Anda di halaman 1dari 16

PROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS PRODUKSI HASIL TANGKAPAN TUNA DI DESA BALAURING, KEC.


OMESURI, KAB. LEMBATA, NTT

OLEH :

NAMA : KUSMADI S. BAPANG

NIM : 1913020045

SEMESTER/KELAS : VI/B

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PETERNAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar belakang


Produksi ikan mencakup semua hasil penangkapan ikan/binatang air lainnya
yang ditangkap dari sumber perikanan alami baik yang diusahakan oleh perusahaan
perikanan maupun rumah tangga perikanan. Produksi tidak hanya jumlah
penangkapan yang dijual, tetapi termasuk juga hasil penangkapan yang dimakan
nelayan/rumah tangga perikanan atau yang diberikan kepada nelayan sebagai upah
kerja. Produksi perikanan mempunyai peran yang sangat penting dalam
pengembangan ekonomi maupun sosial. Permintaan terhadap produk-produk laut
semakin hari semakin meningkat mengakibatkan terjadinya perdagangan yang
semakin besar guna memenuhi kebutuhan pasar.
Salah satu jenis sumber daya ikan yang memiliki potensi besar di Indonesia
adalah dari kelompok ikan pelagis besar antaranya adalah Tuna, Tongkol dan
Cakalang. Indonesia memegang peranan penting dalam perikanan Tuna, Tongkol dan
Cakalang di dunia. Pada tahun 2011 produksi Tuna, Tongkol dan Cakalang dunia
sebesar 6,8 juta ton dan meningkat menjadi lebih dari 7 juta ton pada tahun 2012
dengan rata-rata produksi Tuna, Tongkol dan Cakalang periode tahun 2005-2012
sebesar 1.033.211 ton (KKP, 2015). Indonesia telah memasok lebih dari 16%
produksi Tuna, Tongkol dan Cakalang dunia. Pada tahun 2013, volume ekspor Tuna,
Tongkol dan Cakalang mencapai sekitar 209 410 ton dengan nilai USD 764,8 juta
(KKP, 2014). Disamping itu, Indonesia juga merupakan negara kontributor produksi
terbesar diantara 32 negara anggota Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dengan
rata-rata produksi tahun 2009 – 2012 sebesar 356.862 ton per tahun ( KKP, 2015).
Sementara itu, tangkapan tuna di dunia sudah mulai mandek, dan stok yang
paling populer spesies sekarang baik sepenuhnya dieksploitasi atau jauh di bawah
tingkat sejarah, penurunan jmlah stok sini disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain upaya penangkapan ikan yang berlebihan secara illegal, kapal yang tidak
dilaporkan dan tidak diatur (IUU), tangkapan sampingan dari perikanan skala industri,
degradasi ekosistem, perubahan iklim, polusi laut, dan praktik penangkapan ikan yang
merusak. Sumber daya perikanan tuna tidak lagi dapat menopang arus yang cepat dan
seringkali tidak terkendali peningkatan eksploitasi dan pembangunan yang terjadi di
masa lalu. Contohnya di Samudera Hindia sejak tahun 2006 terjadi penurunan hasil
tangkapan tuna long line karena belum ada pengaturan pengelolaan yang tepat yang
bertujuan untuk mempertahankan stok . Penurunan stok tuna memiliki dampak sosial
dan ekonomi yang serius di banyak daerah yang bergantung pada perikanan di seluruh
dunia, termasuk Indonesia.
Mempertahankan dan memaksimalkan pendapatan Indonesia dari perikanan
tuna sangat penting karena tuna adalah komoditas bernilai tinggi, dan memainkan
peran ekonomi penting di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sumber daya tuna
Indonesia terancam, dengan mayoritas spesies tuna, termasuk sirip biru selatan
(Thunnus maccoyii), sirip kuning (Thunnus albacares), mata besar (Thunnus obesus),
dan albacore (Thunnus alalunga) dieksploitasi secara menyeluruh atau berat, dan
hanya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang masih dalam taraf eksploitasi
sedang. Seperti dilansir Sunoko dan Huang, 90% tuna di perairan Indonesia ditangkap
oleh armada penangkapan ikan skala kecil, menggunakan pole-and-line, long-line,
purse seine, trolling line dan hand-line, tetapi ancaman terbesar datang dari kapal
penangkap ikan industri skala besar.
Desa Balauring merupakan sebuah desa di Kecamatan Omesuri Kabupaten
Lembata yang sekarang telah menjadi wilayah pulau kecil dan sebagain besar
masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Hampir semua nelayan yang ada di desa
Balauring yaitu nelayan skala kecil dengan kapal rata-rata berukuran 1 GT- 5 GT dan
waktu melaut hanya satu hari (one day fishing). Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisis bagaimana produksi hasil tangkapan ikan tuna yang ada di desa
Balauring kabupaten Lembata.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana produksi hasil tangkapan ikan tuna di desa Balauring oleh nelayan
berskala kecil ?
2. Apakah perikanan tuna di desa Balauring telah mengalami degradasi karena
eksplitasi berlebih ?
3. Jika perikanan tuna di desa Balauring telah mengalami degradasi bagaimana
solusi yang tepat untuk mempertahankan stok ikan tuna untuk kedepannya ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui jumlah produksi hasil tangkapan ikan tuna yang ada di desa
Balauring kabupaten Lembata.
2. Untuk melihat apakah telah terjadi degradasi terhadap perikanan tuna yang ada di
desa Balauring kabupaten Lembata.
3. Untuk mengetahui solusi yang dapat diberikan terhadap terjadinya degradasi
produksi perikanan tangkap tuna di desa Balauring, kabupataen Lembata.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Produksi Perikanan Tangkap


