Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS PERSENTASE KEBERHASILAN PENETASAN TELUR

PENYU HIJAU (Chelonia mydas) BERDASARKAN VARIASI


KEDALAMAN SARANG SEMI ALAMI DI UPTD KONSERVASI PENYU
PANGUMBAHAN SUKABUMI JAWA BARAT
Toufan Gifari, M Qeis Tsal Sabil, Tasha Stevany, Dewi Elfidasari
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Al Azhar
Indonesia. Komp. Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan 12110
Telp (021) 727 92753, Fax (021) 724 4767
Email : Gifari06@gmail.com
ABSTRAK
Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan reptil ordo Testudines (memilki
karapas/tempurung) dan tergabung dalam famili Cheloniidae yang masuk dalam
zona merah CITES Appendiks I plus zero quota of wild capture for commercial
trade, sehingga keberadaannya dilindungi UU No. 34 Tahun 2004 tentang
perikanan dan Permenhut No. 8 tahun 2008 melalui upaya konservasi.
Pelestarian penyu hijau dimulai dari aktivitas peneluran, penetasan dan
perawatan/pelepasan tukik. Penelitian ini terfokus pada tahap penetasan dengan
memberikan variasi kedalaman sarang semi alami. Tujuan utama dari penelitian
ini adalah untuk membuktikan adanya perbedaan persentase penetasan terhadap
variasi kedalaman untuk mencari kedalaman sarang optimal. Kedalaman sarang
dimulai dari A=55cm, B=45cm dan C=35cm, dengan pengulangan sebanyak 3
kali menggunakan metode RAL (Rancangan Acak Lengkap). Sedangkan telur
yang digunakan merupakan telur dari satu induk yang dibagi menjadi 9 sarang
dengan 10 telur ditiap sarang. Persentase rata-rata hasil penetasan telur penyu
hijau di sarang dengan kedalaman 55cm = 86.7%, 45cm = 60% dan 35cm =
30.33%. Analisis uji non parametrik (uji Kruskal-Wallis) memberikan nilai Asymp
sig. 0.006 < 0.05 sehingga dapat dinyatakan H0 ditolak atau ada perbedaan nyata
antara kedalaman sarang dengan persentase penetasan. Hasil ini juga didukung
dengan data fluktuasi suhu telur selama masa inkubasi. Kedalaman 55cm
memiliki suhu paling stabil mulai dari 28C 30.6C yang merupakan suhu
optimal untuk perkembangan embrio telur penyu hijau.
Kata Kunci : fluktuasi suhu, kedalaman sarang, penyu hijau, persentase
penetasan.
ABSTRACT (under translated)
Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan reptil ordo Testudines (memilki
karapas/tempurung) dan tergabung dalam famili Cheloniidae yang masuk dalam
zona merah CITES Appendiks I plus zero quota of wild capture for commercial
trade, sehingga keberadaannya dilindungi UU No. 34 Tahun 2004 tentang
perikanan dan Permenhut No. 8 tahun 2008 melalui upaya konservasi.
Pelestarian penyu hijau dimulai dari aktivitas peneluran, penetasan dan
perawatan/pelepasan tukik. Penelitian ini terfokus pada tahap penetasan dengan
1

