Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bulubabi merupakan fauna dari filum Echinodermata yang ketersediaanya


melimpah dan tersebar di seluruh perairan Indonesia. Bulubabi termasuk dalam
salah satu komoditas hasil perairan yang telah dimanfaatkan gonadnya, karena
gonad bulubabi dapat dimakan dan memiliki kandungan nutrisi yang tinggi serta
rasa yang enak sehingga digemari oleh masyarakat. Salah satu jenis bulubabi yang
dapat dikonsumsi yaitu jenis Tripneustes gratilla.

Tripneustes gratilla merupakan salah satu jenis bulubabi bernilai ekonomis


tinggi yang terdapat di perairan Indonesia khususnya di teluk Kupang. Bulubabi
ini mempunyai prospek untuk dikembangkan dan dibudidayakan karena
kandungan nutrisi yang ada dalam gonad bulubabi dan telah diekspor dalam skala
kecil, namun ketersediaan bulubabi masih mengandalkan kegiatan penangkapan
dari alam khususnya di perairan Bali, Lombok dan Sulawesi Selatan (Azis, 1983).

Habitat utama bulubabi sebagian besarnya berada pada ekosistem lamun,


karena lamun merupakan salah satu makanan utamanya (Romimohtarto dan
Juwana, 2007). Bulubabi ( Tripneustes gratilla ) bisa juga dijumpai di daerah
pertumbuhan algae (ekosistem terumbu karang). Hal ini disebabkan karena
disamping memakan daun lamun, mereka juga hidup dari memakan algae
(Lawrence 1975). Bulubabi marga Tripneustes, Lytechinus, dan Temnopleurus
lebih sering dijumpai di padang lamun dibandingkan daerah terumbu karang. Hal
ini diduga bulubabi tersebut lebih menyukai daun lamun dibandingkan dengan
algae. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, ada berbagai daerah tertentu yang
dikatakan sebagai daerah penghasil bulubabi, salah satunya di perairan pesisir
Tablolong, Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang. dimana, jenis bulubabi
yang mendominasi wilayah ini adalah Tripneustes gratilla.

1
Menurut (Aslan, 2003) kegiatan penangkapan oleh pencari bulubabi di alam
yang semakin meningkat mengakibatkan turunnya populasi organisme di alam.
Selain itu, penurunan kualitas lingkungan (kerusakan habitat akibat pengeboman)
yang semakin meningkat sehingga menyebabkan menipisnya areal padang lamun
(seagrass beds) serta pencemaran perairan yang mengakibatkan penurunan pakan
alami dari bulubabi yakni makroalga yang turut mempengaruhi pertumbuhan dan
berdampak pada kualitas gonad dari hewan ini. Kualitas gonad bulubabi
dipengaruhi oleh kualitas nutrisi hal ini menunujukan kualitas nutrisi yang
berbeda tergantung pada jenis lamun yang merupakan sumber katenoid yang
berpengaruh pada kualitas gonad. oleh karena itu untuk mengimbangi kegiatan
penangkapan yang terus menerus maka perlu dilakukan kegiatan budidaya. Salah
satu faktor yang mempengaruhi keberlanjutan budidaya adalah ketersediaan benih
bulubabi yang jumlahnya semakin terbatas, untuk itu perlu dilakukan kegiatan
pembenihan sehingga benih dapat tersedia setiap saat.

Salah satu aspek penting dalam mengembangkan teknologi pembenihan


adalah teknik pemijahan induk bulubabi yang membutuhkan kondisi lingkungan
tertentu sebagai rangsangan untuk memijah antara lain perubahan suhu (Chávez-
Villalba et al., 2002; 2003; Cáceres-Martínez et al., 2004; Cardoso et al., 2007;
Castaños et al., 2009; Enríque-Díaz et al., 2009), perubahan salinitas (Quayle &
NewKirk, 1989) dan pergantian musim (Soletchnik et al., 2002; Ren et al., 2003).
Menurut Quayle & NewKirk (1989) Perubahan salinitas merupakan faktor
lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pemijahan bivalvia di daerah tropis.
Penelitian terdahulu tentang kejut salinitas terhadap pemijahan tiram atau moluska
lainnya belum pernah dilakukan. Namun Yudiati et al. (2001) telah meneliti
pengaruh kejut salinitas terhadap pemijahan spesies laut lainnya yaitu teripang
hitam (Holothuria edulis) yang menghasilkan persentase pemijahan 20-30%. Oleh
karena itu, terdapat peluang untuk mengembangkan teknik pemijahan bulubabi (T.
gratilla) dengan rangsangan kejut salinitas pada lingkungan buatan.

2
Menurut Darsono, (1983) bahwa bulubabi hidup pada salinitas 26-32 ppt dan
pada umumnya salinitas di air laut adalah 32 – 27 ppt. Aslan (2010) menyatakan
bahwa bulubabi tergolong stenohalin. Hal ini menyebabkan bulubabi sangat
sensitif terhadap perubahan salinitas. Kisaran salinitas yang ideal adalah 29-33
ppt. Kisaran salinitas diperoleh dari hasil pengukuran kisaran salinitas pada
habitat bulubabi.

Menurut Aziz, (1993:24) bahwa bulubabi secara umum seperti fauna


Echinodermata lainnya, tidak tahan terhadap salinitas rendah. Kecuali untuk jenis
yang hidup di daerah pasang surut, yaitu bulu babi jenis Strongylocentrus
purpuratus yang hidup di daerah pasang surut relative tahan terhadap pengenceran
salinitas pada saat musim hujan. Kisaran salinitas di suatu perairan berkisar antara
23–26 ppt, maka akan berakibat pada perubahan pigmen warna, duri-duri akan
rontok dan bulubabi akan menjadi tidak aktif, tidak mau makan dan pada akhirnya
akan mengalami kematian setelah beberapa hari serta menghambat proses
pemijahan. Bertolak dari hal tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian
mengenai Efektivitas Kejut Salinitas dalam Merangsang Proses Pemijahan
Bulubabi (Tripneustes gratilla).