Sumber daya kelautan dan perIkanan merupakan salah satu potensi
sumber daya alam yang sangat besar dan mendapatkan perhatian yang serius di
Indonesia. Secara singkat, dua per tiga wilayah Indonesia terdiri dari laut,
memiliki pulau sebanyak lebih dari 17.000 serta garis pantai sepanjang 81.000
km. Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun
2015-2019 menekankan bahwa fokus terbesar diberIkan pada bidang kelautan
yang di dalamnya adalah perIkanan dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan
sumber kekayaan laut secara berkelanjutan (Bappenas, 2014). Selama ini sektor
perIkanan dianggap telah teruji sebagai sektor yang mampu bertahan dalam situasi
krisis, baik ekonomi, finansial maupun moneter serta mampu menyediakan bahan
pangan penting bagi masyarakat, sumber pendapatan serta sekaligus menyerap
tenaga kerja dalam jumlah yang cukup signifIkan.
Sektor perIkanan memiliki kontribusi yang besar terhadap
pertumbuhan ekonomi di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang,
China dan negara-negara Eropa. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Fauzi (2010)
bahwa sektor perIkanan dibeberapa negara di dunia telah menjadi sumber “energi”
pertumbuhan ekonomi dan juga menjadi “mesin pertumbuhan” ekonomi regional.
Hal ini pun terjadi di Indonesia, dimana sektor perIkanan terus memberIkan
peningkatan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga pemerintah
memberIkan perhatian lebih. Perhatian tersebut diimplementasIkan melalui
dukungan kebijakan fiskal dan non fiskal yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, terutama nelayan (Samosir, 2014). Hal tersebut menegaskan
bahwa sumber daya perIkanan adalah aset penting negara yang jika dikelola
dengan baik akan memberIkan manfaat yang maksimum bagi masyarakat ( Fauzi
dan Anna, 2002).
2.2 Profil Perikanan Tuna Indonesia