memberikan variasi kedalaman sarang semi alami. Tujuan utama dari penelitian
ini adalah untuk membuktikan adanya perbedaan persentase penetasan terhadap
variasi kedalaman untuk mencari kedalaman sarang optimal. Kedalaman sarang
dimulai dari A=55cm, B=45cm dan C=35cm, dengan pengulangan sebanyak 3
kali menggunakan metode RAL (Rancangan Acak Lengkap). Sedangkan telur
yang digunakan merupakan telur dari satu induk yang dibagi menjadi 9 sarang
dengan 10 telur ditiap sarang. Persentase rata-rata hasil penetasan telur penyu
hijau di sarang dengan kedalaman 55cm = 86.7%, 45cm = 60% dan 35cm =
30.33%. Analisis uji non parametrik (uji Kruskal-Wallis) memberikan nilai Asymp
sig. 0.006 < 0.05 sehingga dapat dinyatakan H0 ditolak atau ada perbedaan nyata
antara kedalaman sarang dengan persentase penetasan. Hasil ini juga didukung
dengan data fluktuasi suhu telur selama masa inkubasi. Kedalaman 55cm
memiliki suhu paling stabil mulai dari 28C 30.6C yang merupakan suhu
optimal untuk perkembangan embrio telur penyu hijau.
Keywords : depth of nest, green turtle, hatching percentage, temperature
fluctuation.
PENDAHULUAN
Penyu hijau merupakan Animalia yang tergabung dalam filum Chordata,
kelas Reptilia, ordo Testudines, famili Cheloniidae, genus Chelonia dengan nama
species Chelonia mydas (Linnaeus, 1758). Ordo Testudines memiliki ciri khusus
berupa karapas (tempurung) dengan lapisan zat tanduk, sedangkan penyu hijau
memiliki karakter karapas berwarna coklat kehitaman dengan pola bintik hijau tua
dan corak coklat hingga kuning-putih (Wyneken, 2001). Penyu hijau adalah satu
dari tujuh spesies penyu di dunia, dengan 6 diantaranya berada di perairan
Indonesia, seperti penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu tempayan
(Caretta caretta), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing
(Dermochelys coriacea) dan penyu pipih (Natator depressus) (Karnan, 2008).
Penyu hijau memiliki kemampuan berenang untuk bermigrasi jarak jauh di
sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara.
Migrasi jarak jauh ini menurut Rosadi (2014) dilakukan pada periode 5-10 tahun
setelah menetas sebagai tukik, sedangkan dalam periode 5-10 tahun tersebut tukik
bersembunyi dan mencari makan di daerah sargassum. Ketika mencapai usia 2025 tahun penyu siap dan matang untuk bereproduksi dan bermigrasi kembali ke
daerah pantai tempat penetasannya. Berdasarkan masa reproduksinya yang
mencapai puluhan tahun, dapat dikatakan populasi individu ini berjalan lambat
(Rosadi, 2014). Keadaan yang demikian diperburuk dengan nilai komersial yang
tinggi untuk mengeksploitasi telur maupun pemanfaatan penyu hijau dewasa
sebagai cinderamata, mengakibatkan penurunan populasi yang cukup signifikan
(Spotila, 2004). Sehingga keberadaan penyu hijau terdaftar dalam CITES
Appendiks I plus zero quota of wild capture for commercial trade, ke dalam
individu paling terancam punah dalam skala global (IUCN, 2015).

Keadaan ini sebenarnya tidak terlepas dari ketegasan pemerintah dalam


upaya melakukan konservasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan (Baban,
2016), Pantai Pangumbahan Sukabumi-Jawa Barat sudah menjadi area konservasi
sejak tahun 1973 namun masih dikelola oleh swasta dengan sistem pembagian
hasil telur, 25% untuk konservasi dan 75% untuk diperjual-belikan, hal ini
didasari perda di Sukabumi yang memperbolehkan pemanfaatan telur penyu untuk
kepentingan komersil. Akan tetapi, menurut UU No. 34 Tahun 2004 tentang
perikanan, perda Sukabumi tersebut bertentangan, sehingga pada tahun 2008
bersama dengan KKP dibantu LSM-LSM terkait perda tersebut dicabut sekaligus
menetapkan pantai Pangumbahan sebagai area konservasi 100% yang dikelola
langsung dibawah Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Menurut Janawi (2009), penyu singgah ke darat untuk melakukan aktifitas
biologi yakni bersarang dan bertelur memanfaatkan pantai berpasir. Ketika penyu
berada di darat untuk bertelur, beberapa predator seperti anjing, musang, babi,
monyet, biawak, kepiting hantu, sampai semut merah hingga serangan jamur dan
bakteri serta keserakahan manusia sendiri dapat menjadi ancaman proses
peneluran penyu hijau dewasa dan proses penetasan telurnya (Karnan, 2008).
Keadaan inilah yang menjadi pendorong kembalinya ide pertama manusia
mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have),
namun secara bijaksana (wise use) yang diungkapkan Theodore Roosevelt pada
tahun 1902. Karena UU No. 34 tahun 2004 dan Permenhut No. 8 tahun 2008
sudah melindungi penyu dan telurnya melalui ancaman pidana dan upaya
konservasi sehingga penyu hijau dapat terhindar dari zona merah IUCN.
Berdasarkan hal tersebut diharapkan kelestarian dan ekosistem laut tetap terjaga.
Berdasarkan pengamatan langsung dan wawancara terhadap petugas
UPTD Konservasi Penyu Baban (2016), ada 3 tahap konservasi penyu di Pantai
Pangumbahan Sukabumi, Jawa Barat.
1. Peneluran : Aktivitas penyu hijau dewasa mendarat dan bertelur hingga
kembali ke laut.
2. Penetasan : Proses menande telur dari lokasi peneluran kesarang semi
alami dan penguburan telur.
3. Perawatan dan Pelepasan : Telur yang menetas dipindahkan ke tempat
aman di area kolam sentuh dan dilepaskan saat sore hari..

