Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN INDIVIDU

FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)


SKENARIO 1 : WABAH PADA IKAN KERAPU

Nama : Shafira Inggrid El Islami


NIM : 15/379496/KH/08525
Kelompok : 4

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
I. Judul
Wabah pada Ikan Kerapu

II. Tujuan Pembelajaran


1. Mahasiswa mampu memahami penyebab penyakit pada ikan, mengenali gejala
klinis penyakit, mengdiagnosa, terapinya, dan pencagahan penyakit.
2. Mahasiswa mampu menelusuri patogenesis penyakit (konsep filosofis: what/apa,
why/mengapa dan how/bagaimana, diagnosa, prognosa penyakit dan saran/advis
bagi peternak ikan.
3. Mahasiswa mampu memahami konsep imunitas pada ikan, respon imun berdarah
dingin dan berdarah panas, serta strategi vaksinasi pada ikan.
4. Mahasiswa dapat saling berkolaborasi, berbagai konsep keilmuan, keterampilan dan
perilaku dalam diskusi

III. Skema Pembelajaran

Skenario 1 : Memahami dan menganalisis berbagai penyakit yang menyebabkan kematian pada
ikan, pengaruh faktor lingkungan terhadap kualitas air , konsep imunitas dan strategi vaksinasi
pada ikan, dalam konteks terpadu dan holistik

Immunologi Veteriner Ilmu Penyakit pada


Ikan dan Udang

IV. Bahasan
1. Agen penyebab penyakit, replikasi, nama penyakit, gejala klinis, patogenesis,
dan penanganan
A. Ikan Kerapu
Ikan kerapu (Epinephelus sp) atau dikenal dengan nama dagang “groupers” dan
merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi dan
berpeluang dipasarkan baik di domestik maupun internasional. Keuntungan
budidaya ikan kerapu dikarenakan pertumbuhannya yang cepat dan dapat
diproduksi secara massal, terutama untuk melayani permintaan pasar akan ikan
kerapu hidup (Bahar, 2006).
Gambar 1. Ikan kerapu

B. Iridovirus

 Karakteristik Iridovirus
Iridovirus merupakan famili virus yang memiliki ukuran 130-300 nm, materi
genetiknya berupa DNA dan dengan kapsid berbentuk ikosahedral (berisi 20). Iridovirus
dijumpai pada beragam spesies ikan laut dan dapat ditemukan di limpa dan jaringan
intestinal ikan yang sakit atau sekarat dengan tanda-tanda penyakit sistemik. Tingkat
mortalitas ikan yang terinfeksi mulai dari rendah (0,5 – 10%) hingga sedang (50%) dan
umumnya dapat menyebabkan kematian dalam kurun waktu 24-48 jam setelah munculnya
gejala-gejala infeksi. Infeksi iridovirus pada budidaya ikan laut telah diidentifikasi memiliki
variasi yang dapat digolongkan menjadi: Red Seabream Iridovirus Disease (RSIVD), Sleepy
Grouper Disease (SGD) dan Grouper Iridovirus Disease (GIVD). Secara keseluruhan infeksi
iridovirus ini dapat mengakibatkan infeksi yang sistemik pada ikan. Dikarenakan hubungan
antara ketiga jenis Iridovirus ini tidak begitu jelas, makan penyakit Iridovirus tersebut
diatas disajikan secara terpisah (Novriadi et al, 2014).

 Red Seabream Iridovirus Disease (RSVID)


Penyakit ini merupakan infeksi iridovirus yang telah dikaji secara luas. Jenis virus
ini sering ditemukan pada budidaya ikan Red Seabream di Jepang. Selanjutnya virus
ini telah dilaporkan menginfeksi banyak jenis ikan Kerapu, seperti: Epinephelus
akaara, E.malabaricus, E. coioides, E. awoara dan E. fuscoguttaus baik di Jepang,
Taiwan, Thailand, Malaysia hingga ke Indonesia. Penyebab penyakit ini adalah Red
Seabream Iridovirus Disease (RSIVD) yang memiliki ukran 130 – 196 nm. Umumnya
menginfeksi ikan Kerapu atau ikan laut lainnya yang memiliki usia pertumbuhan
kurang dari 1 tahun. Ikan yang terinfeksi oleh Red Seabream Iridovirus Disease
(RSIVD) akan mengalami penurunan nafsu makan dan kematian terjadi pada 8 – 10
hari setelah ikan terpapar oleh virus (Novriadi et al, 2014).

