Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/283642935

Biologi Konservasi Penyu Laut

Research · November 2015


DOI: 10.13140/RG.2.1.1369.0323

CITATIONS READS

0 2,267

1 author:

Ranan Samanya

1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ranan Samanya on 10 November 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


BIOLOGI KONSERVASI PENYU LAUT*
**
Ranan Samanya

1. Hakikat biologi konservasi

Di suatu perjamuan makan malam di tahun 1978, saat campuran dari akademisi, penjaga
kebun binatang, dan pelestari satwa liar berkumpul di San Diego Wild Animal Park, seorang
ahli biologi dari Universitas California, Michael Soulé, mengajukan usulan untuk
mengesampingkan semua perbedaan antar bidang keahlian dan bekerja sama untuk
melestarikan tumbuhan dan binatang yang akan punah 65 juta tahun lagi1. Pertemuan ini
kemudian dinamakan International Conference on Conservation Biology yang pertama.
Soulé dan sekelompok kecil ahli biologi, termasuk pakar dari Stanford Paul Ehrlich dan
Jared Diamond dari Universitas California kemudian meluncurkan disiplin ilmu yang baru,
yang bermaksud menggabungkan ilmu-ilmu dasar dengan metode konservasi praktis
(Gibbons, 1992).

Misi bidang kajian menurut salah satu pendiri disiplin ini, ahli ekologi satwa liar Universitas
Wisconsin Stanley A. Temple, adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip panduan dan
teknologi yang baru yang memungkinkan manusia mempertahankan keanekaragaman
hayati. (Gibbons, 1992).

Beberapa tahun kemudian Soulé mempublikasikan konsepnya dan mendefinisikan biologi


konservasi sebagai kajian multi-disipliner dengan komponen-komponen yang saling
berinteraksi seperti di Gambar 1 (Soulé, 1985).

Gambar 1. Visi Soulé tentang biologi konservasi sebagai bidang kajian multi-disiplin. Diadaptasi dari
Soulé (1985).

*
Disajikan pada Seminar Biokonservasi dalam rangka Dies Natalis ke-28 Fakultas Bioteknologi, Universitas
Kristen Duta Wacana, 23 Oktober 2015.
**
konsultan independen bidang lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, dan ekowisata. Alamat korespondensi
rsamanya@gmail.com.
1
Diskusi mengenai perhitungan ini dapat disimak dari beberapa tulisan seperti Foreman (1998) dan Raven &
McNeely (1998).

halaman 1 dari 10 halaman


Fokus biologi konservasi berkisar pada konservasi spesies tunggal, pola ekologis skala
besar, ekologi restorasi, genetika molekuler, konservasi endokrinologi, ekologi lansekap dan
perubahan iklim; juga pada ekonomi dan pembangunan berkelanjutan (Fiedler & Kareiva,
1998; Lindenmayer & Burgman, 2005; Geffen et al., 2007; Van Dyke, 2008).

Secara khusus faktor perubahan iklim ditekankan oleh Morecroft (2012), Morecroft et al.
(2012) dan Pettorelli (2012), yang mengamati bahwa perubahan iklim juga berpengaruh
terhadap sebaran spesies dan komunitas. Perubahan ini juga diketahui berpengaruh
terhadap perubahan tingkah laku binatang (Rubenstein, 1992; Van Houtan et al., 2015;
Seebacher & Post, 2015).

Selain itu, Kareiva dan Marvier (2012) mendorong tujuan konservasi lebih jauh, bukan
hanya untuk keanekaragaman hayati semata-mata seperti yang diajukan oleh Soulé, tapi
juga untuk kesejahteraan manusia. Di Indonesia sendiri, ide ini gencar disebarluaskan oleh
pakar konservasi dan aktivis LSM Jatna Supriatna (Supriatna, 2008), yang menitikberatkan
konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati oleh dan untuk masyarakat.

Dalam kerangka ini, dan sejalan dengan visi Fakultas Bioteknologi UKDW, paparan
mengenai penyu laut akan diuraikan di paragraf-paragraf berikut.

