Anda di halaman 1dari 4

“EKOREGION INDONESIA”

Yunita Luhulima (C551160171)1


1
Sekolah Pasca Sarjana Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, IPB
1
yunitaluhulima@yahoo.co.id

Istilah “ekoregion” pertama kali diusulkan pada tahun 1962 oleh peneliti hutan Orie
Loucks (Bailey 2005). Ekoregion merupakan daratan atau perairan yang terdapat spesies-spesies,
komunitas, alam dan kondisi lingkungan yang bersatu secara nyata dalam lingkun geografis.
Pada tahun 1967 Crowley memetakan ekoregion pertama di Kanada berdasarkan macrofeatures
iklim dan vegetasi. Indonesia dimanfaatkan oleh World Wildlife Fund_Amerika Serikat (WWF)
untuk mengembangkan tata ruang melalui pedekatan ekoregion. Indonesia dijadikan sampel atau
studi kasus dengan beberapa alasan bahwa Indonesia dianggap sebagai negara dengan
keanekaragaman hayati paling tinggi, pemeritah Indonesia sedang berada dalam perencanaan
konservasi ruang, dan Indonesia dianggap sebagai Negara kepulauan yang diapit oleh dua benua
dan dua samudera dan memiliki banyak pulau-pulau kecil. Pada tahun 1974-1982 organisasi
pangan pertanian (FAO) dengan sebuah proyek membantu Indonesia untuk membangun taman
Nasional dan memperluas daerah perlindungan. Rencana konservasi ini merupakan aplikasi
pertama dari system Dasmann-Udvardy global skala Nasional (Gambar 1). Dalam pelaksanaanya
ternyata beberapa daerah atau provinsi dianggap memiliki biografi yang sulit untuk diketahui
variasi biogeografinya di Indonesia khususnya pada wilayah pulau transisi wallacea (yang
menjembatani fauna oriental dan Australia) sehingga diterapkan alogoritma Dasman-Udvardy
berdasarkan unit geografis yang lebih lecil untuk membedakan antara daerah utama di pulau-
pulau besar dan kelompok pulau yang kecil (Whittaker et al 2002).

Gambar 1. Dasman-Udvardy Biografi Provinsi untuk Indonesia yang ditambahkan


kedalam system mackinno1981 dengan batas-batas alam dan habitat dan digambarkan ulang
dengan izin Mackinnon (1997). Provinsi biografis dan biounits 21 Sumatera (21a, Sumatera
Selatan, 21b, Sumatera utara, 21c, Pulau Mentawi: 21d Pulau Nias dan pulau Batau; 21e pulau
Simeuleu; 21f pulau Enggano, 21G Kepulauan Lingga); Jawa (22a, Jawa Barat; 22b Jawa Timur;
22c Pulau Bali); 25 Borneo (25b, Kalimantan daya, 25e Pegunungan Tengah, 25f Kalimantan
Timur; 25h laut Kalimantan; 24 Sulawesi (24a Sulawessi Tengah, 24b Sulawessi Utara, 24c
Sulawesi Selatan, 24d Sulawesi Tenggara, 24e timur laut Sulawesi, 24f Sangihe-kepulauan
Talaud) 23, Nusa Tenggara (23a, utara Nusa Tenggara; 23b Pulau Sumba; 23c Pulau Timur dan
Pulau Wetar; 23d Tanimbar); 13 Maluku (13a Kepulaun Maluku; 13b pulau Obi; 13c pulau
Buru; 13d Pulau seram dan Ambon; 13e Pulau Kei); P3 New Guinea (P3A Kepulauan Aru; P3B
Kepulaun Barat; P3C Pulau Geevlink Bay; P3D vogelkop; P3E laut New Guinea; P3F New
Guinea daya; P3G Gunung Salju; P3H Pegunungan Bintang; P3L Fly Trans (sumber: Whittaker
et al 2002)
Ekoregion bertujuan untuk membuat biografi untuk perencanaan konservasi pada skala
regional dengan empat tujuan utama dari konservasi keanekargaman hayati menurut Noss 1992
dan Noss dan Cooperrider 1994 yiatu: merepresentasikan semua komunitas alami yang berbeda
dalam jaringan kawasan lindung, memilhara proses ekologi dan evolusi, memelihara spesies
populasi, dan konservasi besar habitat alami. Konservasi berbasis ekoregion bertujuan untuk
mempromusikan empat tujuan diatas dengan menggunakan dua strategi cabang yaitu
membangun kawasan lindung dan mencapai penggelolaan yang berkelanjutan dari tanah dan
perairan diluar kawasan lindung (Ricketts et al 1999).
Ekoregion perairan Indonesia Sulu Sulawesi Marine ecoregion (SSME), Banda Flores
marine ecoregion (BFME), dan Bismak Salomon Seas ecoregion (BSSE).

