Anda di halaman 1dari 34

HASIL PENELITIAN

Judul : Efektivitas Kejut Salinitas dalam Merangsang Proses


Pemijahan Bulubabi (Tripneustes gratilla).
Nama : Anselma Pire Lewar
Nim : 1513010033
Pembimbing I : Dr.Ir Agnette Tjendanawangi, M.Si
Pembimbing II : Dr.Ir Nicodemus Dahoklory, M.Si
Penguji : Dr.Ir Yulianus Linggi,M.Si

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bulubabi merupakan fauna dari filum Echinodermata yang ketersediaanya


melimpah dan tersebar di seluruh perairan Indonesia. Bulubabi termasuk dalam
salah satu komoditas hasil perairan yang telah dimanfaatkan gonadnya, karena
gonad bulubabi dapat dimakan dan memiliki kandungan nutrisi yang tinggi serta
rasa yang enak sehingga digemari oleh masyarakat. Salah satu jenis bulubabi yang
dapat dikonsumsi yaitu jenis Tripneustes gratilla.

Bulubabi T. gratilla merupakan salah satu jenis bulubabi bernilai ekonomis


tinggi yang terdapat di perairan Indonesia khususnya di teluk Kupang. Bulubabi
ini mempunyai prospek untuk dikembangkan dan dibudidayakan karena
kandungan nutrisi yang ada dalam gonad bulubabi dan telah diekspor dalam skala
kecil, namun ketersediaan bulubabi masih mengandalkan kegiatan penangkapan
dari alam khususnya di perairan Bali, Lombok dan Sulawesi Selatan (Azis, 1983).

1
Habitat utama bulubabi sebagian besarnya berada pada ekosistem lamun,
karena lamun merupakan salah satu makanan utamanya (Romimohtarto dan
Juwana, 2007). Bulubabi Tripneustes gratilla bisa juga dijumpai di daerah
pertumbuhan algae (ekosistem terumbu karang). Hal ini disebabkan karena
disamping memakan daun lamun, mereka juga hidup dari memakan algae
(Lawrence 1975). Bulubabi marga Tripneustes, Lytechinus, dan Temnopleurus
lebih sering dijumpai di padang lamun dibandingkan daerah terumbu karang. Hal
ini diduga bulubabi tersebut lebih menyukai daun lamun dibandingkan dengan
algae. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, ada berbagai daerah tertentu yang
dikatakan sebagai daerah penghasil bulubabi, salah satunya di perairan pesisir
Tablolong, Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang. dimana, jenis bulubabi
yang mendominasi wilayah ini adalah T. gratilla.

Menurut (Aslan, 2003) kegiatan penangkapan oleh pencari bulubabi di alam


yang semakin meningkat mengakibatkan turunnya populasi organisme di alam.
Selain itu, penurunan kualitas lingkungan (kerusakan habitat akibat pengeboman)
yang semakin meningkat sehingga menyebabkan menipisnya areal padang lamun
(seagrass beds) serta pencemaran perairan yang mengakibatkan penurunan pakan
alami dari bulubabi yakni makroalga yang turut mempengaruhi pertumbuhan dan
berdampak pada kualitas gonad dari hewan ini. Kualitas gonad bulubabi
dipengaruhi oleh kualitas nutrisi hal ini menunujukan kualitas nutrisi yang
berbeda tergantung pada jenis lamun yang merupakan sumber katenoid yang
berpengaruh pada kualitas gonad. Oleh karena itu untuk mengimbangi kegiatan
penangkapan yang terus menerus maka perlu dilakukan kegiatan budidaya. Salah
satu faktor yang mempengaruhi keberlanjutan budidaya adalah ketersediaan benih
bulubabi yang jumlahnya semakin terbatas, untuk itu perlu dilakukan kegiatan
pembenihan sehingga benih dapat tersedia setiap saat.

2
Salah satu aspek penting dalam mengembangkan teknologi pembenihan
adalah teknik pemijahan induk bulubabi yang membutuhkan kondisi lingkungan
tertentu sebagai rangsangan untuk memijah antara lain perubahan suhu (Chávez-
Villalba et al., 2002; 2003; Cáceres-Martínez et al., 2004; Cardoso et al., 2007;
Castaños et al., 2009; Enríque-Díaz et al., 2009), perubahan salinitas (Quayle &
NewKirk, 1989) dan pergantian musim (Soletchnik et al., 2002; Ren et al., 2003).
Menurut Quayle & NewKirk (1989) Perubahan salinitas merupakan faktor
lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pemijahan bivalvia di daerah tropis.
Penelitian terdahulu tentang kejut salinitas terhadap pemijahan tiram atau moluska
lainnya belum pernah dilakukan. Namun Yudiati et al., (2001) telah meneliti
pengaruh kejut salinitas terhadap pemijahan spesies laut lainnya yaitu teripang
hitam (Holothuria edulis) yang menghasilkan persentase pemijahan 20-30%. Oleh
karena itu, terdapat peluang untuk mengembangkan teknik pemijahan bulubabi T.
gratilla dengan rangsangan kejut salinitas pada lingkungan buatan.

Menurut Darsono, (1983) bahwa bulubabi hidup pada salinitas 26-32 ppt dan
pada umumnya salinitas di air laut adalah 32 – 27 ppt. Aslan (2010) menyatakan
bahwa bulubabi tergolong stenohalin. Hal ini menyebabkan bulubabi sangat
sensitif terhadap perubahan salinitas. Kisaran salinitas yang ideal adalah 29-33
ppt. Kisaran salinitas diperoleh dari hasil pengukuran kisaran salinitas pada
habitat bulubabi.

Menurut Aziz (1993:24) bahwa bulubabi secara umum seperti fauna


Echinodermata lainnya, tidak tahan terhadap salinitas rendah. Kecuali untuk jenis
yang hidup di daerah pasang surut, yaitu bulubabi jenis Strongylocentrus
purpuratus yang hidup di daerah pasang surut relative tahan terhadap pengenceran
salinitas pada saat musim hujan. Kisaran salinitas di suatu perairan berkisar antara
23–26 ppt, maka akan berakibat pada perubahan pigmen warna, duri-duri akan
rontok dan bulubabi akan menjadi tidak aktif, tidak mau makan dan pada akhirnya
akan mengalami kematian setelah beberapa hari serta menghambat proses
pemijahan.