Gambar 1. Foto aktivitas peneluran (kiri), penetasan (tengah) dan perawatan /


pelepasan tukik (kanan).

Penelitian ini fokus pada tahap kedua yakni penetasan dengan melakukan
perbedaan kedalaman sarang terhadap presentase keberhasilan penetasan. Proses
awal penetasan dimulai dari aktivitas peneluran. Telur ditande langsung dari
sarang alami dilokasi peneluran (pesisir pantai) ke area penetasan semi alami.
Pada tahap pertama ini yakni pemindahan telur, terdapat hal penting yang harus
diperhatikan menurut Soedono (1985), yaitu interval waktu penguburan telur dari
sarang alami ke semi alami tidak boleh melebihi 2 jam. Selama 2 jam, mata tunas
embrio masih bersifat fleksibel dan mampu beradaptasi terhadap perubahan posisi
telur. Sebaliknya ketika telur dipindahkan lebih dari 2 jam, mata tunas sudah
mencapai titik permukaan telur yang menyebabkan posisi embrio menjadi
permanen, dan kesalahan saat peletakan posisi telur pada saat pemindahan ke
sarang semi alami akan berdampak pada kegagalan perkembangan embrio,
kematian dan infertil (Harless, Murlock, 1979). Langkah selanjutnya adalah
pembuatan/penggalian sarang semi alami, penguburan telur dan peletakan kawat
pengaman. Pembuatan sarang semi alami yang dilakukan petugas UPTD biasanya
menyerupai sarang alami buatan induk penyu hijau, dengan diameter bagian atas
lebih kecil berkisar 20-25cm dan bagian bawahnya lebih lebar sekitar 35-40cm
(bentuk kendi), serta pengurukan pasir dilakukan secara perlahan (dibiarkan
gembur). Tujuan perbedaan ukuran diameter adalah untuk menampung proses
perkembangan embrio. Sedangkan membiarkan tanah gembur akan berdampak
pada distribusi suhu dan kelembaban yang merata, selain itu pasir yang gembur
akan memudahkan tukik yang menetas mencari / menggali jalan keluar keatas
sehingga tukik tetap aman terkurung dalam sangkar kawat pelindung (Baban,
2016). Akan tetapi untuk penggalian kedalaman, biasanya hanya menggunakan
perkiraan petugas berdasarkan jumlah telur yang akan dikubur.

Masa
inkubasi
telur penyu
hijau
di
dalam

Tukik yang siap


menetas akan
memecahkan
cangkang
telurnya.

Gambar 2. Ilustrasi masa inkubasi

Setelah
selaput
embrio
terlepas, tukik
begerak
menggali ke
hingga
atas penetasan
untuk

Semua
tukik
yang
berhasil
menetas keluar
dari
sarang.
Biasanya
memakan

telur penyu hijau.

