Anda di halaman 1dari 10

Budidaya ikan di waduk dengan menggunakan keramba jaring apung

(KJA) memiliki prospek yang bagus untuk peningkatan produksi ikan. Teknologi
budidaya ikan dengan sistem KJA telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia.
Budidaya dengan sistem keramba jaring apung tersebut mulai dikembangkan di
perairan pesisir dan perairan danau. Beberapa keunggulan ekonomis usaha
budidaya ikan dalam keramba yaitu: 1) Menambah efisiensi penggunaan
sumberdaya; 2) Prinsip kerja usaha keramba dengan melakukan pengurungan
pada suatu badan perairan dan memberi makan dapat meningkatkan produksi
ikan; 3) Memberikan pendapatan yang lebih teratur kepada nelayan dibandingkan
dengan hanya bergantung pada usaha penangkapan.
Perairan danau/waduk masih dianggap milik bersama (common property)
dan bersifat terbuka (open access), sehingga Pertumbuhan KJA berkembang
sangat pesat dan cenderung tidak terkendali dan terkontrol. Banyaknya KJA
menimbulkan masalah baru bagi lingkungan,berupa limbah organik, yang dapat
menyebabkan pencemaran waduk.
Pada saat usaha peningkatan produksi ikan dilakukan maka secara
langsung akan berdampak pada meningkatnya usaha budidaya ikan intensif
dengan tingkat kepadatan ikan yang tinggi dan dengan pemberian pakan buatan,
pada saat jumlahnya melampaui batas tertentu dapat mengakibatkan proses
sedimentasi yang tinggi berupa penumpukan sisa pakan di dasar waduk/perairan
yang akan menyebabkan penurunan kualitas perairan (pengurangan pasokan
oksigen dan pencemaran air danau/waduk).
Adanya peningkatan suhu udara, pemanasan sinar matahari, dan tiupan
angin kencang akan menyebabkan terjadinya golakan air danau. Hal ini
menyebabkan arus naik dari dasar danau yang mengangkat masa air yang
mengendap. Masa air yang membawa senyawa beracun dari dasar danau hingga
mengakibatkan kandungan oksigen di badan air berkurang. Rendahnya oksigen di
air itulah yang menyebabkan kematian ikan secara mendadak.
Setiap tahunnya di danau/waduk di Indonesia selalu terjadi kematian
massal terhadap ikan-ikan yang dibudidayakan. Penyebab kejadian tersebut
diantaranya adalah adanya sisa pakan dan metabolisme dari aktifitas pemeliharaan
ikan dalam KJA serta limbah domestik yang berasal dari kegiatan pertanian

maupun dari rumah tangga sehingga menurunkan fungsi ekosistem waduk yang
akhirnya terjadi pencemaran waduk, mulai dari eutrofikasi yang menyebabkan
ledakan (blooming) fitoplankton dan gulma air seperti enceng gondok (Eichornia
crassipes), upwelling dan lain-lain yang yang dapat mengakibatkan organisme
perairan (terutama ikan-ikan budidaya), serta diakhiri dengan makin menebalnya
lapisan anaerobik di badan air danau, dan diperparah dengan adanya limbah dari
pabrik dan limbah rumah tangga. Selain itu populasi KJA di waduk di Indonesia
seperti di Waduk Cirata di Jawa Barat telah melebihi kapasitas, sehingga turut
mempengaruhi penurunan kualitas perairan beserta produksi budidaya ikan air
tawar.

(Gambar. Pertumbuhan eceng gondok di Waduk Cirata)

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng beberapa


komponen masyarakat dan asosiasi dalam menangani masalah gulma berupa
enceng gondok yang terdapat di waduk cirata, Jawa Barat. Untuk mengurangi
populasi enceng gondok tersebut, Pemerintah melakukan penebaran benih ikan
yang terdiri dari 1.300 kg ikan Grasscarp, 104 ribu ekor benih ikan Bandeng, 28
ribu ekor benih ikan tawes dan 100 ribu ekor ikan lokal dari Jawa Barat.
Menurut Direktur Perikanan Budidaya KKP Slamet Subjakto, bahwa
penebaran jenis ikan pemakan tumbuhan dan ikan lokal ini selain bertujuan

