BAB I
PENDAHULUAN
1
Habitat utama bulubabi sebagian besarnya berada pada ekosistem lamun,
karena lamun merupakan salah satu makanan utamanya (Romimohtarto dan
Juwana, 2007). Bulubabi Tripneustes gratilla bisa juga dijumpai di daerah
pertumbuhan algae (ekosistem terumbu karang). Hal ini disebabkan karena
disamping memakan daun lamun, mereka juga hidup dari memakan algae
(Lawrence 1975). Bulubabi marga Tripneustes, Lytechinus, dan Temnopleurus
lebih sering dijumpai di padang lamun dibandingkan daerah terumbu karang. Hal
ini diduga bulubabi tersebut lebih menyukai daun lamun dibandingkan dengan
algae. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, ada berbagai daerah tertentu yang
dikatakan sebagai daerah penghasil bulubabi, salah satunya di perairan pesisir
Tablolong, Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang. dimana, jenis bulubabi
yang mendominasi wilayah ini adalah T. gratilla.
2
Salah satu aspek penting dalam mengembangkan teknologi pembenihan
adalah teknik pemijahan induk bulubabi yang membutuhkan kondisi lingkungan
tertentu sebagai rangsangan untuk memijah antara lain perubahan suhu (Chávez-
Villalba et al., 2002; 2003; Cáceres-Martínez et al., 2004; Cardoso et al., 2007;
Castaños et al., 2009; Enríque-Díaz et al., 2009), perubahan salinitas (Quayle &
NewKirk, 1989) dan pergantian musim (Soletchnik et al., 2002; Ren et al., 2003).
Menurut Quayle & NewKirk (1989) Perubahan salinitas merupakan faktor
lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pemijahan bivalvia di daerah tropis.
Penelitian terdahulu tentang kejut salinitas terhadap pemijahan tiram atau moluska
lainnya belum pernah dilakukan. Namun Yudiati et al., (2001) telah meneliti
pengaruh kejut salinitas terhadap pemijahan spesies laut lainnya yaitu teripang
hitam (Holothuria edulis) yang menghasilkan persentase pemijahan 20-30%. Oleh
karena itu, terdapat peluang untuk mengembangkan teknik pemijahan bulubabi T.
gratilla dengan rangsangan kejut salinitas pada lingkungan buatan.
Menurut Darsono, (1983) bahwa bulubabi hidup pada salinitas 26-32 ppt dan
pada umumnya salinitas di air laut adalah 32 – 27 ppt. Aslan (2010) menyatakan
bahwa bulubabi tergolong stenohalin. Hal ini menyebabkan bulubabi sangat
sensitif terhadap perubahan salinitas. Kisaran salinitas yang ideal adalah 29-33
ppt. Kisaran salinitas diperoleh dari hasil pengukuran kisaran salinitas pada
habitat bulubabi.
3
1.2 Perumusan Masalah
Bulubabi sensitif terhadap perubahan salinitas oleh karena itu perlu dilakukan
perangsangan dengan salinitas untuk mempercepat proses pemijahan pada
bulubabi Tripneustes gratilla.
4
1.3 Tujuan dan Manfaat
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Heinke dan Schultz (2006) Tripneustes gratilla adalah salah satu
jenis bulubabi yang termasuk dalam phylum Echinodermata yang diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : echinordemata
Kelas : echinodea
Ordo : echinoida
Family : taxopneustideae
Genus : Tripneustes
Spesies : Tripneustes gratilla. Contoh bulubabi T. gratilla
dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
6
seperti cangkang yang keras. biasanya ada sepuluh deret lempeng lipat dua
dengan lima pasang lubang untuk kaki tabung yang ramping ke luar melalui
cangkang (Shokia et al., 1991).