Terakhir adalah proses penetasan telur menjadi tukik yang ditandai dengan
runtuhnya pasir kebawah. Menurut Baban (2016), sarang yang sudah berumur
hampir 2 bulan perlu dibongkar walaupun belum ada tukik yang keluar. Karena
dikhawatirkan tukik tidak dapat menggali keatas lantaran pasir yang terlalu padat

sehingga menyebabkan tukik mati tertimbun. Walaupun menurut Limpus (1995),


tukik dapat bertahan 2-3 hari tanpa makanan apapun karena masih terdapat yolk
(cairan / cadangan makanan) yang tersisa dalam tubuh tukik. Akhir dari penetasan
tidak selamanya menghasilkan tukik yang sempurna dan siap dilepas ke laut. Ada
beberapa kemungkinan hasil akhir penetasan berupa tukik mati tertimbun, telur
terlalu kering, telur menjadi busuk, tukik infertil dan telur yang tidak berkembang
sama sekali.
Limpus (1995) menyatakan, pemindahan telur ke sarang semi alami
bertujan untuk mengurangi resiko kegagalan telur menetas akibat faktor
lingkungan yang seharusnya dapat dikendalikan seperti air laut yang pasang, suhu,
kelembaban, ph, kepadatan pasir, dll. Bahkan penelitian yang dilakukan
Wicaksono et al. (2013) menemukan ada faktor mikroba yang dapat memberikan
dampak pada proses inkubasi. Tentunya kondisi umum seperti suhu dan
kelembaban pada lingkungan telur dapat terbentuk karena pengaruh kedalaman
sarang.
TUJUAN
1. Membuktikan dugaan adanya perbedaan nyata antara variasi kedalaman
sarang semi alami dengan presentasi penetasan telur penyu hijau.
2. Menentukan perlakuan kedalaman sarang semi alami yang paling optimal
terhadap presentase penetasan.
3. Membuktikan pengaruh variasi kedalaman sarang semi alami terhadap
suhu telur selama masa inkubasi.
4. Penelitian ini nantinya dapat menjadi acuan petugas UPTD bagian
penetasan untuk pembuatan sarang semi alami.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di UPTD Konservasi Penyu Pangumbahan,
Sukabumi, Jawa Barat yang berjarak sekitar 108 km dari pusat kota Sukabumi.
Secara geografis, letak kawasan konservasi ini berada pada 106 1937 106
2007 LS, 07 1908 07 2052 BT yang memiliki luas sekitar 1.771 ha dan
terbagi atas daratan seluas 115 ha dengan fasilitas bangunan berupa kantor, aula,
perpustakaan, rumah dinas, musholla, lahan parkir, kolam sentuh dan area sarang
relokasi serta panjang pantai 2.300 m yang terbagi menjadi 6 pos. Sisanya seluas
1.656 ha merupakan perairan (laut). Area sarang relokasi atau area penetasan
sarang semi alami sendiri memiliki luas 800 m2 dan terbagi menjadi tiga area.

POS 6

POS 5

POS 4
POS 3
POS 2

LOKASI
PENETASAN
POS 1

Gambar 3. Lokasi UPTD Konservasi Penyu Pangumbahan.


Waktu dan Objek Penelitian
Penelitian dilakukan dimulai dari tanggal 22 Januari 2016 hingga 27 Maret
2016. Monitoring aktivitas peneluran dilakukan pukul 19:00-05:00 WIB, kontrol
harian penetasan dilakukan pukul 07:00-22:00 WIB, dan pelepasan tukik
dlakukan mulai pukul 16:30-18:00. Objek penelitian adalah telur penyu hijau
(Chelonia mydas) dan tukik penyu hijau.
Metode Penelitian dan Analisis Data
Perbedaan kedalaman sarang semi alami dikategorikan menjadi 3 yakni A
untuk kedalaman 55 cm, B untuk 45 cm dan C untuk 35 cm. Ketiga kategori
tersebut dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Telur didapat dari 1 induk yang
mendarat pada tanggal 31 Januari 2016 berjumlah 94 butir dengan 4 butir telur
cacat, sehingga masing-masing sarang diisi 10 butir telur. Metode yang digunakan
pada penelitian kali ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Setiap deret
sarang terdapat kategori A, B dan C yang kemudian diacak secara bebas dengan
tujuan mengurangi resiko pengaruh lingkungan yang tidak dapat dikontrol.
Variabel bebas pada penelitian ini adalah kedalaman, sedangkan variabel
terikatnya adalah presentase penetasan, rata-rata suhu. Data yang diperoleh
dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS. Pengujian yang dilakukan
adalah uji normalitas, homogenitas dan uji anova satu arah. Jika data tidak
terdistribusi normal, maka dilakukan uji non parametrik.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan pada penelitian kali ini adalah headlamp, mantel
hujan, kamera DSLR, ph meter, termometer, sekop, gergaji dan ember. Sedangkan
bahan yang digunakan adalah pipa pvc 5 meter dan air laut.
20-25
Gambar 4. Ilustrasi
sarang semi alami.
Gambar 5. Ilustrasi RAL.
cm