2. Jenis dan sebaran spasial penyu laut

Dari total 7 jenis penyu laut di dunia, ada 6 jenis yang dilindungi di Indonesia sesuai dengan
perundangan pemerintah (Peraturan Pemerintah no.7 tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta Undang-Undang no.5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Hayati). Lima dari keenam jenis tersebut diketahui hidup dan bertelur di
Indonesia (Kot et. al., 2015):
1. penyu belimbing (Dermochelys coriacea)
2. penyu hijau (Chelonia mydas)
3. penyu sisik (Eretmochelys imbricata)
4. penyu tempayan (Caretta caretta)
5. penyu lekang (Lepidochelys olivacae)

Gambar 2. Kunci identifikasi 5 jenis penyu laut di Indonesia (diadaptasi dari Pritchard &
Mortimer, 1999). Warna hijau pada skut lateral karapas dan sisik pre-frontalis menandakan
kunci utama pembedaan jenis. Pada penyu lekang juga ditemui 4 pasang pori pada skut
inframarginal di bagian plastron.

Samanya, R., 2015. Biologi Konservasi Penyu Laut. halaman 2 dari 10 halaman
Gambar 3. Sebaran spasial (arsir) dan lokasi bertelur ketujuh penyu laut di dunia
(Kot et al., 2015). Sumber data daring (dalam jaringan) disediakan oleh SWOT
Team dan disimpan di OBIS-SEAMAP.

Penyu pipih (Natator depressus), yang juga dilindungi, merupakan penyu endemis di Utara
Australia, dengan jangkauan penyebaran sampai ke Indonesia Timur, namun tidak pernah
diketahui bertelur di wilayah Indonesia (Kot et. al., 2015).

Sebaran penyu laut di dunia terpusat pada daerah tropis, namun menyebar sampai dengan
daerah sub-tropis dan daerah beriklim sedang (Mazaris et al., 2014; dan Kot et al., 2015).

Di gambar 4 dapat dilihat bahwa di Indonesia, penyu-penyu ini dominan bertelur di


kepulauan Riau (penyu hijau dan penyu sisik), Kalimantan (penyu hijau, penyu tempayan),
bagian sangat kecil dari Barat Sumatra (penyu hijau, penyu belimbing), bagian Selatan
pulau Jawa dan Bali (penyu belimbing, penyu hijau, penyu sisik, penyu lekang), dan di Irian
Jaya (penyu belimbing) (Kot et al., 2015).

Gambar 4. Lokasi bertelur 5 penyu laut di Indonesia (Kot et al., 2015). Sumber data daring
(dalam jaringan) disediakan oleh SWOT Team dan disimpan di OBIS-SEAMAP.

Samanya, R., 2015. Biologi Konservasi Penyu Laut. halaman 3 dari 10 halaman
3. Siklus reproduksi penyu laut

Secara umum penyu bermigrasi dari tempat mencari makan ke daerah bertelur, dan kawin
selama 1-2 bulan. Setelah 2-4 minggu, penyu betina akan naik ke pantai dan bertelur
beberapa kali. Setiap sarang berisi sekitar 100 telur dengan masa inkubasi sekitar 60 hari.
Telur-telur akan menetas saat suhu permukaan pasir tidak terlalu panas di malam hari.

Tukik yang menetas akan menggali selama 2-3 hari sebelum muncul di permukaan. Mereka
akan langsung menuju air dengan menggunakan cahaya, arah gelombang dan medan
magnet bumi sebagai panduan. Kegunaan medan magnet bumi dalam orientasi penyu laut
banyak ditekankan oleh para pakar (Lohmann et al., 2008; 2013), dan bukti empiris
diperoleh pada awal tahun 2015 ini (Brothers & Lohmann, 2015).

Tukik akan berenang selama 1-2 hari untuk pergi sejauh mungkin ke daerah lepas pantai,
kemudian mengapung selama beberapa tahun mengikuti arus sampai mereka bermigrasi
dari perairan dalam ke daerah mencari makan yang dangkal.

Setelah 5-10 tahun, tukik akan berkembang menjadi penyu remaja dengan kisaran panjang
tubuh antara 20-40 cm. Mereka menetap di daerah mencari makan selama 5-10 tahun atau
sampai mereka mencapai kematangan seksual, dan melakukan migrasi pertamanya untuk
kawin.

