Anda di halaman 1dari 8

Manajemen satwa akutik

Lieonny Budiarti
B04130161
Penyakit virus yang menyerang udang dan kerang

1) Penyakit virus IHHNV(Infectious Hypodermal and Hematopoitic Necrosis Virus), dapat


menyebabkan :

a) Pertumbuhan terhambat, sehingga terjadi perbedaan ukuran yang nyata dalam satu
populasi.
b) Serangan dapat mencapai lebih 30% populasi.
c) Multi infeksi dengan virus jenis lain.
Banyak terjadi pada tambak yang menggunakan benur non SPF (Spesific Pathogen
Free) yaitu induk lokal. Inang penyakit virus ini antara lain : Penaeus stylirostris, P.
vannamei, P. occidentalis, P. californiensis, P. monodon, P. semisulcatus, and P. japonicus.

IHHNV termasuk dalam golongan parvovirus dengan genom DNA untai tunggal dan
berdiameter kurang lebih 22 nm. Penyebaran penyakit ini sangat luas meliputi Asia hingga
Amerika termasuk Indonesia dengan host alami adalah Litopennaeus vannamei, Pennaeus
monodon, Pennaeus stylirostris, Pennaeus semisulcatus, dan Pennaeus japonicus (Lightner,
1996 dalam Putri, 2006).

Penyakit viral ini menyebabkan laju pertumbuhan udang Vanname menjadi lambat
dengan bentuk tubuh yang tidak normal dan cenderung kerdil (Runt Deformity Syndrome,
RDS). Penularann IHHNV dapat terjadi secara vertikal maupun horizontal. Infeksi vertikal
IHHNV pada benur udang disebabkan oleh induk yang menjadi carrier tertular IHHNV
sehingga terjadi penurunan sifat genetik pada benih keturunannya. Infeksi IHHNV
menyebabkan kerugian karena menurunnya kualitas udang berupa tidak seragamnya bentuk
tubuh udang yang dipanen (Haliman dan Adijaya, 2005).

Larva dan post larva yang terinfeksi secara vertikal tidak menunjukkan adanya gejala
klinis. Namun, setelah stadia PL 35 atau lebih, gejala klinis akan mulai nampak dan
kemudian akan diikuti dengan kematian massal. Gejala klinis ini yaitu konsumsi pakan
menurun dan diikuti dengan perubahan tingkah laku serta morfologinya. Mula-mula udang
akan berenang ke permukaan air, kehilangan gerak dan akhirnya akan turun ke dasar air.
Tingkah laku seperti ini akan berlangsung selama beberapa jam hingga tubuh udang lemah
dan diserang oleh udang lain yang sehat sebagai efek dari kanibalisme. Pada fase ini, tubuh
udang akan timbul bintik putih kekuningan pada kutikula epidermisnya. Hal ini membuat
warna tubuh udang menjadi pucat dan ketika kondisi sekarat, tubuh udang akan berubah
warna menjadi kebiru-biruan serta otot-otot abdominalnya berwarna gelap (Lightner, 1996
dalam Putri, 2006).

Infeksi scara horizontal menyebabkan udang mengalami pertumbuhan lambat.


Penularan ini tergantung pada periode inkubasi dan tingkat keparahan penyakit yang merujuk
pada ukuran serta umur host di mana juvenil udang sangat rentan terhadap serangan penyakit.
Stadium dewasa yang terserang jarang menunjukkan gejala klinis dan kematian (Lightner,
1996 dalam Putri, 2006).
Manajemen satwa akutik
Lieonny Budiarti
B04130161

2) Penyakit virus TSV (Taura Syndrome Virus)

Taura syndrome merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Taura Syndrome Virus.
Selama ini diketahui penyakit tersebut menjadi salah satu kendala dalam budidaya udang vaname
(Litopenaeus vannamei). Infeksi virus tersebut dapat menyebabkan kematian 80-85% dari
populasinya (Rufiati, 2008). Menurut OIE (2009), udang vaname merupakan salah satu host dari
Taura Syndrome Virus.

Karakteristik patogen :