A = 55 cm
B = 45 cm
C = 35 cm

35

Langkah Kerja
1. Pemantauan dan monitoring aktivitas penyu hijau mendarat dan bertelur
dilakukan pukul 19:00-05:00 WIB. Penyu hijau yang dicari adalah yang
bertelur diatas 90 butir.
2. Persiapan sarang.
a. Pipa paralon digunakan sebagai sarana penghubung telur dengan
alat pengukur lingkungan telur. Pipa paralon dipotong menjadi 3
dan diulang 3 kali dengan panjang berbeda yakni 60cm, 50cm dan
40cm. Pipa ini diberikan lubang ventilasi pada bagian bawahnya
menggunakan paku bor secukupnya.
b. Sebanyak 9 sarang diukur dan diberikan jarak antar sarang sekitar
50 cm.
c. Kemudian lokasi sarang disiram air laut secukupnya.
d. Sarang digali dengan kedalaman bervariasi yakni 3 sarang sedalam
55cm, 3 sarang sedalam 45cm dan 3 sarang sedalam 35cm (Letak
tiap sarang yang berbeda kedalaman diacak). Diameter atas selebar
20 cm dan diameter bawah selebar 35 cm. Sarang ini digali ketika
telur sudah didapatkan.
3. Pengambilan Telur.
a. Telur ditande langsung dari lokasi peneluran di area pesisir pantai
dan segera dikuburkan sebelum 2 jam.
b. Telur yang ditande berasal dari satu Induk yang menelurkan lebih
dari 90 butir telur.
c. Suhu, ph dan kelembaban sarang buatan induk diukur
4. Penguburan Telur.
a. Tiap sarang diisi oleh 10 telur dan bagian tengah sarang ditanam
pipa pvc yang sesuai ukurannya dengan kedalaman sarang.
b. Suhu, ph dan kelembaban sarang semi alami diukur.
c. Tiap sarang yang telah selesai, diberikan label identifikasi dan
keterangan serta ditanam kawat pelindung.
d. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).

5. Kontrol Harian.
a. Suhu harian diukur tiap jam 07:00, 12:00, 17:00 dan 22:00 WIB.
b. Jika suhu dalam telur sudah melewat 35C atau terlalu banyak
semut, dilakukan penyiraman air laut.
c. Edukasi dan pemahaman seputar penyu dan telur penyu
diinformasikan kepada pengunjung dan wisatawan.
6. Penetasan Telur.
a. Tukik yang menetas ditiap sarang dihitung jumlahnya.
b. Panjang dan lebar karapas diukur.
c. Pengecekan tukik yang prematur, atau infertil dan penyerahan
tukik ke bagian kolam sentuh untuk dilepaskan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diperoleh adalah data presentase penetasan telur penyu hijau,
data harian fluktuasi suhu selama masa inkubasi, serta data kondisi fisik tukik
hasil penetasan. Semua data yang diperoleh merupakan data langsung baik
kulitatif dan kuantitatif. Telur penyu hijau dikuburkan pada tanggal 30-31 Januari
2016 dan menetas pada tanggal 25-26 Maret 2016, sehingga masa inkubasi
diperkirakan berlangsung 55 hari. Sedangkan telur yang dijadikan objek
penelitian merupakan telur yang berasal dari satu induk kemudian dibagi menjadi
9 sarang dengan masing-masing sarang berjumlah 10 butir. Tujuannya adalah
untuk menyeragamkan kondisi embrio baik dari secara fisik maupun molekuler,
sehingga hasil dari penelitian ini hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal
seperti kedalaman dan suhu.
Gambar 6. Diagram pengaruh kedalaman sarang terhadap presentase penetasan.

