Anda di halaman 1dari 4

TUGAS

Parasit & Penyakit Ikan

Jenis-jenis Virus Pada Ikan

Nama : Musrin Rauf


Npm : 05171511001
Prody : Budidaya Perairan

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN & KELAUTAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

TERNATE

2020
PENYAKIT INFEKSI PADA BUDIDAYA IKAN LAUT DI
INDONESIA
Virus merupakan agensia infeksi non seluler dan hanya dapat melakukan multiplikasi dalam sel
inang. Virus berukuran sangat kecil yaitu bervariasi dari 18-200 nm (Smail dan Munro, 1989),
sehingga hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop electron. Untuk dapat bertahan hidup
dilingkungan, virus harus mampu berpindah dari inang satu ke inang lainnya, menginfeksi dan
replikasi pada inang yang sesuai. Sejumlah virus dapat berada dalam tubuh inang dalam waktu
lama tanpa melakukan replikasi. Pada keadaan tersebut, genom virus dapat terintegrasi dalam
kromosom inang. Dengan kondisi yang demikian, maka kehadiran virus dapat bersifat laten dan
akan meledak sebagai wabah manakala ikan dalam kondisi lemah (Irianto, 2005).

Beragam virus diketahui telah menginfeksi ikan air laut di Indonesia diantaranya:

II.1.1 Nervous Necrosis Virus (NNV)


II.1.1.1 Karakteristik Nervous Necrosis Virus (NNV)

Penyakit ini dikenal juga sebagai Viral encephalopathy and retinopathy (VER), Spinning grouper
diseases, Fish encephalitis atau Whirling disease (Lio-Po dan de la Pena, 2004). Penyebab
penyakit ini adalah piscine nodavirus dari genus Betanodavirus dengan ukuran 25-30 nm. Piscine
nodavirus terdiri atas 4 genotip: red-spotted grouper nervous necrosis virus (RGNNV), striped
jack nervous necrosis virus (SJNNV), barfin flounder nervous necrosis virus (BFNNV) dan tiger
puffer nervous necrosis virus (TPNNV). Penyakit ini menginfeksi seluruh tahapan perkembangan
ikan, namun kematian tinggi dilaporkan terjadi pada larva dengan umur kurang dari 20 hari.

II.1.1.2 Agen penyebab

Piscine nodavirus dari genus Betanodavirus (25-30 nm) merupakan agen penyebab utama
penyakit VNN. Penyakit ini pertama kali dilaporkan keberadaannya pada ikan Japanese
parrotfish (Oplegnathus fasciatus) pada saat terjadi wabah pada tahun 1985-1987 (Yoshikoshi
and Inoue, 1990) dan saat ini keberadaan VNN telah teridentifikasi di hampir seluruh lingkungan
untuk pengembangan budidaya ikan laut di wilayah tropis, utamanya pada fase benih (Leong T.S
and A. Colorni, 2002).

II.1.1.3 Pemicu infeksi.

Suhu memainkan peranan penting dalam proses replikasi dan peningkatan sifat patogenitas dari
Piscine nodavirus. Sebagai contoh: RGNNV yang diisolasi dari ikan kerapu menghasilkan efek
cytopathic pada sel GF-1 pada suhu 24-320 C tetapi tidak pada suhu 200 C atau 370 C. Pada larva
yang diuji tantang dengan RGNNV pada suhu 280C, kematian mencapai 100% pada 50-80 jam
setelah inokulasi. Pada uji coba yang dilakukan di benih ikan kerapu E. akaara, RGNNV
menyebabkan kematian hingga 100% pada suhu 24-280C, namun pada suhu 16 dan 200C,
mortalitas berkurang hingga 57-61% dan munculnya perilaku berenang yang tidak normal dan
kematian pada ikan dapat ditunda (Lio-PO dan De la Pena, 2004). Virus ini dapat ditularkan dari
ikan sakit ke ikan sehat dalam kurun waktu 4 hari setelah terjadi kontak. Nodavirus dapat
dideteksi pada ikan yang tidak menunjukkan adanya perilaku terkena infeksi, oleh karena itu,
Induk ikan yang terinfeksi dapat menjadi wadah dan sumber penularan virus ke larva yang
dihasilkan.