mengurangi populasi enceng gondok di perairan Waduk Cirata, juga untuk


memperkaya lingkungan perairan dengan ikan-ikan lokal di perairan tersebut.
Tanaman enceng gondok yang ada di waduk Cirata ini sudah dalam tahap
yang cukup mengkawatirkan, sehingga berakibat pada penurunan produksi ikan di
waduk cirata dan juga mengganggu operasional turbin air. Sehingga perlu
dilakukan upaya baik secara biologis berupa penebaran ikan pemakan tumbuhan
dan juga mekanis yaitu pengangkatan atau pembersihan enceng gondok dari
permukaan waduk.
Upaya pembersihan pada Waduk Cirata memerlukan kerjasama,
koordinasi dan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan yang berkepentingan
terhadap keberadaan waduk cirata. KKP telah menemukan salah satu cara untuk
memanfaatkan enceng gondok sebagai salah satu bahan baku pakan pengganti.
Kandungan protein tepung enceng gondok sekitar 12 % mampu menggantikan
dedak.
Direktur Kesehatan Ikan dan Lingkungan menyatakan bahwa saat ini
diperlukan edukasi dan sosialisasi kepada pembudidaya untuk dapat membantu
melakukan pembersihan enceng gondok di sekitar KJA nya (Karamba Jaring
Apung). Pembudidayaan dapat mengumpulkan enceng gondok yang tersangkut di
KJA nya untuk kemudian di kumpulkan. Setelah itu dapat dimanfaatkan baik
untuk proses sebagai bahan baku pakan ataupun kerajinan. Ini harus dilakukan
terus menerus dan setiap hari karena pertumbuhak enceng gondok yang cukup
cepat.
Para petani ikan pun berusaha mengurangi jumlah eceng gondok yang
tumbuh. Pengutangannya itu dengan cara mengambil eceng gondok dan
membuangnya, namun pertumbuhan eceng gondok sangat pesat. Sehingga
pertumbuhannya sulit terkontrol. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa
kualitas

air

akan

menurun

dengan

adanya

eceng

gondok.

Melihat akibat yang ditimbulkan dari budidaya ikan sistem KJA di


danau/waduk maka budidaya ikan sistem KJA perlu memperhatikan manajemen
budidaya yang berkelanjutan. Manajemen budidaya ikan yang berkelanjutan
adalah 1) pengelolaan yang dapat berlanjut sepanjang waktu sebagai hasil proses

kebijakan sosio-politik, 2) menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan secara


ekologis harus dapat menjamin kelestarian sumberdaya perairan.
Secara umum budidaya ikan sistem KJA merupakan kegiatan ekonomi
yang menguntungkan jika dikelola dengan baik. Belajar dari pengalaman yang
sudah terjadi diperlukan cara pengelolaan atau manajemen perairan danau/waduk
sesuai dengan daya dukung. Tujuan pengelolaan tersebut yaitu peningkatan
produksi ikan dan memelihara produksi dan sumber daya perairan tersebut
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pemanfaatan danau/waduk.
Manajemen Budidaya ikan dengan KJA yang berkelanjutan dapat dengan
cara sebagai berikut:
1. Pemilihan lokasi
Danau/waduk yang dipilih sebagai kawasan untuk pengembangan
budidaya ikan sistem KJA dengan minimal danau/waduk 100 ha dengan
memperhatikan daya dukungnya. Pemanfaatan danau/waduk untuk kegiatan
budidaya ikan sistem KJA harus dilakukan secara rasional, dan tetap mengacu
pada tata ruang yang telah ditentukan serta kondisi sumber daya dan daya dukung
perairannya, dengan maksud untuk menjaga kelestarian lingkungan dan
mempertahankan fungsi utama waduk. Pembagian zonasi untuk perairan waduk
secara umum dilakukan dengan mengacu pada kondisi lingkungan fisik, sifat
kehidupan dan penyebaran populasi ikan dalam usahanya mengelola perikanan
yang terpadu dan lestari (Ilyas et al, 1989). Salah satu penyebab kematian massal
ikan budidaya adalah penurunan tinggi muka air. Apabila tinggi muka air menurun
maka jarak karamba jaring apung dengan dasar menjadi lebih dekat, akibatnya
ikan budidaya semakin mendekati lapisan hipolimnion yang reduktif. Akibatnya
kolom air yang reduktif semakin mendekati KJA. Kolom air menjadi anoksik atau
lapisan anoksik telah mencapai permukaan sehingga dapat disebutkan bahwa
penyebab kematian massal karena kekurangan oksigen dan tingginya konsentrasi
zat toksik (H2S) (Simarmata, 2007). Sebaiknya pada saat tinggi muka air
minimum, padat tebar ikan di KJA dikurangi atau ikan budidaya diganti dengan
jenis yang lebih toleran terhadap konsentrasi DO yang rendah. Menurut Krismono
(1999), kegiatan budaya ikan sistem KJA di danau/waduk, kedalaman air

disyaratkan minimal 5 m pada jalur yang berarus horizontal. Kedalaman tersebut


dimaksudkan untuk menghindari pengaruh langsung kualitas air yang jelek dari
dasar perairan.
2.