100
80
60
Persentase Penetasan (%)
40

Pengulangan 1

20

Pengulangan 3

Pengulangan 2

0
55
Variasi Kedalaman Sarang (cm)

Berdasarkan diagram batang diatas diperoleh perbedaan presentase tukik


yang menetas di kedalaman 55cm, 45cm dan 35cm. Kedalaman 55cm ternyata
memiliki presentase keberhasilan penetasan lebih besar dibandingkan kedalaman
45cm dan 35cm dengan rata-rata mencapai 86.7%.
Tabel 1. Hasil uji Kruskal-Wallis.
Test Statisticsa,b

Ranks
Kedalaman

Menetas

Mean Rank

55cm

14.33

45cm

9.33

35cm

4.83

Total

18

Menetas
Chi-Square
df

10.136
2

Asymp.
.006
Sig.
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kedalaman

Sebelum dilakukan pengujian, data ditransformasikan, sehinnga N menjadi


18, dengan nilai maksimal yang semula 10 menjadi 5. Hal ini perlu dilakukan
karena kelompok data yang diuji sangat sedikit. Setelah itu dilakukan Uji
normalitas pada data hasil penetasan, ternyata data tidak terdistribusi secara
normal. Karenanya dilakukan uji non parametrik yaitu uji Kruskal-Wallis. Dari
pengujian ini diperoleh nilai Chi-Square dan nilai signifikan sebesar 0.006 < 0.05
menandakan H0 ditolak yang berarti ada perbedaan signifikan antara variasi
sarang terhadap presentase keberhasilan tukik yang menetas. Sedangkan dalam
hasil ranks kedaalaman srang 55cm memiliki peringkat diatas kedalaman 45cm
dan 35cm. Hasil ini ternyata sesuai dengan pernyataan Direktorat Konservasi dan
Taman Laut (2009), mengenai kedalaman sarang yang efektif berkisar 55-60cm.
Pengaruh variasi kedalaman terhadap persentase keberhasilan penetasan diduga
berasal dari fluktuasi suhu yang terjadi akibat tingkat absorbansi pasir yang
terinduksi langsung oleh suhu lingkungan baik panas maupun dingin. Dugaan ini
diperkuat oleh pernyataan Nuitja (1992) bahwa suhu menjadi salah satu faktor
penentu selama masa inkubasi telur penyu. Pengukuran suhu yang dilakukan baik
suhu permukaan sarang maupun suhu telur selama masa inkubasi, disajikan dalam
bentuk grafik dibawah ini.
Gambar 7. Grafik rata-rata fluktuasi suhu sarang semi alami selama masa
inkubasi.
9

X Permukaan
40.0

X Telur

37.0

36.9
36.9

35.0

30.6 30.4
30.2 29.1
27.8
30.0
27.1 27.9
26.3
28.0
25.0

30.3

33.0
29.1

27.8

30.4 29.2
30.2

30.4 30.1
27.1

Suhu (C) 20.0

25.2

27.0

15.0
10.0
5.0
0.0 1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

6.0

7.0

8.0

9.0

12.0
10.0 11.0

Kedalaman (cm)