3
1.2 Perumusan Masalah

Pada umumnya aktivitas penangkapan bulubabi oleh masyarakat di alam


semakin meningkat sehingga mempengaruhi ketersediaan bulubabi dan
mempengaruhi ekosistem perairan. Oleh karena itu, untuk mengimbangi kegiatan
penangkapan yang terus menerus maka dilakukan kegiatan budidaya. salah satu
faktor yang mempengaruhi keberlanjutan budidaya adalah ketersediaan benih,
untuk itu perlu dilakukan kegiatan pembenihan sehingga benih dapat tersedia
setiap saat. Salah satu aspek penting dalam mengembangkan teknologi
pembenihan adalah teknik pemijahan induk bulubabi yang membutuhkan kondisi
lingkungan tertentu sebagai rangsangan untuk memijah antara lain perubahan
suhu (Chávez-Villalba et al., 2002; 2003; Cáceres-Martínez et al., 2004; Cardoso
et al., 2007; Castaños et al., 2009; Enríque-Díaz et al., 2009), perubahan salinitas
(Quayle & NewKirk, 1989) dan pergantian musim (Soletchnik et al., 2002; Ren et
al., 2003). Hasil penelitian Yudiati et al., (2001) mendapatakan pengaruh kejut
salinitas terhadap pemijahan spesies laut lainnya yaitu teripang hitam (Holothuria
edulis) yang menghasilkan persentase pemijahan 20-30%.

Bulubabi sensitif terhadap perubahan salinitas oleh karena itu perlu dilakukan
perangsangan dengan salinitas untuk mempercepat proses pemijahan pada
bulubabi Tripneustes gratilla.

Bertolak dari kenyataan di atas maka yang menjadi permasalahan dalam


penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh kejut salinitas dalam merangsang pemijahan
bulubabi T. gratilla ?
2. Berapakah level penururnan atau kenaikan salinitas yang efektif dalam
merangsang proses pemijahan pada bulubabi T. gratilla ?

4
1.3 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rangsangan kejut


salinitas terhadap pemijahan bulubabi dan menentukan level salinitas yang efektif
dalam mempercepat proses pemjahan bulubabi.

Manfaat dari penelitian sebagai sumber informasi bagi masyarakat pesisir


khususnya pembudidaya bulubabi Tripneustes gratilla

1.4 Hipotesis Penelitian

Diduga dengan kejut salinitas dapat merangsang pemijahan bulubabi T.


gratilla

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Bulubabi Tripneustes gratilla

Menurut Heinke dan Schultz (2006) Tripneustes gratilla adalah salah satu
jenis bulubabi yang termasuk dalam phylum Echinodermata yang diklasifikasikan
sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Phylum : echinordemata
Kelas : echinodea
Ordo : echinoida
Family : taxopneustideae
Genus : Tripneustes
Spesies : Tripneustes gratilla. Contoh bulubabi T. gratilla
dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Bulubabi Tripneustes gratilla

Bulubabi Tripneustes gratilla merupakan jenih hewan yang unik dari


invetebrata. Hewan ini menunjukan ciri-ciri yang khas, yaitu : tubuh simetris,
meruji, tanpa kepala, mata dan pusat susunan saraf yang dapat mencapai diameter
tubuh 10 cm (Dafni, 2000; Shokita et al., 1999. Tubuh hewan ini bulat dengan
duri-duri yang menutupi tubuhnya. Tubuh terbungkus oleh suatu struktur berupa
cangkang (test), terdiri lempengan-lempengan yang menyatu membentuk kotak

6
seperti cangkang yang keras. biasanya ada sepuluh deret lempeng lipat dua
dengan lima pasang lubang untuk kaki tabung yang ramping ke luar melalui
cangkang (Shokia et al., 1991).
Mulut bulubabi terletak di bawah tubuh dan berada di tengah-tengah yang
berlawanan dengan letak anus dan lubang genital pada bagian atas tubuh. Bagian
mulut atau gigi menyatu menjadi satu yang diletakan oleh sederetan bagian terdiri
dari bahan kapur untuk membentuk struktur yang dinamakan Aristoteles, Parker
dan Kalves (1992) dalam Person (1998) mengemukakan bahwa semua bulubabi
memiliki cangkang (Calacareous shell) yang keras. Pada T. gratilla cangkangnya
berwarna hitam dan keunguan serta dilengkapi dengan duri yang berwarna putih
dan coklat seperti : warna tembaga. bagian ini merupakan penutup lapisan
epithelium yang tipis, duri digunakan sebagai penggerak, pelindung, dan
perangkap alga yang menyerang untuk dimakan. Di antara terdapat kaki tabung
yang digunakan untuk melekat pada substrat. Duri-duri ada yang tipis, bagian
ujungnya tajam yang dilengkapi dengan bisa, bagian inilah yang akan menjadi alat
pertahanan yang akan menjadi alat pertahanan terhadap serangan predator
(Shokita et al., 1991).

2.2 Anatomi Bulubabi

Tubuh bulubabi berbentuk agak bulat seperti bola dengan cangkang yang
keras berkapur dan dipenuhi duri-duri. Terletak berderet dalam garis membujur
dan dapat digerakan. mulut terletak di bawah menghadap ke bawah dan anus
terletak di atas menghadap ke atas di puncak cangkang yang membulat (Sugiarto
dan Supardi, 1995). Tubuh bulubabi sendiri teridiri dari tiga bagian, yaitu bagian
oral, aboral serta bagian di antara oral dan aboral, pada bagian tengah sisi aboral
terdapat sistem apical dan bagian tengah sisi oral terdapat sistem peristomial
(Birkeland,1989).

7
Lempeng-lempeng ambulakral dan interabulakral berada diantara sistem
apical dan sisem peristomial termasuk lubang anus yang dikelilingi oleh sejumlah
keping anal (perirproct) termasuk di antaranya adalah keping-keping genital.
salah satu di antara keping yang berukuran paling besar merupakam tempat
bermuaranya sistem air (waste vascular system). Sistem ini menjadi ciri khas
filum echinodermata berfungsi dalam pergerakan, makan, respirasi, dan ekskresi
(Aziz,1987). Anatomi bulubabi digambarkan pada Gambar 2 berikut :

