Anda di halaman 1dari 33

MIGRASI PENYU DI INDONESIA

Migrasi hewan adalah sebuah gerakan periodik hewan dari suatu tempat
dimana ia telah tinggal ke daerah yang baru dan kemudian melakukan perjalanan
kembali ke habitat aslinya. Migrasi dilakukan oleh beberapa hewan dengan
berbagai tujuan agar dapat mempertahankan kehidupannya. Migrasi ini biasanya
dilakukan secara berkelompok. Hewan melakukan migrasi untuk menemukan
tempat yang menyediakan bahan makanan yang berlimpah, terhindar dari predator,
maupun mencari tempat yang sesuai untuk dia mempertahakan siklus hidupnya.

Salah satu hewan yang melakukan migrasi yaitu penyu, salah satu tempat
bermigrasi penyu ada di indonesia. Saat ini penyu merupakan salah satu hewan
yang dilindungi dan banyak dilakukan konservasi untuk pelestarian penyu itu
sendiri. Kelestarian penyu yang merupakan salah satu hewan yang dilindungi
merupakan hal yang perlu diperhatikan. Hal yang diperlukan untuk menjaga
kelestarian penyu adalah dengan menjaga habitat penyu itu sendiri, karena bila
habitat dari penyu itu telah rusak otomatis kelestarian penyu itu sendiri akan
terganggu. Habitat penyu adalah alam tempat tinggal penyu dimana terdapat
makanan dan tempat berkembang biak.

1. Definisi

Migrasi dalam kehidupan hewan dapat didefinisikan sebagai


pergerakan musiman yang dilakukan secara terus menerus dari satu tempat ke
tempat lain dan kembali ketempat semula, biasanya dilakukan dalam dua musim
yang meliputi datang dan kembali ke daerah perkembangbiakan (Alikodra : 1990).
Gerakan berpindah hewan biasanya terkait dengan perubahan musim. Banyak
hewan bermigrasi ke daerah utara selama bulan-bulan dalam musim panas, karena
pada hari musim panas yang panjang di bagian paling utara bumi dapat menjamin
pemberian pasokan makanan yang baik. Seperti pada pendekatan ramalan
cuacamusim gugur dan dingin, banyak hewan bermigrasi ke selatan untuk mencari
cuaca yang hangat pada musim dingin dan tersedianya makanan. Penyu merupakan
reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh di
sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara.

1
Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia
yang membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung . Penyu
juga telah terbukti sebagai hewan yang sangat rumit untuk dikelola. Hal ini
diantaranya disebabkan oleh pertumbuhannya yang lambat, lambatnya usia matang
kelamin, perbiakan yang tidak terjadi setiap tahun, tingkat kematian yang tinggi
pada penyu muda, penyebaran tukik di laut, migrasi yang jauh antara tempat
mencari makan dan tempat peneluran, kebiasaan untuk bertelur di lokasi yang
sama, serta ketergantungan perbiakan terhadap suhu tertentu (Limpus : 1997).

Habitat penyu adalah alam tempat tinggal penyu dimana terdapat makanan dan
tempat berkembang biak. Habitat pakan penyu merupakan lingkungan di mana
dapat di temukan penyu dari berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Habitat
pakan bersifat khas untuk tiap-tiap spesies, tergantung jenis makanan spesies penyu
tersebut. Penyu hijau yang bersifat herbivor mempunyai habitat pakan berupa
perairan dangkal yang kaya lamun dari jenis tertentu dan juga algae (rumput laut).
Sementara penyu sisik yang carnivor umumnya berupa 25 lingkungan perairan
karang yang kaya akan sponge, sedangkan penyu belimbing makanannya adalah
ubur-ubur/jelly fish.

Penyu diperkirakan telah menghuni bumi lebih dari 100 juta tahun. Penyu
telah mengalami beberapa adaptasi untuk dapat hidup di laut, diantaranya yaitu
dengan adanya tangan dan kaki yang berbentuk seperti sirip dan bentuk tubuh yang
lebih ramping untuk memudahkan mereka berenang di air. Penyu laut juga
memiliki kemampuan untuk mengeluarkan garam-garam air laut yang ikut tertelan
bersama makanan yang mereka makan dan juga kemampuan untuk tinggal di
dalam air dalam waktu yang lama selama kurang lebih 20-30 menit. Telinga
penyu laut tidak dapat dilihat, tetapi mereka memiliki gendang telinga yang
dilindungi oleh kulit. Penyu laut dapat mendengar suara-suara dengan frekuensi
rendah dengan sangat baik dan daya penciuman mereka juga mengagumkan.
Mereka juga dapat melihan dengan sanghat baik di dalam air. Penyu laut memiliki
cangkang yang melindungi tubuh mereka dari pemangsa. Pada dasarnya penyu
memiliki bentuk tubuh yang khas, penyu merupakan hewan vertebrata dan
memiliki karapas yaitu bagian tubuh yang dilapisi zat tanduk yang terdapat

2
dibagian punggung. Karapasnya berfungsi sebagai pelindung tubuh penyu. Selain
itu penyu juga memiliki plastron yaitu penutup pada bagian dada dan perut penyu.
Penyu juga memiliki infra marginal yang merupakan keeping penghubung antara
bagian pinggir karapas dengan plastron. Penyu memiliki tungkai belakang dan
depan, tungkai depan berfungsi sebagai alat dayung sedangkan tungkai belakang
berfungsi sebagai alat penggali. Berikut merupakan Gambar 1 mengenai bagian-
bagian luar penyu:

Gambar 1. Bagian-Bagian Tubuh Penyu


(Sumber: Yayasan Alam Lestari, 2000)

2. Jenis-Jenis Penyu Yang Hidup Diperairan Indonesia


Dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia, tercatat ada enam jenis penyu yang
hidup di perairan Indonesia yaitu penyu hijau, penyu sisik, penyu abu-abu, penyu
pipih, penyu belimbing, serta penyu tempayan. Ada tujuh spesies penyu yang
masih hidup sampai saat ini yaitu dapat dilihat pada Tabel 1. berikut :

3
Tabel 1. Jenis-Jenis Penyu.

(Sumber : Harless dan Morlock, 1979).

Family Spesies
Dermochelys Dermochelys coriacea Chelonia mydas (Linnaeus) : Penyu hijau
(Linnaeus)
Chelonia agasizii (Bocourt) : Penyu hitam

Cheloniidae Natator depressus (Garman) : Penyu pipih

Eretmochelys imbricata (Linnaeus) : Penyu sisik

Caretta carreta (Linnaeus) : Penyu merah

Lepidochelys kempii (Garman) : Penyu Kemp’s ridley


Cheloniidae

Lepidochelys olivacea (Eschscholtz) : Penyu abu-abu

Namun hanya enam spesies yang ditemukan di perairan Indonesia. Spesies yang
paling banyak ditemukan di perairan Indonesia adalah penyu Hijau (Chelonia
mydas), yang banyak tinggal di habitat terumbu karang (Tomascik dkk : 1997).
Keenam jenis penyu yang ada di Indonesia telah dilindungi Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) Hayati dan
Ekosistemnya dengan aturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Ada banyak ancaman alami terhadap populasi penyu, sebagian besar


merupakan ancaman dari predator mereka. Namun ancaman terbesar berasal dari
manusia dan kegiatan-kegiatannya, termasuk pengambilan penyu dan telur-
telurnya untuk konsumsi atau cinderamata, degradasi kualitas tempat bertelur, dan
polusi. Dari kegiatan-kegiatan tersebut, pengambilan penyu dan telurnya untuk
konsumsi merupakan ancaman terbesar (Marcovaldi & Thome : 1999 dalam
Samanya : 2015). Populasi keenam jenis peyu tersebut telah lama terancam punah.
Gambar keenam penyu tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:

4
Gambar 2. Jenis-jenis penyu

(Sumber : DKP RI 2009)

Selain itu terdapatnya dampak negatif dari kegiatan manusia yang


mempengaruhi populasi penyu seperti contoh pada Gambar 3 berikut yang
ditunjukkan oleh (Mortimer : 1984; 1995) Pada gambar memperlihatkan pengaruh
pengambilan seluruh telur terhadap populasi penyu hijau, yang menyebabkan
kehancuran populasi ini dari bawah karena tidak ada tukik baru yang memasuki
populasi.

Gambar 3. Diagram Skematik Yang Menunjukkan Kehancuran Populasi Penyu


Hijau Karena Pengambilan Telur.
( Sumber : Mortimer, 1995).

