Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENGELOLAAN KESEHATAN HEWAN DAN LINGKUNGAN


TAURA SYNDROME

Disusun oleh :
Kelompok 1:
Indah Asoka Sepiari
Novaldi Noer
M. Abhi Purnomosidi
Cindi Nabila F
Kelompok 3:
Mahana Andry W
Dendi Komala
Fatihatun Atiroh
Novita Septia L
Nia Sari

B04110134
B04110136
B04110138
B04110167
B04110139
B04110145
B04110163
B04110170
B04110173

Kelompok 2:
Delin Nofifta
Ahmad Adi G
Tania Mutiara
Januarius G D R

B04110128
B04110143
B04110148
B04110162

Kelompok 4:
Bramantyo
Rahaztya Z I
Lusi Parwati
Dedi Saputro

B04110061
B04110147
B04110151
B04110164

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Satwa akuatik saat ini banyak dibudidayakan di Indonesia sebagai hewan konsumsi
karena rasanya yang lezat dan nilai gizinya yang tinggi. Budidaya perikanan merupakan kegiatan
perikanan yang sampai saat ini memiliki peluang sangan prospektif apabila ditinjau dari sumber
daya yang Indonesia miliki dan penyediaan kebutuhan terhadap pasar internasional yang masih
belum tercukupi. Bisnis budidaya perikanan menjadi primadona karena merupakan komoditas
ekspor yang menyumbangkan devisa cukup besar bagi Indonesia. Pemerintah telah
mencanangkan program intensifikasi budidaya perikanan pada tahun 1984 dan berhasil
meningkatkan produksi perikanan sekitar 162% per tahun hingga tahun 1991 (Sunarto et al.
2003). Namun semenjak tahun 1991 produksi perikanan terus merosot akibat serangan wabah
penyakit dan penurunan mutu lingkungan karena alih fungsi lahan untuk kepentingan industri
dan pemukiman.
Salah satu penyakit yang menjadi penyebab merosotnya produksi perikanan di Indonesia
adalah penyakit Taura Syndrome yang disebabkan oleh Taura Syndrome Virus. Penyakit ini
tersebar luas di wilayah Amerika dan menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar pada
pertengahan tahun 1990-an karena menyebabkan kematian pada udang Penaeus vannamei
(Overstreet et al. 1997). Di Asia, penyakit Taura Syndrome pertama kali dilaporkan terjadi di
Taiwan yang mengimpor udang Penaeus vannamei dalam keadaan hidup untuk dijadikan
indukan pada kolam bididaya udang komersial (Tu et al. 1999). Sedangkan di Indonesia terjadi
kematian massal udang Penaeus vannamei akibat Taura Syndrome pada pertambakan di Jawa
Timur tahun 2003.
Menteri

Kelautan

dan

Perikanan

mengeluarkan

Surat

Keputusan

nomor

KEP.17/MEN/2003 mengenai penetapan jenis hama dan penyakit ikan karantina yang tidak
boleh masuk ke Indonesia, golongan, media pembawa, dan sebarannya. Dalam hal ini Balai
Karantina Ikan berperan penting dalam mencegah masuknya berbagai penyakit pada budidaya
perikanan. Indonesia memiliki balai karantina ikan pada beberapa bandar udara, antara lain di
Medan, Jakarta, dan Denpasar. Di antara balai-balai karantina ikan yang ada di Indonesia, Balai
Karantina Ikan Bandara Soekarno-Hatta memiliki peralatan yang paling memadai. Berbagai hal