Walau terdengar sederhana, hasil penelitian DNA mitokondria terhadap penyu sisik di pulau
Mona, Puerto Rico, menunjukkan bahwa populasi penyu di daerah pencarian makanan
dipengaruhi bukan hanya oleh migrasi rutin, dan menyarankan usaha-usaha konservasi
dilakukan secara regional (Velez-Zuazo et al., 2008). Karena migrasi penyu juga terjadi
lintas negara, seperti yang diamati di Irian Jaya, hal senada juga diutarakan oleh Benson et
al. (2008).

Gambar 5. Siklus reproduksi penyu laut secara umum (Lanyon et al., 1989).

Samanya, R., 2015. Biologi Konservasi Penyu Laut. halaman 4 dari 10 halaman
4. Peran penyu laut di ekosistem

Wilson dan rekan-rekannya pada tahun 2010 mendeskripsikan dengan sangat baik peran
penyu laut di dalam ekosistem, dalam laporannya di LSM Oceana (Wilson et.al., 2010).
Peran-peran penyu berikut merupakan ringkasan dari laporan tersebut.

1. Pemeliharaan habitat
a. Padang lamun – Penyu hijau memakan daun-daun di padang lamun, memelihara
padang lamun dari kerimbunan yang berlebih yang mencegah masuknya sinar
matahari dan terhambatnya alir nutrien. Selain itu konsumsi padang lamun juga
mengurangi konsentrasi nitrogen di dasar laut dari dekomposisi daun-daun tua.

b. Terumbu karang – Penyu sisik mengonsumsi bunga karang, dan dengan demikian
mencegah ekspansi bunga karang di atas permukaan terumbu karang, serta
memungkinkan terumbu karang memperluas koloninya. Cabikan penyu sisik pada
bunga karang juga memungkinkan binatang-binatang kecil lain menembus dan
memakan bunga karang seperti Geodia sp. yang memiliki perlindungan duri-duri silika
yang padat (Jackson, 1997).

c. Peningkatan kualitas pesisir – Telur-telur penyu secara langsung maupun tidak


langsung memperbaiki kualitas wilayah tempat bertelur. Telur-telur yang tidak menetas
akan menambah konsentrasi nutrien, terutama nitrogen, fosfor dan kalium. Nutrien-
nutrien ini membantu pertumbuhan vegetasi dan dengan demikian juga meningkatkan
stabilisasi daerah tersebut. Vegetasi yang tumbuh memberikan sumber makan bagi
binatang-binatang herbivora, dan dengan demikian berpengaruh terhadap sebaran
spesies. Telur-telur penyu juga merupakan sumber makanan bagi banyak predator,
yang mendistribusikan kembali nutrien lewat feses mereka.

2. Keseimbangan jaring-jaring makanan


a. Kontrol populasi ubur-ubur – Penyu belimbing memangsa banyak ubur-ubur sebagai
makanan utama mereka, dan 1 ekor penyu diketahui memakan hampir 200kg ubur-
ubur setiap hari. Ubur-ubur adalah pemakan telur-telur dan larva ikan. Berkurangnya
jumlah penyu akan menyebabkan ledakan populasi ubur-ubur dan mengurangi jumlah
ikan di laut.

b. Pemasok makanan bagi ikan – Epibiont yang tumbuh pada karapas penyu merupakan
sumber makanan bagi beberapa jenis ikan dan udang. Selain itu, penyu dan telurnya
juga merupakan sumber makanan bagi banyak binatang lain, di darat, di udara, dan di
dalam laut.

3. Siklus nutrien yang lebih baik


Pada butir 1c di atas telah disebutkan peran penyu dalam siklus nutrien di darat. Namun
perbaikan siklus nutrien juga terjadi di dasar laut. Saat penyu tempayan mencari mangsa
di dasar laut, mereka menciptakan jejak di sedimen saat mereka menyapu pasir dengan
sirip mereka untuk mengekspos mangsa. Perilaku ini mempengaruhi aerasi dan distribusi
sedimen, dan juga keragaman spesies dan dinamika ekosistem dasar laut.