Penggunaan KJA terhadap daya dukung perairan waduk/danau


Beberapa pendapat mengenai penggunaan KJA terhadap daya dukung

waduk, diantaranya (http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=518):


o Menurut Soemarwoto (1991), bahwa luas areal perairan waduk yang aman
untuk kegiatan budidaya ikan di KJA adalah 1% dari luas seluruh perairan
waduk dengan pertimbangan bahwa angka 1% tersebut non significant untuk
luasan suatu waduk serbaguna sehingga dianggap tidak akan mengganggu
kepentingan fungsi utama waduk dan memberi peluang bagi peruntukan
lainnya, sedangkan menurut Schmittou (1991), bahwa luas kawasan untuk
budidaya KJA di suatu area sebaiknya tidak lebih dari 3 ha (luas optimum).
o Memperbaiki konstruksi KJA yang ramah lingkungan dengan
pelampung polystyrene foam. Penelitian yang dilakukan Prihadi dkk (2008)
terhadap bahan pelampung KJA menggunakan bahan pelampung drum seng,
drum plastik dan drum polystyrene foam. Hasil analisis KJA yang terbuat dari
bambu dengan pelampung polystyrene foam merupakan KJA yang paling
ramah lingkungan dibandingkan dengan KJA lainnya.
o Menurut Rochdianto (2000), letak antara jaring apung sebaiknya berjarak 10
30 m agar arus air leluasa membawa air segar ke dalam jaring-jaring tersebut,
sedangkan menurut Schmittou (1991), jarak antar unit KJA yang baik adalah
50 m.
o Pengendalian/pengurangan jumlah KJA yang beroperasi. Pemindahan lokasi
KJA pada saat akan terjadi umbalan yang terjadi secara menyeluruh
(holomictic) ke lokasi perairan yang lebih dalam (Enan dkk, 2009). Untuk
meningkatkan DO di perairan menggunakan : 1) kincir yang dapat dipasang
pada setiap unit KJA atau pada satu lokasi KJA (Enan dkk, 2009); 2) pompa air
yang dipancarkan dari atas (Krismono, 1995), dengan penambahan oksigen
murni yang diberikan pada saat oksigen kritis (dini hari) (Danakusumah, 1998).
Keramba jaring apung ganda/berlapis dikembangkan dengan tujuan untuk

mengurangi beban dari sisa pakan, yang dapat mencemari perairan. Kuantitas
limbah pakan yang siginifikan tinggi perlu diadakan restorasi waduk melalui
pengangkatan sedimen (dredging) agar kegiatan perikanan dapat aman dari
tingginya bahan toksik dan limbah pencemaran ini berpeluang dijadikan pupuk
pertanian (Yap, 2003).
o Selain itu dalam PERDA Provinsi Jawa Barat Nomor : 7 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Perikanan, disebutkan bahwa setiap pembudidaya ikan hanya
diperbolehkan memiliki paling banyak 20 petak keramba jaring apung (KJA),
dengan ukuran petakan 7 x 7 meter.
3.

Manajemen pakan
Penerapan strategi/manajemen pakan ikan yang tepat yaitu mulai dari

kualitas pakan, tipe dan frekuensi pemberian pakan, karena dengan tidak
terkendalinya aktivitas budidaya ikanlah yang memberikan kontribusi semakin
cepat memburuknya kualitas lingkungan perairan. berdasarkan hasil penelitian
Sutardjo (2000) makin banyak jumlah KJA makin banyak jumlah pakan yang
dibutuhkan yang berarti makin banyak limbah yang terbuang ke perairan, yang
diperkirakan sekitar 3040%. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pemberian
pakan berdasarkan persentase bobot badan ikan, di mana persentase kebutuhan
pakan menurun dengan semakin bertambahnya bobot ikan. Pemberian pakan 3%
dari bobot ikan perliharaan per hari dan diberikan tiga kali sehari, dimaksudkan
untuk mengurangi jumlah sisa pakan yang masuk perairan. Ikan yang berukuran
kecil dan berumur muda membutuhkan jumlah pakan yang lebih banyak daripada
ikan dewasa berukuran besar (Rochdianto, 2000). Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi jumlah sisa pakan yang masuk ke perairan sehingga dapat mencegah
terjadinya pencemaran perairan.
4.