mengenai Balai Karantina Ikan diatur dalam UU No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan, dan Tumbuhan
Demi semakin berkembangnya budidaya perikanan dalam usaha meningkatkan hasil
produksi dan memenuhi kebutuhan pasar dunia, maka harus memperhatikan keberadaan agen
patogen di lingkungan. Untuk mengantisipasi penyebaran agen patogen dan mengurangi resiko
kegagalan produksi harus dilakukan usaha pencegahan dan analisa, serta deteksi agen patogen
apabila telah terjadi wabah penyakit.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa mendapat pengetahuan mengenai
penyakit-penyakit pada satwa akuatik terutama penyakit Taura Syndrome, sehingga dapat
menjadi bekal dalam tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit pada satwa
akuatik.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kejadian
Penyebab Taura Syndrome adalah Taura Syndrome Virus (TSV). Inang utama dari TSV
adalah udang dengan spesies Penaeus vannamei (Udang Putih Pasifik) dan P. stylirostris
(Udang Biru Pasifik). Spesies lain yang dikabarkan pernah menjadi suspek dari TS adalah P.
monodon, P. chinenesis, P. japonicus, P. aztecu, P. duorarum, dan Metapenaeus ensis. TS
memiliki tiga fase penyakit yaitu akut, kronis, dan transisi (OIE 2009).
Taura Syndrome terjadi pada masa post larval (PL) yang terjadi pada 14-40 hari setelah
stocking PL. Dosis infeksius belum terdokumentasi karena titrasi in vivo belum pernah dilakukan
terhadap agen penyakit ini. Prevalensi TS bervariasi antara 0 hingga 100% pada populasi
peternakan di mana penyakit ini bersifat enzootik. Dalam kasus ini terutama yang melibatkan
spesies inang utama Penaers vannamei, mortalitas bersifat kumulatif dengan nilai 40-100%
dengan udang yang bertahan akan membawa virus sepanjang hidupnya. TSV secara umum
dianggap sangat resisten terutama dalam air laut, namun tidak ada data mengenai daya tahan dan

resitensi virus ini (Lightner 2008). Mortalitas pada udang sebesar 40-90 % pada fase hidupnya
post larva, muda, dan dewasa. Morbiditas pada udang yang uji secara laboratorium sebesar
100%. Wabah TS lebih sering ditemukan pada air dengan salinitas 30 ppm (OIE 2009).
TS dapat terjadi pada setiap tahap hidup dari udang. Pada spesies P.vannamei penularan
lebih banyak ditemukan pada udang post larva, udang muda, dan dewasa, serta tidak ditemukan
pada telur, zigot, dan larva. Beberapa populasi dari P. vannamei atau P. stylirostris dapat
bertahan dari infeksi TSV. Populasi yang menjadi bertahan terhadap TSV akan menjadi carrier
dan epizootik. TS menular secara horizontal melalui air yang terkontaminasi dan kanibalisme.
Pada penuluran TS dapat melalui vektor mekanik, yaitu feses yang dibawa oleh burung camar
(Larus atricilla) yang dipelihara maupun liar, dan ayam (Gallus domesticus). Udang setelah
memakan serangga laut

Trichorixa reticulata akan dapat menderita TSV. T. reticulata

merupakan vektor mekanik (OIE 2009). Penularan di Ekuador melalui kontaminasi pestisida di
peternakan udang, sehingga dikatakan juga bahwa penularan penyakit juga berhubungan dengan
etiologi toksik. Transmisi vertikal dicurigai terjadi, namun belum dibuktikan kejadiannya
(Lightner 2008).
TSV bisa tetap infeksius hingga 48 jam pada feses yang dikeluarkan oleh burung camar
yang memakan karkas udang yang terinfeksi. Serangga air bisa bertindak sebagai vector mekanik
untuk TSV. Komoditas beku yang terinfeksi TSV menunjukkan potensi untuk mengontaminasi
populasi liar maupun yang diternakkan (Lightner 2008).
Awalnya Penaeus stylirostris bersifat resisten terhadap TSV, sehingga populasi yang
terseleksi dari spesies udang ini menjadi populasi utama pada peternakan udang di Meksiko
Barat. Namun pada 1998-1999 muncul strain TSV yang menyebabkan enzootik pada P.
stylirostris. Kejadian ini diikuti oleh serangan White Spot Syndrome Virus (WSSV) yang
menyebabkan penurunan populasi lebih lanjut dari spesies udang ini. Saat ini, telah
dikembangkan populasi P. vannamei dan P. stylirostris yang resisten terhadap TS. Setelah
munculnya TS di Amerika Tengah, telah ditemukan P. vannamei tangkapan liar yang resisten
terhadap TS (OIE 2009).
2.2 Infeksi