4. Pengadaan habitat
Pada butir 2b di atas telah disinggung mengenai epibiont. Penyu tempayan diketahui
memiliki lebih dari 100 spesies epibiont pada karapas mereka. Selain itu, karapas penyu
merupakan tempat tinggal yang lebih aman bagi epibiont dibandingkan substratum lain,
dan memungkinkan sebaran spasial spesies-spesies epibiont yang sangat luas.

Samanya, R., 2015. Biologi Konservasi Penyu Laut. halaman 5 dari 10 halaman
5. Ancaman terhadap populasi penyu laut

Ada banyak ancaman alami terhadap populasi penyu, sebagian besar merupakan ancaman
dari predator mereka. Namun ancaman terbesar berasal dari manusia dan kegiatan-
kegiatannya, termasuk pengambilan penyu dan telur-telurnya untuk konsumsi atau cindera-
mata, degradasi kualitas tempat bertelur, dan polusi. Dari kegiatan-kegiatan tersebut,
pengambilan penyu dan telurnya untuk konsumsi merupakan ancaman terbesar (Marcovaldi
& Thomé, 1999).

Kedua dampak negatif dari kegiatan manusia ini ditunjukkan oleh Mortimer (1984; 1995) di
dua gambar berikut. Pada gambar 6 dapat dilihat pengaruh populasi penyu jika penyu betina
diambil sebelum bertelur. Dengan asumsi dibutuhkan waktu 25 tahun untuk menjadi
dewasa, jika pada tahun 1975 setiap penyu betina yang datang ke pantai dibunuh sebelum
mereka bertelur, pengaruh pada populasi penyu yang bertelur baru dapat diamati di tahun
2000.

Gambar 6. Diagram skematis yang menunjukkan dampak eksploitasi penyu betina yang berlebih terhadap
populasi mereka (Mortimer, 1984).

Gambar 7 memperlihatkan pengaruh pengambilan seluruh telur terhadap populasi penyu,


yang menyebabkan kehancuran populasi ini dari bawah karena tidak ada tukik baru yang
memasuki populasi. Hal ini merupakan kebalikan dari skenario pada Gambar 6, yang
memperlihatkan kehancuran populasi dari atas.

Gambar 7. Diagram skematik yang menunjukkan kehancuran populasi penyu hijau karena
pengambilan telur (diadaptasi dari Mortimer, 1995).

Samanya, R., 2015. Biologi Konservasi Penyu Laut. halaman 6 dari 10 halaman
Pengaruh sampah plastik, styrofoam, dan sampah lain di laut terhadap penyu telah
diketahui dan dipublikasi oleh banyak pakar. Sampah-sampah ini dimakan oleh penyu yang
mengira itu adalah makanan, masuk ke dalam saluran pernafasan mereka, atau menjerat
mereka hingga tenggelam (O’Hara, 1988; Committee on Sea Turtle Conservation, 1990;
Spotila, 2004; 2011, Schuyler et al., 2013).

6. Model biologi konservasi penyu laut di Bintan Resorts

Upaya biologi konservasi penyu di Bintan Resorts dimulai tahun 2004. Selama 2 tahun
survei sepanjang 11 km dilakukan secara rutin (Gambar 8). Saat survei dilakukan (sebagian
besar oleh relawan), diperoleh pengetahuan bahwa lebih dari 90% telur diambil oleh
masyarakat untuk konsumsi atau memperoleh pendapatan. (Samanya, 2006; Winata et al.,
2008; 2009).

Gambar 8. Lokasi konservasi penyu di Bintan Resorts (Winata et al., 2009).

Pada tahun 2005, berbekal pengetahuan dari Nanyang Technological University dan
National University Singapore, penangkaran penyu mulai dibangun. Pembelajaran juga
diberikan kepada masyarakat setempat mengenai pentingnya menjaga populasi penyu dan
lingkungan pesisir. Pembelajaran dilakukan dengan pendekatan religius, penggunaan
kearifan lokal, dan jalur edukasi formal (Winata et al., 2010).

Sejalan dengan kematangan teknik-teknik yang berhubungan dengan penangkaran, tingkat


kesuksesan penetasan telur juga meningkat, dengan variasi antara 74% - 98% (Winata et
al., 2010).