 TSV dikenal sebagai penyakit fase juvenil pada Litopenaeus vanammei, dan umumnya terjadi
antara 14-40 hari pasca tebar di tambak, dengan kematian mencapai 95% apabila penyakit
terjadi pada umur 30 hari pertama, kemungkinan infeksi berasal dari induk (vertical
transmission ) namun apabila terjadi pada umur 60 hari pasca tebar, kemungkinan infeksi
berasal dari media air (horisontal transmision)
 Resistensi udang windu terhadap TSV masih beluma jelas, namun nampaknya lebih resitensi
dibanding udang vanamei
 Individu yang mampu bertahan TSV msih belum jelas,namun nampaknya infeksi TSV tetap
berpotensi sevagai carrier.
 Serangan TSV bersifat akut hungga perakut dan dapat mengakibatkan kematian antara 80-
95% namun apabila tertolong, kelangsungan hidup dapat mencapai lebih dari 60%
 Udang vaname dewasa dapat terinfeksi TSV, namun tingkat kematiannya relatif rendah,
Infeksi TSV ada 2 (dua) fase, yaitu fase akut dan kronis. Pada fase akut akan terjadi kematian
massal.Udang yang bertahan hidup dari serangan penyakit TSV, akan mengalami fase kronis.
Pada fase kronis, udang mampu hidup dan tumbuh relatif normal, namun udang tersebut
merupakan pembawa (carries) TCV yang dapat ditularkan ke udang lain yang sehat.
Manajemen satwa akutik
Lieonny Budiarti
B04130161
C. Gejala Klinis :

 Udang lemah, emnolak pakan yang diberikan, dan udang yang sekarat mendekat ke
pematang.
 Warna tubuh merah pucat, dan warna merah pada ekor kipas lebih tegas.
 Pada infeksi berat, pernapasan yang tidak teratur pada insang yang terinfeksi
 Pada infeksi berat (akut) sering mengakibatkan kematian massal, udang yang mengalami
kematian didominasi oleh udang yang sedang/baru selesai ganti kulit (moulting), saluran
pencernaan kosong dan warna tubuh kemerahan.
 Warna merah yang lebih tegas dapat dilihat pada ekor kipas (telson)
 Udang yang selamat dari fase akut, umurnya mampu hidup dan tumbuh normal dengan tanda
bercak hitam (melanisasi) yang tidak beraturan di bawah lapisan kutikula.

D. Diagnosa :

 Polymerase Chain Reaction (PCR)

E. Pengendalian

 Belum ada teknik pengobatan yang efektif, oleh karena itu penerapan biosekuriti total selama
proses produksi (a. 1 penggunaan benur bebas TSV, pemberian pakan yang tepat jumlah dan
mutu, stabilitas kualitas lingkungan) sangat dianjurkan
 Menjaga kualitas lingkungan budidaya agar tidak menimbulkan stress bagi udang (misalnya
aplikasi mikroba esensial probiotik, bacterial flock, dll)
 Sanitasi pada semua peralatan dan pekerjaan dalam semua tahap proses produksi.
 Desinfeksi suplai air dan pencucian dan/atau desinfeksi telur dan nauplius juga dapat
,mencegah transmisi vertikal
 Pemberian unsur imunostimulan (misalnya suplementasi vitamin C pada pakan) selama
proses pemeliharaan udang.
 Teknik polikultur udang dengan spesies ikan(mis :tilapia) dapat dilakukan untuk membatasi
tingkat patogenitas virus TSV dalam tambak, karena ikan akan memakan udang terinfeksi
sebelum terjadi kanibalisme oleh udang lainnya.
Manajemen satwa akutik
Lieonny Budiarti
B04130161

3) Penyakit virus WSSV (White Spots Syndrome Virus)

Gejala penyakit ini antara lain :


a) Diawali dengan nafsu makan yang tinggi (saat awal menyerang Tahun 1994), selanjutnya
tidak mau makan.
b) Udang selalu kepermukaan air sepanjang pematang tambak.
c) Ada kematian di dasar, dalam waktu 3 – 7 hari udang habis
d) Adanya bintik-bintik putih di carapace.
e) Histopatologis Inclussion body intranuclear pada organ stomach

Di alam WSSV dapat menyerang P. monodon, P. japponicus, P. chinensis, P. indicus,


P. merquensis, dan P. setiferus. Pada P. Monodon. WSSVmenyerang stadia post-larva (PL),
calon induk/ukuran konsumsi (subadult) dan induk udang (adult). Kejadian infeksi terjadi
setiap bulan tidak mengenal musim (kemarau maupun penghujan). Virus WSSV stabil pada
suhu dan pH yang ekstrim dan kestabilannya akan bertambah di dalam lingkungan eksternal
karena adanya perlekatan virion pada kristal pelindung protein virus (polyhedrin, granulin,s
pheroidin).

Kristal pelindung ini akan melindungi virus dari pH yang tinggi di dalam saluran
pencernaan udang (Walker, 1999). Infeksi yang terjadi pada stadia PL, calon induk dan induk
terlihat gejala seperti nafsu makan menurun, udang tampak lemah (lethargy), sering kali
terlihat malas berenang, udang yang di pelihara di tambak terlihat berenang di tepi tambak.
Karapas udang yang sakit terlihat bercak putih, dan menjadi lunak, badan induk udang
warnanya menjadi merah.