Berdasarkan grafik diatas, terlihat rata-rata fluktuasi suhu permukaan dan


suhu telur ditiap sarang mulai dari pukul 7:00 hingga 22:00. Secara umum, suhu
permukaan cenderung lebih fluktuatif dibandingkan dengan suhu telur. Kemudian
jika melihat dari hasil pengukuran suhu ditiap kedalaman, akan terlihat hubungan
antara suhu, kedalaman sarang, dan persentase penetasan. Pada kedalaman 55cm,
terlihat fluktuasi suhu telur berjalan sangat stabil seakan tidak terpengaruh suhu
permukaan yang memiliki dinamika cukup ekstrim, seperti saat suhu permukaan
pukul 12:00 mengalami lonjakan drastis dan saat pukul 22:00 mengalami
penurunan drastis. Sementara kedalaman sarang 45cm memiliki dinamika suhu
yang cenderung sama dengan kedalaman 55cm, hanya saja fluktuasi suhu dimulai
dari suhu 26.3C. Sedangkan yang terakhir adalah kedalaman 35cm dengan suhu
telur yang memiliki dinamika naik turun cukup signifikan mengikuti dinamika
suhu permukaanya.
Material penyusun pasir menurut Primasatya (2013) terdiri dari fraksi
kasar pada permukaan hingga fraksi halus dikedalaman, dengan beberapa
kandungan logam seperti Co, Fe, Mn, Cr dan TI. Permukaan pasir yang terkena
radiasi matahari secara langsung menyebabkan suhu permukaan meningkat.
Akibatnya terjadi peristiwa konduksi, yaitu proses perpindahan kalor dari
permukaan pasir (suhu tinggi) ke pasir dibawahnya (suhu rendah), begitupula
sebaliknya (Holman, 1995). Sehingga, fluktuasi suhu pada sarang yang lebih
dalam cenderung stabil karena proses perpindahan kalor akan berjalan lebih
lambat. Hal inilah yang terjadi pada kedalaman sarang 55cm yang memiliki range
suhu inkubasi rata-rata 28C - 30.6C. Sementara Nuitja (1992) menyatakan
bahwa suhu optimum untuk proses perkembangan embrio telur penyu adalah
28C - 30C. Kemungkinan, hubungan antara kedalaman sarang dan suhu inilah

10

yang menyebabkan persentase penetasan di sarang dengan kedalaman 55cm lebih


baik.
Hasil dari penetasan telur penyu hijau tidak semuanya berhasil menjadi
tukik. Keadaan ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Selain
kedalaman sarang dan suhu, masih terdapat beberapa parameter yang menentukan
keberhasilan penetasan.

Gambar 8. Foto kondisi telur dan tukik setelah proses penetasan.


Pengamatan terhadap kondisi telur dan tukik setelah penetasan
menghasilkan beberapa kemungkinan. Pada gambar 8 foto 1 merupakan kondisi
telur yang gagal berkembang. Sedangkan pada foto 2, merupakan tukik yang mati
dalam cangkang. Kemudian foto 3 menunjukkan tukik yang menetas prematur
dan terjebak di cangkang. Terakhir foto 4 merupakan tukik yang sehat dan
berkembang sempurna saat bergerak keluar sarang. Kondisi seperti foto diatas
menurut Hatasura (2004) dapat disebebkan oleh beberapa hal seperti, gagal
berkembang akibat terhimpit telur lain (terlalu banyak telur), tingkat kepadatan
pasir, kekurangan oksigen (jika sudah menetas dan tidak dapat keluar sarang),
bahkan kematian tukik dalam cangkang yang dapat menyebabkan kematian
lanjutan bagi tukik-tukik lain. Akan tetapi pada penelitian ini, setiap sarang hanya
berisi 10 telur, sehingga terdapat ruang cukup luas bagi embrio untuk
berkembang. Kemungkinan kegagalan penetasan atau gagalnya perkembangan
embrio disebabkan oleh keadaan lingkungan sarang terutama suhu. Keadaan
fluktuatif suhu pada sarang dengan kedalaman 35 cm misalnya, suhu yang
berubah terlalu drastis dalam waktu singkat diduga dapat menggangu proses
metabolisme embrio untuk berkembang. Kemudian penelitian ini dilakukan pada
11