Tahun 2009 peran masyarakat ditingkatkan dengan dibangunnya sebuah penangkaran di


desa mereka. Hal ini, dan upaya-upaya lain di atas, berhasil menurunkan tingkat

Samanya, R., 2015. Biologi Konservasi Penyu Laut. halaman 7 dari 10 halaman
pengambilan telur penyu oleh masyarakat setempat dari 91% di tahun 2004 menjadi 20% di
tahun 2009.

Peran serta resor-resor di dalam kawasan Bintan Resorts mulai terasa sejak bergabungnya
Nirwana Gardens Resort pada tahun 2006. Pada tahun 2008 Banyan Tree turut
berpartisipasi dan di tahun 2009 Club Med Bintan juga ikut serta di dalam program ini,
menjadikan Bintan Lagoon Resort sebagai satu-satunya resor yang belum bergabung pada
masa itu.

Bintan Resorts mengadopsi prinsip pelepasan tukik secara langsung, saat matahari mulai
terbenam, berdasarkan fakta bahwa mereka menyimpan data orientasi pantai tempat
mereka menetas, untuk kembali lagi setelah dewasa (Lohmann et al., 2008; 2013; Brothers
& Lohmann, 2015). Praktek penangkaran dan pemeliharaan tukik sebelum dilepas diketahui
berpengaruh terhadap orientasi tukik dan naluri untuk bertahan hidup (Hewavisenthi, 2001;
Tisdell & Wilson, 2003). Di samping itu, karena variasi pola Arus Lintas Indonesia setiap
musim (Shinoda et al., 2012), melepas tukik setelah dipelihara mungkin mengubah pola
sebaran spasial mereka.

Bagi resor-resor, andil di dalam upaya konservasi penyu juga berperan di dalam
peningkatan tingkat hunian hotel karena pelepasan tukik merupakan kejadian yang
ditunggu-tunggu oleh wisatawan, dan naiknya status resor mereka dalam bidang operasi
hotel yang berwawasan lingkungan.

Pustaka
Benson, Scott R., Peter H. Dutton, Creusa Hitipeuw, Yulianus Thebu, Yopi Bakarbessy, Costant Sorondanya,
Natalie Tangkepayung, dan Denise Parker, 2004. Post-Nesting Movements Of Leatherbacks From
Jamursba Medi, Papua, Indonesia: Linking local conservation with international threats, dalam
Proceedings of the Twenty-Fourth Annual Symposium on Sea Turtle Biology and Conservation.
R.B. Mast, B.J. Hutchinson, dan A.H. Hutchinson (compilers) 2008. NOAA Technical Memorandum
NMFS-SEFSC-567, 205pp.
Brothers, J. Roger, dan Kenneth J. Lohmann, 2015. Evidence for Geomagnetic Imprinting and Magnetic
Navigation in the Natal Homing of Sea Turtles. Current Biology 25: 392–396.
Committee on Sea Turtle Conservation, Commission on Life Sciences, Division on Earth and Life Studies,
National Research Council, 1990. Decline of the Sea Turtles: Causes and Prevention. National Academy
Press, Washington D.C., 195pp.
Fiedler, Peggy L., dan Peter M. Kareiva, 1998. Conservation Biology: For the Coming Decade. Springer Science
& Business Media, Dordrecht. 534pp.
Foreman, Dave, 1998. Wilderness, From Scenery to Nature, dalam The Great New Wilderness Debate, an
Expansive Collection of Writings Defining Wilderness from John Muir to Gary Snyder. J. Baird
Callicott dan Michael P. Nelson (eds). The University of Georgia Press, Athens. 697pp.
Geffen, Eli, Gordon Luikart dan Robin S. Waples, 2007. Impacts of Modern Molecular Genetic Techniques On
Conservation Biology, dalam Key Topics in Conservation Biology. David Macdonald (Editor), Katrina
Service (Editor). Blackwell Publishing, Malden. 307pp.
Gibbons, Ann, 1992. Conservation Biology in the Fast Lane. Science 255(5040): 20–22.
Hewavisenthi, Suhashini, 2001. Turtle Hatcheries in Sri Lanka: Boon or Bane? Marine Turtle Newsletter 60:19-
22.
Jackson, J.B.C., 1997. Reefs since Columbus. Coral Reefs 16, Suppl.: S23-S32.
Kareiva, Peter, dan Michelle Marvier, 2012. What Is Conservation Science? BioScience 62 (11): 962–969.
Kot, C.Y., E. Fujioka, A.D. DiMatteo, B.P. Wallace, B.J. Hutchinson, J. Cleary, P.N. Halpin and R.B. Mast. 2015.
The State of the World's Sea Turtles Online Database: Data provided by the SWOT Team and hosted on
OBIS-SEAMAP. Oceanic Society, Conservation International, IUCN Marine Turtle Specialist Group
(MTSG), and Marine Geospatial Ecology Lab, Duke University. http://seamap.env.duke.edu/swot.