A. Sentra Tuna dan Cakalang di Indonesia


Tuna dan spesies Ikan pelagis besar lainnya pada umumnya merupakan
Ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish) atau berada di wilayah Zona
Ekonomi Ekslusif dari suatu atau lebih negara dan laut lepas, maka
pengelolaanya harus dilakukan melalui kerjasama regional dan atau
internasional. Pasal 10 ayat (2) UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
PerIkanan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 45 Tahun
2009 disebutkan bahwa pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan
badan/lembaga/organisasi regional dan internasional. Selanjutnya, pemerintah
juga telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2009 tentang
Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United
Nations Conventions on the Law of the Sea of 10 December 1982 Relating to
the Conservation and Management of Straddling Fish Stock and Highly
Migratory Fish Stock (United Nation Implementing Agreement – UNIA
1995). Pengesahan UNIA 1995 merupakan komitmen Indonesia untuk
bekerjasama dengan berbagai negara di dunia dalam rangka pengelolaan Tuna
yang berkelanjutan.
Sumber daya Ikan Tuna dan Cakalang memiliki nilai ekonomis penting
dan banyak tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Nilai
ekonomis yang dimiliki Ikan Tuna dan Cakalang menjadIkannya sebagai
komoditas utama dari sub sektor perIkanan. Ikan Tuna dan Cakalang
merupakan bagian dari Ikan pelagis besar yang memiliki karakteristik oseanik
atau memiliki sifat selalu beruaya dari suatu perairan ke perairan lain yang
mempunyai kondisi oseanografi, biologis dan meteorologis yang sesuai
dengan habitatnya (Sibagariang et al., 2011). Tuna dan Cakalang merupakan
komoditas ekspor penting di Indonesia. Daerah penangkapannya tersebar
mulai dari kawasan barat sampai dengan timur Indonesia. Kawasan barat
meliputi wilayah pengelolaan perIkanan Samudera Hindia dan untuk kawasan
timur meliputi wilayah pengelolaan perIkanan Selat Makasar dan Laut Flores,
wilayah pengelolaan perIkanan Laut Banda, wilayah pengelolaan perIkanan
Laut Maluku dan wilayah pengelolaan perIkanan Sulawesi Utara dan
Samudera Pasifik.
Menurut Mertha et al. (2006) ada dua jenis perIkanan Tuna yaitu Tuna
industri dan artisanal. Eksploitasi Tuna skala industri terutama menggunakan
alat tangkap Tuna long line untuk menangkap Ikan-Ikan Tuna besar pada
kedalaman di atas dan di bawah lapisan thermoklin (100 sampai dengan 300
meter). Tuna long line berkembang di Zona Ekonomi Eklusif Indonesia
(ZEEI) Samudera Hindia sejak tahun 1972, sejak didirIkan PT (Persero)
PerIkanan Samodra Besar (Mertha et al. 2006). Untuk menangkap Tuna besar
selain dengan Tuna long line digunakan juga alat tangkap pancing ulur, yang
beroperasi di sekitar rumpon laut dalam. Di kawasan timur Indonesia alat ini
berkembang di beberapa daerah antara lain, Sulawesi Utara, Teluk Tomini,
Laut Maluku dan Selat Makassar. Sejak mulai beroperasi perusahaan pukat
cincin joint venture di Sulawesi Utara, berkembang alat tangkap pancing ulur
tipe Filipina yang disebut pumpboat. Alat ini menggunakan jukung motor
yang besar yang dapat beroperasi sampai dengan 2 minggu atau lebih.
Penyebaran Ikan Cakalang di Indonesia meliputi Samudera Indonesia,
pantai barat Sumatera, Selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, perairan Indonesia
Timur meliputi Laut Banda, Laut Flores, Laut Maluku, Laut Makassar
(Uktolseja, 1989). Penentuan lokasi penangkapan Ikan Cakalang ditentukan
oleh musim berbeda untuk setiap perairan. Penangkapan Ikan Cakalang dapat
dilakukan sepanjang tahun. Hasil yang diperoleh berbeda dari musim ke
musim bervariasi pula menurut lokasi penangkapan. Saat-saat dengan hasil
lebih banyak dari biasanya disebut musim puncak dan bila penangkapan lebih
sedikit dari biasanya disebut musim paceklik. Menurut Supriana et al. (2014)
daerah penyebaran Ikan Tuna dan Cakalang di Indonesia meliputi Laut Banda,
Laut Maluku, Laut Flores, Laut Sulawesi, Laut Hindia, Laut Halmahera,
perairan utara Aceh, barat Sumatera, selatan Jawa, utara Sulawesi, Teluk
Tomini, Teluk Cendrawasih, dan Laut Arafura. Daerah produksi utama Ikan
ini terdapat di Kawasan Indonesia Timur yang mencakup Laut Banda, Laut
Maluku, Laut Sulawesi, Laut Halmahera, Teluk Cendrawasih dan Laut
Arafura, Bitung, Ternate, Ambon dan Sorong merupakan wilayah basis
pengembangan untuk mendukung produksi Ikan Tuna dan Cakalang di
Kawasan Indonesia Timur tersebut. Provinsi Sulawesi Utara tepatnya di Kota
Bitung merupakan wilayah basis pengembangan perIkanan Tuna dan
Cakalang terbesar dari beberapa wilayah basis pengembangan yang ada di
Kawasan Indonesia Timur. Lokasi Kota Bitung sangat strategis terletak di
antara dua wilayah pengelolaan perIkanan yaitu perairan Laut Maluku (WPP-
715) dan perairan Laut Sulawesi (WPP-716). Kota Bitung memiliki Pelabuhan
PerIkanan Samudera (PPS) yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri KP No.
PER.19/MEN/2008.