Gejala seperti ini sama dengan yang dikemukakan oleh Momoyama et al. (1997); Lo
& Kou (1998); Sudha et al. (1998) bahwa udang yang terinfeksi WSSV mengalami
perubahan pada pola tingkah laku yaitu menurunnya aktivitas renang, berenang tidak terarah
dan seringkali berenang pada salah satu sisi saja. Selain itu, udang cenderung bergerombol di
tepi tambak dan berenang ke permukaan.

Pada infeksi akut terdapat bercak-bercak putih pada karapas dengan diameter 0,5-3,0
mm. Bercak putih ini pertama kali muncul pada cephalothorax, segmen ke-5 dan ke-6 dari
abdominal dan terakhir menyebar ke seluruh kutikula badannya (Kasornchandra &
Manajemen satwa akutik
Lieonny Budiarti
B04130161
Boonyaratpalin, 1996; Wang et al., 1997a; Lo & Kou, 1998). Sedangkan Koesharyani et al.
(2001) mengatakan bahwa induk udang yang berwarna kemerahan termasuk jugai nsang dan
hepatopankreas, sewaktu diperiksa dengan metode PCR dari organ pencernaan, lymphoid,
dan kaki renang menunjukkan positif terinfeksi WSSV.

Kejadian ini dapat menimbulkan kematianu dang lebih dari 80% dalam rentang waktu
satu minggu. Penelitian yang dilakukan oleh Peng et al.(1998) menyebutkan infeksi WSSV
sangat patogenik pada kondisi udang yang diberikan stessor, hal ini karena mekanisme
pertahanan tubuh pada udang tidak tidak dapat mencegah atau menahan perbanyakan WSSV
di bawah kondisi stres. WSSV dapat menyebar dengan cepat ke berbagai organ seperti
jantung, insang, epidermis, otot, maupun sistem pencernaan meski dalam jumlah yang kecil.

Untuk mengantisipasi datangnya WSSV ini, yang pertama menghindari bulan bulan
yang kurang baik untuk melakukan tebar benur, selanjutnya pencegahan dilakukan denga
mencegah masuknya karier SEMBV seperti burung, ikan, kepiting dan lain lain ke tambak.
Dengan kata lain biosecurity dari tambak harus diperketat dan menjaga asal usul dari benih
yang akan disebar harus di kontrol dengan ketat.

4) Yellow head disease (YHD/YHV)

Penyakit ini pertama dideteksi pada tahun 1991 sebagai penyakit yang epizootik pada
budidaya udang di Thailand, kemudian wabah penyakit menyebar pada peternakan udang di
daerah Asia. Pada percobaan di laboratorium infeksi YHV dapat menyebabkan angka
kematian yang tinggi dalam kolam budidaya udang penaeus dan juga pada udang di laut (wild
shrimp) di Amerika. Bila infeksi terjadi pada kolam budidaya udang Penaeus monodon, YHD
terciri dengan tinggi dan cepatnya angka kematian yang disertai dengan adanya gejala warna
kuning pada sepalothorax (kepala) dan memutihnya warna tubuh udang.

a. Penyebab : Virus YHV (Yellow Head Baculo Virus)


Manajemen satwa akutik
Lieonny Budiarti
B04130161
b. Gejala Klinis : Warna tubuh udang pucat, insang dan hepatopankreas berwarna
kekuningan. Gejala klinis tersebut pada umumnya mulai tampak antara 50-70 hari setelah
penebaran udang di tambak. Nafsu makan udang mula-mula meningkat dalam beberapa
hari kemudian berhenti sama sekali.

c. Penanggulangan : Hingga saat ini belum ada obat yang efektif untuk penyakit
viral (baik penyakit kepala kuning maupun bercak puih). Oleh karena itu, tindak
pencegahan adalah langkah yang paling tepat. Upaya penaggulangannya dapat
dilakukan antara lain dengan cara mengganti air secara rutin setiap hari minimal 5%
dari total volume air tambak, penggunaan pakan harus dipantau secara ketat agar
tidak menimbulkan penimbunan sisa pakan yang menyebabkan pembusukan,
mengeluarkan tanah dasar tambak yang berwrna hitam dan berbau busuk, dan
mengisolasi daerah yang sedang terserang penyakit. Udang yang terserang dalam
keadaan perlu segera dilakukan tindakan pemusnahan dengan jalan pembakaran
dan penguburan agar tidak menjadi sumber infeksi.

Disamping cara penanggulangan pnyekit seperti diatas, dapat pula ditempuh melalui
peningkatan laju pemulihan selera makan, yaitu hendaknya udang diberi pakan berupa diet
dengan nomor grade pakan yang satu tingkat lebih rendahserta berkondisi baik.

