Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PERTANIAN TERPADU

BUDIDAYA BAKAU-UDANG SECARA TERPADU: POTENSI


DALAM PENANGKAPAN KARBON BIRU

Disusun oleh :
Amalia Fadhila Ramadhani A1D016217
Dewi Indah Sari A1D016224
Ficka Noviana A1D116007

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Budidaya udang saat ini semakin berkembang pesat karena udang

merupakan produk laut yang paling banyak diperdagangkan kedua setelah salmon.

Akan tetapi, budidaya udang ternyata memberikan dampak negatif bagi

ekosistem, keanekaragaman hayati, dan masyarakat. Budidaya udang yang tidak

direncanakan dan tidak diatur menyebabkan dampak buruk pada hutan bakau.

Kehilangan bakau yang cepat di seluruh dunia telah meningkat selama beberapa

dekade terakhir, dan budidaya pantai termasuk budidaya udang adalah salah satu

alasan utama (Thomas et al., 2017). Pesatnya perkembangan budidaya udang

menyebabkan kerusakan luas bakau di sejumlah negara, termasuk Bangladesh,

Brasil, Cina, India, Indonesia, Malaysia, Meksiko, Myanmar, Sri Lanka, Filipina,

Thailand, dan Vietnam (UNEP, 2014). Hilangnya hutan bakau mengancam barang

dan jasa ekosistem karena bakau adalah hutan yang secara ekologis dan ekonomis

penting.

Hutan bakau adalah hutan paling kaya karbon di daerah tropis. Rata-rata,

bakau menyimpan karbon 3-4 kali lebih banyak daripada hutan dataran tinggi

tropis (Donato et al., 2011). Namun, tingkat deforestasi mangrove secara global

jauh lebih tinggi daripada tingkat rata-rata hilangnya hutan global (Thomas et al.,

2017). Emisi karbon biru telah meningkat secara serius dengan hilangnya hutan

bakau.
Karbon biru adalah karbon yang disimpan, diasingkan, dan dilepaskan dari

ekosistem pesisir dan laut, termasuk bakau, rawa-rawa asin, dan lamun (Siikamaki

et al., 2012). Emisi karbon dengan gas rumah kaca lainnya (CH4, N2O) telah

diakui sebagai penyebab dominan perubahan iklim. Oleh karena itu, penting untuk

mengurangi emisi karbon biru dari deforestasi hutan bakau oleh budidaya udang

untuk mengatasi perubahan iklim Mencegah kehilangan bakau dan konservasi

hutan bakau dapat membantu mengurangi emisi karbon biru untuk mitigasi

perubahan iklim (Murdiyarso et al., 2015).

B. Tujuan

Untuk mengetahui cara budidaya bakau-udang secara terpadu untuk

mengurangi perubahan iklim.


II. PEMBAHASAN

Hutan bakau telah menurun sebesar 30-50% selama setengah abad terakhir

(Donato et al., 2011). Lebih dari 3,6 juta ha hutan bakau global (20% dari total

luas hutan bakau) telah hilang sejak 1980 karena pertanian, akuakultur, eksploitasi

berlebihan, pariwisata, dan urbanisasi. Sebanyak 1,89 juta ha (52%) hilang karena

akuakultur pantai, di mana 1,4 juta ha diakibatkan oleh budidaya udang dan 0,49

juta ha disebabkan oleh bentuk-bentuk akuakultur lainnya. Sebagian besar

kehilangan mangrove (1,69 juta ha) berada di Asia dengan budidaya udang

menyumbang 1,2 juta ha deforestasi bakau. Indonesia memiliki laju deforestasi

bakau tertinggi (52.000 ha per tahun) di antara negara-negara penghasil udang

selama periode 1980-2005, dengan total kerugian 40% dari hutan bakau

(Murdiyarso et al., 2015).