Pemilihan jenis ikan


Jenis ikan yang dibudidayakan di KJA harus memenuhi kriteria,

diantaranya adalah : 1) tidak mengancam keanekaragaman hayati di perairan


waduk; 2) mempunyai nilai ekonomis tinggi; 3) dalam proses budidaya
menghasilkan limbah organik yang sedikit. Pemilihan benih bertujuan untuk

mendapatkan benih yang sehat dan bermutu. Beberapa hal yang harus
diperhatikan antara lain, benih ditebar sesuai SNI yang dijamin dengan sertifikat
sistem mutu perbenihan dan selain itu padat penebaran sesuai dengan SNI
pembesaran di KJA, sebelum ditebar benih harus dilakukan penyesuaian dengan
kondisi perairan.
5.

Pola dan perizinan usaha


Kegiatan usaha budidaya ikan sistem KJA dapat dilakukan melalui Pola

Swadaya dan Pola Kemitraan Usaha. Dalam pengelolaan danau/waduk,


hendaknya tidak memikirkan keuntungan dari aspek ekonomi saja tetapi juga
harus mempertimbangkan aspek lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan
pengelolaan zonasi danau/waduk yang sesuai. Selain itu, sisi perizinan pendirian
KJA diprioritaskan pada masyarakat sekitar danau/waduk.Sebagai salah satu
contoh peraturan yang memuat tentang KJA di waduk ada dalam Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 7 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Perikanan, pada Bab X mengenai Perizinan Usaha Perikanan Pasal 67 :
a) Pengembangan usaha budidaya ikan di perairan umum daratan lintas
Kabupaten/Kota,

ditetapkan

berdasarkan

kajian

ilmiah

yang

pelaksanaannya ditetapkan oleh Gubernur.


b) Setiap pembudidaya ikan hanya diperbolehkan memiliki paling banyak 20
petak keramba jaring apung (KJA), dengan ukuran petakan 7 x 7 meter.
c) Untuk mendapatkan SIPBI KJA, pembudidaya ikan harus memiliki
rekomendasi teknis dari Dinas.
d) Rekomendasi teknis dari Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
digunakan untuk mendapatkan Surat Penetapan Lokasi (PL) dari unit
pengelola perairan umum daratan.
e) Setiap pembudidaya ikan dan pelaku usaha yang memanfaatkan perairan
umum daratan, berkewajiban untuk melakukan pelestarian lingkungan
yang pelaksanaannyadiatur oleh Gubernur.

Dalam mendukung keberhasilan manajemen budidaya ikan di waduk


dengan sistem KJA yang berkelanjutan, maka perlu diterapkan budidaya ikan
berbasis trophic level (aquaculture based trophic level) agar produktivitas perairan
tetap optimal, perlu pendekatan sosial budaya dan sosialisasi peraturan yang tepat

pada strategi pengurangan jumlah KJA dan penataan kembali lokasi budidaya ikan
sistem KJA, perlu koordinasi antara pembudidaya, pengelola waduk, pemerintah,
masyarakat sekitar waduk dalam memanfaatkan danau/waduk dan menjaga
kelestariannya, serta perlu dukungan sarana dan prasarana yang terkait budidaya
KJA dalam upaya manajemen budidaya ikan sistem KJA yang lestari dan
berkelanjutan. Semuanya kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan
penyuluhan, pelatihan, dan peningkatan kesadaran agar masyarakat ikut
berperanserta aktif dalam menjaga pelestarian perairan waduk

Yang menjadi permasalahan pada budidaya ikan di Keramba jaring apung


adalah sisa pakan. Sisa pakan yang tidak terkonsumsi dan metabolik berupa
senyawa nitrogen dan fosfor, apabila terbuang di kolom air dan tidak
dimanfaatkan oleh organisme disekitar danau (ikan, organisme bentik) maka akan
menjadi partikel tersuspensi dalam bentuk partikel koloid di dasar perairan.
Partikel tersebut akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme khususnya bakteri
untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Selain pencemaran akibar
nitrogen dan fosfor, sisa pakan juga dapat menyebabkan tingginya kekeruhan.
Akibatnya, cahaya matahari akan susah menembus kolom air. Upaya yang dapat
dilakukan untuk mengurangi dampak pencemaran akibat budidaya ikan sistem
Keramba Jaring Apung (KJA) antara lain: (1) Menggunakan dosis yang tepat
dalam pemberian pakan, (2) Menggunakan bahan pakan dengan tingkat kecernaan
yang tinggi, (3) jika memungkinkan maka dapat menggunakan bakteri probiotik
untuk meningkatkan daya cerna, (4) Menggunakan komposisi nutrisi yang sesuai
dengan organisme yang dipelihara, (5)Dilakukan treatmen terhadap limbah, (6)
Perlu dilakukan analisa kesesuaian lahan sebelum dilakukan kegiatan budidaya.

Anda mungkin juga menyukai