 Sleepy Grouper Disease (SGD)


Agen penyebab penyakit ini memiliki ukuran 130 – 160 nm. Penyakit ini pertama
kali dilaporkan terjadi pada ikan Kerapu Epinephelus tauvina ukuran 100 – 200 g dan
2 – 4 kg di Singapura dan Malaysia. Ikan yang terinfeksi akan menunjukkan gejala
klinis luka yang akut, nafsu makan berkurang dan berenang baik sendirian atau
mengapung di permukaan air atau tetap berada di dasar bak (Novriadi et al, 2014).

 Grouper Iridovirus Disease (GIVD)


Agen penyebab penyakit ini adalah iridovirus dari genus Ranavirus yang memiliki
ukuran 200 – 240 nm dan berbeda dari RSIVD. Ikan yang terinfeksi menunjukkan
gejala klinis berenang yang tidak aktif, nafsu makan berkurang, letargik dan warna
ekor dan sirip cenderung menjadi gelap. Ikan yang sudah terinfeksi virus ini secara
akut akan mengapung ke permukaan kemudian akhirnya tenggelam ke dasar bak dan
mati (Novriadi et al, 2014).

 Agen Penyebab
Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk ke dalam family Iridoviridae
dan memiliki bentuk heksagonal dengan diameter 200-240 nm (pada ikan red
seabream) dan 140-160 nm (pada ikan kerapu). Infeksi virus ini dilaporkan telah
menyebar di lingkungan budidaya di wilayah Asia Tenggara dan menjadi salah satu
penyakit dalam daftar OIE di tahun 2014. Di Indonesia, Infeksi Iridovirus pertama kali
terdeteksi di lokasi budidaya kerapu di Sumatera Utara dan kemudian menyebar di
unit-unit perbenihan yang ada di Lamongan, Jawa Timur. Data terkini menunjukkan
bahwa infeksi Iridovirus ini telah menyerang budidaya ikan Kerapu di Lampung, Pulau
Seribu, Batam dan Ambon (Novriadi et al, 2014).

 Pemicu Infeksi
Lingkungan yang terkontaminasi dan kualitas air yang buruk memicu peningkatan
infeksi iridovirus. Hal ini utamanya disebabkan oleh kontak langsung antara insang
dan saluran pencernaan ikan dengan lingkungan. Penyebaran virus antara ikan yang
berada di sistem produksi yang sama akan terjadi dengan sangat cepat bila ikan tidak
memiliki sistem imun yang baik dan berada dalam kondisi lemah. Namun, belum ada
laporan yang menyatakan bahwa virus ini dapat menyebar secara vertikal, karena
pada umumnya virus ini menyebar akibat introduksi ikan impor yang telah terinfeksi
oleh Iridovirus sebelumnya atau bersifat carier terhadap Iridovirus (Novriadi et al,
2014).

 Gejala Klinis
Tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh ikan yang terinfeksi oleh Iridovirus
diantaranya warna tubuh menjadi gelap (melanosis) dan letargik (sekarat, dengan
gerakan lemah). Seringkali ikan kehilangan nafsu makan, pembengkakan abdomen,
limpa membesar, saluran pencernaan memerah karena pendarahan (hemoragik) dan
terdapat cairan keruh dalam rongga tubuh (Novriadi et al, 2014).
Ikan yang terinfeksi menjadi lethargic, menunjukan anemia, petechiae pada
insang dan pembesaran pada limpa (Anonim, 2009).

 Patogenesis
Penularan Red Seabream Iridovirus Disease yaitu secara horizontal pada air.

 Replikasi
Nucleocytoplasmic
1. Attachment protein virus ke hospes reseptor dimediasi endositosis virus ke dalam
sel inang.
2. Fusi dengan membran plasma untuk melepaskan inti DNA ke dalam sitoplasma
hospes.
3. Virus DNA diangkut ke inti sel dimana sintesis makromolekul hospes dengan cepat
dihentikan. Transkripsi diinisiasikan oleh viral modifikasi hospes RNA polymerase II.
4. DNA induk digunakan untuk menghasilkan genom dan lebih besar dari DNA
panjang genom.
5. DNA progeni diangkut ke sitoplasma virus dimana kebanyak DNA virus terbentuk
melalui rekombinasi. Transkripsi dari transkirpsi yang paling telat juga dapat terjadi
di sitoplasma.
6. Perakitan virion baru di sitoplasma. Virion keluar dari sel dengan budding atau lisis
sel.
(Anonim, 2018)
 Penanganan
Upaya pengendalian penyakit infeksi Iridovirus tidak ada yang efektif, baik
pengendalian antibiotik maupun dengan bahan-bahan anti virus lainnya. Tindakan
pencegahan penyakit infeksi Iridovirus ini diantaranya, penggunaan imunostimulan
bakterin dengan cara penyuntikan intraperitoneal pada benih ikan kerapu untuk
meningkatkan sintasan benih terhadap infeksi Iridovirus. Selain itu, pemberian vaksin
pada juvenil ikan kerapu dengan cara perendaman mampu meingkatkan imunitas dan
sintasan benih terhadap infeksi Iridovirus. Sedangkan penambahan vitamin C dan
imunostimulan dalam pakan dapat meningkatkan dan respon imun non spesifik benih
ikan kerapu (Johnny da Roza, 2009).

