
Thampi, V. A., Anand, M., & Bauch, C. T. (2018). Socio-ecological dynamics of Caribbean
coral reef ecosystems and conservation opinion propagation. Scientific Reports, 8(1), 1–
11. https://doi.org/10.1038/s41598-018-20341-0
Tinumbia, R. P., Nugroho, A. M., & Ramdlani, S. (2016). Penerapan Prinsip Ekowisata pada
Perancangan Fasilitas Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Gili Trawangan.
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur, 4(1).
http://arsitektur.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jma/article/view/187
Trimirza, M., Ramlan, & Harahap, R. R. (2021). Perlindungan Terumbu Karang Menurut
UNCLOS 1982 (Studi Kasus Kerusakan Terumbu Karang oleh Kapal Pesiar M.V.
Caledonian Sky di Raja Ampat). Journal of International Law, 2(1), 106–130.
Zoccola, D., Ounais, N., Barthelemy, D., Calcagno, R., Gaill, F., Henard, S., Hoegh-
Guldberg, O., Janse, M., Jaubert, J., Putnam, H., Salvat, B., Voolstra, C. R., &
Allemand, D. (2020). The world coral conservatory: A Noah’s ark for corals to support
survival of reef ecosystems. PLoS Biology, 18(9), 1–13.
https://doi.org/10.1371/journal.pbio.3000823

Anda mungkin juga menyukai