A. LATAR BELAKANG
Danau adalah salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif kecil
pada permukaan bumi dibandingkan dengan laut dan daratan. Bagi manusia,
kepentingan danau jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya.
Keberadaan ekosistem danau memberikan fungsi yang menguntungkan bagi
kehidupan manusia (Connell & Miller 1995). Indonesia memiliki lebih dari 700 danau
dengan luas keseluruhan lebih dari 5000 km2 atau sekitar 0,25% luas daratan
Indonesia (Davies et al. 1995).
Danau Maninjau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam,
Sumatera Barat mempunyai peran yang penting bagi kehidupan. Danau ini
mempunyai tiga macam fungsi, yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi. Fungsi ekologi
Danau Maninjau merupakan habitat bagi organisme, mengontrol keseimbangan air
tanah, dan mengontrol iklim mikro. Fungsi sosial antara lain tempat masyarakat untuk
mandi cuci kakus (MCK), dan memberikan pemandangan yang indah. Fungsi ekonomi
sebagai sumber air untuk irigasi, perikanan, budidaya ikan dengan keramba apung
maupun dengan menangkap di perairan danau, pariwisata lokal maupun pariwisata
internasional, dan fungsi ekonomi terbesar adalah sebagai pembangkit tenaga listrik
yang menghasilkan energi rata-rata tahunan sebesar 205 MW.
Perikanan merupakan salah satu sektor penggerak perekonomian bagi
masyarakat yang hidup di sekitar Danau Maninjau. Salah satu bentuk kegiatan
perikanan di Danau Maninjau adalah budidaya perikanan menggunakan Keramba
Jaring Apung (KJA). Keramba Jaring Apung merupakan budidaya perikanan yang
menggunakan jaring sebagai sarana pembiakan. Usaha perikanan ini mulai
dikembangkan di Danau Maninjau mulai dari tahun 1991 dan jumlahnya berkembang
pesat dari tahun ke tahun. Bahkan, penggunaan keramba di Danau Maninjau saat ini
menjadi tidak terkontrol dan sudah melebihi kapasitas yang seharusnya. Dilansir dari
media online bisnis.com pada tahun 2015 yang lalu, dinyatakan bahwa kondisi Danau
Maninjau sudah over capacity, kualitas airnya sudah sangat tercemar karena tidak
adanya pembatasan budidaya ikan keramba sehingga menyebabkan kematian ikan
secara masal.
Kejadian kematian ikan secara masal di Danau Maninjau, Kabupaten Agam,
Sumatera Barat terus berulang dalam setahun belakangan. Catatan pemerintah,
sepanjang tahun 2017 telah terjadi lima kali kejadian kematian ikan dalam jumlah
besar. Total, sebanyak 1.600 ton ikan mati akibat kondisi ekosistem Danau Maninjau
yang tidak lagi seimbang. Kejadian terakhir pada Februari 2018 lalu, 160 ikan
dilaporkan mati di Keramba Jaring Apung (KJA) Danau Maninjau. Ikan-ikan ini mati
keracunan zat amonia yang dihasilkan dari endapan sisa-sisa pakan dan kotoran ikan
(Puspita, 2018).
Perkembangan usaha budidaya ikan dalam keramba jaring apung tentunya
dapat memberikan dampak positif berupa terbentuknya lapangan kerja baru dan
meningkatnya pendapatan dan kehidupan perekonomian masyarakat yang hidup di
sekitar Danau Maninjau. Namun, di sisi lain usaha ini juga telah memberikan dampak
negatif terhadap lingkungan dan ekosistem perairan danau yang tercemar dan bau
busuk yang berasal dari endapan sisa pakan dan kotoran ikan. Selanjutnya,
pencemaran lingkungan ini juga berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi
masyarakat setempat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, melalui makalah ini Penulis akan
menjabarkan dampak sosial ekonomi dan lingkungan yang disebabkan oleh adanya
usaha perikanan dengan menggunakan keramba jaring apung. Selain itu, Penulis juga
akan mengulas beberapa usulan terkait dengan pemanfaatan Danau Maninjau untuk
menanggulangi dampak sosial ekonomi dan lingkungan dari usaha keramba jaring
apung tersebut.
C. KETERANGAN EMPIRIS
Gambaran Umum Keramba Jaring Apung (KJA)
Keramba Jaring Apung (KJA) adalah suatu sarana pemeliharaan ikan atau biota air
yang kerangkanya terbuat dari bambu, kayu, pipa paralon, atau besi berbentuk persegi
yang diberi jaring dan diberi pelampung seperti drum plastik atau styroform agar
wadah tersebut tetap terapung di dalam air. Kerangka dan pelampung pada KJA
berfungsi untuk menahan jaring agar tetap terbuka di permukaan air, sedangkan jaring
yang tertutup di bagian bawahnya digunakan untuk memelihara ikan selama beberapa
bulan.