Mulut bulubabi terletak di bawah tubuh dan berada di tengah-tengah yang
berlawanan dengan letak anus dan lubang genital pada bagian atas tubuh. Bagian
mulut atau gigi menyatu menjadi satu yang diletakan oleh sederetan bagian terdiri
dari bahan kapur untuk membentuk struktur yang dinamakan Aristoteles, Parker
dan Kalves (1992) dalam Person (1998) mengemukakan bahwa semua bulubabi
memiliki cangkang (Calacareous shell) yang keras. Pada T. gratilla cangkangnya
berwarna hitam dan keunguan serta dilengkapi dengan duri yang berwarna putih
dan coklat seperti : warna tembaga. bagian ini merupakan penutup lapisan
epithelium yang tipis, duri digunakan sebagai penggerak, pelindung, dan
perangkap alga yang menyerang untuk dimakan. Di antara terdapat kaki tabung
yang digunakan untuk melekat pada substrat. Duri-duri ada yang tipis, bagian
ujungnya tajam yang dilengkapi dengan bisa, bagian inilah yang akan menjadi alat
pertahanan yang akan menjadi alat pertahanan terhadap serangan predator
(Shokita et al., 1991).
Tubuh bulubabi berbentuk agak bulat seperti bola dengan cangkang yang
keras berkapur dan dipenuhi duri-duri. Terletak berderet dalam garis membujur
dan dapat digerakan. mulut terletak di bawah menghadap ke bawah dan anus
terletak di atas menghadap ke atas di puncak cangkang yang membulat (Sugiarto
dan Supardi, 1995). Tubuh bulubabi sendiri teridiri dari tiga bagian, yaitu bagian
oral, aboral serta bagian di antara oral dan aboral, pada bagian tengah sisi aboral
terdapat sistem apical dan bagian tengah sisi oral terdapat sistem peristomial
(Birkeland,1989).
7
Lempeng-lempeng ambulakral dan interabulakral berada diantara sistem
apical dan sisem peristomial termasuk lubang anus yang dikelilingi oleh sejumlah
keping anal (perirproct) termasuk di antaranya adalah keping-keping genital.
salah satu di antara keping yang berukuran paling besar merupakam tempat
bermuaranya sistem air (waste vascular system). Sistem ini menjadi ciri khas
filum echinodermata berfungsi dalam pergerakan, makan, respirasi, dan ekskresi
(Aziz,1987). Anatomi bulubabi digambarkan pada Gambar 2 berikut :
Tubuh bulubabi memiliki satu rongga utama yang berisi lentera aristoteles dan
organ pencernaan. lentera aristoteles terdiri dari liam buah gigi yang penarik. otot
ini berperan mengatur pergerakan gigi (Sugiarto dan Supardi,1995). Lentera
aristoteles berfungsi seperti mulut dan gigi yang berfungsi untuk mengambil,
memotong, dan menghaluskan makanan, esopagus, usus halus dan usus besar dan
anus tersusun melingkari aristoteles membentuk suatu sistem pencernaan (Tamrin,
2011). Pada bulubabi, kaki tabung memiliki banyak fungsi. Selain itu bergerak,
kaki tabung juga digunakan sebagai indra peraba, organ respirasi dan tempat
pengeluaran air dari tubuh (Aziz dan Sugiarto, 1994).
2.3 Pemijahan (Spawning) Bulubabi
Beberapa kelompok bulubabi yang telah matang gonad sebelum memijah
biota tersebut memiliki tanda khusus yaitu semacam signal untuk mendorong
pelepasan telur (proses pemijahan) (Starr et al., 1992). Faktor fisik air sangat
berpengaruh terhadap potensial pemijahan seperti kisaran suhu, salinitas/kadar
garam, cahaya dan arus dan juga perubahan fisik lingkungan seperti adanya
8
pertambahan unsur hara dimana biota tersebut berada yang banyak menyebabkan
induk-induk bulubabi lebih cepat untuk memijah (Starr et al., 1992).
Bila induk akan memijah tampak ada kecenderungan untuk induk bulubabi
yang berkelamin jantan mencari tempat yang lebih tinggi untuk melepaskan
sperma kemudian diikuti oleh induk bulubabi yang berkelamin betina untuk
mengeluarkan telur, namun kebanyakan induk-induk hanya tinggal di dasar.