B. Perkembangan Produksi Tuna dan Cakalang di Indonesia


Produksi tangkap Ikan Tuna dan Cakalang di Indonesia secara
keseluruhan terus meningkat sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2015.
Jumlah produksi Ikan Cakalang lebih besar jika dibandingkan dengan
produksi Ikan Tuna. Peningkatan produksi Ikan Tuna dan Cakalang
menunjukkan bahwa tingginya tingkat permintaan terhadap kedua komoditas
perIkanan tersebut. Meskipun jumlah produksi Ikan Tuna lebih kecil
dibandingkan dengan Ikan Cakalang namun untuk nilai produksinya memiliki
nilai yang lebih tinggi Hal ini menunjukkan bahwa harga satuan Ikan Tuna
memiliki nilai yang lebih besar. Untuk harga satuan Ikan Tuna rata-rata dalam
kurun waktu tahun 2000 – 2016 adalah sebesar Rp14.260.000/ton dan untuk
Ikan Cakalang sebesar Rp8.889.000/ ton. Secara agregat nilai komoditas Ikan
Tuna dan Cakalang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Peningkatan signifIkan terjadi pada kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir yang
mencapai kisaran 40%. . Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di
Indonesia untuk menangkap Ikan Tuna dan Cakalang sangat beragam.
Berdasarkan data statistik perIkanan tangkap terdapat 6 jenis kelompok alat
tangkap yang digunakan untuk menangkap Ikan Tuna dan Cakalang antara
lain adalah rawai Tuna (Tuna long line), rawai hanyut selain rawai Tuna (drift
longline othe than Tuna long line), rawai tetap (set long line), huhate (skipjack
pole and line), pancing tonda (troll line) dan pancing yang lain (other pole and
line) termasuk didalamnya adalah pancing ulur (handline) yang biasa
digunakan oleh nelayan tradisional untuk menangkap Ikan Tuna dan
Cakalang.
2.3 Faktor Penyebab Menurunya Produksi Ikan Tuna