1.2 Perumusan Masalah

Pada umumnya aktivitas penangkapan bulubabi oleh masyarakat di alam


semakin meningkat sehingga mempengaruhi ketersediaan bulubabi dan
mempengaruhi ekosistem perairan. Oleh karena itu, untuk mengimbangi kegiatan
penangkapan yang terus menerus maka dilakukan kegiatan budidaya. salah satu
faktor yang mempengaruhi keberlanjutan budidaya adalah ketersediaan benih,
untuk itu perlu dilakukan kegiatan pembenihan sehingga benih dapat tersedia
setiap saat. Meneurut Yudiati et al. (2001) telah meneliti pengaruh kejut salinitas
terhadap pemijahan spesies laut lainnya yaitu teripang hitam (Holothuria edulis)
yang menghasilkan persentase pemijahan 20-30%. Oleh karena itu, terdapat
peluang untuk mengembangkan teknik pemijahan bulubabi (T. gratilla) dengan
rangsangan kejut salinitas pada lingkungan buatan.

3
Bulubabi sensitif terhadap perubahan salinitas oleh karena itu perlu dilakukan
perangsangan dengan salinitas untuk mempercepat proses pemijahan pada
bulubabi (Tripneustes gratilla).

Bertolak dari kenyataan di atas maka yang menjadi permasalahan dalam


penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Pengaruh Kejut salinitas dalam merangsang pemijahan
bulubabi (Tripneustes gratilla) ?
2. Berapakah level salinitas yang efektif dalam merangsang proses
pemijahan pada bulubabi ?

1.3 Tujuan dan manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rangsangan kejut


salinitas terhadap pemijahan bulubabi dan menentukan level salinitas yang efektif
dalam mempercepat proses pemjahan bulubabi.

Manfaat dari penelitian sebagai sumber informasi bagi masyarakat pesisir


khususnya pembudidaya bulubabi (Tripneutes gratilla)

1.4 Hipotesis Penelitian

Diduga dengan kejut salinitas dapat merangsang pemijahan bulubabi


(T.gratilla )

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aspek Biologi Bulubabi (Tripneustes gratilla)

2.1.1 klasifikasi Dan Morfologi Bulubabi (Tripneustes gratilla)

Menurut Dafni (2000), bahwa bulubabi (Tripneustes gratilla) di


klasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : echinordemata
Kelas : echinodea
Ordo : echinoida
Family : taxopneustideae
Genus : Tripneustes
Spesies : Tripneustes gratilla

Bulubabi (Tripneustes gratilla) merupakan jenih hewan yang unik dari


invetebrata. Hewan ini menunjukan ciri-ciri yang khas, yaitu : tubuh simetris,
meruji, tanpa kepala, mata dan pusat susunan saraf yang dapat mencapai diameter
tubuh 10 cm (Dafni, 2000; Shokita, dkk, 1999) morfologi bulubabi T.gratilla
disajikan pada gambar dibawah ini.

Gambar 1.Bulubabi (Tripneustes gratilla)

5
Tubuh hewan ini bulat dengan duri-duri yang menutupi tubuhnya. Tubuh
terbungkus oleh suatu struktur berupa cangkang (test),terdiri lempengan-
lempengan yang menyatu membentuk kotak seperti cangkang yang keras.
biasanya ada sepuluh deret lempeng lipat dua dengan lima pasang lubang untuk
kaki tabung yang ramping ke luar melalui cangkang (Shokia, dkk., 1991).
Mulut bulubabi terletak di bawah tubuh dan berada di tengah-tengah yang
berlawanan dengan letak anus dan lubang genital pada bagian atas tubuh. Bagian
mulut atau gigi menyatu menjadi satu yang diletakan oleh sederetan bagian terdiri
dari bahan kapur untuk membentuk struktur yang dinamakan Aristoteles, Parker
dan Kalves (1992) dalam Person (1998) mengemukakan bahwa semua bulubabi
memiliki cangkang (Calacareous shell) yang keras. Pada T. gratilla cangkangnya
berwarna hitam dan keunguan serta dilengkapi dengan duri yang berwarna putih
dan coklat seperti : warna tembaga. bagian ini merupakan penutup lapisan
epithelium yang tipis, duri digunakan sebagai penggerak, pelindung, dan
perangkap alga yang menyerang untuk dimakan. Di antara terdapat kaki tabung
yang digunakan untuk melekat pada substrat. Duri-duri ada yang tipis, bagian
ujungnya tajam yang dilengkapi dengan bisa, bagian inilah yang akan menjadi alat
pertahanan yang akan menjadi alat pertahanan terhadap serangan predator
(Shokita, dkk., 1991).

2.1.2 Anatomi Bulubabi

Berbeda dengan dengan bintang laut, bulubabi (echinodea) tidak memiliki


lengan. Tubuh bulubabi berbentuk agak bulat seperti bola dengan cangkang yang
keras berkapur dan dipenuhi duri-duri. Terletak berderet dalam garis membujur
dan dapat digerakan. mulut terletak di bawah menghadap ke bawah dan anus
terletak di atas menghadap ke atas di puncak cangkang yang membulat (Sugiarto
dan Supardi, 1995). Tubuh bulubabi sendiri teridiri dari tiga bagian, yaitu bagian
oral, aboral serta bagian di antara oral dan aboral, pada bagian tengah sisi aboral
terdapat sistem apical dan bagian tengah sisi oral terdapat sistem peristomial
(Birkeland,1989).