Gambar 2. Bentuk Anatomi Bulubabi Tripneustes gratilla

Tubuh bulubabi memiliki satu rongga utama yang berisi lentera aristoteles dan
organ pencernaan. lentera aristoteles terdiri dari liam buah gigi yang penarik. otot
ini berperan mengatur pergerakan gigi (Sugiarto dan Supardi,1995). Lentera
aristoteles berfungsi seperti mulut dan gigi yang berfungsi untuk mengambil,
memotong, dan menghaluskan makanan, esopagus, usus halus dan usus besar dan
anus tersusun melingkari aristoteles membentuk suatu sistem pencernaan (Tamrin,
2011). Pada bulubabi, kaki tabung memiliki banyak fungsi. Selain itu bergerak,
kaki tabung juga digunakan sebagai indra peraba, organ respirasi dan tempat
pengeluaran air dari tubuh (Aziz dan Sugiarto, 1994).
2.3 Pemijahan (Spawning) Bulubabi
Beberapa kelompok bulubabi yang telah matang gonad sebelum memijah
biota tersebut memiliki tanda khusus yaitu semacam signal untuk mendorong
pelepasan telur (proses pemijahan) (Starr et al., 1992). Faktor fisik air sangat
berpengaruh terhadap potensial pemijahan seperti kisaran suhu, salinitas/kadar
garam, cahaya dan arus dan juga perubahan fisik lingkungan seperti adanya

8
pertambahan unsur hara dimana biota tersebut berada yang banyak menyebabkan
induk-induk bulubabi lebih cepat untuk memijah (Starr et al., 1992).
Bila induk akan memijah tampak ada kecenderungan untuk induk bulubabi
yang berkelamin jantan mencari tempat yang lebih tinggi untuk melepaskan
sperma kemudian diikuti oleh induk bulubabi yang berkelamin betina untuk
mengeluarkan telur, namun kebanyakan induk-induk hanya tinggal di dasar.
Bulubabi dapat memijah seperti biota laut lainnya, pada umumnya induk jantan
mengeluarkan sperma terlebih dahulu kemudian diikuti oleh induk betina yang
mengeluarkan telur. Pembuahan terjadi di luar tubuh dimana induk jantan terlebih
dahulu mengeluarkan sperma yang berwarna putih susu, selang beberapa menit
(biasanya 0,5 - 3 menit), biota yang berkelamin betina mengeluarkan telur-telur
yang berwarna kuning (apabila telurnya matang) namun apabila telur yang tidak
matang maka akan berwama putih dan apabila diamati di bawah mikroskop
dengan pembesaran kuat maka telur yang belum matang ini terbungkus oleh
semacam albumin yang relatif tebal sehmgga mungkin mengakibatkan telur sulit
ditembusi oleh sperma.
Dalam usaha budidaya, dianjurkan perbandingan antara jumlah sperma dan
telur harus seimbang agar tidak terjadi pembusukan. Apabila kelebihan sperma
maupun telur aka n mengalami pembusukan secara cepat terlebih apabila tidak
secepatnya dilakukan penggantian air pada wadah pemijaham.
2.4 Reproduksi dan Siklus Hidup Bulubabi
Siklus hidup dari bulubabi diawali dengan terjadinya pembuahan yang
terjadi diluar tubuh. Induk jantan membuahi telur-telur dari induk betina. Telur
bulubabi dibungkus dengan semacam gelatinous yang biasa disebut dengan jelly
coat (Guidice, 1986). Setelah itu terbentuklah embrio, dimana embrio ini akan
membelah dengan frekuensi yang sangat tinggi. Setelah mencapai tahap embrio
terus masuk fase morula dan embrio muda disebut blastula. Selama 10 jam setelah
terbuahi sejak fase blastula, maka embrio tersebut mulai aktif berenang. Setelah
itu muncullah anakan bulubabi (Gambar 2), bulubabi sudah dapat dikatakan telah
menjadi anakan bila sudah terdapat tentakel-tentakel, duri-duri dan pediselaria
(Czihak, 1971).

9
Semakin bertambahnya waktu, anakan bulubabi menjadi dewasa. Bulubabi
dewasa telah memiliki organ tubuh yang lengkap mulai dari tubuh bagian dalam
sampai pada organ tubuh bagian luar semuanya telah tampak dengan jelas.
Reproduksi dan siklus bulubabi digambarkan pada Gambar 3 berikut :

a b c

Gambar 3. Reproduksi dan Siklus Hidup Bulubabi (Czizak, 1971).

Keterangan : a. Telur Bulubabi T. gratil

b. Larva Bulubabi T. gratilla

c. Anakan Bulubabi T. gratilla

2.5 Makanan dan Cara Makan Bulubabi

Jenis makanan bulubabi Tripneustes gratilla sangat bervariasi sesuai


dengan tingkat perkembangannya. larva biasanya memakan diatom-diatom
plantonik, tetapi pada tahap juvenil memakan diatom-diatom sesil, dan yang telah
berukuran besar memakan makroalga, lamun, dan mikro flora (Yamaguchi, 1991).
T. gratilla yang telah dewasa dapat memakan bermacam-macam makroalga,
antara lain: Sargasum spp, Padina spp, Hidroclathrus clathrus, Clasdosiphon
okamwarmus, Hypnea charoides, Glacilaria blodgettii, Ceratodictyon
spongiosum. Berdasarkan hasil analisa lambung T. gratilla yang diambil dari

10
alam, menunjukan bahwa yang paling dominanan sebagai makanannya adalah
Sargasum spp, Padina spp, dan Hydroclathrus clathrus, serta lamun lainnya
(Tjendanawangi, 2007).
Bulubabi cendrung menyukai makanan dengan komposisi tertentu. Daya
grazing bulubabi berbading lurus dengan ukuran tubuhnya (Lawrence et al.,
2007). Preferensi makan bulubabi juga mempengaruhi oleh kondisi
hidrodinamik, temperatur dan cahaya. Umunya bulubabi aktif pada malam hari
(Nokturnal) karena menghindari predator yang aktif pada siang hari. Kondisi
fisiologis bulubabi yang mempengaruhi daya Grazingnya adalah ukuran tubuh
dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) (Lawrence et al., 2007).
Bulubabi Tripneutes gratilla Mencari makan atau menghindari diri dari
serangan predator ataupun berlindung dari sengatan panas merupakan aktifitas
harian yang penting. Menurut Mukai & Nojima (1985), aktifitas harian yang
penting adalah aktifitas berpindah, aktifitas istirahat (resting) dan aktifitas makan.
Pada saat makan terlihat kaki tabung bergerak aktif, sedangkan waktu istirahat
kaki tabung ditarik ke dalam porinya. Bulubabi jenis T. gratilla aktif makan di
siang hari terutama antara jam 9 pagi sampai dengan jam 12 siang dang antara jam
6 sore sampai jam 9 malam. Pada umum nya bulubabi ini berhenti makan antara
jam 12 malam sampai dengan jam 6 pagi. Berbeda dengan bulubabi jenis T.
gratilla.