Dewasa ini perikanan Indonesia terancam oleh tiga masalah utama, yaitu
overfishing, kemiskinan nelayan, dan kerusakan ekosistem laut. Kondisi overfished
terjadi di semua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) baik pada saat estimasi stok
ikan sebesar 6,5 juta ton per tahun (Kepmen 45/2011 tentang estimasi potensi sumber
daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia), saat stok
sebesar 9,9 juta ton per tahun (Kepmen 47/2016 tentang estimasi potensi, jumlah
tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia), maupun saat stok ikan sebesar
12,5 juta ton per tahun (Kepmen 50/2017 tentang estimasi potensi, jumlah tangkapan
yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia).
Sementara kemiskinan nelayan terlihat dari hasil penelitian Sutomo & Marhaeni
(2015) yang menunjukkan bahwa persentase rumah tangga miskin dengan usaha
penangkapan ikan di laut mencapai 23,79%, sedangkan persentasi penduduk miskin
Indonesia pada tahun yang sama sebesar 11,25%. KKP (2015) menjelaskan bahwa
berdasarkan data series 2004-2014, jumlah nelayan di laut didominasi oleh nelayan
penuh, yaitu nelayan yang menggantungkan seluruh nafkah hidupnya pada kegiatan
penangkapan ikan. Jumlah nelayan penuh pada 2004-2014 mengalami kenaikan rata-
rata sebesar 1,84% per tahun. Sedangkan, nelayan sambilan utama dan nelayan
sambilan tambahan mengalami penurunan rata-rata masing-masing sebesar 2,22% dan
0,23% per tahun.
Di sisi lain, kondisi kerusakan ekosistem laut dilaporkan pada kondisi yang
kurang menggembirakan: i) Terumbu karang dengan kondisi sangat baik sebesar
6,39%, baik 23,40%, sedang 35,06%, dan jelek 35,15% (Suharsono, 2017); ii) Padang
lamun dalam kondisi sehat hanya sebesar 5%, kurang sehat 80%, dan tidak
sehat/miskin 15% (Hernawan et al., 2017).
Lingkaran setan antara overfishing, kemiskinan nelayan, dan kerusakan
ekosistem laut dapat dijelaskan secara teoritis melalui teori Malthusian overfishing.
Pauly (1994) menjelaskan bahwa perikanan skala kecil di negara berkembang tropis
umumnya miskin dan kurang alternatif pekerjaan lain, sehingga ketika mereka mulai
menangkap ikan akan sulit berhenti meskipun sumberdaya ikan menurun dengan
cepat sepanjang waktu. Fauzi (2005) lebih lanjut menguraikan bahwa Malthusian
overfishing terjadi manakala nelayan skala kecil yang biasanya miskin dan tidak
memiliki alternatif pekerjaan memasuki industri perikanan namun menghadapi hasil
tangkap yang menurun.
Kondisi ini, nelayan terpaksa melakukan penangkapan ikan yang merusak sebagai
upaya untuk mempertahankan pendapatan. Analisis terhadap kompleksitas hubungan
antara overfishing, kemiskinan nelayan, dan kerusakan ekosistem laut dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan sistem, yaitu suatu pendekatan analisis
organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak (Marimin &
Maghfiroh, 2010). Terdapat dua ciri penting dalam suatu sistem, yaitu: a) Setiap
perubahan dalam suatu bagian dari sistem memengaruhi seluruh sistem; dan b) Sistem
bekerja dalam suatu lingkungan yang lebih luas dan bahwa ada perbatasan antara
sistem dengan lingkungannya (Budiardjo, 2012).
Sementara Marimin & Maghfiroh (2010) menekankan bahwa terdapat dua hal
umum dalam pendekatan sistem, yaitu; a) Semua faktor penting mendapatkan solusi
yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan b) Pembuatan model kuantitatif untuk
membantu keputusan secara rasional. Secara umum, Charles (2008) menguraikan
bahwa struktur sistem perikanan terdiri dari beberapa komponen, yaitu sistem alam
(natural system), sistem manusia (human system), dan sistem pengelolaan perikanan
(fishery management system). Sementara Fauzi (2010) membagi struktur perikanan
ke dalam tiga komponen utama, yaitu basis sumber daya (resource base), industri
perikanan primer, dan industri pengolahan dan perdagangan. Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan variabel/peubah yang berperan penting pada struktur sistem
perikanan tangkap nasional guna membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan
perikanan tangkap secara lebih efektif. Dalam kerangka yang lebih sederhana,
Adrianto (2018) menjelaskan bahwa perikanan merupakan sistem ekonomi yang
menjamin ekosistem harus sehat karena tanpa ekosistem sehat maka tidak ada sumber
daya ikan yang sehat.
Pola sebaran ikan tidak bergeser secara acak; sebaliknya, mereka dipengaruhi
oleh oseanografi parameter dan variabilitas faktor iklim. Parameter oseanografi
seperti Permukaan Laut Suhu (SST) dan klorofil-a (chl-a) dapat menjadi faktor
pembatas distribusi ikan dan bahkan kelangsungan hidup mereka, sedangkan
fenomena iklim seperti El Nino dan La Nina juga bisa berdampak negatif atau
dampak positif pada ikan. Di perairan Indonesia, perubahan iklim telah terbukti
berdampak pada hasil tangkapan ikan pelagis di Selat Bali dan Teluk Bone.
Perubahan iklim antropogenik kini terjadi dengan konsekuensi yang tidak terduga di
berbagai bidang termasuk perikanan. Dampak pada sektor perikanan antara lain
perubahan persebaran ikan (baik yang menetap, dan pola migrasi) dan kelimpahan
ikan, yang diperkirakan sebagian disebabkan oleh perubahan produktivitas primer dan
sekunder. Fenomena oseanografi global yang berasal dari Pasifik
Samudra (misalnya El Nino) dan di Samudra Hindia (misalnya Dipol Samudra
Hindia, IOD) adalah pendorong variabilitas iklim. Terjadinya peristiwa El-Nino dan
La-Nina telah terbukti menyebabkan apergeseran pola distribusi dan kelimpahan ikan
cakalang di Samudera Pasifik Barat, sedangkanpenelitian lain juga menunjukkan
bahwa perubahan iklim dapat (dan memang telah) mempengaruhi volume tangkapan
dan ukuran ikan individu.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu Dan Tempat


Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 00 Juni 2022 sampai dengan tanggal 00
juli 2022 di Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT

3.2 Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan
teknik pengambilan sampel sistematik random sampling