Organ yang sering terinfeksi oleh TSV adalah organ pencernaan (heptopankreas
endoderm, midgut, dan mukosa caeca mukosa epitel), jaringan ikat, jaringan haemotopoietik,
organ limfoid, dan antennal . Lesi patognomonik tersebut biasanya terlihat pada fase akut, yaitu
pada epitel kutlikula, sedangkan pada fase kronik dan transisi tidak ada lesi yang patognomonik.
Lesio pada kutikula terlihat adanya nekrosis multifokal pada organ pelengkap, insang, hindgut
dan foregut (kerongkongan, anterior dan posterior ruang perut). Nekrosis juga dapat ditemukkan
di daerah jaringan ikat dan subkutikular yang dekat dengan otot lurik (OIE 2009).
Gejala klinis penyakit ini pada tingat peternakan mencakup lethargy, penurunan nafsu
makan, dan hewan berkumpul di ujung kolam saat sekarat. Gejala klinis pada individu yang
terinfeksi adalah permukaan tubuh dan appendages berwarna merah pucat, sirip ekor dan
pleopods berwarna sangat merah, cangkang lembek, usus kosong, kematian saat moulting, dan
lesion kutikular melanin yang bersifat irguler dan tersebar secara acak. Diagnosa diferensial
untuk penyakit ini termasuk penyakit yellowhead (Department of Agriculture, Fisheries, and
Forestry, Australian Government 2014).

Gambar 1 Taura syndrome pada udang putih (P. vannamei). Lesio berupa bagian merah
pada ekor dan bagian yang menghitam pada tubuh udang (pada panah).
2.3 Epidemiologi
Taura syndrome tersebar luas di daerah peternakan udang di Amerika dan Asia Tenggara
(Lightner 2008). TSV telah dilaporkan secara resmi dari Burma (Myanmar), Indonesia,

Tiongkok, Thailand, dan Vietnam (Department of Agriculture, Fisheries, and Forestry, Australian
Government 2014).

Gambar 2 Persebaran Taura Syndrome


2.4 Sumber infeksi
Taura Syndrom Virus merupakan virus RNA yaang digolongkan ke dalam famili
Picornaviridae. Penggolongan ini didasarkan pada morfologi virus yang tidak memiliki amplop,
berbentuk icosahedral, dan berukuran 30-32 nm. Selain itu penggolongan tersebut juga
didasarkan pada replikasi sitoplasmik, densitas buoyant (1,338 g/ml), genome yang tersusun atas
RNA rantai positif tunggal linear (ssRNA) dengan panjang sekitar 10,2 kb dan kapsid yang
terdiri dari tiga polipeptida mayor (55, 40, dan 24 kD) dan satu polipeptida minor (58 kD) (OIE
2000).
2.5 Patogenesa
Infeksi TSV dapat terjadi pada P. Vannamei, P. Stylirostris, dan P.seitiferus. Penyakit
Taura Syndrome menyerang P.vannamei pada fase post-larvae berusia 14-40 hari dan berukuran
0,005-5 gram (OIE 2000). Penyakit Taura Syndrome menyerang sel pada jaringan yang berasal
dari ektoderm atau mesoderm. Penyakit ini mempunyai tiga fase, yaitu: fase akut, transisi, dan
kronis. Pada fase akut terjadi perluasan dari kromatofor merah yang menyebabkan sirip ekor
(telson) dan pleopod menjadi merah, serta warna tubuh tampak pucar kemerahan secara

menyeluruh. Secara histologis dapat terlihat nekrosa fokal pada jaringan epitel kutikula,
misalnya: di karapas dan pleopod. Fase akut ini dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi
sekitar 40-90% dari udang yang terinfeksi.
Udang yang tidak mati pada fase akut akan memasuki fase transisi yang singkat. Secara
histologis lesio kutikula yang khas pada fase akut akan mengecil serta digantikan oleh infiltrasi
dan akumulasi hemosit pada lokasi yang sama. Massa hemosit ini dapat mengalami melanisasi,
sehingga tampak sebagai bintik-bintik kehitaman pada epitel kutikula. Udang pada fase ini tidak
selalu memiliki kutikula yang lunak atau mengalami perluasan kromatofor merah. Udang juga
dapat berperilaku dan makan secara normal.
Udang yang berhasil melalui fase akut dan fase transisi akan memasuki fase kronis
setelah mengalami molting atau pergantian kulit. Pada fase ini virus akan menyebabkan infeksi
subklinis persisten pada organ limfoid yang biasanya tetap bertahan selama sisa hidupnya. Udang
pada fase kronis tidak akan menunjukkan gejala klinis dan akan menjadi pembawa penyakit
Taura Syndrome yang dapat menularkan penyakit ini secara horizontal kepada udang lain atau
secara vertikal kepada keturunannya (OIE 2000).
Karier TSV diantaranya burung yang bermigrasi, insekta air, dan manusia dapat menjadi
vektor mekanis TSV antar tambak.
2.6 Diagnosa
Diagnosa penyakit Taura Syndrome dapat dilakukan dengan metode yang sering
digunakan, antara lain: Penampakan gejala klinis (field diagnostic method), pemerikasaan
histopatologis, dan bioassay. Diagnosa berdasarkan antibodi juga dapat dilakukan, seperti:
metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dengan antibodi monoklonal, molekular
dengan gene (DNA) probes nonradioaktif, dan metode yang sangat direkomendasikan karena
spesifitas dan sensifitasnya, yaitu: Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT PCR)
(OIE 2000). Uji secara histopatologis digunakan sebagai uji konfirmasi dan RT PCR sebagai uji
definitif.
2.7 Pencegahan dan Pengendalian Taura Syndrome Virus (TSV)