B
A

Gambar 2. (A) Ekoregion BFME (sumber: Flores Banda marine ecoregion WWF), (B)
Ekoregion SSME (sumber: Trono et al 2002)
Ekoregion BFME (Gambar 2a) merupakan bagian dari lingkungan laut yang paling
kompleks keanekaragaman hayati di dunia. Dengan keuinikan yaitu kepulaun Sunda yang
membentuk rangkain batu loncatan geografis biologi yang menjebatani garis Wallace dan
menghubungkan fauna Australasia dari Indonesia Timur dan Papua Nugini dengan fauna Eurasia
sumatera dan dataran Asia. Akan tetapi lebih dari 4/5 karang Indonesia dianggap berada dalam
ancaman karena kegiatan antrpogenik selain itu juga akar masalah dari kelembagaan dan
kebijakan yang mempengaruhi perilaku dan manajemen dan regulasi sumberdaya terumbu
karang. Ancaman utama bagi terumbu karang pada BFME adalah pemancingan untuk produk
lokal eksploitasi berlebihan dari perikanan pesisir dan laut untuk pasar lokal dan eksport, polusi
dari pusat-pusat kota dan pembangunan pesisir serta kepemilikan laut adat yang dimiliki desa-
desa ternyata menunjukan bahwa peningkatan ekspliotasi semakin tinggi, selain itu wilayah
BFME ini juga mengalami pemutihan karang pada tahun 1998 namun kondisi oseanografis
dengan arus yang kuat membantu terumbu karang untuk dapat hidup. Dengan melihat BFME
adalah ekorogion yang sangat penting Indonesia membuat 33 jaringan daerah perlindungan laut
(KKL) namun masalah yang tetap dihadapi adalah bahwa terdapat banyak sekali praktek-praktek
yang merusak habitat yang luas serta manajeman yang sangat lemah. Diperkirakan terumbu
karang Indonesia yang rusak pada daerah padat penduduk hingga US $ 500.000 / Km2 selama
rentang waktu 25 tahun karena kehilangan perlindungan dan fungsi parawisata pesisir serta biaya
sosial yang sangat besar. WWF sebagai LSM konservasi besar di Indonesia mendukung para
pemerintah untuk menanggulangi masalah ini dengan pendekatan skala besar untuk konservasi
keanekaragaman hayati yang disebut konservasi ekoregion dengan waktu konservasi untuk
mencapai tujuan konservasi 10-15 tahun

Gambar 3. Kawasan perioritas kawasan konservasi keanekaragaman hayati SSME


(sumber Miclat et al 2006)
SSME (Gambar2b) adalah ekoregion laut yang meliputi 3 negara yaitu Indonesia,
Malaysia, dan Filipina dengan luas sekitar 1 juta kilometer persegi yang merupakan bagian
intergral dari pusat global keanekaragaman hayati laut dan terletak pada coral triangle serta
memiliki terumbuh karang yang sangat tinggi dan terkenal memiliki keragamanan ikan karang
tertinggi di dunia. (Veron 200; Aleen 2000) ekorigion SSME teracam punah dan kehilangan
spesies berharga seperti hiu paus raksasa, coelacanth (diyakini telah punah pada jutaan tahun
yang lalu), tuna kecil dan tuan besar, berbagai jenis karang, lima dari tujuh jenis penyu di dunia,
burung migran, dugong, dan 22 spesies lumba-lumba (Freund 2001). SSME memiliki berbgai
habitat dan ekosistem hutan bakau pesisir yang produktif, padang lamun yang luas , terumbu
karang, serta sumberdaya lingkungan bawah laut yang di terletak pada : Tubbatha Reef Taman
Nasional kelautan dan Situs Warisan Dunia (Filipina); Tun Mustapha Park (Malasya); Warisan
Turtle Islands Protecd area (Malaysia da Filipina) dan kepulauna Derawan (Indonesia)
merupakan dua lokasi sarang utama di Asia Tenggara untuk penyu hijau dan penyu sisik dan
taman Nasional Bunaken (Indonesia) merupakan salah satu dari dua tempat Coelacanth. SSME
yang menghasilkan produksi rata-rata tahunan 2.3 mollion ton (1 miliar US $) untuk perikanan
tanggkap (WWF-SSME 2001)).
Namun ekoregion ini dalam keadaan bahaya, penggunaan yang tidak berkelanjutan
sumberdaya telah meningkat akibat meningkatnya pertumbuhan populasi, pasar Internasional,
pembangunan pesisir secara signifikan telah dikembangkan untuk mendukung berbagai kegiatan
ekonomi dan sebagai lahan perumahan sehingga mengakibatkan kepunahan spesies lokal,
penipisan populasi, dan degradasi habitat. Memburuknya keseluruhan kondisi lingkungan SSME
menunjukan kerusakan habitat yang sangat parah, kemiskinan semakin meningkat dengan
bertambahnya populasi manusia diperkirakan hanya dapat menghasilkan masa depan yang suram
bagi masyarakat dan lingkungan SSME (DeVantier 2004)) hal ini mendorong sehingga
mendorong tiga Negara ini untuk berkerja sama mengkonservasikan keanekaragaman hayati laut
(Gambar 3) dan mengejar pembangunan berkelanjutan (Miclat 2006).

Daftar Pustaka
Allen GR. 2000. Indopasifik coral reef fishes as indicators of conservation hotspots. Paper presented at
the 9th ICRS

Bailey RG. 2005. Identifying Ecoregion Boundaries.Invetory and Monitoring Institute; doi:
10.1007/s00267-003-0163-6 diakses 20 April 2017

DeVantierL L, Alcala A, Wilkinson C. 2004. The Sulu-Sulawesi sea. Environmental and socioeconomic
status, future prognosis and ameliorative policy options

Miclat E, Ingles J, Dumaup J. 2006. Planing across boundaries for the conservation of the Sulu-Sulawesi
marine ecoregion. Jurnal scienceDrect. diakses 21 April 2017.

Trono RB, Cantos JA. 2002. Conserving migratory species through ecoregion conservation approach: the
case of sea turtles in Sulu-Sulawesi marine ekoregion. diakses 21 April 2017

Veron JEN. 2000. Corals of the word. Australia Institut of marine science; vol 3 490pp

Whittaker R, Jepson P. 2002. Ecoregions in context: a critique with special reference to Indonesia. School
of geography and environment. Diakses 21 April 2017

WWF-SSME. 2001. Sulu-Sulawesi seas ecoregion

WWF Internasional Karang Initiative Flores Banda marine ecoregion Diakses 20 April 2017

Anda mungkin juga menyukai