2. Cara melakukan isolasi dan identifikasi Iridovirus


Isolasi RSIV dilakukan dengan menggunakan sel Grunt Fin (GF). Jaringan limpa
dan atau ginjal dari ikan yang terinfeksi adalah sampel yang sesuai. Sel harus ditanam
pada media L-15 yang ditambah dengan Fetal Bovine Serum 10% pada suhu 25℃
pada inkubator yang dikontrol untuk memastikan keberhasilan selanjutannya dalam
isolasi RSIV. Virus digunakan sebagai kontrol positif dan sel yang tidak terinfeksi
sebagai kontrol negatif. Identifikasi virus dilakukan dengan antigen berbasis antibodi
(IFAT) dan atau metode berbasis asam nukleat (PCR) (Anonim,2009).
 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Organ yang digunakan untuk mendeteksi iridovirus adalah organ limpa
sebanyak 50-100 mg organ. Organ ditempatkan dalam mikrotube dan ditambahkan
bahan lisis trizol. Primers yang digunakan adalah sekuen genom DNA Red Seabream
Iridovirus(RSIV),dengan susunan :
- primer forward 1F:‘5-CTCAAACACTCTGGCTCATC-‘3
- reverse primer 1R:’5-GCACCAACACATCTCCTATC-‘3.
DNA target berukuran 570 bp. Amplifikasi dilakukan dengan mencampur
beberapa reagen dari DNA-kit dan templet DNA iridovirus sampel. Campuran
tersebut kemudian diinkubasikan pada alat Progene (Techne) dengan kit Promega
dengan suhu denaturasi 94°C selama 30 detik, suhu annealing 57°C selama 60 detik
dan suhu extension/polimerisasi 72°C selama 60 detik. Siklus ini berlangsung 30 kali,
yang kemudian dilanjutkan dengan extension suhu 72°C selama 5 menit. Analisa hasil
amplifikasi dilakukan dengan elektroforesis pada 1,5% Agarose gel dengan kekuatan
100V selama 20-25 menit dalam 1x TAE Buffer. Interpretasi untuk menentukan ada
atau tidaknya infeksi oleh Iridovirus dilakukan dengan Ultraviolet Transluminator
(Johnny dan Roza, 2009).
 Uji Koagglutinasi
Tes serologis ini menggunakan sel Staphylococcus aureus peka dengan poliklonal
antiserum kelinci. Imunoglobulin G mengikat protein A pada permukaan sel
Staphylococcus aureus melalui bagian Fc, meninggalkan Fab bagian dari
imunoglobulin bebas untuk mengikat antigen. Ketika sel-sel antibodi yang dilapisi ini
dicampur dengan antigen yang homolog, bagian Fab antibodi spesifik mengikat
antigen, menyebabkan sel untuk aglutinasi yang akan terlihat lebih jelas dengan
mikroskop maupun dengan mata telanjang (Bootland dan Leong, 1991).
Preparasi sampel dengan menggunakan organ limpa dari ikan yang menunjukkan
gejala klinis sakit. Digerus dan dibuat suspensi dalam 4-9x volume PBS. Suspensi
disentrifugasi 4000 rpm selama 20 menit. Supernatan digunakan sebagai sampel uji
(Yoshimizu dan Kimura, 1985).
Cara pengujiannya yaitu pada object glass diteteskan 50 µl filtrate sampel
(supernatant) dan ditambahkan 50 µl antibodi iridovirus sensitized Staphylococcus,
dihomogenkan dengan menggoyang-goyangkan object glass tersebut. Pengamatan
dilakukan setelah 10 -15 menit dengan latar belakang yang kontras (Yoshimizu dan
Kimura, 1985).
Interpretasi hasil dikatakan positif apabila terjadi penggumpalan/aglutinasi
(seperti butiran pasir yang tidak ikut larut dengan homogenat saat digoyang-
goyangkan) dan negatif apabila tidak terjadi penggumpalan/aglutinasi (homogenat
tetap homogen) (Yoshimizu dan Kimura, 1985).