Langkah utama pengendalian penyakit Taura Syndrome Virus (TSV) harus dimulai
dengan mencegah masuknya patogen ke dalam sistem budidaya udang melalui regulasi dan
teknis yang terintegrasi, serta berkesinambungan. Rekomendasi strategi pengendalian penyakit
TSV adalah memadukan antara aspek teknis dan regulasi secara sinergis yang disepakati oleh
seluruh komponen (asosiasi). Regulasi tersebut harus dilengkapi dengan prosedur operasional
baku (Standard Operational Procedure, SOP), dan disosialisasikan secara rutin. Regulasi
tersebut juga harus diawasi oleh pemerintah dan dilakukan secara bersama-sama.
Induk udang merupakan sumber potensial penularan penyakit TSV. Oleh karena itu,
setiap individu induk udang harus bebas dari TSV. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
screening harus dilakukan dengan metoda standar (PCR) secara periodik sebelum induk
dipisahkan. Benur juga harus dilakukan screening sebelum ditebar meskipun berasal dari induk
bebas TSV. Screening sebaiknya dilakukan 2-3 hari sebelum benur tersebut ditebar. Hal tersebut
dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama dengan mengambil 1-2% dan total populasi benur
yang berasal dari satu bak/wadah, kemudian lakukan uji keprimaan benur secara perendaman
dalam larutan formalin 200 ppm atau air tawar bersalinitas 0-5 promil selama 30 menit. Tahap
kedua adalah mengambil 150 ekor benur terlihat lemah pada uji keprimaan untuk selanjutnya
dilakukan diagnosa dengan teknik PCR. Bila hasil diagnosa tahap kedua diperoleh hasil positif,
maka populasi benur tersebut harus dimusnahkan.
Virion TSV masih infektif pada udang mati (karkas) sekitar 21 hari. Karkas akan
melepaskan jutaan virion ke lingkungan perairan dan bertahan sampai dengan 4 hari. Oleh
karena itu, air budidaya perlu didesinfeksi dengan menggunakan klorin (30 ppm) dan dibiarkan
selama 7 (tujuh) hari. Media pembawa TSV (carrier dan vector) antara lain udang vaname yang
mengalami infeksi kronis, biota akuatik, hewan dan tumbuhan lain yang membawa TSV harus
dimusnahkan. Peralatan dan personal, dapat membawa dan menyebarkan TSV sehingga harus
dilakukan desinfeksi.
Lokasi pertambakan yang baik sangat mendukung kehidupan udang budidaya sehingga
mampu bertahan terhadap infeksi patogen. Persyaratan lokasi yang baik antara lain bebas dari
cemaran karena akan berakibat pada rendahnya kualitas air. Tarnbak yang sudah terlanjur
dibangun di area tercemar harus dilengkapi dengan fasilitas perbaikan kualitas air.
Sistem pertambakan yang baik untuk pengendalian penyakit TSV adalah sistem semi
tertutup (semi closed system) dan tertutup (closed system), sehingga desain dan konstruksi harus