5
Penyu laut pada dasarnya bersifat amfibi yaitu hidup di dua alam atau
habitat (air dan darat). Penyu laut biasanya hidup di perairan laut dangkal, tetapi
mereka juga muncul ke pesisir pantai untuk penjemuran diri atau penyu betina
naik kedaratan untuk menggali sarang dan bertelur. Laut yang dihuni oleh
penyu laut memiliki karakteristik tertentu yaitu di perairan-perairan karang,
pantai yang landai dan luas, atau perairan yang bersuhu sedang dan dingin. Penyu
abu-abu merupakan penyu yang tersebar di samudra indo-pasifik dan samudra
atlantik. Di Indonesia agak sulit diketahui penyebarannya secara pasti dan baru
ditemui di daerah cupel, perancak, candi kuning di selat bali dan tegal besar, lepang
di selat badung. Penyu laut yang di indonesia dapat dilihat dari identifikasi lima
jenis penyu laut yaitu seperti Gambar 4 berikut:

Gambar 4 Identifikasi 5 Jenis Penyu Laut di Indonesia. ( Sumber : Pritchard &


Mortimer : 1999).

Warna hijau pada skut lateral karapas dan sisik pre-frontalis menandakan kunci
utama pembedaan jenis. Pada penyu lekang juga ditemui 4 pasang pori pada skutin
framarginal di bagian plastron.

3. Faktor Penyebab Penyu Melakukan Migrasi

Secara umum penyu bermigrasi dari tempat mencari makan ke daerah bertelur,
dan kawin selama 1-2 bulan. Setelah 2-4 minggu, penyu betina akan naik ke pantai
dan bertelur beberapa kali. Setiap sarang berisi sekitar 100 telur dengan masa
inkubasi sekitar 60 hari. Telur-telur akan menetas saat suhu permukaan pasir tidak
terlalu panas di malam hari. Tukik yang menetas akan menggali selama 2-3 hari

6
sebelum muncul di permukaan. Mereka akan langsung menuju air dengan
menggunakan cahaya, arah gelombang dan medan magnet bumi sebagai panduan
(Samanya : 2015).

Kegunaan medan magnet bumi dalam orientasi penyu laut banyak ditekankan
oleh para pakar (Lohmann et al : 2008, 2013), dan bukti empiris diperoleh pada
awal tahun 2015 ini (Brothers & Lohmann : 2015). Tukik akan berenang selama 1-
2 hari untuk pergi sejauh mungkin ke daerah lepas pantai, kemudian mengapung
selama beberapa tahun mengikuti arus sampai mereka Setelah 5-10 tahun, tukik
akan berkembang menjadi penyu remaja dengan kisaran panjang tubuh antara 20-
40 cm. Mereka menetap di daerah mencari makan selama 5-10 tahun atau sampai
mereka mencapai kematangan seksual, dan melakukan migrasi pertamanya untuk
kawin. Seperti yang diketahui walau terdengar sederhana, hasil penelitian DNA
mitokondria terhadap penyu sisik di pulau Mona, Puerto Rico, menunjukkan bahwa
populasi penyu di daerah pencarian makanan dipengaruhi bukan hanya oleh migrasi
rutin, dan menyarankan usaha-usaha konservasi dilakukan secara regional (Velez-
Zuazo, dkk : 2014). Karena migrasi penyu juga terjadi lintas negara, seperti yang
diamati di Irian Jaya, hal senada juga diutarakan oleh (Benson : 2008).

Penyu melakukan migrasi jauh antara tempat sumber makanan dengan


lokasi peneluran. Penyu umumnya mencari makan di perairan yang ditumbuhi
tanaman atau alga laut. Penyu yang dewasa bermigrasi ke daerah pantai peneluran
pada periode musim kawin (Nuitja : 1992). Seperti Penyu abu-abu (Lepidochelys
olivacea) hidup di perairan tropis, perairan yang relatif dangkal. Namun, penyu
abu-abu dapat muncul di perairan terbuka. Habitat penyu abu-abu di perairan
dangkal berada di antara batu karang dan pantai, teluk besar dan laguna (Ernst
and Barbour : 1989).

Habitat bersarang penyu abu-abu di daerah tropis yang tidak ditumbuhi oleh
pohon-pohonan atau di tempat yang luas dan terang (Nuitja : 1992). Penyu abu-
abu contohnya penyebarannya terpusat di perairan tropis. Penyebaran di Lautan
Indo-Pasifik ditemukan di Micronesia, Jepang, India dan Arabia Selatan sampai
ke Australia Bagian Utara. Di Lautan Atlantik penyu abu-abu tersebar di pantai
barat Afrika dan pantai Brazil Selatan, Suriname, Guyana, dan Venezuela.

7
Penyebaran penyu abu-abu terpusat di Laut Karibia sejauh ke utara Puerto Rico.
Penyebaran di Pasifik Bagian Selatan, penyu ini ditemukan dari utara Galapagos
sampai California (Ernst and Barbour : 1989). Berikut adalah beberapa faktor
penyebab penyu melakukan migrasi yaitu :

a. Mencari Makan
Penyu laut umumnya mencari makan di perairan yang ditumbuhi tanaman
atau alga laut. Terdapat 2 siklus untuk mencari makan pada penyu, yaitu saat
masih menjadi tukik dan saat dewasa. Tukik bersifat karnivora sampai berumur 1
tahun, dan akan berubah setelah berumur lebih dari 1 tahun tergantung dari jenis
penyu itu sendiri. Penyu laut yang dewasa bermigrasi ke daerah pantai peneluran
pada periode musim kawin (Nuitja : 1992). Penyu laut melakukan migrasi jauh
antara tempat sumber makanan dengan lokasi peneluran ini. Sementara untuk
kelompok tukik yang baru menetas tersebut menggunakan rumput- rumput laut
yang mengapung, benda apung lain yang terperangkap oleh arus laut serta hewan-
hewan laut kecil sebagai makanan pada saat bermigrasi untuk ke tempat asalnya di
lautan. Penyu dalam mencari makan biasanya berlindung dibawah alga dan
tumbuhan laut lainnya, contohnya dapat dilihat pada Gambar 5 berikut:

Gambar 5. Tukik Berlindung Diantara Algae Sargassum Dan Mencari


Makan Di Daerah Sekitar Tempat Menetas.
(Sumber: ASeaPics.com)

b. Reproduksi dan Bertelur


1) Bertelur
Semua jenis penyu laut bertelur lebih dari satu kali, dalam periode satu
musim. Penyu laut bertelur di daerah bermusim empat terutama di bagian utara

8
equator. Penyu bermigrasi ke tempat yang sesuai untuk bereproduksi, bersarang,
dan bertelur. Jika sudah menemukan tempat yang cocok, maka pada periode
berikutnya penyu abu-abu ini akan kembali ke tempat itu lagi. Penyu bertelur
setiap saat (bisa malam, bisa siang). Seperti penyu abu-abu yang bertelur pada
malam hari sekitar pukul 20.00-22.00. Ketika akan bertelur penyu akan naik ke
pantai. Hanya penyu betina yang datang ke daerah peneluran, sedangkan penyu
jantan berada di daerah sub-tidal. Penyu bertelur dengan tingkah laku yang
berbeda sesuai dengan spesies masing-masing ( Panjaitan : 2012)
Penyu abu-abu memiliki keunikan saat bertelur, yaitu pada masa bersarang
ditemukan secara serentak dalam beberapa hari, disebut dengan istilah “arribada”.
Arribada adalah perilaku unik dari penyu abu-abu betina yang bersarang secara
serentak pada waktu tertentu. Contoh kasusnya pernah terlihat di Orissa (india)
pada masa bersarang tahunannya, yaitu beberapa ribu ekor penyu abu-abu
bermigrasi menuju tempat reproduksi (breeding ground) untuk kawin dan
bersarang secara bersamaan. Daerah peneluran penyu abu-abu terdiri dari butiran
pasir hitam, memiliki kandungan mineral lebih dari 70%, disebut “opac”.
biasanya penyu abu-abu ini bertelur di daerah tropis berpohon. Di Indonesia,
penyu abu-abu mayoritas ditemukan di daerah Pantai Ngagelan. Biasanya
kedalaman sarang penyu abu-abu 37-38 cm dan diameternya 20-21 cm.
Dalam bertelur penyu juga dipengaruhi oleh jenis pasir dan palung (daerah
cekungan di tepi pantai akibat adanya arus keras). Jenis pasir yang sering dijadikan
sebagai tempat pendaratan penyu adalah jenis pasir yang tidak terlalu hitam.
Sepanjang Pantai Pancur - Cungur yang sering dijadikan sebagai habitat pendaratan
berada di sektor 35 - 70 dimana di sektor tersebut banyak dijumpai palung. Penyu
Lekang karena memiliki karakteristik sebagai berikut: substrat berwarna abu-abu
gelap dengan kelompok mineral yang dominan adalah logam. Vegetasi pantai juga
sangat mempengaruhi pemilihan penyu untuk bertelur yaitu vegetasi yang terdiri
dari Waru Laut Hibiscus tiliaceus, Brogondolo Hernandia peltata, Ketapang
Terminalia catappa, Nyamplung Callophyllum inophyllum dan Rumput Grinting
Cynodon dactylon. Diketahui juga bahwa Puncak pendaratan Penyu Lekang
hampir bersamaan dengan penyu hijau yaitu pada bulan Mei, Juni dan Juli.
Sedangkan periode pendaratan penyu sisik hampir bersamaan dengan penyu