Bulubabi dapat memijah seperti biota laut lainnya, pada umumnya induk jantan
mengeluarkan sperma terlebih dahulu kemudian diikuti oleh induk betina yang
mengeluarkan telur. Pembuahan terjadi di luar tubuh dimana induk jantan terlebih
dahulu mengeluarkan sperma yang berwarna putih susu, selang beberapa menit
(biasanya 0,5 - 3 menit), biota yang berkelamin betina mengeluarkan telur-telur
yang berwarna kuning (apabila telurnya matang) namun apabila telur yang tidak
matang maka akan berwama putih dan apabila diamati di bawah mikroskop
dengan pembesaran kuat maka telur yang belum matang ini terbungkus oleh
semacam albumin yang relatif tebal sehmgga mungkin mengakibatkan telur sulit
ditembusi oleh sperma.
Dalam usaha budidaya, dianjurkan perbandingan antara jumlah sperma dan
telur harus seimbang agar tidak terjadi pembusukan. Apabila kelebihan sperma
maupun telur aka n mengalami pembusukan secara cepat terlebih apabila tidak
secepatnya dilakukan penggantian air pada wadah pemijaham.
2.4 Reproduksi dan Siklus Hidup Bulubabi
Siklus hidup dari bulubabi diawali dengan terjadinya pembuahan yang
terjadi diluar tubuh. Induk jantan membuahi telur-telur dari induk betina. Telur
bulubabi dibungkus dengan semacam gelatinous yang biasa disebut dengan jelly
coat (Guidice, 1986). Setelah itu terbentuklah embrio, dimana embrio ini akan
membelah dengan frekuensi yang sangat tinggi. Setelah mencapai tahap embrio
terus masuk fase morula dan embrio muda disebut blastula. Selama 10 jam setelah
terbuahi sejak fase blastula, maka embrio tersebut mulai aktif berenang. Setelah
itu muncullah anakan bulubabi (Gambar 2), bulubabi sudah dapat dikatakan telah
menjadi anakan bila sudah terdapat tentakel-tentakel, duri-duri dan pediselaria
(Czihak, 1971).
9
Semakin bertambahnya waktu, anakan bulubabi menjadi dewasa. Bulubabi
dewasa telah memiliki organ tubuh yang lengkap mulai dari tubuh bagian dalam
sampai pada organ tubuh bagian luar semuanya telah tampak dengan jelas.
Reproduksi dan siklus bulubabi digambarkan pada Gambar 3 berikut :
a b c
10
alam, menunjukan bahwa yang paling dominanan sebagai makanannya adalah
Sargasum spp, Padina spp, dan Hydroclathrus clathrus, serta lamun lainnya
(Tjendanawangi, 2007).
Bulubabi cendrung menyukai makanan dengan komposisi tertentu. Daya
grazing bulubabi berbading lurus dengan ukuran tubuhnya (Lawrence et al.,
2007). Preferensi makan bulubabi juga mempengaruhi oleh kondisi
hidrodinamik, temperatur dan cahaya. Umunya bulubabi aktif pada malam hari
(Nokturnal) karena menghindari predator yang aktif pada siang hari. Kondisi
fisiologis bulubabi yang mempengaruhi daya Grazingnya adalah ukuran tubuh
dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) (Lawrence et al., 2007).
Bulubabi Tripneutes gratilla Mencari makan atau menghindari diri dari
serangan predator ataupun berlindung dari sengatan panas merupakan aktifitas
harian yang penting. Menurut Mukai & Nojima (1985), aktifitas harian yang
penting adalah aktifitas berpindah, aktifitas istirahat (resting) dan aktifitas makan.
Pada saat makan terlihat kaki tabung bergerak aktif, sedangkan waktu istirahat
kaki tabung ditarik ke dalam porinya. Bulubabi jenis T. gratilla aktif makan di
siang hari terutama antara jam 9 pagi sampai dengan jam 12 siang dang antara jam
6 sore sampai jam 9 malam. Pada umum nya bulubabi ini berhenti makan antara
jam 12 malam sampai dengan jam 6 pagi. Berbeda dengan bulubabi jenis T.
gratilla.