3.3 Tahap Persiapan


Tahap persiapan diantaranya berikut :

a. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder didapatkan dari studi literatur seperti jurnal, artikel dan
semacamnya.
b. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara observasi eksperimental
DAFTAR PUSTAKA

Reid, Christopher, Dale Squires, Yongil Jeon, Len Rodwell, dan Raymond Clarke. “An
Analysis of Fishing Capacity in the Western and Central Pacific Ocean Tuna
Fishery and Management Implications.” Marine Policy 27, no. 6 (November
2003): 449–69. https://doi.org/10.1016/S0308-597X(03)00065-4.
Aji, Ismail Nugroho, dan Bambang Argo Wibowo. “ANALISIS FAKTOR PRODUKSI
HASIL TANGKAPAN ALAT TANGKAP CANTRANG DI PANGKALAN
PENDARATAN IKAN BULU KABUPATEN TUBAN” 2 (2013): 9.
Septiana, Eki, Suradi Wijaya Saputra, dan Abdul Ghofar. “ANALISIS HASIL
TANGKAPAN JARING ARAD DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI)
TAMBAK LOROK, SEMARANG (Catch Analysis Of Arad Net at The Fish
Landing Base Tambak Lorok, Semarang).” SAINTEK PERIKANAN : Indonesian
Journal of Fisheries Science and Technology 14, no. 2 (14 Februari 2019): 100.
https://doi.org/10.14710/ijfst.14.2.100-105.
Nabutaek, Maria A L, Fonny J L Risamasu, dan Cresca B Eoh. “ANALISIS HASIL
TANGKAPAN PANCING ULUR PADA ARMADA PENANGKAPAN
BERBEDA YANG DIOPERASIKAN DI PERAIRAN LAUT TIMOR,” 2020, 9.
Husnul Khatimah, Berza, Harmoko, dan Uray Dian Novita. “ANALISIS PRODUKSI IKAN
TAHUN 2015 – 2018 (Studi Kasus: Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Pemangkat).” NEKTON: Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan 1, no. 1 (29 Maret
2021): 44–51. https://doi.org/10.47767/nekton.v1i1.269.
Auliyah, N, F Rumagia, A Sinohaji, dan U Muawanah. “Bioeconomic Analysis of Skipjack
Tuna Fisheries in North Gorontalo Regency, Indonesia.” IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science 890, no. 1 (1 Oktober 2021): 012051.
https://doi.org/10.1088/1755-1315/890/1/012051.
Kumar, Palanisamy Satheesh, Gopalakrishna N Pillai, dan Ushadevi Manjusha. “El Nino
Southern Oscillation (ENSO) Impact on Tuna Fisheries in Indian Ocean.”
SpringerPlus 3, no. 1 (Desember 2014): 591. https://doi.org/10.1186/2193-1801-
3-591.
Maunder, Mark N, dan Shelton J Harley. “Evaluating Tuna Management in the Eastern
Pacific Ocean.” BULLETIN OF MARINE SCIENCE 78, no. 3 (2006): 14.
Siahainenia, S M, Y M T N Apituley, dan D Bawole. “Financial Feasibility of Hand Line
Fisheries and Determination of Tuna Production in Ambon Island.” IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science 797, no. 1 (1 Juni 2021):
012011. https://doi.org/10.1088/1755-1315/797/1/012011.
Khan, Alexander M.A., Tim S. Gray, Aileen C. Mill, dan Nicholas V.C. Polunin. “Impact of
a Fishing Moratorium on a Tuna Pole-and-Line Fishery in Eastern Indonesia.”
Marine Policy 94 (Agustus 2018): 143–49.
https://doi.org/10.1016/j.marpol.2018.05.014
Putri, A R S, dan M Zainuddin. “Impact of Climate Changes on Skipjack Tuna
( Katsuwonus Pelamis ) Catch during May-July in the Makassar Strait.” IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science 253 (9 April 2019): 012046.
https://doi.org/10.1088/1755-1315/253/1/012046.
Irnawati, Ririn, Domu Simbolon, Budi Wiryawan, Bambang Murdianto, dan Tri Wiji
Nurani. “Leading commodity analysis of capture fisheries in Karimunjawa
National Park.” Jurnal Perikanan dan Kelautan 1, no. 1 (18 Desember 2011).
https://doi.org/10.33512/jpk.v1i1.840