Budidaya KJA dapat dilakukan di laut, sungai, dan danau, namun dengan
syarat keadaan air yang cukup tinggi dan kualitas air yang memadai. Usaha budidaya
ikan air tawar dengan menggunakan teknik KJA lebih efisien dari segi biaya daripada
teknik tambak di kawasan teluk atau perairan tertutup yang sifatnya permanen dan
rentan terhadap konflik kepemilikan lahan atau tanah. Selain itu KJA termasuk alat
produksi yang fleksibel, karena bila tidak berproduksi keramba dapat didaratkan untuk
menjaga keamanan dan pemeliharaannya (Yuniati, 2008).
KJA merupakan bentuk atau sistem kurungan yang banyak sekali dipakai dan
bentuk serta ukurannya bervariasi sesuai dengan tujuan penggunannya. Hal ini
dikarenakan sistem KJA ini memiliki nilai yang ekonomis dan merupakan cara yang
sangat baik untuk menyimpan berbagai organisme air, maka banyak sekali
kegunaannya, yaitu:
1. Sebagai sarana penyimpanan sementara
2. Sebagai tempat pemeliharaan pembesaran ikan-ikan konsumsi
3. Tempat penyimpanan dan transportasi ikan umpan
4. Wadah organisme air untuk memonitor kualitas lingkungan
5. Sarana pemeliharaan untuk tujuan Re-Stocking (Ahmad et al,1991)
Jenis-Jenis Ikan Yang Dipelihara Dalam KJA
Komoditas yang dapat dipelihara dalam keramba jaring apung terutama berbagai
spesies ikan Kerapu seperti Kerapu Lumpur, Kerapu Macan, Kerapu Sunu, Kerapu
Tikus, dan Kerapu Lemak, serta beberapa spesies lain seperti Beronang (Siganus
Spp), Lobster (Panulirus Spp), Kakap Merah (Lutjanus Spp), Kakap Putih ( Later
Calcalifer), Bandeng (Chanos-Chanos) dan Nila Merah (Raharja, 2010).
D. GAGASAN
Berdasarkan objek kajian lingkungan, budidaya ikan berbasis pelet (budidaya intensif)
merupakan kegiatan usaha yang efisien secara mikro tetapi inefisien secara makro,
terutama apabila ditinjau dari segi dampaknya terhadap lingkungan. Pertumbuhan
jumlah keramba yang terus meningkat yang berarti terus meningkatnya jumlah ikan
yang dipelihara akan menghasilkan sejumlah limbah organik yang besar akibat
pemberian pakan yang tidak efektif dan efisien. Hal ini juga akan berdampak buruk
terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitar Danau Maninjau.
E. PEMBAHASAN
Dampak Lingkungan dari Usaha Keramba Jaring Apung
Pertumbuhan jumlah KJA terus meningkat yang berarti terus meningkatnya jumlah
ikan yang dipelihara akan menghasilkan limbah organik (kotoran ikan dan sisa pakan
yang tidak termakan) yang akan merangsang produktivitas perairan dan
mempengaruhi karakteristik biotik dan abiotik perairan (Krismono, 1992). Budidaya
ikan dalam KJA secara intensif merupakan usaha perikanan yang dapat
dikembangkan dengan pemberian pakan komersil (pelet). Semakin banyak KJA yang
beroperasi akan semakin banyak limbah yang masuk ke perairan. Limbah tersebut
berasal dari pemberian pakan yang berlebihan yang akan menimbulkan dampak lebih
lanjut ke perairan berupa kotoran dan sisa pakan.
Kegiatan budidaya ikan sistem KJA yang dikelola secara intensif membawa
konsekuensi penggunaan pakan yang besar yang bagaimanapun efisiensinya rasio
pemberian pakan, tidak seluruh pakan yang diberikan akan termanfaatkan oleh ikan-
ikan peliharaan dan akan jatuh ke dasar perairan. Pakan ikan merupakan penyumbang
bahan organik tertinggi di danau/waduk (80%) dalam menghasilkan dampak
lingkungan (Garno, 2000). Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi atau terbuang di dasar
perairan oleh ikan sekitar 20–50%.
Umumnya di danau/waduk, pemberian pakan adalah dengan sistem pompa
yaitu pemberian pakan sebanyak-banyaknya (Kartamihardja, 1995 dalam Nastiti et al.,
2001) akibatnya terjadi pemberian pakan berlebih (over feeding). Pemberian pakan
yang dilakukan secara adbilitum (terus menerus hingga ikan betul-betul kenyang)
menyebabkan banyak pakan yang terbuang (inefisiensi pakan) dan terakumulasi di
dasar perairan. Sisa pakan yang tidak termakan dan ekskresi yang terbuang pada
akhirnya akan diuraikan oleh jasad-jasad pengurai yang memerlukan oksigen. Dalam
kondisi anaerob penguraian akan berjalan dengan baik, namun dari proses anaerobik
ini dihasilkan berbagai gas beracun yang dapat mencemari perairan danau/waduk.