Bakau menyimpan karbon dalam tanah, biomassa hidup di atas dan di

bawah tanah, dan biomassa tidak hidup. Bakau memiliki biomassa di atas

permukaan tanah terbesar karena dapat tumbuh hingga ketinggian 40 m. Namun,

lebih dari 80% cadangan karbon biru bakau ada di tanah. Secara global, tanah

bakau mengandung sekitar 5 miliar t karbon biru dalam 1 m kedalaman tanah.

Menebang hutan bakau untuk membuat tambak udang melepaskan sejumlah besar

karbon biru dan menghabiskan fasilitas penyimpanan. Stok karbon biru dari

tambak udang terlantar hanya 11% dari bakau. Stok karbon di atas tanah di

tambak udang adalah 91% lebih sedikit dari hutan bakau yang tidak terganggu

(Kauffman et al., 2017).


Konversi dari hutan bakau ke tambak udang dapat meningkatkan emisi

karbon biru. Emisi karbon biru yang tinggi dengan ekspansi budidaya udang dapat

meningkatkan perubahan iklim. Perubahan iklim dengan deforestasi bakau juga

memiliki efek buruk pada budidaya udang. Dampak perubahan iklim terhadap

produksi udang telah dikaitkan dengan berbagai variabel iklim, termasuk banjir di

pantai, topan, variasi curah hujan, intrusi air asin, kenaikan permukaan laut, dan

suhu permukaan laut (Ahmed et al., 2017).

Budidaya udang bakau terintegrasi dikenal sebagai silvoaquaculture atau

silvofisheries, yang telah diakui sebagai budidaya ramah lingkungan. Silvofishery

adalah sistem pertambakan teknologi tradisional yang menggabungkan antara

usaha perikanan dengan penanaman bakau, yang diikuti konsep pengenalan sistem

pengelolaan dengan meminimalkan input dan mengurangi dampak terhadap

lingkungan (Paruntu et al., 2016). Budidaya udang bakau terpadu adalah bentuk

budidaya berkelanjutan input rendah. Kondisi biofisik yang menguntungkan dari

hutan bakau dapat dimanfaatkan untuk budidaya udang bakau terpadu. Sistem

pertanian ekstensif dan semi intensif biasanya diikuti dalam budidaya udang

bakau terpadu. Peternak menyimpan udang dan benih ikan dari alam melalui

sumber air pasang surut dan tempat penetasan, tetapi mereka tidak menerapkan

pakan dan hampir tidak menggunakan bahan kimia karena mereka bergantung

pada alam. Pemilihan lokasi yang sesuai, vegetasi bakau, spesies pohon bakau,

tipe tanah, kualitas air, air pasang surut dengan fasilitas saluran masuk dan outlet,

dan ekosistem bakau juga dipertimbangkan dalam pertanian terpadu ini (Ahmed et

al., 2017).
Hutan bakau memberi sumbangan berupa bahan organik bagi perairan

sekitarnya. Dengan bantuan mikroorganisme, daun dan ranting bakau yang gugur

diuraikan menjadi makanan bagi hewan laut. Selain itu bahan organik terlarut

yang dihasilkan dari proses dekomposisi dapat menjadi makanan bagi organisme

penyaring (filter feeder) dan hewan pemakan dasar (filter feeded) yang ada di laut.

Sistem perakaran yang ada dan luasnya naungan serta banyaknya bahan organik,

menyebabkan hutan bakau menjadi tempat pemijahan (spawming ground), daerah

asuhan (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding area) bagi berbagai

jenis ikan, udang, dan berbagai jenis kerang. Selain itu, sistem perakaran yang

kekal menyebabkan bakau mampu mereda pengaruh gelombang, menahan

lumpur, dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang, dan angin topan

(Purnamawati et al., 2007).

Guguran daun, biji, batang dan bagian lainnya dari mangrove sering disebut

serasah. Bakau mempunyai peran penting bagi ekologi yang didasarkan atas

produktivitas primernya dan produksi bahan organik berupa serasah, dimana

bahan organik ini merupakan dasar rantai makanan. Serasah dari tumbuhan

mangrove ini akan terdeposit pada dasar perairan dan terakumulasi terus menerus

dan akan menjadi sedimen yang kaya akan unsur hara yang merupakan tempat

yang baik untuk kelangsungan hidup fauna makrobenthos (Ahmed et al., 2017).

Pengembangan kegiatan sylvofishery secara lebih tertata dengan

perbandingan antara hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat

meningkatkan produksi per satuan luas dan hasil tangkapan udang. Harapan

tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hutan di sekitar kolam yang lebih baik
akan meningkatkan kesuburan kolam dengan banyaknya detritus, yang secara

tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi udang. Lebih lanjut, daun

mangrove yang jatuh diduga mengandung alelopaty dapat mengurangi keberadaan

penyakit ikan dalam tambak. Produksi jatuhan serasah di mangrove akan masuk

ke dalam sistem estuari yang menjadi dasar bagijaring-jaring makanan kompleks.

Mangrove penting untuk menyokong kehidupan pantai dan pengurangan

mangrove berakibat pada penurunan hasil panen udang (Paruntu et al., 2016).

Menurut Puspita et al. (2005), terdapat beberapa tipe tambak pada sistem

silvofishery, diantaranya adalah (1) tipe empang parit tradisional, (2) tipe

komplangan, (3) tipe empang terbuka, (4) tipe kao-kao dan (5) tipe tasik rejo.

Kegiatan rehabilitasi dengan pola tersebut tentunya tergantung dari kondisi lahan

yang akan dikonversi, sebab tiap pola memiliki kelebihan dan kekurangan

masing-masing.

Gambar 1. Tipe tambak sistem silvofishery (Puspita et al., 2005)


Keterangan:

A. Pintu air (inlet/outlet).

B. Empang.

C. Saluran air.

D. Pelataran tanaman lain.

Jenis ikan yang biasanya dipelihara dalam sistem ini antara lain udang,

bandeng, mujair, belanak, dan jenis lain seperti kepiting. Disamping hasil ikan

yang dibudidayakan dalam sistem tambak tumpang sari sebagai hasil utama,

petani juga masih dapat memperoleh hasil sampingan dari luar tambak berupa

udang dan ikan (Puspita et al., 2005).

Hasil udang dipengaruhi oleh manajemen tambak, ukuran tambak,

ketersediaan pakan alami (benthos, perifiton, plankton), kualitas air (oksigen

terlarut, pH, transparansi), dan kondisi cuaca (sinar matahari, curah hujan).

Sejumlah faktor mangrove juga mempengaruhi produksi udang, termasuk jenis

mangrove, usia pohon, kerapatan pohon (jumlah pohon per m2),dan daerah

pertanian ditutupi oleh hutan. Praktik pengelolaan yang lebih baik dan

intensifikasi berkelanjutan dapat meningkatkan produktivitas udang dalam

budidaya udang mangrovesh terintegrasi. Selain produksi fisik, produktivitas

sosial ekonomi dan lingkungan dapat dibedakan dalam budidaya udang bakau

terpadu. Produksi udang dengan integrasi bakau secara ekonomi layak karena

mencapai keuntungan yang besar. Budidaya udang bakau terpadu dapat

membantu memenuhi janji ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan tanpa

dampak sosial ekonomi dan lingkungan yang merugikan (Ahmed et al., 2017).
Climate regulation
Climate change mitigation
Environmental benefits

Blue carbon
sequestration

• Organic shrimp Biodiversity conservation


• Ecosystem management Mangrove- C
Mangrove
Ecosystem services
shrimp culture restoration
• Disease resistance Protect climatic effects

Coastal
community

Economic benefits
Social-ecological stability
Climate change adaptation

Gambar 2. Keterkaitan Bakau, Udang, Karbon Biru

Penyerapan karbon biru melalui restorasi bakau oleh budidaya udang bakau

terpadu dapat menawarkan berbagai barang dan jasa ekosistem yang mendukung

adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Restorasi bakau dapat meningkatkan

ketahanan terhadap perubahan iklim karena bakau berperan penting dalam

melindungi daerah dataran rendah dari banjir pantai, siklon, intrusi air laut,

kenaikan permukaan laut, dan erosi garis pantai. Bakau sangat penting untuk

ketahanan terhadap efek iklim pada budidaya udang. Aliran nutrien dari tambak

udang dapat dikurangi oleh hutan bakau untuk mempertahankan kualitas air di

sekitarnya melalui penyaringan nutrisi. Mengurangi beban nutrisi dalam bakau

dapat memaksimalkan penyerapan karbon biru. Mempertahankan ekosistem


mangrove akan meningkatkan jasa ekosistem yang memiliki potensi kuat untuk

meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim dengan menyerap karbon dan

mengurangi emisi gas rumah kaca (Ahmed et al., 2017).


III. KESIMPULAN

Budidaya udang bakau terpadu, juga dikenal sebagai akuakultur organik,

merupakan opsi untuk restorasi mangrove untuk mengkompensasi area mangrove

yang hilang melalui budidaya udang konvensional. Budidaya udang dengan

integrasi bakau adalah mekanisme yang menjanjikan untuk mengurangi emisi

karbon biru. Selain itu, budidaya udang bakau yang terintegrasi dapat membantu

menyerap karbon biru melalui restorasi bakau, yang merupakan aspek penting

untuk mengurangi perubahan iklim.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, N., S. Thompson, M. Glaser. 2017. Integrated mangrove-shrimp


cultivation: Potential for blue carbon sequestration. Royal Swedish Academy
of Sciences.

Donato, D.C., J.B. Kauffman, D. Murdiyarso, S. Kurnianto, M. Stidham, and M.


Kanninen. 2011. Mangroves among the most carbon-rich forests in the
tropics. Nature Geoscience. 4: 293–297.

Kauffman, J.B., V.B. Arifanti, H.H. Trejo, M.C.J. Garcia, J. Norfolk, M.


Cifuentes, D. Hadriyanto, and D. Murdiyarso. 2017. The jumbo carbon
footprint of a shrimp: Carbon losses from mangrove deforestation. Frontiers
in Ecology and the Environment. 15: 183–188.

Murdiyarso, D., J. Purbopuspito, J.B. Kauffman, M.W. Warren, S.D. Sasmito,


D.C. Donato, S. Manuri, H. Krisnawati. 2015. The potential of Indonesian
mangrove forests for global climate change mitigation. Nature Climate
Change. 5: 1089–1092.

Paruntu, C.P., Agung B.W. dan Movrie M. 2016. Mangrove dan pengembangan
silvofishery di wilayah pesisir Desa Arakan Kecamatan Tatapaan Kabupaten
Minahasa Selatan sebagai iptek bagi masrakat. Jurnal LPPM Bidang Sains
dan Teknologi. 3(2):1-25.

Purnamawati, Eko D., Sadri, dan Belvi V. 2007. Manfaat hutan mangrove pada
ekosistem pesisir (studi kasus di Kalimantan Barat). Jurnal Media
Akuakultur. 2(1):156-160.

Puspita L., E. Ratnawati, I N. N. Suryadiputra, & A. A. Meutia. 2005. Lahan


Basah
Buatan di Indonesia. Wetlands Internasional Indonesia Programme, Bogor.

Siikamaki, J., J.N. Sanchirico, S. Jardine, D. McLaughlin, and D.F. Morris. 2012.
Blue carbon: Global options for reducing emissions from the degradation
and development of coastal ecosystems. Resources for the Future,
Washington DC.

Thomas, N., R. Lucas, P. Bunting, A. Hardy, A. Rosenqvist, and M. Simard.


2017. Distribution and drivers of global mangrove forest change, 1996–
2010. PLoS ONE. 12(6): e0179302.

UNEP. 2014. The importance of mangroves to people: A call to action. UNEP


World Conservation Monitoring Centre, Cambridge.

Anda mungkin juga menyukai