periode musim barat sehingga curah hujan cukup tinggi. Air hujan yang secara
berlebih mengakibatkan kadar air pada sarang menjadi lebih tinggi, akibatnya bisa
berupa tumbuhnya jamur pada cangkang telur dan memungkinkan masuknya
bakteri patogen sehigga menyebabkan kematian pada embrio yang sedang
berkembang (Hatasura, 2004).
KESIMPULAN
1. Hasil uji Kruskal-Wallis memberikan nilai Asymp sig. 0.006 < 0.55 yang
membuktikan ada perbedaan nyata antara variasi kedalaman sarang semi
alami dengan persentase penetasan telur penyu hijau.
2. Kedalaman sarang semi alami paling optimal adalah 55cm dengan
persentase penetasan mencapai 86.7%.
3. Variasi kedalaman sarang semi alami memberikan dampak pada fluktuasi
suhu. Semakin dalam sarang, suhu telur akan semakin stabil yang
ditunjukkan oleh sarang yang memiliki kalaman 55cm dengan range suhu
telur 28C - 30.6C. Hal ini dapat terjadi karena proses konduksi.
4. Sebagai bahan acuan pembuatan sarang semi alami, penelitian ini
bermanfaat untuk menentukan kedalaman sarang, tetapi perlu dilakukan
penelitian lanjutan dengan berbagai parameter.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur kehadirat Tuhan YME. karena penulis telah diberikan
kesehatan untuk menyelesaikan artikel ilmiah ini. Terimakasih kepada dosen
pembimbing ibu Dr. Dewi Elfidasari, S.Si., M.Si. yang telah membantu dan
memberikan masukan kepada penulis serta kepada M. Reza Saputro, M. Qeis T.
yang membantu penulis saat melakukan riset di UPTD Pangumbahan Sukabumi.
Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada pak Ahman Kurniawan
selaku kepala UPTD, pak Baban, pak Beben, pak Ocos, pak Ujan, dan seluruh
petugas UPTD yang berkontribusi langsung saat melakukan riset. Terakhir penulis
berterima kasih kepada Dikti karena telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengembangkan minat dan kemampuan menulis artikel ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Baban. (2016, Febuari 3). Aktivitas Pelestarian Penyu Hijau di UPTD Konservasi
Penyu Pangumbahan. (T. Gifari, Pewawancara).
Direktorat Konservasi dan Taman Laut. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan
Konservasi Penyu dan Habitatnya. Jakarta : Departemen Kelautan dan
Perikanan.

12

Harless M, Murlock H. 1979. Turtle Respectives and Research. New York : John
Wiley & Sons.
Hatasura IN. 2004. Pengaruh Karakteristik Media Pasir Sarang Terhadap
Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas). [skripsi].
Bogor : Institut Pertanian Bogor (IPB).
Holman JP. 1995. Perpindahan Panas. Edisi ke 6. Jakarta : Erlangga.
IUCN. 2015. Chelonia mydas. http://www.iucnredlist.org/details/summary/4615/0
[15/04/16].
Janawi. 2009. Perkembangan Suhu Sarang Penetasan Buatan pada Penetasan
Telur Penyu hijau (Chelonia mydas L.) di Pantai Pangumbahan
Kabupatan Sukabumi. [skripsi]. Cianjur : Fakultas Pertanian Universitas
Suryakencana.
Karnan. 2008. Penyu Hijau : Status dan Konservasinya. Jurnal Pijar. MIPA Vol.III
No.2 : 86-89.
Limpus CJ. Marine Turtle Biology. Marines Turtles of Indonesia : Population
Viability and Conservation Assessment and Management Workshop. A
Collaborative Workshop : PHPA, Taman Safari Indonesia. PKNSI.
Cisarua, Indonesia.
Linnaeus C. 1758. Systema Naturae per regna tria naturae, secundum classes,
ordines, genera, species, cum characteribus, differentiis, synonymis, locis,
tomus l, Editio Decima, reformata. pp. [1-4], 1-824. Holmiae. (Salvius).
Nuitja INS. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Bogor : Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Primasatya E, Elfidasari D dan Sugoro I. 2013. Identifikasi Kandungan Logam
Berat Pada Pasir Sarang Penyu Hijau (Chelonia mydas). Jakarta :
Universitas Al-Azhar Indonesia.
Rosadi HE. 2014. Pusat Konservasi Penyu di Pulau Derawan. [tugas akhir].
Malang : Universitas Islam Negeri.
Soedono RVJ. 1985. Pedoman Praktek Penangkaran Telur Penyu Hijau, Chelonia
mydas. Proyek Pembinaan Latihan Kehutanan di Ciawi. Bogor.
Spotila JR. 2004. Sea Turtles. A Complete Guide to Their Biology, Behavior, and
Conservation. Baltimore : John Hopkins University.
Wicaksono MA, Elfidasari D dan Kurniawan A. 2013. Aktivitas Pelestarian
Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Taman Pesisir Penyu Pangumbahan
Sukabumi Jawa Barat. Jakarta : Universtas Al-Azhar Indonesia.
Wyneken J. 2001. The Anatomy of Sea Turtles. U.S Department of Commerce
NOAA Technical Memorandum NMFS-SEFSC-470.

13

Anda mungkin juga menyukai