5) Infectious myonecrosis (IMN)

A.Penyebab: Toti -like virus (Totiviridae)


B.Karakteristik Patogen :

 Penyakit Infectious Myonecrosis (IMN) merupakan penyakit yang relatif baru pada budidaya
udang penaeid, Litopenaeus vanammei di Indonesia.
Manajemen satwa akutik
Lieonny Budiarti
B04130161
 Selain sumber benur/induk dan lingkungan yang telah terrkontaminasi jenis virus tersebut,
munculnya wabah IMN diduga sangat berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan yang
ekstrim, stress fisik akibat sistem pengelolaan budidaya, serta kualitas pakan yang rendah.
 Pola serangan penyakit bersifat akurat, ditandai munculnya gejala klinis secar tiba-tiba dan
tingkat kematian yang semakin meingkat hingga mencapai antara 60-85%
 Pada kenyataannya kasus penyakit para pembudidaya udang penaeid jarang terhadi sebagai
infeksi tunggal, namun sering merupakan kompleks infeksi yang mengakibatkan lebih dari
satu jenis virus (misalnya TSV bersama IMNV, atau IMNV bersama WSSV). Kondisi
tersebut yang sering mengakibatkan tingkat kematian yang sporadis.
 Pola serangan dapat pula bersifat kronis dengan tingkat kematian yang rendah namun
persisten.
 Mekanisme penularan penyakit ini dapat berlangsung secara vertikal (dari induk ke
keturunannya) atau horizontak (dari udang yang telah terinfeksi atau lingkungan yang
terkontaminasi)
 Sejauh ini hanya jenis udang vanamei yang rentan terhadap infeksi infectious Myonecrosis
Virus (IMNV). Hasil infeksi memperlihatkan gejala klinis yang spesifik dan tidak
mengakibatkan kematian.
 Penyakit IMN tidak sama dengan penyakit ekor putih pada udang penaeid. Meskipun
penyakit ekor putih memiliki gejala klinis dan kerusakan jaringan yang mirip dengan penyakit
IMN, namun penyakit tersebut disebabkan oleh jenis virus yang berbeda (nodavirus, Penaeus
vanamei nodavirus -PVNV)

C. Gejala Klinis :

 Kerusakan (nekrosa) brwarna putih keruh pada otot/daging menyerupai guratan, terutama
pada otot perut bagian guratan, terutama pada otot perut bagian atas (abdomen) dan ekor.
 Pada beberapa kasus, kerusakan daging putih keruh ini berubah menjadi kemerahan sehingga
menyerupai warna udang rebus.

D. Diagnosa:

 Polymerase Chain Reaction (PCR)

E. Pengendalian :

 Zonasi melalui pengaturan daerah bebas dan daerah terinfeksi yang didasarkan pada kegiatan
monitoring & surveillance yang dilakukan secara longitudinal dan integratif.
 Penggunaan benur yang bebas infeksi IMNV
Manajemen satwa akutik
Lieonny Budiarti
B04130161
 Penerapan sistem budidaya yang dapat menjamin bebas dari masuknya media pembawa
IMNV (biosekuriti)
 Menghindari stress (fisik, biologi dan kimia)
 Menjaga status kesehatan udang agar selalu dalam kondisi prima, kualitas lingkungan
budidaya yang nyaman serta kualitas dan kuantitas pakan yang sesuai.
 pemberian unsur imunostimulan (vitamin C) serta penggunaa materi bioremediasi/probiotik
untuk mengurangi stressor biologis dan kima sangat disarankan.

Daftar pustaka

Haliman, R.W. dan Adiwijaya, D. 2005. Udang Vannamei, Pembudidayaan dan Prospek
Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta.

Putri, Ribut Wijayaning. 2006. Deteksi Virus pada Udang dan Kerapu dengan Metode
Polymerase Chain Reaction (PCR) di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, Jawa
Timur. Kedokteran Hewan Unair. Surabaya.

Sitthipun, M., A.H. Kittikun, and K. Supamattayta.2000. Immunostimulant and P.monodon Fabricius:
Extraction of betaglucan from yeast and its application in black tiger shrimp (Penaeus monodon
Fabricius). (http://www.clib.psu.ac.th/acad_43/smolbn 1.htm). [27 December 2000].

Sugama, K. 2005. Current Diseases in Shrimp Farm : A Problem Solving. Pusat Riset Perikanan
Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP. Makalah: Disampaikan pada Seminar
Udang Nasional di Bandung, tahun 2005.

Sunarto, A. dan H. B. Utari. 2005. Membangun Model Biosecurity Kawasan Industri Budidaya
Udang. Laboratorium Riset Kesehatan Ikan. Badan Riset

White Spot Syndrome Virus in Cultured Penaeus indicus in Iran. Pakistan Journal of Biological
Sciences Year 2008. Volume: 11. Issue: 24. Page No.: 2660-2664.

Anda mungkin juga menyukai