Disamping hal tersebut, sisa pakan dan buangan padat ikan akan terurai
melalui proses dekomposisi membentuk senyawa organik dan anorganik, beberapa
diantaranya senyawa nitrogen (NH3, NO2, NO3) dan fosfor (PO4) (Juaningsih, 1997).
Senyawa-senyawa nitrogen (N) dan fosfor (P) diperlukan oleh fitoplankton dan
tumbuhan air lainnya. Di perairan, fitoplankton merupakan produsen primer yang
mempengaruhi kelimpahan organisme. Sisa-sisa pakan dan kotoran ikan dari KJA
berperan sebagai pupuk yang dapat menyuburkan perairan danau/waduk. Apabila
dalam keadaan hipertropik berakibat pertumbuhan yang tidak terkendali (blooming)
plankton jenis tertentu.
Pada akhirnya pemberian pakan ikan yang berlebihan pada buddiaya ikan
sistem KJA menjadi penyebab utama menurunnya fungsi ekosistem danau yang
berakhir pada terjadinya pencemaran danau, mulai dari eutrofikasi yang menyebabkan
ledakan (blooming) fitoplankton dan gulma air seperti enceng gondok (Eichornia
crassipes), upwelling dan lain-lain yang yang dapat mengakibatkan kematian pada
organisme perairan (terutama ikan-ikan budidaya) serta diakhiri dengan makin
menebalnya lapisan anaerobik di badan air danau.
F. USULAN
Beberapa langkah penanggulangan yang merupakan solusi terhadap permasalahan
yang dihadapi serta sekaligus berkaitan dengan kegiatan pengelolaan danau secara
keseluruhan, maka implikasi opsi kebijakan yang dapat dilaksanakan antara lain:
a) Melakukan penghentian sementara kegiatan budidaya hingga kondisi cuaca
membaik dan tingkat pencemaran sudah mulai normal, lalu melaksanakan
pembersihan bangkai ikan mati sesegera mungkin;
b) Penyedotan dan/atau pengerukan limbah aktivitas budidaya ikan dari dasar
perairan. Limbah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pupuk penyubur
tanaman;
c) Pengaturan kembali jumlah dan tata letak KJA dengan memperhatikan daya
dukung lingkungan sesuai hasil riset dan penetapannya melalui Perda
Kabupaten setempat. Hal ini sesuai dengan amanat Peraturan Bupati
Kabupaten Agam No.22 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Danau Maninjau,
yang memperlihatkan bahwa penetapan zonasi di perairan Danau Maninjau ini
belum terlaksana sebagaimana mestinya;
d) Perlu pula dipikirkan bagaimana peran adat atau kelembagaan adat terkait
dengan penegakan aturan di sekeliling danau ini kaitannya dengan pengelolaan
sumberdaya perikanan di Danau Maninjau secara keseluruhan;
e) Solusi untuk melanjutkan usaha bagi pembudidaya yang hanya memiliki modal
secukupnya dan mengalami kematian ikan, maka diperlukan modal biaya
operasional yang baru.
f) Pembangunan sistem pemantauan yang difungsikan sebagai sistem peringatan
dini terhadap datangnya fenomena alam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad et al, 1991. Operasional Pembesaran Ikan Kerapu dalam Keramba Jaring
Apung. Balai Penelitiaan Perikanan Budidaya Pantai, Macros.
Anggawati, 1991. Budidaya Laut dengan Keramba Jaring Apung Mini. Penas VII.
Pertasi Kencana 13-20 juli, Magelan.
Asnil, dkk. 2013. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Danau Yang
Berkelanjutan (Studi Kasus Danau Maninjau Sumatera Barat). Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 3 No. 1 (Juli 2013).
Connell, D.W., G. J. Miller, 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran (terjemahan
Yanti Koestoer). Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Davies, J., G. Claridge, Nirarita, 1995. Potensi Lahan Basah dalam Mendukung dan
Memelihara Pembangunan. Asean Wetland Bureau, Kuala Lumpur.
Garno, 2002. Beban Pencemaran Limbah Perikanan Budidaya dan yutrofikasi di
Perairan Waduk pada DAS Citarum. J. Tek. Ling. P3TL-BPPT. Vol.3 (2).
Juaningsih, N. 1997. Eutrofikasi di Waduk Saguling Jawa Barat. Laporan Penelitian
Balai Penelitian Air Tawar Purwakarta Jawa Barat. Hal 40 – 44.
Krismono. 1992. Penelitian Potensi Sumberdaya Perairan Waduk Wadaslintang,
Mrica, Karangates dan Waduk Selorejo untuk Budidaya Ikan dalam Keramba
Jaring Apung. Buletin Penelitian Perikanan Darat. Vol. II No. 2 Juni.