11
0
sebesar 10 C, menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh
organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat.
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara
horizontal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya
perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem (Odum, 1993).
Gastropoda yang hidupnya berpindah-pindah seperti halnya bulubabi mempunyai
kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah,
namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air
tawar berlangsung lama (Effendi, 2003). Menurut Hutabarat dan Evans (1985)
kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan,
khususnya fauna makrobenthos adalah 15 - 35‰.
Kecerahan perairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang tersuspensi
didalamnya, semakin kurang partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan
semakin tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi cahaya semakin rendah,
karena meningkatnya kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan untuk proses
fotosintesis oleh tumbuhan air berkurang. Oleh karena itu, secara tidak langsung
kedalaman akan mempengaruhi pertumbuhan fauna benthos yang hidup
didalamnya. Disamping itu ke dalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan
oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi Nybakken ( 1988).
pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu
perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi
ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Effendi (2003)
menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH
dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5.
12
2.7 Habitat dan Penyebaran Bulubabi
Bulubabi Tripneustes gratilla biasanya menempati perairan dangkal. dari
mid intertidal sampai ke daerah intertidal sampai kedalaman 160 feet atau sekitar
41,81 meter, tetapi kadang-kadang ditemukan ditemukan sampai ke dalaman 410
feet atau sekitar 41,81 meter (Mc cauley dan Carey 1967 dalam Person 1998).
Bulubabi hidup cenderung hidup disubstrat karang keras, khususnya di cela batu
karang dan menghindari pasir dan lumpur (Kato Schopeer,1985 dalam person
1998). Hewan jenis ini biasanya beradaptasi pada hantaman ombak besar dengan
menyembunyikan diri pada cela karang.
Bulubabi T. gratilla tidak toleran terhadap salinitas rendah dan mereka
tidak dapat bertahan hidup akibat pengeruh estuari yang kaut sebagai akibat dari
pengaruh air tawar. Hal tersebut telah dibuktikan pada perairan pantai Okinawa di
Jepang. Mereka menemukan kasus kematian masal akibat masuknya arus air
tawar yang kuat akibat musim hujan (41 mm dalam 2 jam) (Darsono dan
Sukarno,1987).
Perairan Indonesia cukup potensial menghasilkan bulubabi termasuk di
dalamya jenis T. gratilla. Daerah tempat ditemukannya hewan ini adalah di
perairan pulau Seribu, (Pulau Pari dan Pulau Tikus) Sulawesi Selatan (Kepulauan
Batang Pone, Batang Lompo Spermonde), Bali (Gondol, Benoa dan Sanur), Pulau
Kubur Sumatera dan sepanjang Pantai Arafuru dan Irian Jaya dan NTT. Hyman
(1955) dalam Ratna (2002) menambahkan bahwa bulubabi termasuk hewan
benthonic, ditemui di semua laut dan lautan dengan batas kedalaman antara 0-
8000 m. Karena echinoidae memiliki kemampuan beradaptasi dengan air payau
lebih rendah dibandingkan invertebrate lain. Kebanyakan bulubabi regularia
hidup pada substrat yang keras, yakni batu - batuan atau terumbu karang dan
hanya sebagian kecil yang menghuni substrat pasir dan lumpur, karena pada
kondisi demikian kaki tabung sulit untuk mendapatkan tempat melekat. Kelompok
tersebut khusus hidup pada teluk yang tenang dan perairan yang lebih dalam,
sehingga kemungkinan kecil dipengaruhi ombak.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
14
3.3 Prosedur Penelitian
1. Bulubabi Tripneustes gratilla diambil di perairan Tablolong kemudian
dipelihara di dalam bak selama 1 bulan dengan kepadatan 145 ekor.
Tujuan dari pemeliharaan ini agar bulubabi dapat beradaptasi dengan
kondisi lingkungan yang baru, dan sampai gonadnya matang dan siap
memijah. Kemudian bulubabi diberikan pakan lamun sebanyak dua hari
sekali.
2. Persiapan perlakuan pemijahan masing-masing wadah diisi air laut
sebanyak 2 liter, dengan setiap perlakuan diberi kejut salinitas yaitu dari
perlakuan A diturunkan dari salinitas awal 32 ppt sebesar 5 ppt dengan
penambahan air tawar sebanyak 300 ml, perlakuan B dinaikan dari
salinitas awal 32 ppt sebesar 10 ppt dengan penambahan garam
sebanyak 50 g, sedangkan perlakuan C dinaikan dari salinitas awal 32
ppt sebesar 15 ppt dengan penambahan garam sebesar 100 g.
3. Bulubabi T. gratilla diseleksi berdasarkan ukuran, berat tubuh, diameter
cangkang,Tingkat Kematangan Gonadnya (TKG IV) dan di masukan ke
dalam wadah pemijahan yang diberi perlakuan A diturunkan salinitas
sebesar 5 ppt dari salinitas awal 32 ppt, perlakuan B dinaikan salinitas
sebesar 10 ppt dari salinitas awal 32 ppt, dan dinaikan salinitas sebesar
15 ppt dari salinitas awal 32 ppt. Dengan jumlah induk bulubabi /wadah
yaitu 10 individu.
4. Setelah didistribusikan kewadah-wadah pemijahan maka selanjutnya
bulubabi T. gratilla diamati untuk mengetahui potensi pemijahannya
dengan lama waktu setiap masing-masing perlakuan yaitu 5 menit.
Maka langkah selajutnya angkat bulubabi dikembalikan ke media
pemeliharaan awal. Kemudian dilakukan kejut salinitas lagi selama 5
menit. Lampiran 2
15
3.4 Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga
perlakuan yang masing-masing adalah sebagai berikut :
Perlakuan A : Salinitas diturunkan secara mendadak sebesar 5 ppt dari salinitas
awal (32 ppt) diturunkan menjadi 25 ppt
Perlakuan B : Salinitas dinaikkan secara mendadak sebesar 10 ppt dari salinitas
awal (32 ppt) dinaikan menjadi 35 ppt
Perlakuan C : Salinitas dinaikan secara mendadak sebesar 15 ppt dari salinitas
awal (32 ppt) dinaikan menjadi 45 ppt.
perlakuan diulang sebanyak tiga (3) kali sehingga diperoleh 9 unit percobaan.
16
3.6 Analisis Data
Analisis dari data yang diperoleh dalam penelitian ini terkait potensi
pemijahan induk bulubabi Tripneustes gratilla yang meliputi :
1. Kecepatan pemijahan induk bulubabi T. gratilla, yaitu dapat dilakukan
dengan cara menghitung selang waktu awal dimana bulubabi T. gratilla
dimasukkan ke dalam wadah pemeliharaan sampai bulubabi memijah.
2. Presentase pemijahan induk bulubabi T. gratilla, yaitu dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
17
BAB IV
18
4.2 Pemijahan Induk Bulubabi Tripneustes gratilla
Dilihat dari Tabel 1 di atas proses pemijahan yang paling cepat terdapat
pada perlakuan C dinaikan salinitas sebesar 15 ppt dari salinitas awal 32 ppt,
diikuti oleh perlakuan B dinaikan salinitas sebesar 10 ppt dari salinitas awal 32
ppt dan perlakuan A diturunkan salinitas sebesar 5 ppt dari salinitas awal 32 ppt.
Bulubabi T. gratilla yang dimasukan pada masing-masing wadah penelitian
sebanyak 10 ind/wadah. Pada perlakuan C dengan menaikan salinitas sebesar 15
ppt dari salinitas awal 32 ppt mampu merangsang proses pemijahan bulubabi T.
gratilla sebanyak 7 individu. kemudian untuk wadah yang diberi perlakuan B
dengan menaikan salinitas sebesar 10 ppt dari salinitas awal 32 ppt mampu
merangsang proses pemijahan bulubabi T. gratilla sebanyak 5 individu, Untuk
wadah yang diberi perlakuan dengan menurunkan salinitas sebesar 5 ppt dari
salinitas awal32 ppt mampu merangsang pemijahan bulubabi T. gratilla sebanyak
3 individu.
19
Bulubabi T. gratilla yang memijah menunjukkan ciri – ciri awal
mengeluarkan setitik warna kuning dan putih dari lubang genital. Kemudian
secara perlahan-lahan akan diikuti dengan proses pemijahan yaitu induk bulubabi
T. gratilla jantan akan menyemprotkan cairan sperma dan induk bulubabi
Tripneustes gratilla betina akan menyemprotkan sel telurnnya ke luar. Ciri – ciri
yang ditunjukkan bulubabi T. gratilla seperti pada uraian di atas kemungkinan
sebagai akibat dari respon fisiologis bulubabi T. gratilla ketika kondisi
lingkungannya dalam hal ini salinitasnya mulai mengalami fluktuasi secara
mendadak sehingga menyebabkan sistem saraf dari bulubabi T. gratilla tersebut
mulai mengalami gangguan dan berakibat pada terjadinya stress pada bulubabi
Tripneustes gratilla yang kemudian merangsang sistem hormone bulubabi T.
gratilla yang bekerja lebih cepat dari kondisi normal sehingga memicu proses
terjadinya pemijahan bulubabi T. gratilla dengan cepat. Hasil penelitian tersebut
di atas juga kemungkinan berlaku untuk bulubabi T. gratilla karena biota seperti,
kerang bakau dan juga kerang darah termasuk kedalam kelas kekerangan serta
termasuk dengan echinodermata yang siklus reproduksinya sama di mana kejut
salinitas mampu merangsang proses keluarnya sel sperma dan sel telur karena
akibat dari perubahan salinitas yang secara mendadak yang akan membuat
bulubabi tersebut mengalami stres serta gangguan gangguan saraf yang akan
memicu keluarnya cairan dengan sendirinya. Selain itu, biota-biota dari kelas
echinoderata ini juga termasuk penghuni padang lamun dan terumbu karang yang
kondisi parameter liangkungan perairan sebagai tempat hidupnya dalam hal ini
seperti salinitas yang rendah dengan kisaran tolerir 27-30 ppt (Effendi, 2003),
sehingga ketika salinitas perairan dinaikan di atas batas tolerir dan diturunkan
dari batas tolerir akan membuat bulubabi menjadi stres dan sistem sarafnya
terganggu yang kemudian memberi respon pada sistem hormonalnya untuk
bekerja lebih cepat sehingga merangsang bulubabi yang telah matang gonad untuk
melakukan proses pemijahan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Khalil (2013)
yang menemukan bahwa parameter kualitas air seperti salinitas dalam lingkungan
perairan merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan proses pemijahan
kerang darah yang telah matang gonad, karena ketika salinitas berada di atas
20
maupun di bawah batas normal maka akan membuat kerang darah menjadi stress
yang memicu sistem hormonal kerang untuk bekerja lebih cepat dan kemudian
memberi respon pada kerang untuk melakukan proses pemijahan. Sama halnya
yang bisa dilakukan pada induk bulubabi T. gratilla.
A 25 3 65
B 35 5 38
C 45 7 21
12
21
4.4 Presentase Pemijahan Bulubabi Tripneustes gratilla
Presentase pemijahan bulubabi T. gratlla berdasarkan hasil penelitian
dapat ditampilkan melalui Tabel 3 berikut.
A 25 3 30%
B 35 5 50%
C 45 7 70%
12
22
Tingginya presentase pemijahan bulubabi pada wadah penelitian yang
diberi perlakuan peningkatan salinitas menjadi 32 ppt, ini sesuai dengan pendapat
Gosling (2003) bahwa fluktuasi fisika dan kimia air khususnya salinitas yang
mengalami peningkatan secara mendadak menyebabkan meningkatnya
rangsangan untuk kerang darah memijah. Selanjutnya Gimin (2006), juga dalam
penelitiannya menemukan bahwa ketika terjadi perubahan peningkatan salinitas
secara mendadak akan sangat berpengaruh terhadap percepatan pemijahan.
Hasil penelitian lain oleh Afiati (2007), juga menemukan bahwa jika
terjadi peningkatan salinitas yang diturunkan dan yang dinaikan secara mendadak
maka akan memberi rangsangan bagi biota kekerangan sama seperti yang terjadi
pada induk bulubabi yang diberi perlakuan kejut salinitas untuk cepat
melangsungkan proses pemijahannya, karena jika terjadi peningkatan salinitas di
atas batas normal tolerir, maka akan membuat kerang darah yang telah matang
gonad menjadi cepat stress sehingga memicu aktivitas kerja hormone juga
semakin berjalan dengan cepat yang kemudian dapat memicu terjadinya proses
pemijahan kekerangan yang cepat pula.
Temuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini jika dilihat dari kecepatan
pemijahan yang menunjukkan bahwa bahwa bulubabi T. gratilla yang cepat
memijah adalah terdapat pada wadah C yang dinaikan salinitas sebesar 15 ppt,
diikuti wadah B yang dinaikan salinitas sebesar 10 ppt, dan bulubabi yang lebih
lama proses pemijahannnya terdapat pada wadah A yang diturunkan salinitas
sebesar 5 ppt. Selanjutnya jika dilihat dari presentase pemijahannya yang
menunjukkan bahwa presentase pemijahan induk bulubabi tertinggi terdapat pada
wadah C yang diberikan perlakuan kejut salinitas sebesar 15 ppt dibandingkan
dengan bulubabi yang diberi perlakuan B dan A dengan salinitas dinaikan sebesar
10 ppt, dan salinitas yang diturunkan sebesar 5 ppt.
23
Dari hasil – hasil temuan melalui perlakuan ini yang dilihat dari kecepatan
pemijahan dan presentase pemijahan bulubabi, ternyata menunjukkan bahwa
bulubabi pada wadah C yang diberi perlakuan peningkatan salinitas yang
dinaikan sebesar 15 ppt mempunyai potensi lebih bagus dibandingkan dengan
bulubabi pada wadah B dan A yang diberi perlakuan kejut salinitas yang dinaikan
sebesar 10 ppt, dan diberi perlakuan kejut salinitas yang diturunkan sebesar 5 ppt,
sehingga dapat diketahui bahwa salinitas yang optimal untuk mempercepat proses
pemijahan bulubabi terdapat pada wadah C dimana salinitas yang dinaikan
sebesar 15 ppt.
24
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa rangsangan kejut salinitas sangat
berpengaruh terhadap pemijahan bulubabi Tripneustes gratilla adalah Salinitas
yang dinaikan sebesar 15 ppt dari kisaran salinitas optimal 32 yang efektif dalam
mempercepat proses pemijahan bulubabi T. gratilla.
5.2 Saran
Saran yang diberikan terkait hasil temuan yang diperoleh dari penelitian
ini adalah :
1. Bagi para pembudidaya khususnya yang bergelut dalam usaha budidaya
bulubabi terkait pembenihan bulubabi dalam skala tradisional, maka
hendaknya dalam memperoleh benih bulubabi perlu mengadopsi rujukan dari
penelitian ini.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan dengan memanfaatkan telur dari hasil
pemijahan bulubabi menggunakan sistem perangsangan pemijahan dengan
sistem kejut salinitas ini untuk mengetahui kualitas penetasan telurnya dan
juga mengetahui viabilitas larvanya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Aslan, L., 2010. Bulu Babi (Manfaat dan Pembudidayaanya) Edisi Revisi.
Unhalu Press: Kendari.
Azkab MH.2006. Ada Apa dengan Lamun. Majalah Semi Populer Oseana 31 (3):
45-55.