Samanya, R., 2015. Biologi Konservasi Penyu Laut. halaman 8 dari 10 halaman
Lanyon, J.M., C.J. Limpus, dan H. Marsh, 1989. Dugongs And Turtles: Graziers In The Seagrass System, dalam
Biology of Seagrasses, A treatise on the biology of seagrasses with special reference to the
Australian region. Anthony W. D. Larkum, A. J. Mac Comb, Stephen A. Shepherd (eds). Elsevier,
Amsterdam, 841pp.
Lindenmayer, David, dan Mark Burgman, 2005. Practical Conservation Biology. CSIRO Publishing, Oxford.
624pp.
Lohmann, Kenneth J., Catherine M.F. Lohmann, J. Roger Brothers, dan Nathan F. Putman, 2013. Natal Homing
and Imprinting in Sea Turtles, dalam The Biology of Sea Turtles Volume III. Jeanette Wyneken,
Kenneth J. Lohmann, Jogn A Musick (eds). CRC Press, Boca Raton. 475pp.
Lohmann, Kenneth J., Nathan F. Putman, dan Catherine M. F. Lohmann, 2008. Geomagnetic Imprinting: A
Unifying Hypothesis of Long-Distance Natal Homing In Salmon And Sea Turtles. PNAS 105 (49): 19096-
19101.
Marcovaldi, Maria Angela Guagni, dan Joca C. A. Thomé, 1999. Reducing Threats to Turtles, dalam Research
and Management Techniques for the Conservation of Sea Turtles. K. L. Eckert, K. A. Bjorndal, F. A.
Abreu-Grobois, M. Donnelly (eds.). IUCN/SSC Marine Turtle Specialist Group Publication No. 4. 248pp.
Mazaris, Antonios D., Vasiliki Almpanidou, Bryan P. Wallace, John D. Pantis, dan Gail Schofield, 2014. A Global
Gap Analysis of Sea Turtle Protection Coverage. Biological Conservation 173: 17–23.
Morecroft, Michael D., Humphrey Q. P. Crick, Simon J. Duffield dan Nicholas A. Macgregor, 2012. Resilience to
Climate Change: Translating Principles into Practice. Journal of Applied Ecology 49 (3): 547–551.
Morecroft, Mike D., 2012. Adapting Conservation to A Changing Climate. Journal of Applied Ecology 49 (3): 546.
Mortimer, J. A., 1984. Marine Turtles in the Republic of Seychelles: status and management. International Union
for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) Publication Services, Gland, Switzerland.
80pp.
Mortimer, J.A., 1995. Teaching Critical Concepts for The Conservation Of Sea Turtles. Marine Turtle Newsletter
71: 1-4.
O’Hara, Kathryn J., 1988. Plastic Debris and Its Effects on Marine Wildlife, dalam Audubon Wildlife Report
1988/1989. William J. Chandler (ed.). Academic Press Inc., San Diego. 817pp.
Pettorelli, Nathalie, 2012. Climate Change as A Main Driver Of Ecological Research. Journal of Applied Ecology
49 (3): 542–545.
Pritchard, Peter C.H., dan Jeanne A. Mortimer, 1999. Taxonomy, External Morphology, And Species
Identification, dalam Research and Management Techniques for the Conservation of Sea Turtles. K.
L. Eckert, K. A. Bjorndal, F. A. Abreu-Grobois, M. Donnelly (eds.). IUCN/SSC Marine Turtle Specialist
Group Publication No. 4. 248pp.
Raven, Peter H., dan Jeffrey A. McNeely, 1998. Biological Extinction: Its Scope and Meaning for Us, dalam
Protection of Global Diversity, Converging Strategies. Lakshman D. Guruswamy dan Jeffrey A.
McNeely (eds). Duke University Press, London. 425pp.
Rubenstein, D. I., 1992. The Greenhouse Effect and Changes In Animal Behavior: Effects On Social Structure
And Life-History Strategies, dalam Consequences of Global Warming for Biodiversity. R. Peters (ed.).
Yale University Press, New Haven.
Samanya, Ranan, 2006. Bintan Resorts Turtle Conservation Initiative: identification of issues and preliminary
results. IOSEA International Year of the Turtle Public Seminar, Singapore.
Schuyler, Qamar, Britta Denise Hardesty, Chris Wilcox, dan Kathy Townsend, 2013. Global Analysis of
Anthropogenic Debris Ingestion by Sea Turtles. Conservation Biology 28 (1): 129–139.
Seebacher, Frank, dan Eric Post, 2015. Climate Change Impacts On Animal Migration. Climate Change
Responses 2:5.
Shinoda, Toshiaki, Weiqing Han, E. Joseph Metzger dan Harley E. Hurlburt, 2012. Seasonal Variation of the
Indonesian Throughflow in Makassar Strait. J. Phys. Oceanogr. 42: 1099–1123.
Soulé, Michael E., 1985. What Is Conservation Biology? BioScience 35 (11): 727-734.
Spotila, James R., 2004. Sea Turtles: A Complete Guide to Their Biology, Behavior, and Conservation. John
Hopkins University Press, Baltimore, 233pp.
Spotila, James R., 2011. Saving Sea Turtles: Extraordinary Stories from the Battle against Extinction. John
Hopkins University Press, Baltimore, 240pp.
Supriatna, Jatna, 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 482pp.