disesuaikan. Tambak yang ideal terdiri dari petakan pemeliharaan dan petakan tandon, serta
dilengkapi dengan saluran inlet dan outlet yang terpisah. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga
sistem pertambakan dari kemungkinan masuknya patogen dari luar dan keluarnya patogen dari
dalam ke luar sistem.
Pasokan air dapat dimasukkan ke dalam tandon menggunakam pompa atau tenaga pasang
surut. Air yang akan digunakan untuk budidaya udang harus bebas dari virus. Setiap pipa pasok
air menggunakan saringan halus berlapis untuk mencegah masuknya karier ke dalam petak
tandon. Air di petak tandon didesinfeksi, biofiltrasi, dan bioremidiasi.
Pakan yang diberikan (segar dan alami) harus bebas dari TSV. Pakan segar dapat
dibebaskan dari TSV melalui pemasakan terlebih dahulu. Sedangkan untuk pakan alami harus
dilakukan screening terlebih dahulu, jika mengandung TSV harus dimusnahkan. Penambahan
pakan suplemen (feed additive) seperti vitamin, immumostimulan, mineral, HUFA, Carotenoid,
astaxanthin dapat dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh udang yang
dibudidaya. Vitamin C dapat diberikan dengan dosis 3 gram per kg pakan. Betaglucan dapat
diberikan 0,1 g per kg pakan, sedangkan fucoidan dengan dosis 60-100 mg per kg berat udang
per hari.
Pemantauan kesehatan udang harus dilakukan secara periodik bersamaan dengan saat
pemberian pakan dengan cara mengamati kondisi udang. Apabila terjadi kondisi abnormal perlu
pengamatan lebih rinci. Abnormalitas udang merupakan peringatan dini (early warning) bagi
pengelola akan adanya bahaya penyakit. Keberadaan burung yang aktif memangsa udang di
pematang tambak juga merupakan salah satu indikator awal keadaan udang sakit. Pengecekan
TSV harus dilakukan dengan PCR pada 25 hari pertama setelah penebaran, selanjutnya secara
berkala setiap 30 hari sampai panen.
Beberapa tindakan harus dilakukan segera apabila terjadi tanda-tanda wabah adalah
menutup aliran air masuk maupun keluar (isolasi), melaporkan sesegera mungkin ke petugas
dinas perikanan atau instansi terkait setempat/terdekat, memperbaiki kualitas air dengan
penambahan aerasi, memberi pakan yang mengandung imunostimulan atau vitamin C dosis
tinggi, menyebarluaskan informasi kejadian wabah ke petani atau kelompok tani lainnya.
Apabila tidak dapat dikendalikan, petak tambak segera didesinfeksi, dibiarkan selama 1 minggu,
selanjutnya dikeringkan minimal selama 1 minggu. Bangkai udang segera diangkat dan
dimusnahkan dengan dibakar.

III KESIMPULAN
Taura syndrome adalah penyakit yang sering ditemukan pada udang. Penyebab Taura
syndrome adalah Taura Syndrome Virus (TSV). Inang utama dari TSV adalah udang dengan
spesies Penaeus vannamei (Udang Putih Pasifik) dan P. stylirostris (Udang Biru Pasifik).
Diagnosa penyakit Taura Syndrome dapat dilakukan dengan metode yang sering digunakan
antara lain dengan melihat gejala klinis (field diagnostic method), pemerikasaan histopatologis,
uji serologis, dan bioassay. Pencegahan Taura Syndrome dapat dilakukan dengan pelaksanaan
biosecurity dan biosafety yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Department of Agriculture, Fisheries, and Forestry, Australian Government. Diseases of
Crutaceand: Viral Disease- Taura Syndrome [intenet]. [diakes pada 2014 Desember 22]
Tersedia pada: http://library.enaca.org/Health/FieldGuide/html/cv025tau.htm
Lightner DV. 2008. European Community Reference Laboratory for Crustacean Diseases
Leaflet: Taura Syndrome [internet].[diakses pada 2014 Desember 22] Tersedia pada:
http://www.crustaceancrl.eu/diseases/TauraSyndrome.pdf
[OIE] Office International des Epizooties. 2000. Diagnostic Manual for Aquatic Animal
Diseasese. Ed ke-3. Paris (FRA): Office International des Epizooties.
[OIE] Office International des Epizooties. 2009. Manual of Diagnostic Tests for Aquatic
Animals.

[internet].

[diakses

pada

2014

Desember

22]

Tersedia

pada:

http://web.oie.int/eng/normes/fmanual/2.2.04_TAURA.pdf
Overstreet RM, Lightner FV, Hasson KW, McIlwain S, Lotz JM. 1997. Susceptibility to Taura
Syndrome Virus of some Penaeid Shrimp species native to the Gulf of Mexico and the
Southeastern United States. J Invert Pathol.
Sunarto A, Taukhid, Isti K, Akhmad R. 2003. Prosedur PCR Untuk Diagnosa Cepat. Direktorat
Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

Tu C, HT Huang, SH Chuang, JP Hus, ST Kou, NJ Li, TL Hsu, MC Li, SY Li. 1999. Taura
Syndrome in Pasific White Shrimp Penaeus vannamei cultured in Taiwan. Dis Aquat
Organ, 38:159-161.

Anda mungkin juga menyukai