Virus ini dapat ditularkan dari ikan yang terinfeksi ke ikan yang sehat dalam waktu 4 hari kontak
di media pemeliharaan. Nodavirus sebagai agen penyebab NNV dapat dideteksi pada ikan tanpa
gejala klinis. Ikan tersebut dapat menjadi wadah virus dan dapat berperan menjadi sumber virus
bagi larva mereka.

II.1.2 Iridovirus
II.1.2.1 Karakteristik Iridovirus

Iridovirus merupakan famili virus yang memiliki ukuran 130-300 nm, materi genetiknya berupa
DNA dan dengan kapsid berbentuk ikosahedral (berisi 20). Iridovirus dijumpai pada beragam
spesies ikan laut dan dapat ditemukan di limpa dan jaringan intestinal ikan yang sakit atau
sekarat dengan tanda-tanda penyakit sistemik. Tingkat mortalitas ikan yang terinfeksi mulai dari
rendah (0,5 – 10%) hingga sedang (50%) dan umumnya dapat menyebabkan kematian dalam
kurun waktu 24-48 jam setelah munculnya gejala-gejala infeksi.

Infeksi iridovirus pada budidaya ikan laut telah diidentifikasi memiliki variasi yang dapat
digolongkan menjadi: Red Seabream Iridovirus Disease (RSIVD), Sleepy Grouper Disease
(SGD) dan Grouper Iridovirus Disease (GIVD). Secara keseluruhan infeksi iridovirus ini dapat
mengakibatkan infeksi yang sistemik pada ikan. Dikarenakan hubungan antara ketiga jenis
Iridovirus ini tidak begitu jelas, makan penyakit Iridovirus tersebut diatas disajikan secara
terpisah.
Red Seabream Iridovirus Disease (RSIVD)

Penyakit ini merupakan infeksi iridovirus yang telah dikaji secara luas. Jenis virus ini sering
ditemukan pada budidaya ikan Red Seabream di Jepang. Selanjutnya virus ini telah dilaporkan
menginfeksi banyak jenis ikan Kerapu, seperti: Epinephelus akaara, E. malabaricus, E. coioides,
E. awoara dan E. fuscoguttaus baik di Jepang, Taiwan, Thailand, Malaysia hingga ke Indonesia.
Penyebab penyakit ini adalah Red Seabream Iridovirus Disease (RSIVD) yang memiliki ukran
130 – 196 nm. Umumnya menginfeksi ikan Kerapu atau ikan laut lainnya yang memiliki usia
pertumbuhan kurang dari 1 tahun. Ikan yang terinfeksi oleh Red Seabream Iridovirus Disease
(RSIVD) akan mengalami penurunan nafsu makan dan kematian terjadi pada 8 – 10 hari setelah
ikan terpapar oleh virus.
Sleepy Grouper Disease (SGD)

Agen penyebab penyakit ini memiliki ukuran 130 – 160 nm. Penyakit ini pertama kali dilaporkan
terjadi pada ikan Kerapu Epinephelus tauvina ukuran 100 – 200 g dan 2 – 4 kg di Singapura dan
Malaysia. Ikan yang terinfeksi akan menunjukkan gejala klinis luka yang akut, nafsu makan
berkurang dan berenang baik sendirian atau mengapung di permukaan air atau tetap berada di
dasar bak (Lio-Po Dan de la Pena, 2004).
Grouper Iridovirus Disease (GIVD)