Samanya, R., 2015. Biologi Konservasi Penyu Laut. halaman 9 dari 10 halaman
Tisdell, Clem, dan Clevo Wilson, 2003. Open-Cycle Hatcheries, Tourism and Conservation of Sea Turtles:
Economic and Ecological Analysis. Working Papers On Economics, Ecology and The Environment no. 78.
The University of Queensland, Brisbane. 31pp.
nd
Van Dyke, Fred, 2008. Conservation Biology: Foundations, Concepts, Applications, 2 edition. Springer Science
& Business Media, Dordrecht, 478pp.
Van Houtan, Kyle S., John M. Halley dan Wendy Marks, 2015. Terrestrial Basking Sea Turtles Are Responding
to Spatio-Temporal Sea Surface Temperature Patterns. Biol. Lett. 11: 20140744.
Velez-Zuazo, Ximena, Willy D. Ramos, Robert P. van Dam, Carlos E. Diez, Alberto Abreu-Grobois, dan W. Owen
McMillan, 2008. Dispersal, Recruitment and Migratory Behaviour In A Hawksbill Sea Turtle Aggregation.
Molecular Ecology 17: 839–853.
Wilson, E.G., K.L. Miller, D. Allison, dan M. Magliocca, 2010. Why Healthy Oceans Need Sea Turtles: The
Importance of Sea Turtles to Marine Ecosystems. Oceana report. 17pp.
Winata, C.K., A. Nadina, dan M. Rofik, 2008. Preliminary Study on Sea Turtles in Bintan Island, Riau
Archipelago, Indonesia. Marine Turtle Newsletter 119:13-14.
Winata, C. K., R. Samanya, R. Febriana, H.R. Wahyuni, dan M. Rofiq, 2009. Dynamics of Turtle Conservation in
Bintan, Indonesia, dalam Proceeding of International Symposium on Ocean Science, Technology
and Policy, Menado.
Winata, Catharine K., R. Samanya, R. Febriana, H.R. Wahyuni, M. Asfari, dan M. Rofiq, 2010. Community Based
Approach to Turtle Conservation in Bintan: The first step, dalam Proceeding of the International
Symposium on Integrated Coastal Management for Marine Biodiversity in Asia, Kyoto: 3-4.

Samanya, R., 2015. Biologi Konservasi Penyu Laut. halaman 10 dari 10 halaman

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai