memberikan variasi kedalaman sarang semi alami. Tujuan utama dari penelitian
ini adalah untuk membuktikan adanya perbedaan persentase penetasan terhadap
variasi kedalaman untuk mencari kedalaman sarang optimal. Kedalaman sarang
dimulai dari A=55cm, B=45cm dan C=35cm, dengan pengulangan sebanyak 3
kali menggunakan metode RAL (Rancangan Acak Lengkap). Sedangkan telur
yang digunakan merupakan telur dari satu induk yang dibagi menjadi 9 sarang
dengan 10 telur ditiap sarang. Persentase rata-rata hasil penetasan telur penyu
hijau di sarang dengan kedalaman 55cm = 86.7%, 45cm = 60% dan 35cm =
30.33%. Analisis uji non parametrik (uji Kruskal-Wallis) memberikan nilai Asymp
sig. 0.006 < 0.05 sehingga dapat dinyatakan H0 ditolak atau ada perbedaan nyata
antara kedalaman sarang dengan persentase penetasan. Hasil ini juga didukung
dengan data fluktuasi suhu telur selama masa inkubasi. Kedalaman 55cm
memiliki suhu paling stabil mulai dari 28C 30.6C yang merupakan suhu
optimal untuk perkembangan embrio telur penyu hijau.
Keywords : depth of nest, green turtle, hatching percentage, temperature
fluctuation.
PENDAHULUAN
Penyu hijau merupakan Animalia yang tergabung dalam filum Chordata,
kelas Reptilia, ordo Testudines, famili Cheloniidae, genus Chelonia dengan nama
species Chelonia mydas (Linnaeus, 1758). Ordo Testudines memiliki ciri khusus
berupa karapas (tempurung) dengan lapisan zat tanduk, sedangkan penyu hijau
memiliki karakter karapas berwarna coklat kehitaman dengan pola bintik hijau tua
dan corak coklat hingga kuning-putih (Wyneken, 2001). Penyu hijau adalah satu
dari tujuh spesies penyu di dunia, dengan 6 diantaranya berada di perairan
Indonesia, seperti penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu tempayan
(Caretta caretta), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing
(Dermochelys coriacea) dan penyu pipih (Natator depressus) (Karnan, 2008).
Penyu hijau memiliki kemampuan berenang untuk bermigrasi jarak jauh di
sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara.
Migrasi jarak jauh ini menurut Rosadi (2014) dilakukan pada periode 5-10 tahun
setelah menetas sebagai tukik, sedangkan dalam periode 5-10 tahun tersebut tukik
bersembunyi dan mencari makan di daerah sargassum. Ketika mencapai usia 2025 tahun penyu siap dan matang untuk bereproduksi dan bermigrasi kembali ke
daerah pantai tempat penetasannya. Berdasarkan masa reproduksinya yang
mencapai puluhan tahun, dapat dikatakan populasi individu ini berjalan lambat
(Rosadi, 2014). Keadaan yang demikian diperburuk dengan nilai komersial yang
tinggi untuk mengeksploitasi telur maupun pemanfaatan penyu hijau dewasa
sebagai cinderamata, mengakibatkan penurunan populasi yang cukup signifikan
(Spotila, 2004). Sehingga keberadaan penyu hijau terdaftar dalam CITES
Appendiks I plus zero quota of wild capture for commercial trade, ke dalam
individu paling terancam punah dalam skala global (IUCN, 2015).
Penelitian ini fokus pada tahap kedua yakni penetasan dengan melakukan
perbedaan kedalaman sarang terhadap presentase keberhasilan penetasan. Proses
awal penetasan dimulai dari aktivitas peneluran. Telur ditande langsung dari
sarang alami dilokasi peneluran (pesisir pantai) ke area penetasan semi alami.