Agen penyebab penyakit ini adalah iridovirus dari genus Ranavirus yang memiliki ukuran 200 –
240 nm dan berbeda dari RSIVD. Ikan yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis berenang yang
tidak aktif, nafsu makan berkurang, letargik dan warna ekor dan sirip cenderung menjadi gelap.
Ikan yang sudah terinfeksi virus ini secara akut akan mengapung ke permukaan kemudian
akhirnya tenggelam ke dasar bak dan mati.
Identifikasi virus dan penyakit viral memerlukan keahlian, pelatihan dan peralatan khusus.
Penyakit viral tidak dapat dikontrol dengan obat-obatan atau antibiotika karena virus
menggunakan sel inangnya untuk proses reproduksi dan bertahan hidup. Dengan demikian
pilihan terbaik untuk menghindari terjadinya wabah penyakit viral ini adalah dengan
menghindari kondisi media pemeliharaan menjadi lebih berat dan mencegah terjadinya infeksi
sekunder yang akan memperparah wabah. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan penerapan
manajemen pemeliharaan yang baik antara lain dengan meningkatkan kualitas air media
pemeliharaan, perbaikan kualitas pakan, pengurangan padat tebar, sanitasi lingkungan,
penerapan standar karantina bagi ikan yang menunjukkan gejala terserang penyakit atau
dengan memusnahkan ikan yang sudah positif terinfeksi oleh penyakit viral ini. Aplikasi vaksin
juga dapat dilakukan, namun fakta bahwa ikan bersifat poikilotermal, menjadikan respon imun
terhadap vaksin tidak dapat diprediksi sehingga vaksinasi harus lebih sering dilakukan.

II.1.2.2 Agen penyebab

Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk ke dalam family Iridoviridae dan memiliki
bentuk heksagonal dengan diameter 200-240 nm (pada ikan red seabream) dan 140-160 nm (pada
ikan kerapu) (Danayadol et al., 1997; Kasornchandra and Khongpradit, 1997). Infeksi virus ini
dilaporkan telah menyebar di lingkungan budidaya di wilayah Asia Tenggara (T.S Leong and A.
Colorni, 2002) dan menjadi salah satu penyakit dalam daftar OIE di tahun 2014. Di Indonesia,
Infeksi Iridovirus pertama kali terdeteksi di lokasi budidaya kerapu di Sumatera Utara (Rukyani
et al., 1993) dan kemudian menyebar di unit-unit perbenihan yang ada di Lamongan, Jawa Timur
(Mahardika et al., 2002). Data terkini menunjukkan bahwa infeksi Iridovirus ini telah menyerang
budidaya ikan Kerapu di Lampung, Pulau Seribu (Trobos, 2011), Batam (Romi et al, 2014) dan
Ambon.

II.1.2.3 Pemicu infeksi.

Lingkungan yang terkontaminasi dan kualitas air yang buruk memicu peningkatan infeksi
iridovirus. Hal ini utamanya disebabkan oleh kontak langsung antara insang dan saluran
pencernaan ikan dengan lingkungan. Penyebaran virus antara ikan yang berada di sistem
produksi yang sama akan terjadi dengan sangat cepat bila ikan tidak memiliki sistem imun yang
baik dan berada dalam kondisi lemah. Namun, belum ada laporan yang menyatakan bahwa virus
ini dapat menyebar secara vertikal, karena pada umumnya virus ini menyebar akibat introduksi
ikan impor yang telah terinfeksi oleh Iridovirus sebelumnya atau bersifat carier terhadap
Iridovirus (Lio-Po and de la Pena, 2004).

II.1.2.4 Gejala Klinis

Tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh ikan yang terinfeksi oleh Iridovirus diantaranya warna
tubuh menjadi gelap (melanosis) dan letargik (sekarat, dengan gerakan lemah). Seringkali ikan
kehilangan nafsu makan, pembengkakan abdomen, limpa membesar, saluran pencernaan
memerah karena pendarahan (hemoragik) dan terdapat cairan keruh dalam rongga tubuh.

Anda mungkin juga menyukai