9
belimbing dengan puncak pada bulan Desember, Januari dan Februari (Nugraha,
dkk : 2017).
Hal lain dikemukakan oleh (Hermawan : 1993) bahwa jenis vegetasi pantai
merupakan salah satu faktor yang berperan penting di daerah peneluran penyu
sisik. Fungsi dari vegetasi ini selain sebagai penjaga kestabilan suhu dan
kelembaban sarang, juga sebagai jalur pengendali pasir pantai dan pelindung
sarang dari predator. Dan beberapa jenis vegetasi yang berperan, kerapatan dan
dominansi vegetasi dari jenis pohon perdu kelihatannya mempengaruhi kesukaan
penyu sisik untuk membuat sarang.
kondisi morfologi tumbuhan penyusun komunitas ini akan menyebabkan
kawasan ini dan di belakangnya di mana penyu sering bertelur menjadi lebih
terlindung dari terbawa hanyutnya pasir oleh arus dan ombak air laut yang besar.
Selain itu kawasan ini juga relatif sulit untuk dilintasi masyarakat, maupun hewan
predator telur penyu seperti anjing, babi hutan, reptil. Karena daun berduri yang
tajam, bongkol bunga yang keras dan berbulir tajam serta anyaman batang yang
jika tidak berhati-hati melewati bisa terluka oleh duri dan jatuh terjerat oleh batang
rimpang yang berbelit di atas permukaan pasir. Jenis-jenis vegetasi pantai ini
memiliki perawakan yang secara morfologis seperti batang, daun, tajuk
menyebabkan kawasan menjadi lebih terlindung secara alami dari gangguan
predator. Hal tersebut yang mungkin menjadi salah satu faktor yang sesuai bagi
penyu untuk bersarang dan bertelur (Roemantyo, dkk : 2012).
Kasus lain dapat dilihat seperti pada umumnya penyu hijau bertelur sepanjang
tahun. akan tetapi pada bulan-bulan dalam musim hujan, pendaratan penyu hijau
di pantai pengumbahan lebih banyak daripada saat musim kemarau. pada saat
musing hujan, air pasang lebih tinggi daripada musim kemarau, sehingga penyu
lebih mudah untuk naik ke pantai dn melakukan pendaratan untuk bertelur. Pada
tahun 2010, puncak pendaratan terjadi di bulan oktober (Alisyahbana: 2012 dalam
Samanya : 2015). Penyu hijau memilih pantai pengumbahan sebagai habitat
bertelurnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain pasan surut, penutupan
vegetasi, lebar dan kemiringan pantai, dan tipe pasir (Nuitja : 1992). Di Indonesia
produksi telur penyu paling melimpah terjadi pada musim kemarau, yaitu antara
bulan Juli dan Oktober (Binarung : 2011). (Salm dan Halim : 1984 dalam Dahuri :

10
2003) mencatat lebih kurang 143 lokasi peneluran penyu yang tersebar di seluruh
Indonesia. Tetapi banyak di antara lokasi lokasi peneluran penyu yang luas telah
ditinggalkan oleh penyu, karena kondisi lingkungan yang rusak. Ancaman utama
terhadap populasi penyu adalah kegiatan manusia, seperti pencemaran pantai dan
laut; perusakan habitat peneluran, perusakan daerah mencari makan, gangguan
pada jalur migrasi; serta penangkapan induk penyu secara ilegal dan pengumpulan
telur. (Binarung, A : 2011 dalam Kasendra, dkk : 2013 ). Selain itu resiko bagi
sarang penyu berupa perubahan suhu dan kadar air karena terendam air laut dan
mengakibatkan kegagalan penetasan. (Menurut Ackerman : 1997), penyu
menggali sarang dan meletakkan telur-telurnya di sebuah pantai berpasir. Pantai
berpasir tempat peneluran penyu merupakan inkubator serta memiliki suasana
lingkungan yang sesuai bagi perkembangan embrio penyu. Iklim mikro yang sesuai
untuk inkubasi telur penyu ditimbulkan dari adanya interaksi antara karakter fisik
material, penyusun pantai, iklim lokal dan telur-telur dalam sarang (Satriadi, dkk :
2003).
Pantai peneluran penyu memiliki persyaratan umum antara lain pantai mudah
dijangkau dari laut, posisinya harus cukup tinggi untuk mencegah telur terendam
oleh air pasang, pasir pantai relatif lepas (loose) serta berukuran sedang untuk
mencegah runtuhnya lubang sarang pada saat pembentukannya. Pemilihan lokasi
ini agar telur berada dalam lingkungan bersalinitas rendah, lembab dan substrat
memiliki ventilasi yang baik sehingga telur-telur tidak tergenang air selama masa
inkubasi (Mortimer : 1992 dalam Miller : 1997). Sebaran spasial lokasi bertelur
penyu di dunia dapat dilihat pada Gambar 6. Berikut :

Gambar 6. Sebaran Spasial (Arsir) Dan Lokasi Bertelur Ketujuh Penyu Laut Di
Dunia.
( Sumber : Kot et al., 2015).
Penyu hijau bertelur sebanyak 115 butir dengan interval bertelur 2 sampai
3 kali dalam setahun (Sukada : 2009) Sebaran penyu laut di dunia terpusat pada

11
daerah tropis, namun menyebar sampai dengan daerah sub-tropis dan daerah
beriklim sedang (Mazaris, dkk : 2014 dan Kot et al : 2015). Di Gambar 7 dapat
dilihat bahwa di Indonesia, penyu-penyu ini dominan bertelur di kepulauan Riau
(penyu hijau dan penyu sisik), Kalimantan (penyu hijau, penyu tempayan), bagian
sangat kecil dari Barat Sumatra (penyu hijau, penyu belimbing), bagian Selatan
pulau Jawa dan Bali (penyu belimbing, penyu hijau, penyu sisik, penyu lekang),
dan di Irian Jaya (penyu belimbing) (Kot et al : 2015).

Gambar 7. Lokasi bertelur 5 penyu laut di Indonesia (Kot et al : 2015).


(Sumber : data daring (dalam jaringan) disediakan oleh SWOT Team dan
disimpan di OBIS SEAMAP.)
Selain itu kita ketahui bahwa Penyu merupakan hewan perairan laut, yang
hidupnya mulai dari perairan laut dalam hingga perairan laut dangkal. Kadang-
kadang penyu juga berada di daerah pantai dan biasanya digunakan untuk bertelur.
Penyu bertelur ketika terjadi air pasang penuh, induk penyu akan berenang menuju
ke pantai yang berpasir dan melakukan beberapa tahapan proses peneluran, yaitu
merayap, membuat lubang badan, membuat lubang sarang, bertelur, menutup
lubang sarang, menutup lubang badan, memadatkan pasir di sekitar lubang badan,
istirahat, membuat penyamaran sarang dan kembali ke laut (Warikry : 2009).

Pemilihan lokasi ini, agar telur-telur berada dalam lingkungan bersalinitas


rendah, lembab dan substrat memiliki poripori atau ventilasi yang baik. Telur penyu
memiliki variasi bentuk dan besar yang berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Pada
jenis penyu yang sama, telur yang dihasilkan memiliki variasi terutama diameter
telur (Marquez, 1990 dalam Syaiful : 2013). Diameternya sangat dipengaruhi oleh

12
kandungan air dalam pasir. Faktor-faktor yang mempengaruhi telur yaitu aktifitas
air laut, gangguan akar tumbuhan , dan predator (Warikry : 2009).

Adapun (Menurut Bjorndal dan Bolten : 1992), ketika seekor penyu muncul
dari laut ke pantai untuk 3 bersarang, dia biasanya memasuki lingkungan heterogen
yang relatif luas, sehingga dia harus memilih lokasi bersarangnya. Tempat dia
bersarang dapat mempengaruhi kesuksesan dan kebugaran reproduksinya dilihat
dari kelangsungan hidupnya dan kelangsungan hidup anakannya, dan rasio jenis
kelamin dari anakannya. Penyu memilih daerah untuk bertelur pada dataran yang
landai dan tidak terkena pasang. Menurut (Nuitja : 1992), contohnya di pantai
Sukamade jumlah sarang yang ditemukan pada zona intertidal hanya sebesar
0,05%, sedangkan selebihnya ditemukan pada zone supratidal yang mencapai
98,64%. Dari sarang yang berada di zone supratidal tersebut, sekitar 25,00% berada
di bawah naungan pohon, sedangkan lainnya berada di daerah bebas naungan.

Penelitian lokasi bersarang yang dilakukan oleh (Whitmore dan Dutton


dalam Wood dan Bjorndal : 2000), menyebutkan bahwa pada pantai peneluran di
Suriname yang digunakan bersama oleh penyu Belimbing dan penyu Hijau, penyu
Belimbing cenderung untuk bersarang di daerah pasir terbuka, sedangkan penyu
Hijau cenderung bersarang di daerah yang ada vegetasi di belakang pasir terbuka.
Sementara menurut ( Johannes dan Rimmer dalam Wood dan Bjorndal : 2000),
penyu Hijau di Australia cenderung untuk bersarang pada platform pasir yang
berada 1 sampai 3 meter di atas pasang tertinggi pada pantai dengan salinitas rendah
pada permukaan maupun kedalaman sarang. (Turkozan dkk : 2011) menyatakan
bahwa beberapa peneliti menyebut bahwa preferensi lokasi bersarang adalah
random, namun yang lain menemukan bahwa pasir pantai, kemiringan pantai,
cahaya buatan, dan jarak dari pemukiman terdekat dan/atau vegetasi pantai dapat
mempengaruhi pemilihan lokasi bersarang. Pada umumnya preferensi tersebut
secara alami dilakukan secara adaptif dan berhubungan dengan keberhasilan
kelangsungan hidup dan reproduksinya.

2) Reproduksi
Reproduksi penyu adalah proses regenerasi yang dilakukan penyu dewasa
jantan dan betina melalui tahapan perkawinan, peneluran sampai menghasilkan

13
generasi baru (tukik). Setiap jenis penyu melakukan kopulasi di daerah sub-
tidal pada saat menjelang sore hari atau pada matahari baru terbit. Setelah 2-3
kali melakukan kopulasi, beberapa minggu kemudian penyu betina akan
mencari daerah peneluran yang cocok sepanjang pantai yang diinginkan.
Ilustrasi rebproduksi penyu dapat dilihat pada Gambar 8. berikut:

Gambar 8. Ilustrasi Reproduksi Penyu


(Sumber: aSeaPics.com dan Yayasan Alam Lestari, 2000)

Penjelasan lain mengenai siklus reproduksi penyu dapat dilihat juga pada
Gambar 9. berikut :

Gambar 9. Siklus Reproduksi Penyu Laut Secara Umum.

(Sumber : Lanyon et al : 1989).

Pendapat lain yang mengenai faktor yang menyebabkan penyu bermigrasi


juga dikemukan oleh (Nugraha, dkk : 2012) yaitu Penyu merupakan salah satu
hewan yang sebagian besar hidupnya berada di laut, kecuali untuk bertelur. Penyu

14
sering bermigrasi untuk kawin, bertelur maupun untuk mencari makan. Migrasi
penyu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

 Perubahan iklim
 Ketersediaan pakan di alam
 Pencemaran
 Perburuan
 Predator
 Bencana alam.

Penyu membutuhkan waktu lama untuk mencapai usia reproduksi yaitu


berkisar antara 17 hingga 40 tahun dengan tingkat keberhasilan mencapai 1 : 1.000
sehingga menyebabkan jumlah pendaratan penyu mengalami fluktuasi. Sementara
itu penyu laut yang telah dewasa melakukan migrasi dari daerah dangkal (daerah
tempat untuk mencari makan) ke daerah sekitar pantai penelurannya. Penyu jantan
melakukan kopulasi dengan penyu betina di sekitar pantai peneluran. Penyu
jantan bermigrasi kembali ke daerah semula atau ke tempat lain untuk mencari
makan. Penyu betina tetap berada di sekitar pantai peneluran selama kurang lebih
2 minggu, kemudian menuju daratan untuk bertelur. Setelah bertelur, penyu betina
akan kembali ke tempat semula atau tempat lain untuk mencari makan (Nuitja :
1992 dan Miller : 1997). Jadi, penyu akan bermigrasi bolak-balik ke daerah yang
sama (daerah dangkal untuk mencari makan) dan pantai untuk bereproduksi
dan bertelur.

4. Migrasi Penyu

Penyu dapat bermigrasi dalam jarak yang sangat ekstrim. Migrasi itu
dilakukan dari ruaya pakan (tempat makan) ke tempat bertelur (nesting ground)
yang letaknya sangat berjauhan. Seekor penyu belimbing pernah dicatat melakukan
perjalanan migrasi sejauh 12.000 mil dari Indonesia ke Oregon (USA), dan seekor
penyu tempayan melakukan perjalanan migrasi dari Jepang ke Baja, California
(USA) (Sandi, 2014). Studi tentang migrasi pasca bertelur penyu hijau telah
dilakukan di Sukamade Jawa Timur (Jayaratha dan Adnyana : 2009 dalam
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut : 2009).

15
Diketahui bahwa Pola pergerakan migrasi penyu hijau cenderung bergerak
melalui pesisir. Pergerakan lintas samudera ditemukan pada penyu Hijau yang di
tag di pantai Sukamade sampai Jawa Timur. Penyu hijau di Raja Ampat sebagian
besar bermigrasi turun ke arah Laut Arafura, dan sebagian lainnya ke Laut Sulu-
Sulawesi dan Laut Jawa di Kalimantan Selatan (Nugraha, dkk : 2017). Penyu hijau
di Sukamade sebagian besar bermigrasi ke Western Australia dan sebagian lagi ke
Kepulauan Tengah (antara Dompu–Sulawesi Selatan). Peta migrasi penyu sisik
(warna kuning), penyu lekang (warna merah muda), penyu hijau (warna hijau) dan
penyu belimbing (warna coklat) di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 10
(Prawira dan Yuneni : 2016).

Gambar 10. Peta Migrasi Penyu Sisik, Penyu Lekang, Penyu Hijau Dan Penyu
Belimbing Di Perairan Indonesia. (Sumber : Google.com )

Salah satu pembuatan jalur migrasi pada penyu abu-abu dapat dilihat pada Gambar
11. Berikut :

Gambar 11. Jalur migrasi penyu abu-abu. (Sumber : Google.com )

16
Penelusuran pergerakan pasca-bertelur terhadap penyu abu-abu telah
dilakukan di dua wilayah peneluran, yaitu bagian Selatan (Alas Purwo - Jawa
Timur dan Bali) serta Utara (Jamursba Medi dan Kaironi, Papua). Dari empat
penyu yang diamati di wilayah selatan, 3 ekor (75%) bermigrasi kearah Barat
menuju perairan Provinsi Jawa Barat, sedangkan yang seekor bergerak
mengelilingi wilayah selatan dan timur Pulau Bali sebelum bergerak menuju
Laut Jawa. Sementara itu, seluruh (5 ekor) penyu dari wilayah Utara bermigrasi
menuju ke selatan hingga laut Banda serta Arafura (Rahman, dkk : 2013).
Seperti yang kita ketahui, penyu abu-abu telah melakukan migrasi
jauh antara tempat sumber makanan dengan lokasi peneluran. Penyu laut
yang dewasa bermigrasi ke daerah pantai peneluran pada periode musim kawin
(Nuitja : 1992). Penyu laut bertelur di daerah bermusim empat terutama di bagian
utara equator. Penyu bermigrasi ke tempat yang sesuai untuk bereproduksi,
bersarang, dan bertelur. Jika sudah menemukan tempat yang cocok, maka pada
periode berikutnya penyu abu-abu ini akan kembali ke tempat itu lagi. Penyu
laut yang telah dewasa melakukan migrasi dari daerah dangkal yaitu daerah
tempat untuk mencari makan ke daerah sekitar pantai penelurannya. Penyu
jantan melakukan kopulasi dengan penyu betina di sekitar pantai peneluran.
Penyu jantan bermigrasi kembali ke daerah semula atau ke tempat lain
untuk mencari makan. Penyu betina tetap berada di sekitar pantai peneluran
selama kurang lebih 2 minggu, kemudian menuju daratan untuk bertelur.
Setelah bertelur, penyu betina akan kembali ke tempat semula atau tempat lain
untuk mencari makan (Nuitja : 1992 dan Miller : 1997). Jadi, penyu akan
bermigrasi bolak-balik ke daerah yang sama yaitu daerah dangkal untuk mencari
makan dan pantai untuk bereproduksi dan bertelur. Penyu akan melakukan
migrasi ketika penyu abu-abu akan bertelur, sudah disebutkan sebelumnya,
bahwa penyu akan bertelur ke tempat dia menetas. Menurut BSTF ( Banyu wangi
Sea Turtle Foundation) Penyu abu-abu bertelur pada musim timur, yaitu pada
bulan mei sampai juli akhir. Setelah masa peneluran selesai penyu akan
berpetualang lagi ke laut lepas.

17
Selain itu (WWF : 2010) melaporkan bahwa di Indonesia ditemukan enam
spesies penyu dari tujuh yang tercatat di dunia. Empat di antaranya bahkan
bertelur di pantai-pantai di sepanjang perairan Indonesia, yakni penyu hijau,
penyu belimbing, penyu sisik dan penyu lekang. Bagi penyu-penyu tersebut,
perairan Indonesia merupakan rute perpindahan (migrasi) yang terpenting karena
terletak di persimpangan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia (Nugraha, dkk
: 2017). Penyu melakukan migrasi jauh antara tempat sumber makanan dengan
lokasi peneluran. Penyu umumnya mencari makan di perairan yang ditumbuhi
tanaman atau alga laut. Penyu yang dewasa bermigrasi ke daerah pantai peneluran
pada periode musim kawin (Nuitja : 1992 dan Direktorat Konservasi dan
Keanekaragaman Hayati Laut : 2015).
Dari tujuh jenis penyu yang hidup dilaut, penyu hijau merupakan jenis
penyu yang banyak menarik perhatian baik diluar negeri seperti Costa Rica
Amerika Tengah. Serawak Malaysia dan Australia maupun di Indonesia. Hal ini
karena penyu hijau mempunyai nilai ekonomi penting yaitu telur dan daging
sebagai sumber protein serta kulitnya sebagi bahan industri. Di Indonesia,
penyebaran penyu hijau cukup merata, karena hal ini berkaitan dengan tempat-
tempat persinggahan penyu hijau tersebut (Azkab : 1999). Penyu hijau muncul
untuk memakan algae hanya pada beberapa habitat yaitu pada daerah terumbu
karang, sedangkan pada daerah pesisir baik di teluk maupun di estuaria makanan
penyu hijau adalah lamun (Limpus : 1985a, 1985b). Disamping itu, penyu hijau
juga memakan keduanya (algae dan lamun) pada beberapa daerah seperti di Selat
torres dan daerah karang di Pulau Yorke (Garnett, dkk : 1985 dalam Samanya :
2015).
Salah satu Metode yang telah digunakan untuk penentuan jalur migrasi
penyu saat ini, yaitu dengan menggunakan teknik tradisional yaitu tagging set yang
dipasang kode tag ID pada induk penyu betina yang sedang mendarat saat bertelur
di pantai dan saat di penangkaran maupun penemuan induk penyu oleh nelayan,
setelah proses tagging selesai, langkah berikutnya menunggu dan memantau penyu
tersebut kembali lagi saat bertelur di daerah yang sama maupun daerah yang

18
berbeda, bila ditemukan penyu yang diberi tagging maka diisi berita acara
kemudian diarsipkan (Manurung : 2013).

Menurut (Samedi : 2000), kelemahan metode ini tidak dapat mengetahui


jalur migrasi penyu dengan akurat dan akan mengabaikan parameter oseanografi
yang dihadapi oleh penyu saat pergerakannya di perairan. Penyu merupakan satwa
yang sangat migran sehingga suatu daerah tidak dapat menggambarkan jumlah
populasi penyu di daerah tersebut. Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) yang
telah di pasang transmitter terpantau jalur migrasinya berawal dari Selat Bali,
Gilimanuk, Bali Utara atau Situbondo, Selat Madura, Madura Utara dan berakhir di
Selat Makassar. Sebagai binatang laut Penyu adalah binatang melata laut yang
hampir sepanjang hidupnya berada di dalam laut. Hanya penyu betina dewasa yang
naik ke daratan pada waktu-waktu tertentu untuk bertelur (Suwelo: 1992).

Pada migrasi tahunan penyu, khususnya pada saat perkawinan dari padang
lamun ke daerah perkawinan yang menggambarkan secara kuantitatif merupakan
nutrien dari sistem lamun. Migrasi penyu akan ikut juga lemak secara akumulatif
yang diperkirakan lebih dari 6 kg kuning telur untuk setiap betina penyu dan juga
akan membuang sampah metabolik serta telurnya. Untuk komunitas lamun yang
didukung oleh sekelompok penyu yang banyak, tentunya migrasi penyu ini akan
diperhitungkan dalam perhitungan nutrien/siklus energi. Berikut Gambar 12 siklus
hidup penyu yang salah satunya adalah penyu hijau.

Gambar 12. Siklus Hidup Penyu Hijau Secara Umum.


( Sumber: Limpus & Reed 1985a, 1985b).

19
Selain itu siklus hidup penyu laut secara umum dapat dilihat pada Gambar 13
Berikut ini:

Gambar 13. Skema Siklus Hidup Penyu


(Sumber: Pusat Pendidikan dan Konservasi Penyu, Serangan, Bali)

5. Kembalinya Penyu Menuju Laut


Setelah melakukan migrasi, dan penyu bertelur maka ia akan kemabli ke laut
kembali. Tukik menetas setelah sekitar 7-12 minggu. Begitu mencapai laut tukik
menggunakan berbagai kombinasi petunjuk (arah gelombang, arus dan medan
magnet) untuk orientasi ke daerah lepas pantai yang lebih dalam. Kegiatan tukik
melewati pantai dan berenang menjauh adalah upaya untuk merekam petunjuk
petunjuk yang diperlukan untuk menemukan jalan pulang saat mereka akan
kawin. Proses ini disebut “imprinting process” (Rahman, dkk : 2013).

6. Strong Homing Instinct Penyu


Penyu mempunyai sifat kembali ke rumah (”Strong homing instinct”)
yang kuat (Clark : 1967, Mc Connaughey : 1974, Mortimer dan Carr : 1987,

20
Nuitja : 1992), yaitu migrasi antara lokasi mencari makan (Feeding grounds)
dengan lokasi bertelur (breeding ground). Migrasi ini dapat berubah akibat
berbagai alasan, misalnya perubahan iklim, kelangkaan pakan di alam,
banyaknya predator termasuk gangguan manusia, dan terjadi bencana alam
yang hebat di daerah peneluran, misalnya tsunami. Jadi suatu saat penyu akan
kembali lagi ke tempat asalnya untuk bertelur, bereproduksi, dan mencari makan.
Akan tetapi daerah yang akan dilalui atau ditempati oleh penyu ini akan berubah
jika terdapat banyak gangguan. Hal ini akan merusak ekosistem yang ada.
7. Konservasi Penyu

Populasi penyu semakin berkurang bahkan terancam punah sehingga penyu


dilindungi oleh undang-undang, baik secara nasional maupun internasional.
(Departemen Kelautan dan Perikanan : 2009). Tanpa disadari bahwa punahnya
salah satu jenis sumberdaya alam seperti penyu akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan ekosistem dan hilangnya plasma nutfah yang penting bagi
dunia ilmu pengetahuan. Di indonesia salah satunya Papua merupakan puncak
keanekaragaman hayati terumbu karang yang penting dengan sejumlah binatang,
habitat dan clade (kelompok taksa/jenis yang memiliki sifat yang sama yang
diwariskan dari nenek moyangnya) genetik yang sulit ditemukan di seluruh
Indonesia, termasuk sejumlah jenis ikan endemik, karang dan stomatopoda, juga
merupakan tempat membesarkan anak Paus sperma, tempat bertelur Penyu
belimbing Pasifik terluas di dunia, tempat bertelur utama Penyu hijau. Terdapat
pula jenis Paus Bryde, serta populasi duyung dan buaya muara. Rendahnya
kepadatan populasi manusia menambah potensi konservasi di wilayah ini,
demikian pula berbagai kegiatan eksploitasi yang sedang berlangsung
meningkatkan urgensi untuk melakukan upaya konservasi (Mazaris,dkk.2014)
Kelestarian penyu yang merupakan salah satu hewan yang dilindungi
merupakan hal yang perlu diperhatikan. Hal yang diperlukan untuk menjaga
kelestarian penyu adalah dengan menjaga habitat penyu itu sendiri, karena bila
habitat dari penyu itu telah rusak otomatis kelestarian penyu itu sendiri akan
terganggu. Menurut (Darmawan, dkk : 2009) agar penyu dapat bertelur dan
berkembang biak dengan baik juga terhindar dari para predator dapat dilakukan
dengan cara pembinaan atau pengelolaan habitat. Peneluran penyu secara umum

21
dapat dilakukan dengan cara: 1. Menyediakan area atau lokasi untuk stasiun
penangkaran penyu yang tersebar di seluruh Indonesia, minimal setiap provinsi
memiliki satu stasiun penangkaran penyu 2. Menetapkan kawasan tersebut sebagai
kawasan konservasi penyu. Melarang siapapun memasuki dan melakukan kegiatan
di kawasan konservasi penyu tersebut, kecuali dengan izin khusus untuk tujuan
pendidikan dan penelitian.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman
flora dan fauna. Salah satu dari kekayaan fauna tersebut adalah spesies penyu laut.
Di Indonesia perlindungan terhadap semua jenis penyu laut telah ditetapkan di
dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 dan dipertegas
dengan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis
Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Dalam peraturan pemerintah tersebut
ditetapkan semua jenis penyu dilindungi (Purwanasari : 2006 dalam Aldhian, dkk
: 2015).
Secara umum, (Purwanasari dalam Aldhian, dkk : 2015 ) menyatakan
bahwa, penyebab penurunan populasi penyu hijau di alam dapat dikelompokkan
menjadi dua faktor, yaitu; faktor alam dan faktor anthropogenic. Faktor alam
berhubungan dengan perubahan lingkungan yang terjadi secara alamiah, seperti;
abrasi pantai, perubahan suhu pasir, penyakit dan predator alami. Faktor
anthropogenic merupakan ancaman yang berhubungan dengan adanya aktifitas
manusia, baik pemanfaatan terhadap pantai habitat peneluran maupun
pemanfaatan terhadap spesies penyu, misalnya; pemanfaatan penyu dan telur
penyu serta interaksi terhadap aktifitas perikanan (Aldhian, dkk : 2015).
Salah satu wilayah di Indonesia yang telah melakukan pembentukan
kawasan konservasi laut sebagai salah satu cara pelestarian sumber daya ikan yang
dimiliki adalah Kabupaten Sukabumi. Kabupaten Sukabumi memiliki panjang
pantai 117 km, tersebar di 9 Kecamatan pesisir. Dua Kecamatan diantaranya
(Kecamatan Ciracap dan Ciemas) memiliki potensi satwa penyu yang bertelur di 9
lokasi peneluran, yaitu: 1) Pangumbahan; 2) Hujungan; 3) Karang Dulang; 4)
Legon Matahiang; 5) Citirem; 6) Batu Handap; 7) Cibulakan; 8) Cebek; dan 9)
Cikepuh. Dalam pengelolaannya, delapan lokasi dikelola oleh BKSDA
(Kementerian Kehutanan) dan satu lokasi, yaitu Pantai Pangumbahan dikelola oleh

22
Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi. Pantai Pangumbahan, Kabupaten
Sukabumi memiliki nilai yang sangat strategis terkait dengan upaya pelestarian
penyu hijau (Chelonia mydas) (Harahap dkk : 2015).

Program konservasi penyu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60


Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 13/permen-kp/2014 tentang Jejaring
Kawasan Konservasi Perairan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
30 Tahun 2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi
Perairan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2008
tentang Kawasan Konservasi Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. 4
Salah satu daerah yang melaksanakan program pemerintah pusat tersebut adalah
Kabupaten Pesisir Barat. Implementasi kebijakan tersebut dilaksanakan di
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang terletak di Pekon Muara
Tambulih, Kecamatan Ngambur, Kabupaten Pesisir Barat. Secara khusus di
Kabupaten Pesisir Barat diatur dalam Surat Keputusan Bupati Lampung Barat
Nomor B/206/KPTS/II.12/2012 tentang Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil Kabupaten Lampung Barat (Huffard, dkk : 2012).
Menurut (Darmawan, dkk : 2009) konservasi penyu merupakan upaya yang
sangat penting untuk menjamin keberlangsungan populasi penyu tersebut.
Kelangkaan yang terjadi secara terus-menerus dengan kecenderungan semakin
lama semakin sulit ditemukan, dapat menjurus pada kepunahan. Pengelolaan
kawasan konservasi menurut ( Santosa : 2008) pada hakikatnya merupakan: “salah
satu aspek pembangunan yang berkelanjutan serta berwawasan lingkungan,
sehingga berdampak nyata terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, yang
sekaligus akan dapat meningkatkan pula 23 pendapatan negara dan penerimaan
devisa negara, yang dapat memajukan kualitas hidup dan kehidupan bangsa”.
Oleh karena itu, perlu perubahan paradigma pengelolaan kawasan
konservasi, tidak hanya didasarkan pada prinsip konservasi untuk konservasi
sendiri (hanya untuk pelindungan saja), tetapi konservasi untuk kepentingan
bangsa dan seluruh masyarakat Indonesia secara luas, serta harus memberi manfaat
secara bijaksana dan berkelanjutan. Upaya konservasi dilakukan sebagai upaya

23
untuk menjaga Keberadaan penyu, baik di dalam perairan maupun saat bertelur
ketika menuju daerah peneluran banyak karena sering mendapatkan gangguan
yang menjadi ancaman bagi kehidupannya. Menurut (Darmawan : 2009)
Permasalahan-permasalahan yang dapat mengancam kehidupan penyu secara
umum dapat digolongkan menjadi ancaman alami dan ancaman karena perbuatan
manusia. Gangguan atau ancaman alami yang setiap saat dapat mengganggu
kehidupan penyu antara lain:
1. Pemangsaan (predation) tukik, baik terhadap tukik yang baru keluar dari
sarang (diantaranya oleh babi hutan, anjing-anjing liar, biawak dan burung
elang) maupun terhadap tukik di laut (diantaranya oleh ikan cucut).
2. Penyakit, yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau karena pencemaran
lingkungan perairan.
3. Perubahan iklim yang menyebabkan permukaan air laut naik dan banyak
terjadi erosi pantaipeneluran sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap
berubahnya daya tetas dan keseimbangan rasio kelamin tukik. Sedangkan
gangguan atau ancaman karena perbuatan manusia yang setiap saat dapat
mengganggu kehidupan penyu yaitu tertangkapnya penyu karena aktivitas
perikanan, baik disengaja maupun tidak disengaja dengan berbagai alat
tangkap, seperti tombak, jaring insang (gill net), rawai panjang (longline) dan
pukat (trawl). Penangkapan penyu dewasa untuk dimanfaatkan daging,
cangkang dan tulangnya. Pengambilan telur-telur penyu yang dimanfaatkan
sebagai sumber protein.
4. Aktivitas pembangunan di wilayah pesisir yang dapat merusak habitat penyu
untuk bertelur seperti penambangan pasir, pembangunan pelabuhan dan
bandara, pembangunan sarana-prasarana wisata pantai dan pembangunan
dinding atau tanggul pantai. Oleh karena itu, konservasi penyu penting
dilakukan untuk menjaga dan melestarikan habitat dan kehidupan penyu
mengingat jumlah populasi penyu yang ada di Indonesia bahkan di dunia
masuk kedalam daftar merah dan terancam diambang kepunahan. melalui
dilakukannya konservasi penyu secara bertahap diharapkan dapat
meningkatkan populasi dan mengembalikan habitat penyu yang telah rusak
akibat faktor manusia ataupun faktor alam.

24
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan peraturan terkait
konservasi atau pengelolaan penyu pada perikanan tuna di laut lepas pada Pasal
39 dan 42. Pada Pasal 39 disebutkan bahwa setiap kapal penangkap ikan yang
melakukan penangkapan ikan di laut lepas yang memperoleh hasil tangkapan
sampingan (by-catch) yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna
(ecologically related species) berupa hiu, burung laut, penyu laut, mamalia
laut termasuk paus dan hiu monyet wajib melakukan tindakan konservasi. Lebih
lanjut pada Pasal 42 ayat 1 disebutkan bahwa setiap penangkapan ikan di laut lepas
yang tanpa sengaja tertangkap burung laut, penyu laut dan/atau mamalia laut
termasuk paus harus dilepaskan dalam keadaan hidup dan ayat 2 menyebutkan
bahwa dalam hal burung laut, penyu laut dan/atau mamalia laut termasuk paus
yang tanpa sengaja tertangkap dalam keadaan mati, nahkoda harus melaporkan
kepada kepala pelabuhan pangkalan untuk dibuat surat keterangan guna
dilaporkan kepada Direktur Jenderal (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia No. PER.12/MEN/2012).
Untuk pengelolaan penyu yang berada di Samudera Hindia, Indonesia telah
menandatangani Nota Kesepahaman The Indian Ocean and South-East Asia
(IOSEA) yang berisi mengenai pengelolaan dan pelestarian penyu dan habitatnya
di Samudera Hindia dan Asia Tenggara. Dengan ikut menandatangani nota
kesepahaman tersebut, Indonesia diminta untuk berperan aktif dalam pengelolaan
dan pelestarian penyu yang ada di Samudera Hindia. Selain itu, Indonesia bersama
Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon menandatangani nota kesepahaman
konferensi dan pengelolaan penyu belimbing di Pasifik Barat. Yang terakhir,
Indonesia meratifikasi United Nations Convention Against Transnational
Organized Crimes (UNTOC) melalui Undang-Undang No. 5/2009, sehingga
memungkinkan Indonesia melakukan kerjasama dengan internasional dalam
menangani kejahatan perdagangan ilegal satwa liar, termasuk penyu. Secara
regional, Indonesia dan 9 negara ASEAN telah menyepakati untuk melakukan
perlindungan, pelestarian dan pemulihan penyu dan habitat berdasarkan bukti
ilmiah yang tersedia, dengan mempertimbangkan karakteristik lingkungan, sosial-
ekonomi dan budaya masing-masing negara yang tertuang dalam Memorandum of
Understanding of ASEAN on Sea Turtle Conservation and Protection yang

25
ditandatangani pada tahun 1997. Selain itu, SEAFDEC juga telah menyusun
rencana aksi regional terkait perlindungan dan pelestarian habitat tempat mencari
makan penyu di perairan Asia Tenggara. Rencana aksi ini bertujuan untuk : 1)
melindungi dan melestarikan di habitat tempat mencari makannya, 2) mengurangi
penyebab langsung dan tidak langsung kematian penyu habitat tempat mencari
makannya, 3) memperkuat penelitian dan monitoring penyu di habitat tempat
mencari makannya, 4) meningkatkan partisipasi masyarakat melalui diseminasi
dan pendidikan, 5) memperkuat pengelolaan penyu secara terpadu, dan 6)
menyiapkan anggaran untuk konservasi penyu (SEAFDEC : 2014).
Dengan beberapa uraian diatas makadapat disimpulkan bahwa diharapkan kita
semua agar menjaga dan lemestarikan sumberdaya alam yang ada, dan bagaimana
kita melestarikan keanekaragaman hayati yang terdapat di indonesia. Indonesia
sebagai negara yang sangat kaya akan sumberdaya alam, baik sumberdaya hutan,
pertambangan dan kelautan. Penyu merupakan hewan yang hidup di lautan, saat
ini beberapa penemuan mengatakan bahwa penyu tergolong dalam hewan yang
langkah dan perlu pelestarian dan konservasi, berkurangnya populasi ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti rusaknya habitat, kurangnya ketersedian
makanan, pengrusakan oleh manusia seperti mengambil penyu ataupun telurnya
untuk dikonsumsi, bencana, belum lagi predator yang menjadi ancaman bagi
kelangsungan hidup penyu laut ini. Dengan demikian perlu dilakukan konservasi
dan pelestarian penyu laut, agar tidak terjadi kelangkaan terhadap populasi penyu,
dan penyu juga tetap dapat melakukan migrasi sesuai dengan pola yang ada serta
berkembangbiak dengan baik. Tentunya hal ini akan terlaksana apabila daerah
tempat persinggahan atau wilayah migrasi bagi penyu dapat dijaga dan
dilestarikan, sehingga keseimbangan ekosistempun tetap terjaga dengan baik.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ackerman, R.A. 1997. The Nest Environment and The Embryonic Development of
Sea Turtles. In: Lutz, P.L dan Musick, J.A (eds). The Biology of Sea Turtle.
CRC Press, Boca Raton. pp. 83 – 106.

Aldhian, R. A. dkk. 2015. Pengaruh kedalaman sarang penetasan penyu hijau


(chelonia mydas) terhadap masa inkubasi dan persentase keberhasilan
penetasan di pantai sukamade, taman nasional meru betiri, banyuwangi
jawa timur. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 7 No. 2.
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan satwa liar jilid I. Departemen pendidikan dan
kebudayaan, direktoral jenderal pendidikan tinggi, pusat antar universitas
ilmu hayati,IPB. Bogor.
Azkab.H.M. 1999. penyu hijau, chelonia mydas l. yang senang melahap
lamun hijau yang segar. oseana, volume xxiv, nomor2,1999 : 13-20 issn
0216-1877.

Benson, Scott R., Peter H. Dutton, Creusa Hitipeuw, Yulianus Thebu, Yopi
Bakarbessy, Costant Sorondanya, Natalie Tangkepayung, dan Denise
Parker, 2004. Post-Nesting Movements Of Leatherbacks From
Jamursba Medi, Papua, Indonesia: Linking local conservation with
international threats, dalam Proceedings of the Twenty-Fourth Annual
Symposium on Sea Turtle Biology and Conservation.

Binarung, A. 2011. Konservasi Penyu. Sukamade.http://liabinarung.wordpress.


com/2011/12/14/konservasi-penyusukamade/.

Bjorndal, K.A. dan Alan B. Bolten. 1992. Spatial Distribution of Green Turtle
(Chelonia mydas) Nests at Tortuguero, Costa Rica. Copeia, 1992 (1) 45 –
55.
Brothers, J. Roger, dan Kenneth J. Lohmann, 2015. Evidence for Geomagnetic
Imprinting and Magnetic Navigation in the Natal Homing of Sea Turtles.
Current Biology 25: 392–396.

27
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut:Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Romimohtarto, K dan S.
Juwana. 2001. Biologi Laut: Ilmu pengetahuan tentang biota laut.
Djambatan, Jakarta, 540 hal. Rustadi, 2011. “Reproduksi Penyu”.
http://penangkaranpenyudiretakilir.blogs pot.com/2011/09/reproduksi-
penyu.html. Rumambi, R. I. 1994. Siklus hidup Penyu Hijau (Chelonia
mydas Linn. 1758). Makalah dalam bidang Management Sumberdaya
Perairan UNSRAT.Manado).

Darmawan, dkk. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu. Direktorat


Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan RI :
Jakarta .
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan
Konservasi Penyu. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut,
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen
Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta
Direktorat Konservasi & Taman Nasional Laut. (2009). Pedoman Teknis
Pengelolaan Konservasi Penyu dan Habitatnya. Departemen Kelautan dan
Perikanan, Jakarta.

Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut. 2015. Pedoman Umum


Penanganan Hasil Tangkapan Sampingan (By-Catch) Penyu Pada
Kegiatan Penangkapan Ikan. Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman
Hayati Laut. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut. Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Ernst CH, Barbour RW. 1989. Turtle of The World. Smithsonian Institution Press.
Washington DC.
Harahap, M.I. dkk. 2015. Penyu Hijau Bertelur Sebanyak 115 Butir Dengan
Interval Bertelur 2 Sampai 3 Kali Dalam Setahun. jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia (JIPI), April 2015 Vol. 20 (1): 39 46 ISSN 0853 – 4217.

Harless, M. dan Henry Morlock. 1979. Turtle : perspectives and research. A wiley-

28
interscience Publication. John Wiley and Sons Inc., USA.
Hermawan, D. dkk. 1993. Studi Habitat Peneluran Penyu Sisik (Eretmoche/Ys
Imbricata L) Di Pulau Peteloran Timur Dan Barat Taman Nasional
Kepulauan Seribu, Jakarta. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan
Indonesia (1993),1(1): 33-37

Huffard. L.C. dkk. 2012. Prioritas Geografi Keanekaragaman Hayati Laut Untuk
Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan Di Indonesia. Direktorat
Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir,
dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Marine
Protected Areas Governance Program. pencetakan buku ini sebagian
didukung oleh United States Agency for International Development
(USAID) melalui program CTSP dan MPAG. Pandangan dan pendapat
yang disampaikan dalam publikasi ini merupakan pandangan dan pendapat
pribadi penulis, dan tidak selalu mencerminkan pandangan dan kebijakan
USAID, Pemerintah Amerika Serikat, maupun Pemerintah Republik
Indonesia.

Kasendra, P. dkk. 2013. Lokasi Bertelur Penyu Di Pantai Timur Kabupaten


Minahasa Provinsi Sulawesi Utara (Sea Turtle Nesting Site On The East
Coast Of Minahasa Regency, North Sulawesi). Jurnal Pesisir dan Laut
Tropis Volume 2 Nomor 1

Kot, C.Y., E. Fujioka, A.D. DiMatteo, B.P. Wallace, B.J. Hutchinson, J. Cleary,
P.N. Halpin and R.B. Mast. 2015. The State of the World's Sea Turtles
Online Database: Data provided by the SWOT Team and hosted on
OBIS-SEAMAP. Oceanic Society, Conservation International, IUCN
Marine Turtle Specialist Group (MTSG), and Marine Geospatial Ecology
Lab. Duke University. http://seamap.env.duke.edu/swot.

Lanyon, J.M., C.J. Limpus, dan H. Marsh, 1989. Dugongs And Turtles: Graziers In
The Seagrass System, dalam Biology of Seagrasses, A treatise on the
biology of seagrasses with special reference to the Australian region.

29
Anthony W. D. Larkum, A. J. Mac Comb, Stephen A. Shepherd (eds).
Elsevier, Amsterdam, 841pp.

Limpus, C.J. and C.P. Reed. 1985b. Green sea turtle stranted by cycone Kathy on
the south-western coast of gulf of Carpentaria. Aust. Wild. Res. 12: 523-
533.

Limpus, C.L. and PC. Reed. 1985a. The green turtle, Chelonia mydas, in
Queensland: apreliminary description of the population structure in a coral
reef feeding ground. In : Biology of Austaliasian Frogs and Reptiles 9G.
Grigg, R. Shine and H. Ehmann, eds.) : 47-52.

Limpus,C.J. 1997. Populasi penyu di asia tenggara dan wilayah pasifik barat:
penyebaran dan statusnya . prosiding workshop penelitian dan pengelolaan
penyu di indonesia. Wetlands international/ PHPA/Environment Australia,
Bogor.
Lohmann, Kenneth J., Catherine M.F. Lohmann, J. Roger Brothers, dan Nathan F.
Putman, 2013. Natal Homing and Imprinting in Sea Turtles, dalam The
Biology of Sea Turtles. Volume III. Jeanette Wyneken, Kenneth J.
Lohmann, Jogn A Musick (eds). CRC Press, Boca Raton. 475pp

Lohmann, Kenneth J., Nathan F. Putman, dan Catherine M. F. Lohmann, 2008.


Geomagnetic Imprinting: A Unifying Hypothesis of Long-Distance Natal
Homing In Salmon And Sea Turtles. PNAS 105 (49): 19096-
19101.

Manurung. S.E.M. dkk. 2013. Hubungan jalur migrasi penyu lekang (lepidochelys
olivacea) terhadap tinggi muka laut, suhu permukaan laut, klorofil-a di
perairan indonesia. journal of management of aquatic resources volume 2,
nomor 3.
Mazaris, dkk. 2014. A Global Gap Analysis of Sea Turtle Protection Coverage.
Biological Conservation 173: 17–23.

Miller, J.D. 1997. Reproduction In Sea Turtles. In: Lutz, P.L dan Musick, J.A (eds).
The Biology of Sea Turtle. CRC Press, Boca Raton. pp. 51 – 82.

30
Mortimer, J. A., 1984. Marine Turtles in the Republic of Seychelles: status and
management. International Union for the Conservation of Nature and
Natural Resources (IUCN) Publication Services, Gland, Switzerland.
80pp. Mortimer, J.A., 1995. Teaching Critical Concepts for The
Conservation Of Sea Turtles. Marine Turtle Newsletter 71: 1-4.

Nugraha, B.I.J. dkk. 2017. Penanganan penyu yang tertangkap rawai tuna di
Samudera Hindia Handling of sea turtle caught by tuna longline in Indian
Ocea. Depik Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan. p-ISSN:
2089-7790, e-ISSN: 2502-6194 http://jurnal.unsyiah.ac.id/depik Nugraha et
al. (2017) Volume 6, Number 1, Page 60-71, April 2017. DOI:
10.13170/depik.6.1.5887)
Nugraha, T,R. dkk. 2012. Buletin Manikalkara Kauki Taman Nasional Alas Purwo.
Edisi V. ISSN 2088-9720

Nuitja, I.N. 1992. Biologi dan ekologi pelestarian penyu laut. Institut Pertanian
Bogor Press, Bogor.

Panjaitan, A. dkk. 2012. Hubungan perubahan garis pantai terhadap habitat


bertelur penyu hijau (chelonia mydas) di pantai pengumbahan ujung
genteng kabupten suka bumi. Jurnal perikanan dan kelatan. Jurnal perikanan
dan kelatan . ISSN 2088-3137 . VOL. 3, NO 3, September : 311-320.

Prawira, W.T., R.R. Yuneni. 2016. Peranan circle hook information center (CHIC)
dalam upaya mitigasi by-catch ETP di Indonesia. Makalah disampaikan
pada acara Mini Workshop Circle Hook Information Center pada tanggal
19 Februari 2016 di kantor Loka Penelitian Perikanan Tuna. Kerjasama
antara Loka Penelitian Perikanan Tuna dengan WWF Indonesia, Jakarta.

Pritchard, PCH. dan Montimer JA. 1999. Taxonomy, External Morphology, and
Species Identification. Research and Management Techniques for
Conservation of the Sea Turtles. IUCN/SSC Marine Turtle Specialist Group
Publication No.4

Rahman. F. Dkk. 2013. Biota yang bermigrasi di ekuator penyu abu-abu.

31
Universitas Padjajaran Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Program
Studi Ilmu Kelautan Jatinangor.
Roemantyo. dkk. 2012. Struktur Dan Komposisi Vegetasi Sekitar Sarang Penyu
Hijau (Chelonia Mydas Linnaeus) Pantai Pangumbahan, Sukabumi
Selatan, Jawa Barat. Berita Biologi 11(3) – Desember, Diterima: 14 Maret
2012 - Disetujui: 5 April 2012.

Samanya, R. 2015. Biologi Konservasi Penyu Laut. November DOI:


10.13140/RG.2.1.1369.0323 .

Samedi, 2000. Masalah Penyu Hijau di Bali: Gambaran Kompetisi Kehidupan


yang Tidak Seimbang. Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi 3/XIV/2000.

Santosa, A. (Ed). (2008). Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengeloaan &


Kebijakan. pokja kebijakan konservasi. Jakarta
Satriadi, A. dkk. 2003. Identifikasi Penyu dan Studi Karakteristik Fisik Habitat
Penelurannya di Pantai Samas, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Ilmu
Kelautan. Juni 2003. Vol. 8 (2) : 69 – 75. ISSN 0853 – 7291.

Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC). 2014. Regional plan


of action of sea turtle foraging habitats in South East Asian waters. The
Seventeenth Meeting of Fisheries Consultative Group of the ASEAN-
SEAFDEC Strategic Partnership (FCG/ASSP). Sunee Grand Hotel and
Convention Center, Ubon Ratchathani, Thailand.

Sukada, K.I. 2009. Pengaruh letak sarang dan kerapatan telur terhadap laju tetas
telur penyu hijau ( chelonia mydas). Jurnal bumi lestari , volume 9 no 1.
Februari 2009.

Suwelo. S.I. dkk. 1992. Penyu sisik di indonesia. Oseana, Volume XVII, Nomor 3
: 97-109 ISSN 0216-1877.
Syaiful. B. N. dkk. 2013. Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea
Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu
Kota Pariaman. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 2(3) –
September 2013: 175-180: (ISSN : 2303-2162).

32
Tomascik, T., Anmarie Janice Mah, Anugerah Nontji, M. Kasim Moosa. 1997.
The Ecology of the Indonesian Seas part Two. Periplus Editions. Singapore
Turkozan, O., Kristina Y., dan Can Yilmaz. 2011. Nest Site Preference and
Hatching Success of Green (Chelonia mydas) and Loggerhead (Caretta
caretta) Sea Turtles at Akyatan Beach, Turkey. Chelonian Conservation and
Biology, 10 (2): 270-275.
Velez-Zuazo X, Quinones J, Pacheco AS, Klinge L, Paredes E, Quispe S, Kelez S.
2014. Fast Growing, Healthy and Resident Green Turtles (Chelonia
Mydas) at Two Neritic Sites in the Central.

Warikry, I. 2009. Aktivitas Peneluran Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) di


Pantai Kaironi Distrik Sidey Kabupaten Manokwari .[Skripsi] Universitas
Negeri Papua. Manokwari.

Wood, D.W. dan Karen A. Bjorndal. 2000. Relation of Temperature, Salinity, and
Slope to Nest Site Selection in Loggerhead Sea Turtles. Copeia (1) 119 –
128

World Wildlife Fund (WWF). 2010. Nelayan segitiga terumbu karang bahas
teknologi mitigasi by catch. http://www.wwf.or.id/?19521/nelayan-
segitiga-terumbu-karang-bahas-teknologimitigasi-bycatch. Diakses pada
tanggal 17 Januari 2017.

Yayasan alam lestari. 2002. Mengenal penyu. Jakarta.

33

Anda mungkin juga menyukai