Pada tahap pertama ini yakni pemindahan telur, terdapat hal penting yang harus
diperhatikan menurut Soedono (1985), yaitu interval waktu penguburan telur dari
sarang alami ke semi alami tidak boleh melebihi 2 jam. Selama 2 jam, mata tunas
embrio masih bersifat fleksibel dan mampu beradaptasi terhadap perubahan posisi
telur. Sebaliknya ketika telur dipindahkan lebih dari 2 jam, mata tunas sudah
mencapai titik permukaan telur yang menyebabkan posisi embrio menjadi
permanen, dan kesalahan saat peletakan posisi telur pada saat pemindahan ke
sarang semi alami akan berdampak pada kegagalan perkembangan embrio,
kematian dan infertil (Harless, Murlock, 1979). Langkah selanjutnya adalah
pembuatan/penggalian sarang semi alami, penguburan telur dan peletakan kawat
pengaman. Pembuatan sarang semi alami yang dilakukan petugas UPTD biasanya
menyerupai sarang alami buatan induk penyu hijau, dengan diameter bagian atas
lebih kecil berkisar 20-25cm dan bagian bawahnya lebih lebar sekitar 35-40cm
(bentuk kendi), serta pengurukan pasir dilakukan secara perlahan (dibiarkan
gembur). Tujuan perbedaan ukuran diameter adalah untuk menampung proses
perkembangan embrio. Sedangkan membiarkan tanah gembur akan berdampak
pada distribusi suhu dan kelembaban yang merata, selain itu pasir yang gembur
akan memudahkan tukik yang menetas mencari / menggali jalan keluar keatas
sehingga tukik tetap aman terkurung dalam sangkar kawat pelindung (Baban,
2016). Akan tetapi untuk penggalian kedalaman, biasanya hanya menggunakan
perkiraan petugas berdasarkan jumlah telur yang akan dikubur.
Masa
inkubasi
telur penyu
hijau
di
dalam
Setelah
selaput
embrio
terlepas, tukik
begerak
menggali ke
hingga
atas penetasan
untuk
Semua
tukik
yang
berhasil
menetas keluar
dari
sarang.
Biasanya
memakan
Terakhir adalah proses penetasan telur menjadi tukik yang ditandai dengan
runtuhnya pasir kebawah. Menurut Baban (2016), sarang yang sudah berumur
hampir 2 bulan perlu dibongkar walaupun belum ada tukik yang keluar. Karena
dikhawatirkan tukik tidak dapat menggali keatas lantaran pasir yang terlalu padat
POS 6
POS 5
POS 4
POS 3
POS 2
LOKASI
PENETASAN
POS 1
A = 55 cm
B = 45 cm
C = 35 cm
35
Langkah Kerja
1. Pemantauan dan monitoring aktivitas penyu hijau mendarat dan bertelur
dilakukan pukul 19:00-05:00 WIB. Penyu hijau yang dicari adalah yang
bertelur diatas 90 butir.
2. Persiapan sarang.
a. Pipa paralon digunakan sebagai sarana penghubung telur dengan
alat pengukur lingkungan telur. Pipa paralon dipotong menjadi 3
dan diulang 3 kali dengan panjang berbeda yakni 60cm, 50cm dan
40cm. Pipa ini diberikan lubang ventilasi pada bagian bawahnya
menggunakan paku bor secukupnya.
b. Sebanyak 9 sarang diukur dan diberikan jarak antar sarang sekitar
50 cm.
c. Kemudian lokasi sarang disiram air laut secukupnya.
d. Sarang digali dengan kedalaman bervariasi yakni 3 sarang sedalam
55cm, 3 sarang sedalam 45cm dan 3 sarang sedalam 35cm (Letak
tiap sarang yang berbeda kedalaman diacak). Diameter atas selebar
20 cm dan diameter bawah selebar 35 cm. Sarang ini digali ketika
telur sudah didapatkan.
3. Pengambilan Telur.
a. Telur ditande langsung dari lokasi peneluran di area pesisir pantai
dan segera dikuburkan sebelum 2 jam.
b. Telur yang ditande berasal dari satu Induk yang menelurkan lebih
dari 90 butir telur.
c. Suhu, ph dan kelembaban sarang buatan induk diukur
4. Penguburan Telur.
a. Tiap sarang diisi oleh 10 telur dan bagian tengah sarang ditanam
pipa pvc yang sesuai ukurannya dengan kedalaman sarang.
b. Suhu, ph dan kelembaban sarang semi alami diukur.
c. Tiap sarang yang telah selesai, diberikan label identifikasi dan
keterangan serta ditanam kawat pelindung.
d. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).