Aziz, A 1987. Makanan Dan Cara Makan Berbagai Jenis Bulubabi. Osena 12 (4) :
91100
Aziz, A. 1993. Beberapa Catatan Tentang Perikanan Bulubabi. Osean 18(2): 65-
75.
Aziz, A., 1994 b. Aktivitas Grasing Bulubabi Jenis Tripneustes gratilla Pada
Padang Lamun. Pantai Lombok Selatan Dalam : W. Kiswara,M K.
Mosa, & M
Bernhard, F.R. 1977. Fishery and Resproductive Cycle Of the Red Sea Urchin,
Strongylocentrotus franciscanus, in British Columbia. Jour. Fish. Res.
26
Board Canada 34 (5): 604 - 610. . 1994. Tingkah Laku Bulubabi di
Padang Lamun. Oseana 19(4): 35-43
Darsono, P., 1983. Beberapa Aspek Biologi Bulubabi Diadema setosum (Leske)
di Terumbu Karang Pulau Pari-Pulau-Pulau Seribu.Tesis. Universitas
Nasional Jakarta. 85 hal.
Effendie, H., 2003 Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Dan Sumberdaya
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm.
27
Enríque-Díaz, M., S. Pouvreau, J. Chaves-Villalba, & M. Pennec. 2009
Gametogenesis, Reproductive Investment, and Spawning Behavior of
the Pacific Giant Oyster Crassostrea gigas: evidence of Environment-
Dependent Strategy. J. Aquacult. International. 17 (5): 491-509.
Heinke and Schultz P. 2006. Sea Urchin, a Guide to Worldwide Shallow Water
Species. 3 rd ed. Heinke & Peter Schultz Scientific Publication. Germany.
Mc Cauley dan Carey, 1967 Echinoidea Of Oregon. J. Fis. Ref. BD. Can 24:
1385-1401.
Nybakken, J.W. 1998 Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. 459 halaman.
Quayle, D.B. & G. F. Newkirk. 1989. Farming Bivalve Molluscs. Methods for
Study and Development. World Aquaculture Society and International
Development Research Centre, Canada. p109-121.
Radjab. A.W. 1998. Pertumbuhan dan Reproduksi Bulubabi Tripneustes gratilla
(L) di Perairan Tamedan , Pulau Dullah, Maluku Tenggara. Prosiding
Seminar Kelautan LIPI – UNHAS Ke 1. Balitbang Sumberdaya Laut,
Puslitbang Oseanologi – LIPI: 149 - 156.
28
Ratna, F. D., 2002 Pengaruh Penambahan Gula Dan Lama Fermentasi Terhadap
Mutu Pasta Fermentasi Gonad Bulubabi Deadema setosum Dengan
Lactobacillus Plantarum Sebagai Kultur Starter. [Skripsi] Dapertemen
Romimohtarto, K., dan Juwana, S., 2007. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.
Star, M, J.H. Himmelman and J.C. Therriault. 1992. Isolation and Propertis Of a
Substance From the Diatom Phaeodactilum tricornotum Wich Induces
Spawning In the Sea Urchin Strongilocentrotus droebachienchis. Marine
Ecology Progres Series. 79 : 275-287.
Thamrin, Y.J. Setiawan dan S.H. Siregar. 2011. Analisis Kepadatan Bulubabi
Diadema setosum pada Kondisi Terumbu Karang Berbeda di Desa
Mapur Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan 5(1): 45-53.
29
Yamaguchi.,1991. Aquaculture in Tropical Areas. Midori Sobho P313-327
Yudiati, E., R. Hartati, & C. A. Suryono. 2001. Kejut Suhu dan Salinitas pada
Spawning Teripang Hitam Holothuria edulis sebagai Upaya
Peningkatan Stock Alami di Perairan Jepara. Laporan Penelitian Dosen
Muda (Ringkasan dan Summary). Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang.
30
LAMPIRAN
31
Lampiran 2. Dokumentasi Selama Penelitian
32
g. Garam dimasukan ke Wadah h. Air Tawar dimasukan ke Wadah
Perlakuan Perlakuan
k . Lama Pemijahan
33
34