2.6 Parameter Fisika – Kimiawi Perairan Bulubabi.

Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola


kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan
mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme
perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat Nybakken
(1988). Effendi (2003), menjelaskan bahwa peningkatan suhu perairan akan
meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup di dalamnya,
sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih tinggi. Peningkatan suhu perairan

11
0
sebesar 10 C, menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh
organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat.
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara
horizontal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya
perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem (Odum, 1993).
Gastropoda yang hidupnya berpindah-pindah seperti halnya bulubabi mempunyai
kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah,
namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air
tawar berlangsung lama (Effendi, 2003). Menurut Hutabarat dan Evans (1985)
kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan,
khususnya fauna makrobenthos adalah 15 - 35‰.
Kecerahan perairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang tersuspensi
didalamnya, semakin kurang partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan
semakin tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi cahaya semakin rendah,
karena meningkatnya kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan untuk proses
fotosintesis oleh tumbuhan air berkurang. Oleh karena itu, secara tidak langsung
kedalaman akan mempengaruhi pertumbuhan fauna benthos yang hidup
didalamnya. Disamping itu ke dalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan
oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi Nybakken ( 1988).
pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu
perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi
ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Effendi (2003)
menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH
dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5.

12
2.7 Habitat dan Penyebaran Bulubabi
Bulubabi Tripneustes gratilla biasanya menempati perairan dangkal. dari
mid intertidal sampai ke daerah intertidal sampai kedalaman 160 feet atau sekitar
41,81 meter, tetapi kadang-kadang ditemukan ditemukan sampai ke dalaman 410
feet atau sekitar 41,81 meter (Mc cauley dan Carey 1967 dalam Person 1998).
Bulubabi hidup cenderung hidup disubstrat karang keras, khususnya di cela batu
karang dan menghindari pasir dan lumpur (Kato Schopeer,1985 dalam person
1998). Hewan jenis ini biasanya beradaptasi pada hantaman ombak besar dengan
menyembunyikan diri pada cela karang.
Bulubabi T. gratilla tidak toleran terhadap salinitas rendah dan mereka
tidak dapat bertahan hidup akibat pengeruh estuari yang kaut sebagai akibat dari
pengaruh air tawar. Hal tersebut telah dibuktikan pada perairan pantai Okinawa di
Jepang. Mereka menemukan kasus kematian masal akibat masuknya arus air
tawar yang kuat akibat musim hujan (41 mm dalam 2 jam) (Darsono dan
Sukarno,1987).
Perairan Indonesia cukup potensial menghasilkan bulubabi termasuk di
dalamya jenis T. gratilla. Daerah tempat ditemukannya hewan ini adalah di
perairan pulau Seribu, (Pulau Pari dan Pulau Tikus) Sulawesi Selatan (Kepulauan
Batang Pone, Batang Lompo Spermonde), Bali (Gondol, Benoa dan Sanur), Pulau
Kubur Sumatera dan sepanjang Pantai Arafuru dan Irian Jaya dan NTT. Hyman
(1955) dalam Ratna (2002) menambahkan bahwa bulubabi termasuk hewan
benthonic, ditemui di semua laut dan lautan dengan batas kedalaman antara 0-
8000 m. Karena echinoidae memiliki kemampuan beradaptasi dengan air payau
lebih rendah dibandingkan invertebrate lain. Kebanyakan bulubabi regularia
hidup pada substrat yang keras, yakni batu - batuan atau terumbu karang dan
hanya sebagian kecil yang menghuni substrat pasir dan lumpur, karena pada
kondisi demikian kaki tabung sulit untuk mendapatkan tempat melekat. Kelompok
tersebut khusus hidup pada teluk yang tenang dan perairan yang lebih dalam,
sehingga kemungkinan kecil dipengaruhi ombak.

13
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan mulai dari bulan November -
Desember 2018 di Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Tablolong Kecamatan Kupang
Barat, Kabupaten Kupang.

3.2 Alat dan Bahan penelitian


a.) Alat
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah caliper untuk
mengukur diameter tubuh bulubabi, timbangan analitik, baskom sebanyak 3 unit,
aerator, alat pengukur kualitas air salinometer, pH meter, stopwacth untuk
menghitung waktu pemijahan, ember untuk wadah pengangkutan, gayung untuk
mengambil air laut dan air tawar serta kamera untuk mengambil gambar sebagai
dokumentasi selama penelitian dan alat tulis menulis.
b.) Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bulubabi jenis
Tripneuses gratilla yang diambil dari perairan Tablolong sebanyak 145 individu
dengan berat tubuh 55-100 g dan diameter cangkang sekitar 60,5-80 mm, pakan
lamun, garam tidak beryodium untuk mengatur tingkatan salinitas, air tawar untuk
menurunkan tingkatan salinitas dan air laut sebagai media awal pemeliharaan.

14
3.3 Prosedur Penelitian
1. Bulubabi Tripneustes gratilla diambil di perairan Tablolong kemudian
dipelihara di dalam bak selama 1 bulan dengan kepadatan 145 ekor.
Tujuan dari pemeliharaan ini agar bulubabi dapat beradaptasi dengan
kondisi lingkungan yang baru, dan sampai gonadnya matang dan siap
memijah. Kemudian bulubabi diberikan pakan lamun sebanyak dua hari
sekali.
2. Persiapan perlakuan pemijahan masing-masing wadah diisi air laut
sebanyak 2 liter, dengan setiap perlakuan diberi kejut salinitas yaitu dari
perlakuan A diturunkan dari salinitas awal 32 ppt sebesar 5 ppt dengan
penambahan air tawar sebanyak 300 ml, perlakuan B dinaikan dari
salinitas awal 32 ppt sebesar 10 ppt dengan penambahan garam
sebanyak 50 g, sedangkan perlakuan C dinaikan dari salinitas awal 32
ppt sebesar 15 ppt dengan penambahan garam sebesar 100 g.
3. Bulubabi T. gratilla diseleksi berdasarkan ukuran, berat tubuh, diameter
cangkang,Tingkat Kematangan Gonadnya (TKG IV) dan di masukan ke
dalam wadah pemijahan yang diberi perlakuan A diturunkan salinitas
sebesar 5 ppt dari salinitas awal 32 ppt, perlakuan B dinaikan salinitas
sebesar 10 ppt dari salinitas awal 32 ppt, dan dinaikan salinitas sebesar
15 ppt dari salinitas awal 32 ppt. Dengan jumlah induk bulubabi /wadah
yaitu 10 individu.
4. Setelah didistribusikan kewadah-wadah pemijahan maka selanjutnya
bulubabi T. gratilla diamati untuk mengetahui potensi pemijahannya
dengan lama waktu setiap masing-masing perlakuan yaitu 5 menit.
Maka langkah selajutnya angkat bulubabi dikembalikan ke media
pemeliharaan awal. Kemudian dilakukan kejut salinitas lagi selama 5
menit. Lampiran 2

15
3.4 Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga
perlakuan yang masing-masing adalah sebagai berikut :
Perlakuan A : Salinitas diturunkan secara mendadak sebesar 5 ppt dari salinitas
awal (32 ppt) diturunkan menjadi 25 ppt
Perlakuan B : Salinitas dinaikkan secara mendadak sebesar 10 ppt dari salinitas
awal (32 ppt) dinaikan menjadi 35 ppt
Perlakuan C : Salinitas dinaikan secara mendadak sebesar 15 ppt dari salinitas
awal (32 ppt) dinaikan menjadi 45 ppt.
perlakuan diulang sebanyak tiga (3) kali sehingga diperoleh 9 unit percobaan.

3.5 Variabel Yang Diamati


Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah potensi pemijahan
induk bulubabi Tripneustes gratilla yang meliputi :
1. Kecepatan pemijahan induk bulubabi T. gratilla.
2. Presentase pemijahan induk bulubabi T. gratilla.
3. Kisaran salinitas yang efektif yang mampu merangsang proses pemijahan
induk bulubabi T. gratilla.

16
3.6 Analisis Data
Analisis dari data yang diperoleh dalam penelitian ini terkait potensi
pemijahan induk bulubabi Tripneustes gratilla yang meliputi :
1. Kecepatan pemijahan induk bulubabi T. gratilla, yaitu dapat dilakukan
dengan cara menghitung selang waktu awal dimana bulubabi T. gratilla
dimasukkan ke dalam wadah pemeliharaan sampai bulubabi memijah.
2. Presentase pemijahan induk bulubabi T. gratilla, yaitu dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah Bulubabi Memijah


Bulubabi Memijah = x 100 %
Jumlah Total Bulubabi

3. Kisaran salinitas yang efektif yang mampu merangsang proses pemijahan


induk bulubabi T. gratilla, yaitu dapat dilakukan dengan melihat kisaran
salinitas yang jumlah bulubabi T. gratilla memijah lebih banyak.
Data – data dari hasil analisis tersebut dapat dideskripsikan secara
kuantitatif yaitu dalam bentuk angka – angka dan dapat pula dideskripsikan
secara kualitatif yaitu dengan kalimat – kalimat yang relevan terkait hasil yang
diperoleh.

17
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Rekapitulasi Data Diameter Tubuh, Berat Tubuh dan Berat


Cangkang Bulubabi Tripneustes gratilla

Pertumbuhan dan kelulushidupan untuk induk bulubabi yang siap


memijah yaitu dilihat dari TKG atau Tingkat Kematangan Gonadnya yang sudah
mencapai sesuai dengan umur dan ukuran diameter bulubabi. Menurut Trinidad-
Roa (1989) Darsono dan Sukarno (1993) bahwa bulubabi jenis Tripneustes
gratilla akan mengalami matang kelamin pertama kali pada usia 1,5 tahun
dengan diameter cangkang 60 mm-70 mm dengan berat tubuh sekitar 50 bahkan
ada yang sekitar 100 lebih. Sedangkan menurut Aziz (1993) bahwa diameter
tubuh bulubabi dapat digunakan untuk menentukan umur bulubabi dan menurut
Radjab (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan bulubabi bersifat allometrik
yang berarti pertambahan berat lebih cepat dari pada pertambahan diameter
cangkang. Menurut (Radjab, 1998) bulubabi jenis T. gratilla mempunyai
kematangan gonad IV yang siap pijah pada setiap bulannya, walaupun dalam
persentase yang kecil.

Rekapitulasi diameter tubuh bulubabi T. gratilla pada perlakuan A


adalah 70,3, 60,5, 70,5, 70,3, 70,7, 70, 80, 60,2, 60,5, 60; diameter tubuh
bulubabi T. gratilla pada perlakuan B adalah 70,3, 60,3, 48, 67,3, 60, 60,2, 60,3,
60,5, 60,5, 60,5; diameter tubuh bulubabi pada perlakuan C adalah 60,7, 60,2,
50, 54, 52, 60, 60, 70, 70, 70; (dilihat pada Lampiran 1).

Rekapitulasi berat tubuh T. gratilla pada perlakuan A adalah 69, 100,


100, 71, 105, 85, 84, 84, 70, 74; berat tubuh bulubabi T. gratilla pada perlakuan
B adalalah 93, 98, 111, 60, 62, 64, 56, 55, 59, 59; berat tubuh pada perlakuan C
adalah 70, 47, 60, 50, 45, 59, 52, 57, 69, 73; (dilihat pada Lampiran 1)

18
4.2 Pemijahan Induk Bulubabi Tripneustes gratilla

Penelitian dengan perlakuan kejut salinitas yang dilakukan pada induk


bulubabi T. gratilla bertujuan untuk mempercepat pemijahan pada induk bulubabi
T. gratilla. Dimana dari kejutan salinitas yang dilakukan dengan menaikan
salinitas dan menurunkan salinitas ternyata mampu merangsang proses pemijahan
bulubabi T. gratilla. Jumlah bulubabi yang memijah yang dilihat pada Tabel 1 di
bawah ini:
Tabel 1. Jumlah Bulubabi Tripneustes gratilla yang Memijah
Perlakuan Salinitas Jumlah bulubabi Jumlah bulubabi
(ppt) uji coba/Wadah Memijah/Wadah
(ind) (ind) %
A 25 ppt 10 30 %
B 35 ppt 10 50 %
C 45 ppt 10 70 %

Dilihat dari Tabel 1 di atas proses pemijahan yang paling cepat terdapat
pada perlakuan C dinaikan salinitas sebesar 15 ppt dari salinitas awal 32 ppt,
diikuti oleh perlakuan B dinaikan salinitas sebesar 10 ppt dari salinitas awal 32
ppt dan perlakuan A diturunkan salinitas sebesar 5 ppt dari salinitas awal 32 ppt.
Bulubabi T. gratilla yang dimasukan pada masing-masing wadah penelitian
sebanyak 10 ind/wadah. Pada perlakuan C dengan menaikan salinitas sebesar 15
ppt dari salinitas awal 32 ppt mampu merangsang proses pemijahan bulubabi T.
gratilla sebanyak 7 individu. kemudian untuk wadah yang diberi perlakuan B
dengan menaikan salinitas sebesar 10 ppt dari salinitas awal 32 ppt mampu
merangsang proses pemijahan bulubabi T. gratilla sebanyak 5 individu, Untuk
wadah yang diberi perlakuan dengan menurunkan salinitas sebesar 5 ppt dari
salinitas awal32 ppt mampu merangsang pemijahan bulubabi T. gratilla sebanyak
3 individu.

19
Bulubabi T. gratilla yang memijah menunjukkan ciri – ciri awal
mengeluarkan setitik warna kuning dan putih dari lubang genital. Kemudian
secara perlahan-lahan akan diikuti dengan proses pemijahan yaitu induk bulubabi
T. gratilla jantan akan menyemprotkan cairan sperma dan induk bulubabi
Tripneustes gratilla betina akan menyemprotkan sel telurnnya ke luar. Ciri – ciri
yang ditunjukkan bulubabi T. gratilla seperti pada uraian di atas kemungkinan
sebagai akibat dari respon fisiologis bulubabi T. gratilla ketika kondisi
lingkungannya dalam hal ini salinitasnya mulai mengalami fluktuasi secara
mendadak sehingga menyebabkan sistem saraf dari bulubabi T. gratilla tersebut
mulai mengalami gangguan dan berakibat pada terjadinya stress pada bulubabi
Tripneustes gratilla yang kemudian merangsang sistem hormone bulubabi T.
gratilla yang bekerja lebih cepat dari kondisi normal sehingga memicu proses
terjadinya pemijahan bulubabi T. gratilla dengan cepat. Hasil penelitian tersebut
di atas juga kemungkinan berlaku untuk bulubabi T. gratilla karena biota seperti,
kerang bakau dan juga kerang darah termasuk kedalam kelas kekerangan serta
termasuk dengan echinodermata yang siklus reproduksinya sama di mana kejut
salinitas mampu merangsang proses keluarnya sel sperma dan sel telur karena
akibat dari perubahan salinitas yang secara mendadak yang akan membuat
bulubabi tersebut mengalami stres serta gangguan gangguan saraf yang akan
memicu keluarnya cairan dengan sendirinya. Selain itu, biota-biota dari kelas
echinoderata ini juga termasuk penghuni padang lamun dan terumbu karang yang
kondisi parameter liangkungan perairan sebagai tempat hidupnya dalam hal ini
seperti salinitas yang rendah dengan kisaran tolerir 27-30 ppt (Effendi, 2003),
sehingga ketika salinitas perairan dinaikan di atas batas tolerir dan diturunkan
dari batas tolerir akan membuat bulubabi menjadi stres dan sistem sarafnya
terganggu yang kemudian memberi respon pada sistem hormonalnya untuk
bekerja lebih cepat sehingga merangsang bulubabi yang telah matang gonad untuk
melakukan proses pemijahan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Khalil (2013)
yang menemukan bahwa parameter kualitas air seperti salinitas dalam lingkungan
perairan merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan proses pemijahan
kerang darah yang telah matang gonad, karena ketika salinitas berada di atas

20
maupun di bawah batas normal maka akan membuat kerang darah menjadi stress
yang memicu sistem hormonal kerang untuk bekerja lebih cepat dan kemudian
memberi respon pada kerang untuk melakukan proses pemijahan. Sama halnya
yang bisa dilakukan pada induk bulubabi T. gratilla.

4.3 Kecepatan Pemijahan Bulubabi Tripneustes gratilla


Kecepatan pemijahan bulubabi yang diujicobakan melaui sistem kejut
salinitas berdasarkan hasil pengamatan yang dihitung berdasarkan lamanya waktu
pemijahan, diperoleh hasil sebagai berikut pada Tabel 2.

Tabel 2. Kecepatan Pemijahaan Induk Bulubabi Tripneustes gratilla


perlakuan Salinitas Jumlah bulubabi Kecepatan
(ppt) Memijah/Wadah Pemijahan
(ind) % (Menit)

A 25 3 65

B 35 5 38

C 45 7 21

12

Tabel 2 di atas menjelaskan bahwa kecepatan pemijahan bulubabi yang


diturunkan salinitas sebesar 5 ppt dari salinitas awal 32 ppt adalah 65 menit,
selanjutnya dinaikan salinitas sebesar 10 ppt dari salinitas awal 32 ppt adalah 38
menit, kemudian dinaikan lagi salinitas sebesar 15 ppt dari salinitas awal adalah
21 menit. Hal ini menunjukkan bahwa bulubabi yang cepat memijah terdapat pada
wadah yang dinaikan salinitas sebesar 15 ppt, diikuti oleh wadah yang dinaikan
salinitas sebesar 10 ppt, dan bulubabi yang lebih lama proses pemijahannnya
terdapat pada wadah yang diturunkan sebesar 5 ppt.

21
4.4 Presentase Pemijahan Bulubabi Tripneustes gratilla
Presentase pemijahan bulubabi T. gratlla berdasarkan hasil penelitian
dapat ditampilkan melalui Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Kecepatan Pemijahaan Induk bulubabi Tripneustes gratilla


perlakuan Salinitas Jumlah bulubabi Persentase
(ppt) Memijah/Wadah %
(ind) %

A 25 3 30%

B 35 5 50%

C 45 7 70%

12

Tabel 3 di atas mejelaskan bahwa presentase pemijahan induk bulubabi


pada wadah perlakuan yang diberi perlakuan kejut salinitas sebsar 5 ppt, 10 ppt
dan 15 ppt mempunyai nilai presentase pemijahan yang berbeda setiap perlakuan
yaitu perlakuan A diturunkan salinitas sebesar 5 ppt mendapatkan hasil 30%,
perlakuan B dinaikan salinitas sebesar 10 ppt mendapatkan hasil 50%, Sedangkan
perlakuan C dinaikan lagi i salinitas sebesar 15 ppt mendapatkan hasil sebesar 70
%. Hal ini menunjukkan bahwa presentase pemijahan induk bulubabi tertinggi
terdapat pada wadah perlakuan C yang dinaikan salinitas sebesar 15 ppt
dibandingkan dengan bulubabi yang diberi perlakuan yang dinaikan salinitas
sebesar 10ppt, dan yang diturunkan sebesar 5 ppt.

22
Tingginya presentase pemijahan bulubabi pada wadah penelitian yang
diberi perlakuan peningkatan salinitas menjadi 32 ppt, ini sesuai dengan pendapat
Gosling (2003) bahwa fluktuasi fisika dan kimia air khususnya salinitas yang
mengalami peningkatan secara mendadak menyebabkan meningkatnya
rangsangan untuk kerang darah memijah. Selanjutnya Gimin (2006), juga dalam
penelitiannya menemukan bahwa ketika terjadi perubahan peningkatan salinitas
secara mendadak akan sangat berpengaruh terhadap percepatan pemijahan.
Hasil penelitian lain oleh Afiati (2007), juga menemukan bahwa jika
terjadi peningkatan salinitas yang diturunkan dan yang dinaikan secara mendadak
maka akan memberi rangsangan bagi biota kekerangan sama seperti yang terjadi
pada induk bulubabi yang diberi perlakuan kejut salinitas untuk cepat
melangsungkan proses pemijahannya, karena jika terjadi peningkatan salinitas di
atas batas normal tolerir, maka akan membuat kerang darah yang telah matang
gonad menjadi cepat stress sehingga memicu aktivitas kerja hormone juga
semakin berjalan dengan cepat yang kemudian dapat memicu terjadinya proses
pemijahan kekerangan yang cepat pula.

4.4 Kisaran Salinitas yang Optimal untuk Mempercepat Pemijahan


Bulubabi Tripneustes gratilla

Temuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini jika dilihat dari kecepatan
pemijahan yang menunjukkan bahwa bahwa bulubabi T. gratilla yang cepat
memijah adalah terdapat pada wadah C yang dinaikan salinitas sebesar 15 ppt,
diikuti wadah B yang dinaikan salinitas sebesar 10 ppt, dan bulubabi yang lebih
lama proses pemijahannnya terdapat pada wadah A yang diturunkan salinitas
sebesar 5 ppt. Selanjutnya jika dilihat dari presentase pemijahannya yang
menunjukkan bahwa presentase pemijahan induk bulubabi tertinggi terdapat pada
wadah C yang diberikan perlakuan kejut salinitas sebesar 15 ppt dibandingkan
dengan bulubabi yang diberi perlakuan B dan A dengan salinitas dinaikan sebesar
10 ppt, dan salinitas yang diturunkan sebesar 5 ppt.

23
Dari hasil – hasil temuan melalui perlakuan ini yang dilihat dari kecepatan
pemijahan dan presentase pemijahan bulubabi, ternyata menunjukkan bahwa
bulubabi pada wadah C yang diberi perlakuan peningkatan salinitas yang
dinaikan sebesar 15 ppt mempunyai potensi lebih bagus dibandingkan dengan
bulubabi pada wadah B dan A yang diberi perlakuan kejut salinitas yang dinaikan
sebesar 10 ppt, dan diberi perlakuan kejut salinitas yang diturunkan sebesar 5 ppt,
sehingga dapat diketahui bahwa salinitas yang optimal untuk mempercepat proses
pemijahan bulubabi terdapat pada wadah C dimana salinitas yang dinaikan
sebesar 15 ppt.

24
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa rangsangan kejut salinitas sangat
berpengaruh terhadap pemijahan bulubabi Tripneustes gratilla adalah Salinitas
yang dinaikan sebesar 15 ppt dari kisaran salinitas optimal 32 yang efektif dalam
mempercepat proses pemijahan bulubabi T. gratilla.

5.2 Saran

Saran yang diberikan terkait hasil temuan yang diperoleh dari penelitian
ini adalah :
1. Bagi para pembudidaya khususnya yang bergelut dalam usaha budidaya
bulubabi terkait pembenihan bulubabi dalam skala tradisional, maka
hendaknya dalam memperoleh benih bulubabi perlu mengadopsi rujukan dari
penelitian ini.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan dengan memanfaatkan telur dari hasil
pemijahan bulubabi menggunakan sistem perangsangan pemijahan dengan
sistem kejut salinitas ini untuk mengetahui kualitas penetasan telurnya dan
juga mengetahui viabilitas larvanya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Afiati, N. 2007. Gonad Maturation Of Two Intertidal Blood Clams Anadara


granosa (L). dan Anadara antiquata (L). (Bivalvia: Arcidae) In
Central Java. Journal of Coastal Development. 10(2):105-113p.

Aslan, L., 2010. Bulu Babi (Manfaat dan Pembudidayaanya) Edisi Revisi.
Unhalu Press: Kendari.
Azkab MH.2006. Ada Apa dengan Lamun. Majalah Semi Populer Oseana 31 (3):
45-55.

Aziz, A 1987. Makanan Dan Cara Makan Berbagai Jenis Bulubabi. Osena 12 (4) :
91100

Aziz, A. 1993. Beberapa Catatan Tentang Perikanan Bulubabi. Osean 18(2): 65-
75.

Aziz, A., 1994 b. Aktivitas Grasing Bulubabi Jenis Tripneustes gratilla Pada
Padang Lamun. Pantai Lombok Selatan Dalam : W. Kiswara,M K.

Mosa, & M

Aziz, A.dan H. Sugiarto.1994. Fauna Echinodermata Padang Lamun di Pantai


Lombok Selatan. Dalam : W. Kiswara,M.K Moosa dan M. Hutomo
(eds)., Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Selatan Lombok
dan Kondisi Lingkungannya. Puslitbang Oesonologi-LIPI, Jakarta:52-
63.

Bengen,D.G. (2000). Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir.


Oseanologi - LIPI: 149 - 156.

Bernhard, F.R. 1977. Fishery and Resproductive Cycle Of the Red Sea Urchin,
Strongylocentrotus franciscanus, in British Columbia. Jour. Fish. Res.

26
Board Canada 34 (5): 604 - 610. . 1994. Tingkah Laku Bulubabi di
Padang Lamun. Oseana 19(4): 35-43

Birkeland, C. 1989. The Influence of Echidormens on Coral Reef Communities


In: M. Jangoux, J. M Lawrence (Eds) Echidormens Studies 3. Balkema.
Rotterdam. P. 79

Castanos, C, M. Pascual, & A.P. Camacho. 2009. Reproductive Biology of the


Nonnative Oyster, Crassostrea gigas (Thunberg, 1793), as a Key Factor
for Its Successful Spread Along the Rocky Shores of Northern
Patagonia, Argentina. J. Shellfish Res. 28(4): 837-847

Chavez-Villalba, J., J. Barret, C. Mingant, C. Cochard & M. Le Pennec. 2003.


Influence Of Timing Of Broodstock Collection On Conditioning,
Oocyte Production, and Larval Rearing Of the Oyster, Crassostrea
gigas (Thunberg), at Six Production Sites In France. J. Shellfish Res.
22: 465–474
Chavez-Villalba, J., J. Pommiera, J. Andriamiseza, S. Pouvreaub, J. Barret, J.C.
Cochard, & M. Le Pennec. 2002. Broodstock Conditioning Of the
Oyster Crassostrea gigas: Origin and Temperature Efect. J. Aquacut.
214: 115-130.
Czihak .G. 1971. Echinoids In Experimen-tal Embryology of Marine and Fresh-
Water Invertebrates (G. Reverberi ed.). Nort-Holland Publishing
Company Amsterdam, London: 363 - 506.
Dafni, J. 1983. Aboral Depression in the Test of the Sea Urchin Tripneustes
gratilla (L.) in Gulf of Eilat, Re Sea. J. Exp. Mar. BioL Ecol. 67 : 1 – 15.

Darsono, P., 1983. Beberapa Aspek Biologi Bulubabi Diadema setosum (Leske)
di Terumbu Karang Pulau Pari-Pulau-Pulau Seribu.Tesis. Universitas
Nasional Jakarta. 85 hal.

Effendie, H., 2003 Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Dan Sumberdaya
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm.

27
Enríque-Díaz, M., S. Pouvreau, J. Chaves-Villalba, & M. Pennec. 2009
Gametogenesis, Reproductive Investment, and Spawning Behavior of
the Pacific Giant Oyster Crassostrea gigas: evidence of Environment-
Dependent Strategy. J. Aquacult. International. 17 (5): 491-509.

Giudice. G. 1986. The Sea Urchin Embryo. A Developmental Biological System :


1- 77
Gimin, R.2006. The Effects of Salinity and Fertilization on the Percentage of
Normal Larvae of the Mangrove Clam Polymesoda erosa Solander
(1786). Journal of Fisheries Sciences, 8 (2): 185-193p.

Heinke and Schultz P. 2006. Sea Urchin, a Guide to Worldwide Shallow Water
Species. 3 rd ed. Heinke & Peter Schultz Scientific Publication. Germany.

Lawrence, J. M. 2007. Edible sea Urchins: Biology and Ecology. Elsevier B. V.

Mc Cauley dan Carey, 1967 Echinoidea Of Oregon. J. Fis. Ref. BD. Can 24:
1385-1401.

Nybakken, J.W. 1998 Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. 459 halaman.

Quayle, D.B. & G. F. Newkirk. 1989. Farming Bivalve Molluscs. Methods for
Study and Development. World Aquaculture Society and International
Development Research Centre, Canada. p109-121.
Radjab. A.W. 1998. Pertumbuhan dan Reproduksi Bulubabi Tripneustes gratilla
(L) di Perairan Tamedan , Pulau Dullah, Maluku Tenggara. Prosiding
Seminar Kelautan LIPI – UNHAS Ke 1. Balitbang Sumberdaya Laut,
Puslitbang Oseanologi – LIPI: 149 - 156.

Radjab, A.W. 1998. Percobaan Pemijahan dan Pemeliharaan Larva bulubabi


Tripneustes gratilla (Linnaeus) Skala Laboratorium. Prosiding Seminar
Nasional Kelautan-II. UNHAS-LIPI. Ujung Pandang.

28
Ratna, F. D., 2002 Pengaruh Penambahan Gula Dan Lama Fermentasi Terhadap
Mutu Pasta Fermentasi Gonad Bulubabi Deadema setosum Dengan
Lactobacillus Plantarum Sebagai Kultur Starter. [Skripsi] Dapertemen

Romimohtarto, K., dan Juwana, S., 2007. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.

Person, R. J., 1998 Habitat dan Penyebaran Tripneustes gratilla. Djembatan,


Jakarta.

Shokita, S. Dkk., 1991. Aquaculture In Tropical Areas. Dalam : M. Yamaguchi


(Edition in English). Midori Shibo Co, Ltd Tokyo. Japan. Hal 313-327.

Sugiarto, H, dan Supardi. 1995. Beberapa Catatan Tentang Bulubabi Marga


Deadema. Vol XX, No. 4 : 35-41. Osena.

Star, M, J.H. Himmelman and J.C. Therriault. 1992. Isolation and Propertis Of a
Substance From the Diatom Phaeodactilum tricornotum Wich Induces
Spawning In the Sea Urchin Strongilocentrotus droebachienchis. Marine
Ecology Progres Series. 79 : 275-287.

Suryanti dan Ruswahyuni. 2014. Perbedaan Kelimpahan Bulubabi (Echinoidea)


pada Ekosistem Karang dan Lamun di Pancuran Belakang,
Karimunjawa Jepara. Jurnal Saintek Perikanan 10(1): 62-67.

Supono dan U.Y. Arbi. 2010. Jenis-jenis Echinodermata di Padang Lamun


Perairan Kema, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia 36(3): 329-341.

Thamrin, Y.J. Setiawan dan S.H. Siregar. 2011. Analisis Kepadatan Bulubabi
Diadema setosum pada Kondisi Terumbu Karang Berbeda di Desa
Mapur Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan 5(1): 45-53.

Tjendanawangi,A.2010 Kinerja Pertumbuhan Gonad Bulubabi Tripneuates


gratilla yang Diberi Pakan Buatan dengan Kadar Protein dan Rasio
Energi Protein Berbeda.

29
Yamaguchi.,1991. Aquaculture in Tropical Areas. Midori Sobho P313-327

Yudiati, E., R. Hartati, & C. A. Suryono. 2001. Kejut Suhu dan Salinitas pada
Spawning Teripang Hitam Holothuria edulis sebagai Upaya
Peningkatan Stock Alami di Perairan Jepara. Laporan Penelitian Dosen
Muda (Ringkasan dan Summary). Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang.

30
LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Awal Penggukuran Diameter Cangkang Dan Bobot Tubuh


Bulubabi T. gratilla Pada Masing – Masing Perlakuan.

Diameter Tubuh (cm) Berat Tubuh (gr)

perlakuan Perlakuan Perlakuan Perlakuan Perlakuan Perlakuan


A B C A B C
70,3 70,3 60,7 69 93 70
60,5 60,3 60,2 100 98 47
70,5 48 50 100 111 60
70,3 67,3 54 71 60 50
70,7 60 52 105 62 45
70 60,2 60 85 64 59
80 60,3 60 84 56 52
60,2 60,5 70 84 55 57
60,5 60,5 70 70 59 69
60 60,5 70 74 59 73

Keterangan : * : Rata – rata diameter cangkang (mm)


** : Rata – rata berat tubuh (gram)
DC = Diameter cangkang (mm)
BB = Berat tubuh (gram)

31
Lampiran 2. Dokumentasi Selama Penelitian

a. Pengambilan Bulubabi b. Seleksi Bulubabi

didalam bak pemeliharaan

c .Penimbangan Berat Tubuh d. Pengukuran Diameter Cangkang

e. Persiapan Wadah Perlakuan f. Penimbangan Garam

32
g. Garam dimasukan ke Wadah h. Air Tawar dimasukan ke Wadah
Perlakuan Perlakuan

i. Pengukuran Salinitas j. Proses Pemijahan

k . Lama Pemijahan

33
34

Anda mungkin juga menyukai