5. Kontrol Harian.
a. Suhu harian diukur tiap jam 07:00, 12:00, 17:00 dan 22:00 WIB.
b. Jika suhu dalam telur sudah melewat 35C atau terlalu banyak
semut, dilakukan penyiraman air laut.
c. Edukasi dan pemahaman seputar penyu dan telur penyu
diinformasikan kepada pengunjung dan wisatawan.
6. Penetasan Telur.
a. Tukik yang menetas ditiap sarang dihitung jumlahnya.
b. Panjang dan lebar karapas diukur.
c. Pengecekan tukik yang prematur, atau infertil dan penyerahan
tukik ke bagian kolam sentuh untuk dilepaskan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diperoleh adalah data presentase penetasan telur penyu hijau,
data harian fluktuasi suhu selama masa inkubasi, serta data kondisi fisik tukik
hasil penetasan. Semua data yang diperoleh merupakan data langsung baik
kulitatif dan kuantitatif. Telur penyu hijau dikuburkan pada tanggal 30-31 Januari
2016 dan menetas pada tanggal 25-26 Maret 2016, sehingga masa inkubasi
diperkirakan berlangsung 55 hari. Sedangkan telur yang dijadikan objek
penelitian merupakan telur yang berasal dari satu induk kemudian dibagi menjadi
9 sarang dengan masing-masing sarang berjumlah 10 butir. Tujuannya adalah
untuk menyeragamkan kondisi embrio baik dari secara fisik maupun molekuler,
sehingga hasil dari penelitian ini hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal
seperti kedalaman dan suhu.
Gambar 6. Diagram pengaruh kedalaman sarang terhadap presentase penetasan.
100
80
60
Persentase Penetasan (%)
40
Pengulangan 1
20
Pengulangan 3
Pengulangan 2
0
55
Variasi Kedalaman Sarang (cm)
Ranks
Kedalaman
Menetas
Mean Rank
55cm
14.33
45cm
9.33
35cm
4.83
Total
18
Menetas
Chi-Square
df
10.136
2
Asymp.
.006
Sig.
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kedalaman
X Permukaan
40.0
X Telur
37.0
36.9
36.9
35.0
30.6 30.4
30.2 29.1
27.8
30.0
27.1 27.9
26.3
28.0
25.0
30.3
33.0
29.1
27.8
30.4 29.2
30.2
30.4 30.1
27.1
25.2
27.0
15.0
10.0
5.0
0.0 1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
9.0
12.0
10.0 11.0
Kedalaman (cm)
10
periode musim barat sehingga curah hujan cukup tinggi. Air hujan yang secara
berlebih mengakibatkan kadar air pada sarang menjadi lebih tinggi, akibatnya bisa
berupa tumbuhnya jamur pada cangkang telur dan memungkinkan masuknya
bakteri patogen sehigga menyebabkan kematian pada embrio yang sedang
berkembang (Hatasura, 2004).
KESIMPULAN
1. Hasil uji Kruskal-Wallis memberikan nilai Asymp sig. 0.006 < 0.55 yang
membuktikan ada perbedaan nyata antara variasi kedalaman sarang semi
alami dengan persentase penetasan telur penyu hijau.
2. Kedalaman sarang semi alami paling optimal adalah 55cm dengan
persentase penetasan mencapai 86.7%.
3. Variasi kedalaman sarang semi alami memberikan dampak pada fluktuasi
suhu. Semakin dalam sarang, suhu telur akan semakin stabil yang
ditunjukkan oleh sarang yang memiliki kalaman 55cm dengan range suhu
telur 28C - 30.6C. Hal ini dapat terjadi karena proses konduksi.