6
Lempeng-lempeng ambulakral dan interabulakral berada diantara sistem
apical dan sisem peristomial termasuk lubang anus yang dikelilingi oleh sejumlah
keping anal (perirproct) termasuk di antaranya adalah keping-keping genital.
salah satu di antara keping yang berukuran paling besar merupakam tempat
bermuaranya sistem air (waste vascular system). Sistem ini menjadi ciri khas
filum echinodermata berfungsi dalam pergerakan, makan, respirasi, dan ekskresi
(Aziz,1987). Anatomi bulubabi digambarkan pada gamabar 2 berikut :

Gambar 2. Bentuk Anatomi Bulubabi (Tripneustes gratilla)

Tubuh bulubabi memiliki satu rongga utama yang berisi lentera aristoteles dan
organ pencernaan. lentera aristoteles terdiri dari liam buah gigi yang penarik. otot
ini berperan mengatur pergerakan gigi (Sugiarto dan Supardi,1995). Lentera
aristoteles berfungsi seperti mulut dan gigi yang berfungsi untuk mengambil,
memotong, dan menghaluskan makanan, esopagus, usus halus dan usus besar dan
anus tersusun melingkari aristoteles membentuk suatu sistem pencernaan (Tamrin,
2011). Pada bulubabi, kaki tabung memiliki banyak fungsi. Selain itu bergerak,
kaki tabung juga digunakan sebagai indra peraba, organ respirasi dan tempat
pengeluaran air dari tubuh (Aziz dan Sugiarto, 1994)..
2.1.3 Pemijahan (Spawning)
Beberapa kelompok bulubabi yang telah matang gonad sebelum memijah
biota tersebut memiliki tanda khusus yaitu semacam signal untuk mendorong
pelepasan telur (proses pemijahan) (STARR etal 1992). Faktor fisik air sangat
berpengaruh terhadap potensial pemijahan seperti kisaran suhu, salinitas/kadar
garam, cahaya dan arus dan juga perubahan fisik lingkungan seperti adanya
pertambahan unsur hara dimana biota tersebut berada yang banyak menyebabkan
induk-induk bulubabi lebih cepat untuk memijah (STARR et al. 1992).

7
Bila induk akan memijah tampak ada kecenderungan untuk induk bulubabi
yang berkelamin jantan mencari tempat yang lebih tinggi untuk melepaskan
sperma kemudian diikuti oleh induk bulubabi yang berkelamin betina untuk
mengeluarkan telur, namun kebanyakan induk-induk hanya tinggal didasar.
Bulubabi dapat memijah seperti biota laut lainnya, pada umumnya induk jantan
mengeluarkan sperma terlebih dulu baru kemudian diikuti oleh induk betina yang
mengeluarkan telur. Pembuahan terjadi di luar tubuh dimana induk jantan terlebih
dahulu mengeluarkan sperma yang berwarna putih susu, selang beberapa menit
(biasanya 0,5 - 3 menit), biota yang berkelamin betina mengeluarkan telur-telur
yang berwarna kuning (apabila telurnya matang) namun apabila telur yang tidak
matang maka akan berwama putih dan apabila diamati di bawah mikroskop
dengan pembesaran kuat maka telur yang belum matang ini terbungkus oleh
semacam albumin yang relatif tebal sehmgga mungkin mengakibatkan telur sulit
ditembusi oleh sperma.
Dalam usaha budidaya, dianjurkan perbandingan antara jumlah sperma dan
telur harus seimbang agar tidak terjadi pembusukan. Apabila kelebihan sperma
maupun telur akan mengalami pembusukan secara cepat terlebih apabila tidak
secepatnya dilakukan penggantian air pada wadah pemijaham.
2.1.4 Reproduksi dan siklus hidup Bulubabi
Siklus hidup dari bulubabi diawali dengan terjadinya pembuahan yang
terjadi diluar tubuh. Induk jantan membuahi telur-telur dari induk betina. Telur
bulubabi dibungkus dengan semacam gelatinous yang biasa disebut dengan jelly
coat (Guidice, 1986). Setelah itu terbentuklah embrio, dimana embrio ini akan
membelah dengan frekuensi yang sangat tinggi. Setelah mencapai tahap embrio
terus masuk fase morula dan embrio muda disebut blastula. Selama 10 jam setelah
terbuahi sejak fase blastula, maka embrio tersebut mulai aktif berenang. Setelah
itu muncullah anakan bulubabi (Gambar 2), bulubabi sudah dapat dikatakan telah
menjadi anakan bila sudah terdapat tentakel-tentakel, duri-duri dan pediselaria
(Czihak, 1971).

8
Semakin bertambahnya waktu, anakan bulubabi menjadi dewasa. Bulubabi
dewasa telah memiliki organ tubuh yang lengkap mulai dari tubuh bagian dalam
sampai pada organ tubuh bagian luar semuanya telah tampak dengan jelas.
Reproduksi dan siklus bulubabi digambarkan pada gambar 3 berikut :

Gambar 3. Reproduksi dan siklus hidup bulubabi (Czizak, 1971).

2.1.5 Makanan dan cara makan Bulubabi

Jenis makanan bulubabi Tripneustes gratilla sangat bervariasi sesuai


dengan tingkat perkembangannya. larva biasanya memakan diatom-diatom
plantonik, tetapi pada tahap juvenil memakan diatom-diatom sesil, dan yang telah
berukuran besar memakan makroalga, lamun, dan mikro flora (Yamaguchi,1991)
T. gratilla yang telah dewasa dapat memakan bermacam-macam makroalga,
antara lain: Sargasum spp, Padina spp, Hidroclathrus clathrus, Clasdosiphon
okamwarmus, Hypnea charoides, Glacilaria blodgettii, Ceratodictyon
spongiosum. Berdasarkan hasil analisa lambung T. gratilla yang diambil dari
alam, menunjukan bahwa yang paling dominanan sebagai makanannya adalah
Sargasum spp, Padina spp, dan Hydroclathrus clathrus, serta lamun lainnya
(Tjendewangi, 2007).

9
Bulubabi cendrung menyukai makanan dengan komposisi tertentu. Daya
grazing bulubabi berbading lurus dengan ukuran tubuhnya (Lawrence et al.,
2007). Preferensi makan bulubabi juga mempengaruhi oleh kondisi
hidrodinamik, temperatur dan cahaya. Umunya bulubabi aktif pada malam hari
(Nokturnal) karena menghindari predator yang aktif pada siang hari. Kondisi
fisiologis bulubabi yang mempengaruhi daya Grazingnya adalah ukuran tubuh
dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) (Lawrence et al., 2007).
Bulubabi (Tripneutes gratilla) Mencari makan atau menghindari diri dari
serangan predator ataupun berlindung dari sengatan panas merupakan aktifitas
harian yang penting. Menurut Mukai & Nojima (1985), aktifitas harian yang
penting adalah aktifitas berpindah, aktifitas istirahat (resting) dan aktifitas makan.
Pada saat makan terlihat kaki tabung bergerak aktif, sedangkan waktu istirahat
kaki tabung ditarik ke dalam porinya. Bulubabi jenis Tripneustes gratilla aktif
makan disiang hari terutama antara jam 9 pagi sampai dengan jam 12 siang dang
antara jam 6 sore sampai jam 9 malam. Pada umumnya bulubabi ini berhenti
makan antara jam 12 malam sampai dengan jam 6 pagi. Berbeda dengan bulu babi
jenis Tripneustes gratilla, bulubabi jenis Strongylocentrotus.

2.1.6 Parameter Fisika – Kimiawi Perairan

Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola


kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan
mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme
perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat Nybakken
(1988). Effendi (2003), menjelaskan bahwa peningkatan suhu perairan akan
meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup di dalamnya,
sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih tinggi. Peningkatan suhu perairan
o
sebesar 10 C, menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh
organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat.

10
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara
horizontal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya
perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem (Odum, 1993).
Gastropoda yang hidupnya berpindah-pindah seperti halnya bulubabi mempunyai
kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah,
namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air
tawar berlangsung lama (Effendi, 2003). Menurut Hutabarat dan Evans (1985)
kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan,
khususnya fauna makrobenthos adalah 15 - 35‰.
Kecerahan perairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang tersuspensi
didalamnya, semakin kurang partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan
semakin tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi cahaya semakin rendah,
karena meningkatnya kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan untuk proses
fotosintesis oleh tumbuhan air berkurang. Oleh karena itu, secara tidak langsung
kedalaman akan mempengaruhi pertumbuhan fauna benthos yang hidup
didalamnya. Disamping itu ke dalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan
oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi Nybakken ( 1988).
pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu
perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi
ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Effendi (2003)
menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH
dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5.
Kedalaman diukur dengan menggunakan pipa berskala, pengukuran
kedalaman ini dimaksudkan untuk mengetahui kedalaman yang optimal bagi
habitat organisme yang diamati. Di samping itu kedalaman suatu perairan akan
membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1988).

11
2.1.7 Habitat dan Penyebaran
Bulubabi (T.gratilla) biasanya menempati perairan dangkal. dari mid
intertidal sampai ke daerah intertidal sampai kedalaman 160 feet atau sekitar
41,81 meter, tetapi kadang-kadang ditemukan ditemukan sampai ke dalaman 410
feet atau sekitar 41,81 meter (Mc cauley dan Carey 1967 dalam Person 1998).
Bulubabi hidup cenderung hidup disubstrat karang keras, khususnya di cela batu
karang dan menghindari pasir dan lumpur (Kato Schopeer,1985 dalam person
1998). Hewan jenis ini biasanya beradaptasi pada hantaman ombak besar dengan
menyembunyikan diri pada cela karang.
Tripneustes gratilla tidak toleran terhadap salinitas rendah dan mereka
tidak dapat bertahan hidup akibat pengeruh estuari yang kaut sebagai akibat dari
pengaruh air tawar. Hal tersebut telah dibuktikan pada perairan pantai Okinawa di
Jepang. Mereka menemukan kasus kematian masal akibat masuknya arus air
tawar yang kuat akibat musim hujan (41 mm dalam 2 jam) (Darsono dan
Sukarno,1987)
Perairan Indonesia cukup potensial menghasilkan bulubabi termasuk di
dalamya jenis T. gratilla. Daerah tempat ditemukannya hewan ini adalah
diperairan pulau Seribu, (Pulau Pari dan Pulau Tikus) Sulawesi Selatan
(Kepulauan Batang Pone, Batang Lompo Spermonde), Bali (Gondol, Benoa dan
Sanur), Pulau Kubur Sumatera dan sepanjang Pantai Arafuru dan Irian Jaya dan
NTT. Hyman (1955) dalam Ratna (2002) menambahkan bahwa bulubabi
termasuk hewan benthonic, ditemui di semua laut dan lautan dengan batas
kedalaman antara 0-8000 m. Karena echinoidae memiliki kemampuan beradaptasi
dengan air payau lebih rendah dibandingkan invertebrate lain. Kebanyakan
bulubabi regularia hidup pada substrat yang keras, yakni batu - batuan atau
terumbu karang dan hanya sebagian kecil yang menghuni substrat pasir dan
lumpur, karena pada kondisi demikian kaki tabung sulit untuk mendapatkan
tempat melekat. Kelompok tersebut khusus hidup pada teluk yang tenang dan
perairan yang lebih dalam, sehingga kemungkinan kecil dipengaruhi ombak.

12
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan tempat penelitian


Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan mulai dari November 2018-
Desember 2018 yang bertempat di Balai Benih Ikan Pantai (BBIP Tablolong)
Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang.

3.2 Alat dan Bahan penelitian


a.) Alat
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah caliper untuk
mengukur diameter tubuh bulubabi, 1 buah bak fiber, buah baskom yang sedang
sebanyak 3 unit, timbangan analitik, aerator, alat pengukur kualitas air
salinometer, pH meter, stopwacth untuk menghitung waktu pemijahan, ember
untuk wadah pengangkutan, gayung untuk mengambil air laut dan air tawar serta
kamera untuk mengambil gambar sebagai dokumentasi selama penelitian dan alat
tulis menulis.
b.) Bahan
Bahan yang digunakan dalam peneltian ini yaitu bulubabi jenis Tripneuses
gratilla yang diambil dari perairan Tablolong sebanyak 65 individu, pakan
lamun, garam tidak beryodium untuk mengatur tingkatan salinitas dan air tawar
untuk menurunkan tingkatan salinitas dan air laut sebagai media awal
pemeliharaan.

13
3.3 Prosedur Penelitian
1. Bulubabi yang diambil pada perairan Tablolong selanjutnya diukur
bobot awal dengan padat penebaran 65 individu dan ditebar dalam bak
pemeliharaan yang sudah disediakan.
2. Bulubabi yang ditebar dalam bak dipelihara selama 3 minggu agar
bulubabi dapat beradaptasi dengan kondisi lingkunagn yang baru,
kemudian bulubabi diberikan pakan lamun. Pemberian pakan lamun
diberikan dua hari sekali dengan jumlah pakan yang diberikan 160 gram
sesuai dengan berat bobot tubuh bulubabi (Tripneustes gratilla).
3. Bulubabi (T. gratilla) dipelihara selama 3 minggu sampai gonadnya
matang dan siap memijah.
4. Dilakukan koleksi induk bulubabi yang cocok sesuai dengan Tingkat
Kematangan Gonadnya ( TKG) dengan jumlah induk bulubabi yaitu 10
individu setiap perlakuan.
5. Setelah bulubabi (T.gratilla) dikoleksi dan sebelum dimasukan kedalam
wadah pemijahan maka langkahnya selanjutnya harus dipersiapkan
terlebih dahulu air laut sebanyak 5 liter dan setiap dosis untuk garam
tidak beryodium dan air tawar yang akan digunakan untuk merangsang
proses pemijahan bulubabi (T. gratilla) dengan menaikan dan
menurunkan salinitasnya dari salinitasnya normal 30 ppt menggunakan
pH meter.
6. setelah didistribusikan kewadah-wadah pemijahan maka selanjutnya
bulubabi (T. gratilla) diamati untuk mengetahui potensi pemijahannya
dengan lama waktu setiap masing-masing perlakuan yaitu 5 menit.
Maka langkah selajutnya angkat bulubabi dan kembalikan ke media
pemeliharaan awal.

14
3.4 Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga
perlakuan yang masing-masing adalah sebagai berikut :
Perlakuan A : Salinitas dinaikan secara mendadak sebesar 5 ppt dari salinitas
awal (20 ppt) yaitu sebesar 25 ppt
Perlakuan B : Salinitas yang dinaikkan secara mendadak sebesar 10 ppt dari
salinitas awal (30 ppt) yaitu sebesar 35 ppt
Perlakuan C : Salinitas yang diturunkan secara mendadak sebesar 15 ppt dari
salinitas awal (20 ppt) yaitu sebesar 45 ppt.
Sedangkan untuk tiap-tiap perlakuan di ulang sebanyak tiga (3) kali sehingga
diperoleh 9 unit percobaan.

3.5 Variabel Yang Diamati


Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah potensi pemijahan
induk bulubabi (T.gratilla) yang meliputi :
1. Kecepatan pemijahan induk bulubabi (T.gratilla)
2. Presentase pemijahan induk bulubabi (T.gratilla)
3. Kisaran salinitas yang optimal yang mampu merangsang proses
pemijahan induk bulubabi (T.gratilla)

15
3.6 Analisis Data
Analisis dari data yang diperoleh dalam penelitian ini terkait potensi
pemijahan induk bulubabi (T .gratilla) yang meliputi :
1. Kecepatan pemijahan induk bulubabi (T. gratilla), yaitu dapat dilakukan
dengan cara menghitung selang waktu awal dimana bulubabi (T. gratilla)
dimasukkan ke dalam wadah pemeliharaan sampai bulubabi memijah.
2. Presentase pemijahan induk bulubabi (T. gratilla), yaitu dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah Bulubabi Memijah


%Bulubabi Memijah = x 100 %
Jumlah Total Bulubabi

3. Kisaran salinitas yang efektif yang mampu merangsang proses pemijahan


induk bulubabi (T. gratilla), yaitu dapat dilakukan dengan melihat kisaran
salinitas yang jumlah bulubabi (T. gratilla ) memijah lebih banyak.
Data – data dari hasil analisis tersebut dapat dideskripsikan secara
kuantitatif yaitu dalam bentuk angka – angka dan dapat pula dideskripsikan
secara kualitatif yaitu dengan kalimat – kalimat yang relevan terkait hasil yang
diperoleh.

16
DAFTAR PUSTAKA

Afiati, N. 2007. Gonad Maturation Of Two Intertidal Blood Clams Anadara


granosa (L). dan Anadara antiquata (L). (Bivalvia: Arcidae) In
Central Java. Journal of Coastal Development. 10(2):105-113p.

Aziz, A. 1993. Beberapa Catatan Tentang Perikanan Bulubabi. Osean 18(2): 65-
75.

Aziz, A., 1994 b. Aktivitas Grasing bulubabi jenis Tripneustes gratilla pada
padang lamun. Pantai Lombok Selatan Dalam : W. Kiswara,M K.

Mosa, & M

Aziz, A.dan H. Sugiarto.1994. fauna Echinodermata padang lamun di pantai


Lombok Selatan. Dalam : W. Kiswara,M.K Moosa dan M. Hutomo
(eds)., Komunitas Biologi padang lamun di Pantai Selatan Lombok Dan
kondisi lingkungannya. Puslitbang Oesonologi-LIPI, Jakarta:52- 63.

Azkab MH.2006. Ada apa dengan lamun.Majalah Semi Populer Oseana 31 (3):
45-55.

Bengen,D.G. (2000). Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir.


Oseanologi - LIPI: 149 - 156.

BERNHARD, F.R. 1977. Fishery and resproductive cycle of the Red Sea urchin,
Strongylocentrotus franciscanus, in British Columbia. Jour. Fish. Res.
Board Canada 34 (5): 604 - 610. . 1994. Tingkah Laku bulubabi di
padang lamun. Oseana 19(4): 35-43

Castanos, C, M. Pascual, & A.P. Camacho. 2009. Reproductive Biology of the


Nonnative Oyster, Crassostrea gigas (Thunberg, 1793), as a Key Factor
for Its Successful Spread Along the Rocky Shores of Northern
Patagonia, Argentina. J. Shellfish Res. 28(4): 837-847

17
Chavez-Villalba, J., J. Barret, C. Mingant, C. Cochard & M. Le Pennec. 2003.
Influence of timing of broodstock collection on conditioning, oocyte
production, and larval rearing of the oyster,Crassostrea gigas
(Thunberg), at six production sites in France. J. Shellfish Res. 22: 465–
474
Chavez-Villalba, J., J. Pommiera, J. Andriamiseza, S. Pouvreaub, J. Barret, J.C.
Cochard, & M. Le Penneca. 2002. Broodstock conditioning of the
oyster Crassostrea gigas: origin and temperature effect. J. Aquacut.
214: 115-130.
CZIHAK .G. 1971. Echinoids In Experimen-tal Embryology of Marine and Fresh-
Water Invertebrates (G. Reverberi ed.). Nort-Holland Publishing
Company Amsterdam, London: 363 - 506.

DAFNI, J. 1983. Aboral depression in the test of the sea urchin Tripneustes
gratilla (L.) in Gulf of Eilat, Re Sea. J. Exp. Mar. BioL Ecol. 67 : 1 – 15.

Enríque-Díaz, M., S. Pouvreau, J. Chaves-Villalba, & M. Pennec. 2009.


Gametogenesis, reproductive investment, and spawning behavior of the
Pacific giant oyster Crassostrea gigas: evidence of environment-
dependent strategy. J. Aquacult. International. 17 (5): 491-509.

GIUDICE. G. 1986. The Sea Urchin Embryo. A Developmental Biological


System: 1- 77
Gimin, R.2006. The Effects of Salinity and Fertilization on the Percentage of
Normal Larvae of the Mangrove Clam Polymesoda erosa Solander
(1786). Journal of Fisheries Sciences, 8 (2): 185-193p.

18
Quayle, D.B. & G. F. Newkirk. 1989. Farming Bivalve Molluscs. Methods for
Study and Development. World Aquaculture Society and International
Development Research Centre, Canada. p109-121.
Radjab. A.W. 1998. Pertumbuhan dan Reproduksi bulubabi Tripneustes gratilla
(L) di Perairan Tamedan , Pulau Dullah, Maluku Tenggara. Prosiding Seminar
Kelautan LIPI – UNHAS Ke 1. Balitbang Sumberdaya Laut, Puslitbang
Oseanologi – LIPI: 149 - 156.

Radjab, A.W. 1998. Percobaan Pemijahan dan Pemeliharaan Larva bulubabi


Tripneustes gratilla (Linnaeus) Skala Laboratorium. Prosiding Seminar
Nasional Kelautan-II. UNHAS-LIPI. Ujung Pandang.

STAR, M, J.H. HIMMELMAN and J.C. THERRIAULT. 1992. Isolation and


Propertis of a substance from the dia- tom Phaeodactilum tricornotum
wich induces spawning in the sea urchin Strongilocentrotus
droebachienchis. Marine ecology progres series. 79 : 275-287.

Suryanti dan Ruswahyuni. 2014. Perbedaan Kelimpahan bulubabi (Echinoidea)


pada Ekosistem karang dan lamun di Pancuran belakang, Karimunjawa
Jepara. Jurnal Saintek Perikanan 10(1): 62-67.

Supono dan U.Y. Arbi. 2010. Jenis-jenis Ekinodermata di Padang Lamun Perairan
Kema, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36(3):
329-341.

Tjendanawangi,A.2010 Kinerja Pertumbuhan Gonad bulubabi Tripneuates


gratilla yang diberi pakab buatan dengan kadar protein dan Rasio
Energi Protein Berbeda.

Yudiati, E., R. Hartati, & C. A. Suryono. 2001. Kejut Suhu dan Salinitas pada
Spawning Teripang Hitam Holothuria edulis sebagai Upaya
Peningkatan Stock Alami di Perairan Jepara. Laporan Penelitian Dosen
Muda (Ringkasan dan Summary). Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang

19
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pertumbuhan dan Kelulusahidupan bulubabi (Tripneustes gratilla)

Pertumbuhan dan kelulushidupan untuk induk bulubabi yang siap


memijah yaitu di lihat dari TKG atau Tingkat Kematangan Gonadnya yang
sudah mencapai sesuai dengan umur dan ukuran adiameter bulubabi.
Menurut (Trinidad-Roa 1989 dan Darsono dan Sukarno (1993) bahwa
bulubabi jenis Tripneustes gratilla akan mengalami matang kelamin
pertama kali pada usia 1,5 tahun dengan diameter cangkang sekitar 60
mm-70 mm dengan berat tubuh sekitar 50 an bahkan ada yang sekitar 100
lebih. Sedangkan menurut Aziz (1993) bahwa diameter tubuh bulubabi
dapat digunakan untuk menentukan umur bulubabi dan menurut Radjab
(1998) menyatakan bahwa pertumbuhan bulubabi bersifat allometrik yang
berarti pertambahan berat lebih cepat dari pada pertambahan diameter
cangkang.

Menurut (Radjab, 1998) bulubabi jenis yang satu ini mempunyai


kematangan gonad yang siap pijah sepanjang tahun khususnya pada genus
Tripneustes yang mana ditemukan TKG IV dan V pada setiap bulannya,
walaupun dalam persentase yang kecil.

4.2 Pemijahan Induk Bulubabi (Tripneustes gratilla).

Penelitian dengan perlakuan kejut salinitas yang dilakukan pada induk


bulubabi Tripneustes gratilla bertujuan untuk mempercepat pemijahan pada induk
bulubabi T. gratilla. Dimana dari kejutan salinitas yang dilakukan dengan
menaikan salinitas dan menurunkan salinitas ternyata mampu merangsang proses
pemijahan bulubabi (Tripneustes gratilla). Jumlah bulubabi yang memijah yang
dilihat pada tabel 2 dibawah ini :

20
Salinitas (ppt) Jumlah bulubabi uji Jumlah bulubabi
coba/Wadah Memijah/Wadah
(ind) (ind) %
25 ppt 10 30 %
35 ppt 10 50 %
45 ppt 10 70 %
Tabel 2. Jumlah bulubabi yang memijah
Dilihat dari tabel diatas proses pemijahan yang paling cepat terdapat pada
perlakuan C dengan salinitas 45 ppt, diikuti perlakuan B 35 ppt dan perlakuan A
25 ppt. Bulubabi Tripneustes gratilla yang dimasukan pada masing-masing wadah
penelitian sebanyak 10 ind/wadah. Pada perlakuan C dengan menaikkan salinitas
menjadi 45 ppt dari salinitas normal 30 ppt mampu merangsang proses pemijahan
bulubabi Tripneustes gratilla sebanyak 7 individu. kemudian untuk wadah yang
diberi perlakuan B dengan menaikan salinitas menjadi 35 ppt dari salinitas
normal 30 ppt mampu merangsang proses pemijahan bulubabi Tripneustes
gratilla sebanyak 5 individu, Untuk wadah yang diberi perlakuan dengan
menurunkan salinitas menjadi 25 ppt dari salinitas normal 30 ppt mampu
merangsang pemijahan bulubabi Tripneustes gratilla sebanyak 3 individu.

Bulubabi (Tripneustes gratilla) yang memijah menunjukkan ciri – ciri


awal mengeluarkan setitik warna kuning dan putih dari lubang anusnya
Kemudian secara perlahan-lahan akan diikuti dengan proses pemijahan yaitu
induk bulubabi Tripneustes gratilla jantan akan menyemprotkan cairan sperma
dan induk bulubabi Tripneustes gratilla betina akan menyemprotkan sel telurnnya
ke luar. Ciri – ciri yang ditunjukkan bulubabi Tripneustes gratilla seperti pada
uraian di atas kemungkinan sebagai akibat dari respon fisiologis bulubabi
Tripneustes gratilla ketika kondisi lingkungannya dalam hal ini salinitasnya mulai
mengalami fluktuasi secara mendadak sehingga menyebabkan sistem saraf dari
bulubabi Tripneustes gratilla tersebut mulai mengalami gangguan dan berakibat
pada terjadinya stress pada bulubabi Tripneustes gratilla yang kemudian
merangsang sistem hormone bulubabi T. gratilla yang bekerja lebih cepat dari
kondisi normal sehingga memicu proses terjadinya pemijahan bulubabi

21
Tripneustes gratilla dengan cepat. Hasil penelitian tersebut di atas juga
kemungkinan berlaku untuk bulubabi T. gratilla karena biota seperti, kerang
bakau dan juga kerang darah termasuk ke dalam kelas kekerangan serta termasuk
dengan echinodermata yang siklus reproduksinya sama di mana kejut salinitas
mampu merangsang proses keluarnya sel sperma dan sel telur karena akibat dari
perubahan salinitas yang secara mendadak yang akan membuat bulubabi tersebut
mengalami stres serta gangguan gangguan saraf yang akan memicu keluarnya
cairan dengan sendirinya. Selain itu, biota-biota dari kelas echinoderata ini juga
termasuk penghuni padang lamun dan terumbu karang yang kondisi parameter
liangkungan perairan sebagai tempat hidupnya dalam hal ini seperti salinitas yang
rendah dengan kisaran tolerir 27-30 ppt (Effendi, 2003), sehingga ketika salinitas
perairan dinaikan di atas batas tolerir dan diturunkan dari batas tolerir akan
membuat bulubabi menjadi stres dan sistem sarafnya terganggu yang kemudian
memberi respon pada sistem hormonalnya untuk bekerja lebih cepat sehingga
merangsang bulubabi yang telah matang gonad untuk melakukan proses
pemijahan.

Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Khalil (2013) yang menemukan
bahwa parameter kualitas air seperti salinitas dalam lingkungan perairan
merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan proses pemijahan kerang
darah yang telah matang gonad, karena ketika salinitas berada di atas maupun
dibawah batas normal maka akan membuat kerang darah menjadi stress yang
memicu sistem hormonal kerang untuk bekerja lebih cepat dan kemudian
memberi respon pada kerang untuk melakukan proses pemijahan. Sama halnya
yang bisa dilakukan pada induk bulubabi Tripneustes gratilla.

4.3 Kecepatan Pemijahan bulubabi (Tripneustes gratilla)


Kecepatan pemijahan bulubabi yang diujicobakan melaui sistem kejut
salinitas berdasarkan hasil pengamatan yang dihitung berdasarkan lamanya waktu
pemijahan, diperoleh hasil sebagai berikut pada tabel 2.

22
Tabel 2. Kecepatan Pemijahaan Induk bulubabi (Tripneustes gratilla)

Perlakuan Jumlah bulubabi Kecepatan


Salinitas Memijah/Wadah Persentase Pemijahan (Menit)
(ppt) (ind) % %

25 3 30% 65

35 5 50% 38

45 7 70% 21

12

Sumber : Data Hasil penelitian Tahun 2018


Tabel di atas menjelaskan bahwa kecepatan pemijahan bulubabi pada
salinitas 25 ppt adalah 65 menit, selanjutnya untuk salinitas 35 ppt adalah 38
menit, kemudian untuk salinitas 45 ppt adalah 21 menit. Hal ini menunjukkan
bahwa bulubabi yang cepat memijah adalah terdapat pada wadah dengan salinitas
45 ppt, diikuti wadah bersalinitas 35 ppt, dan bulubabi yang lebih lama proses
pemijahannnya terdapat pada wadah dengan salinitas 25 ppt.

23
4.4 Presentase Pemijahan Bulubabi (Tripneustes gratilla)
Presentase pemijahan bulubabi (T.gratlla) berdasarkan hasil penelitian
dapat ditampilkan melalui gambar 4 diagram berikut.

persentase pemijahan bulubabi


30%
70% salinitas 25

50% salinitas 35
salinitas 45

Gambar 4 diagaram presentase pemijahan induk bulubabi (Tripnesutes gratiila)


Gambar diagaram di atas mejelaskan bahwa presentase pemijahan induk
bulubabi pada wadah perlakuan yang diberi perlakuan kejut salinitas 25 ppt, 35
ppt dan 45 ppt mempunyai nilai presentase pemijahan yang berbeda setiap
perlakuan yaitu perlakuan dengan salinitas 25 ppt mendapatkan hasil 30%,
perlakuan kedua dengan salinitas 35 ppt mendapatkan hasil 50%, Sedangkan
perlakuan ketiga dengan salinitas di naikan 45 ppt mendapatkan hasil sebesar 70
%. Hal ini menunjukkan bahwa presentase pemijahan induk bulubabi tertinggi
terdapat pada wadah yang diberikan perlakuan salinitas 45 ppt dibandingkan
dengan bulubabi yang diberi perlakuan salinitas 25 ppt, dan 35 ppt.
Tingginya presentase pemijahan bulubabi pada wadah ujicoba yang
diberi perlakuan peningkatan salinitas menjadi 33 ppt, ini sesuai dengan pendapat
Gosling (2003) bahwa fluktuasi fisika dan kimia air khususnya salinitas yang
mengalami penigkatan secara mendadak menyebabkan meningkatnya rangsangan
untuk kerang darah memijah. Selanjutnya Gimin (2006), juga dalam penelitiannya
menemukan bahwa ketika terjadi perubahan peningkatan salinitas secara
mendadak akan sangat berpengaruh terhadap percepatan pemijahan.

24
Hasil penelitian lain oleh Afiati (2007), juga menemukan bahwa jika
terjadi peningkatan salinitas secara mendadak maka akan memberi rangsangan
bagi biota kekerangan sama seperti yang terjadi pada induk bulubabi yang diberi
perlakuan kejut salinitas untuk cepat melangsungkan proses pemijahannya, karena
jika terjadi peningkatan salinitas di atas batas normal tolerir, maka akan membuat
kerang darah yang telah matang gonad menjadi cepat stress sehingga memicu
aktivitas kerja hormone juga semakin berjalan dengan cepat yang kemudian dapat
memicu terjadinya proses pemijahan kekerangan yang cepat pula. Dengan adanya
pembuktian – pembuktian dari hasil penelitian oleh beberapa peneliti di atas,
maka dapat memperkuat temuan dari hasil yang diperoleh dari penelitiann ini
yang menemukan bahwa perlakuan dengan peningkatan salinitas dapat
mempercepat proses pemijahan dari induk bulubabi juga

4.4 Kisaran Salinitas yang Optimal untuk Mempercepat Pemijahan


bulubabi (Tripneustes gratilla)

Temuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini jika dilihat dari kecepatan
pemijahan yang menunjukkan bahwa bahwa bulubabi (T. gratilla) yang cepat
memijah adalah terdapat pada wadah dengan salinitas 45 ppt, diikuti wadah
bersalinitas 35 ppt, dan bulubabi yang lebih lama proses pemijahannnya terdapat
pada wadah dengan salinitas 25 ppt. Selanjutnya jika dilihat dari presentase
pemijahannya yang menunjukkan bahwa presentase pemijahan induk bulubabi
tertinggi terdapat pada wadah yang diberikan perlakuan salinitas 45 ppt
dibandingkan dengan bulubabi yang diberi perlakuan salinitas 35 ppt, dan 25 ppt .
Dari hasil – hasil temuan melalui perlakuan ini yang dilihat dari kecepatan
pemijahan dan presentase pemijahan bulubabi, ternyata menunjukkan bahwa
bulubabi pada wadah yang diberi perlakuan peningkatan salinitas menjadi 45 ppt
mempunyai potensi lebih bagus dibandingkan dengan bulubabi pada wadah yang
diberi perlakuan salinitas 35 ppt, dan 35 ppt, sehingga dapat diketahui bahwa
salinitas yang optimal untuk mempercepat proses pemijahan bulubabi adalah 45
ppt.

25
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah rangsangan kejut salinitas sangat
berpengaruh terhadap pemijahan bulubabi (Tripneustes gratilla), dimana ketika
salinitas dinaikan dari salinitas optimal 33 ppt maka terjadi pemijahan dan level
salinitas yang efektif dalam mempercepat proses pemijahan bulubabi adalah 45
ppt.

5.2 Saran

Saran yang diberikan terkait hasil temuan yang diperoleh dari penelitian
ini adalah :
1. Bagi para pembudidaya khususnya yang bergelut dalam usaha budidaya
bulubabi terkait pembenihan bulubabi dalam skala tradisional, maka
hendaknya dalam memperoleh benih bulubabi perlu mengadopsi rujukan dari
penelitian ini.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan dengan memanfaatkan telur dari hasil
pemijahan bulubabi menggunakan sistem perangsangan pemijahan dengan
sistem kejut salinitas ini untuk mengetahui kualitas penetasan telurnya dan
juga mengetahui viabilitas larvanya.

26
27
28
29

Anda mungkin juga menyukai