Gumilang, Andi Perdana, Iin Solihin, dan Sugeng Hari Wisudo. “POLA DISTRIBUSI DAN
TEKNOLOGI PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN PELABUHAN
PERIKANAN DI WILAYAH PANTURA JAWA.” Jurnal Teknologi Perikanan
dan Kelautan 7, no. 1 (20 Februari 2017): 67–76.
https://doi.org/10.24319/jtpk.7.67-76.
Loukos, Harilaos, Patrick Monfray, Laurent Bopp, dan Patrick Lehodey. “Potential Changes
in Skipjack Tuna ( Katsuwonus Pelamis ) Habitat from a Global Warming
Scenario: Modelling Approach and Preliminary Results: Potential Changes in
Skipjack Tuna Habitat.” Fisheries Oceanography 12, no. 4–5 (September 2003):
474–82. https://doi.org/10.1046/j.1365-2419.2003.00241.x
Lee, Ying-Chou, Tom Nishida, dan Masahiko Mohri. “Separation of the Taiwanese Regular
and Deep Tuna Longliners in the Indian Ocean Using Bigeye Tuna Catch Ratios.”
Fisheries Science 71, no. 6 (Desember 2005): 1256–63.
https://doi.org/10.1111/j.1444-2906.2005.01091.x.
Garibaldi, Luca. “The FAO Global Capture Production Database: A Six-Decade Effort to
Catch the Trend.” Marine Policy 36, no. 3 (Mei 2012): 760–68.
https://doi.org/10.1016/j.marpol.2011.10.024.
Ménard, F., F. Marsac, E. Bellier, dan B. Cazelles. “Climatic Oscillations and Tuna Catch
Rates in the Indian Ocean: A Wavelet Approach to Time Series Analysis.”
Fisheries Oceanography 16, no. 1 (Januari 2007): 95–104.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2419.2006.00415.x.
Alvi Rahmah, Junaidi. “ANALISIS FAKTOR PRODUKSI ALAT TANGKAP PAYANG
DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI CAROCOK TARUSAN
KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT.” Jurnal Sosial
Humaniora Sigli 1, no. 2 (15 Januari 2020): 25–30.
https://doi.org/10.47647/jsh.v1i2.121.
Garibaldi, Luca. “The FAO Global Capture Production Database: A Six-Decade Effort to
Catch the Trend.” Marine Policy 36, no. 3 (Mei 2012): 760–68.
https://doi.org/10.1016/j.marpol.2011.10.024.
Nugraheni, Hestyavida, dan Abdul Rosyid. “ANALISIS PENGELOLAAN PELABUHAN
PERIKANAN PANTAI TASIKAGUNG KABUPATEN REMBANG UNTUK
PENINGKATAN PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP” 2 (2013): 10.
Rahman, Dhiya Rifqi, dan Imam Triarso. “ANALISIS BIOEKONOMI IKAN PELAGIS
PADA USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN
PANTAI TAWANG KABUPATEN KENDAL” 2 (2013): 10.
Antika, Melina, Abdul Kohar, dan Herry Boesono. “ANALISIS KELAYAKAN
FINANSIAL USAHA PERIKANAN TANGKAP DOGOL DI PANGKALAN
PENDARATAN IKAN (PPI) UJUNG BATU JEPARA” 3 (2014): 8.
Karningsih, Fitri, Abdul Rosyid, dan Bambang Argo Wibowo. “ANALISIS TEKNIS DAN
FINANSIAL USAHA PERIKANAN TANGKAP CANTRANG DAN PAYANG
DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI ASEMDOYONG KABUPATEN
PEMALANG” 3 (2014): 10.
Arrizabalaga, Haritz, Paul de Bruyn, Guillermo A. Diaz, Hilario Murua, Pierre Chavance,
Alicia Delgado de Molina, Daniel Gaertner, Javier Ariz, Jon Ruiz, dan Laurence
T. Kell. “Productivity and Susceptibility Analysis for Species Caught in Atlantic
Tuna Fisheries.” Aquatic Living Resources 24, no. 1 (Januari 2011): 1–12.
https://doi.org/10.1051/alr/2011007.
Alvi Rahmah, Junaidi. “ANALISIS FAKTOR PRODUKSI ALAT TANGKAP PAYANG
DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI CAROCOK TARUSAN
KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT.” Jurnal Sosial
Humaniora Sigli 1, no. 2 (15 Januari 2020): 25–30.
https://doi.org/10.47647/jsh.v1i2.121.

Anda mungkin juga menyukai