4. Sebagai bahan acuan pembuatan sarang semi alami, penelitian ini
bermanfaat untuk menentukan kedalaman sarang, tetapi perlu dilakukan
penelitian lanjutan dengan berbagai parameter.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur kehadirat Tuhan YME. karena penulis telah diberikan
kesehatan untuk menyelesaikan artikel ilmiah ini. Terimakasih kepada dosen
pembimbing ibu Dr. Dewi Elfidasari, S.Si., M.Si. yang telah membantu dan
memberikan masukan kepada penulis serta kepada M. Reza Saputro, M. Qeis T.
yang membantu penulis saat melakukan riset di UPTD Pangumbahan Sukabumi.
Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada pak Ahman Kurniawan
selaku kepala UPTD, pak Baban, pak Beben, pak Ocos, pak Ujan, dan seluruh
petugas UPTD yang berkontribusi langsung saat melakukan riset. Terakhir penulis
berterima kasih kepada Dikti karena telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengembangkan minat dan kemampuan menulis artikel ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Baban. (2016, Febuari 3). Aktivitas Pelestarian Penyu Hijau di UPTD Konservasi
Penyu Pangumbahan. (T. Gifari, Pewawancara).
Direktorat Konservasi dan Taman Laut. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan
Konservasi Penyu dan Habitatnya. Jakarta : Departemen Kelautan dan
Perikanan.
12
Harless M, Murlock H. 1979. Turtle Respectives and Research. New York : John
Wiley & Sons.
Hatasura IN. 2004. Pengaruh Karakteristik Media Pasir Sarang Terhadap
Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas). [skripsi].
Bogor : Institut Pertanian Bogor (IPB).
Holman JP. 1995. Perpindahan Panas. Edisi ke 6. Jakarta : Erlangga.
IUCN. 2015. Chelonia mydas. http://www.iucnredlist.org/details/summary/4615/0
[15/04/16].
Janawi. 2009. Perkembangan Suhu Sarang Penetasan Buatan pada Penetasan
Telur Penyu hijau (Chelonia mydas L.) di Pantai Pangumbahan
Kabupatan Sukabumi. [skripsi]. Cianjur : Fakultas Pertanian Universitas
Suryakencana.
Karnan. 2008. Penyu Hijau : Status dan Konservasinya. Jurnal Pijar. MIPA Vol.III
No.2 : 86-89.
Limpus CJ. Marine Turtle Biology. Marines Turtles of Indonesia : Population
Viability and Conservation Assessment and Management Workshop. A
Collaborative Workshop : PHPA, Taman Safari Indonesia. PKNSI.
Cisarua, Indonesia.
Linnaeus C. 1758. Systema Naturae per regna tria naturae, secundum classes,
ordines, genera, species, cum characteribus, differentiis, synonymis, locis,
tomus l, Editio Decima, reformata. pp. [1-4], 1-824. Holmiae. (Salvius).
Nuitja INS. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Bogor : Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Primasatya E, Elfidasari D dan Sugoro I. 2013. Identifikasi Kandungan Logam
Berat Pada Pasir Sarang Penyu Hijau (Chelonia mydas). Jakarta :
Universitas Al-Azhar Indonesia.
Rosadi HE. 2014. Pusat Konservasi Penyu di Pulau Derawan. [tugas akhir].
Malang : Universitas Islam Negeri.
Soedono RVJ. 1985. Pedoman Praktek Penangkaran Telur Penyu Hijau, Chelonia
mydas. Proyek Pembinaan Latihan Kehutanan di Ciawi. Bogor.
Spotila JR. 2004. Sea Turtles. A Complete Guide to Their Biology, Behavior, and
Conservation. Baltimore : John Hopkins University.
Wicaksono MA, Elfidasari D dan Kurniawan A. 2013. Aktivitas Pelestarian
Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Taman Pesisir Penyu Pangumbahan
Sukabumi Jawa Barat. Jakarta : Universtas Al-Azhar Indonesia.
Wyneken J. 2001. The Anatomy of Sea Turtles. U.S Department of Commerce
NOAA Technical Memorandum NMFS-SEFSC-470.
13