3. Saran dan pencegahan penyakit RSID pada ikan yang masih sehat, respon imun
hewan berdarah dingin dan strategi vaksinasi pada ikan
Pencegahan penyakit RSID pada ikan yang masih sehat yaitu jika ada ikan yang
terinfeksi dengan menunjukkan gejala klinis seperti berenang tampak lemah dan
berdiam didasar air seperti tidur maka segera dipisahkan/dikarantina dari ikan yang
masih sehat dan langsung diberikan pencegahan dan pengobatan yang sesuai. Selain
itu manajemen pemeliharaan ditingkatkan, seperti pergantian air kolam secara
berkala, peningkatan kualitas air kolam, dan lain-lain.
 Respon Imun
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan untuk mempertahankan
keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan
berbagai bahan dalam lingkungan. Pertahanan tersebut terdiri dari sistem imun non
spesifik dan spesifik. Faktor yang mempengaruhi respon imun pada ikan meliputi
suhu, adanya antigen yang dipengaruhi oleh dosis, dan jenis antigen, adanya ajuvan,
immunostimulan, pengaruh musim dan lingkungan hidup antara lain stres lingkungan,
adanya polutan, adanya senyawa antibiotika dan adanya defisiensi nutrien dalam
pakan (Dewantoro, 2006).
Respon imun spesifik merupakan suatu reaksi hospes terhadap benda asing yaitu
mencakup rangkaian interaksi seluler yang diekspresikan dengan penyebaran produk
sel spesifik, dengan tingkat spesifisitas dan heterogenitas yang tinggi dan adanya
memori. Dua jenis mekanisme efektor yang menjadi perantara pembentukan respon
imun spesifik, yaitu oleh produk sel jaringan limfoid yang disebut dengan antibodi
dan oleh limfoid sendiri yang telah tersensitisasi spesifik yang disebut dengan
imunitas seluler (Dewantoro,2006).
V. Kesimpulan
 Iridovirus merupakan agen penyebab penyakit Red Seabream Iridovirus Disease
(RSIVD), Sleepy Grouper Disease (SGD) dan Grouper Iridovirus Disease (GIVD).
 Isolasi dan identifikasi Iridovirus menggunakan organ limpa dan ginjal sebagai
sampel terbaik dan deteksi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
 Respon imun ikan dapat dipengaruhi oleh faktor seperti suhu, jenis antigen, ajuvan,
musim, lingkungan, pakan dan lain-lain.

VI. Luaran Pembelajaran


Mahasiswa memahami dan mampu menganalisis berbagai penyakit yang
menyebabkan kematian pada ikan, pengaruh faktor lingkungan terhadap kualitas air ,
konsep imunitas dan strategi vaksinasi pada ikan, dalam konteks terpadu dan holistik.

VII.Referensi
Anonim. 2009. Manual of Diagnostic Tests for Aquatic Animals. Paris : OIE
Anonim. 2018. https://viralzone.expasy.org/581?outline=all_by_species#header di akses
pada tanggal 6 Maret 2018 23:36.
Bahar, B. 2006. Panduan Praktis Memilih dan Menangani Produk Perikanan. Jakarta :
PT Gramedia
Bootland, L. M., Leong, J. C. 1991. Staphylococcal Coagglutination, a Rapid Method of
Identifying Infectious Hematopoietic Necrosis Virus (J. Fish. Sci) XI (1): 8-12
Vol. 58, No.1 Applied and Environmental Microbiology, Jan. 1992, p.6-13.
Dewantoro, A. 2006. Respon Imun Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Terhadap Komponen Intraseluler dan Protein Membran Luar Bakteri Vibrio
anguillarum. Skripsi Budidaya Perairan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga.
Johnny, F dan Roza, D. 2009. Kasus Infeksi Virus Irido pada Benih Ikan Kerapu Pasir
(Epinephelus corallicola) di Hatchery. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XI (1) : 8-
12.
Yoshimizu, M., Kimura, T. 1985. A Coagglutination Test with Diagnosis of
Pseudomonas fluorescens Infection in Fishes. Asian Fisheries Science 14
(2001) : 293 - 300 Asian Fisheries Society, Manila, Philippines.

Anda mungkin juga menyukai