2. Luas Wilayah
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, luas seluruh wilayah
Indonesia ditambah dengan jalur laut 12 mil yaitu 5,8 juta km 2 terdiri dari luas darata 1,9
juta km2 luas wilayah laut sekitar 3,1 juta km 2 (0,3 km2 perairan teritorial; 2,8 juta km2
perairan nusantara atau perairan kepulauan) atau sekitar 62% dari luas teritorialnya.
Konprensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang hukum laut 1985 dan 1960 di
Jenewa tidak dapat memecahkan masalah lebar Laut Teritorial mulai dari 3 mil sampai 200
mil laut, namun konprensi PBB tentang hukum laut ketiga pada tahun 1982 berhasil
menentukan lebar laut teritorial maksimal 12 mil dan zona tambahan maximal 24 mil laut
yang diukur dari garis dasar laut teritorial.
Indonesia diberikan kewenangan memanfaatkan perairan laut yang termasuk ZEE
(Zona Ekonomi Eksklusif) seluas 2,7 juta km2 untuk kepentingan eksplorasi, eksploitasi,
dan pengelolaan sumberdaya hayati maupun non-hayati, untuk tujuan penelitian, hak
yurikdiksi mendirikan instalasi bawah laut atau pulau buatan (Unclos, 1982). Batas terluar
dari ZEE sekitar 200 mil laut dari garis pantai pada saat surut terendah (base line).
Wilayah pesisir dan lautan Indonesia kaya dan beragam sumber daya alamnya telah
dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber bahan makanan utama,
khususnya protein hewani, sejak berabad-abad lamanya. Sementara itu, kekayaan
hidrokarbon dan mineral lainnya yang terdapat di wilayah ini juga telah dimanfaatkan
untuk menunjang pembangunan ekonomi nasional sejak Pelita I. Selain menyediakan
berbagai sumber daya tersebut, wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai
fungsi lain, seperti transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan
agroindustri, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan
limbah.
9 11 12
Gambar. 1. Peta kawasan ekonomi unggulan berbasis Kelutan dan Perikanan di Perairan Indonesia.
B. Gambaran umum Sulawesi Selatan meliputi : Letak geografis, luas wilayah, jumlah
pulau, panjang garis pantai dan distribusi pemetaan potensi sumberdaya.
Secara geografis Sulawesi Selatan terletak pada posisi 0 0 12’ LS dan 116O 48’–
122O 36’ BT dan diapit oleh tiga wilayah laut yaitu: Teluk Bone di sebelah Timur, Laut
Flores di sebelah Selatan dan Selat Makassar di sebelah barat dan berbatasan dengan
Provinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi tengah sebelah utara dan Provinsi Sulawesi
Tenggara sebelah timur. (BPS, 2005). Sebagai wilayah yang sebagian besar berada di
daerah pesisir, Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai potensi sumberdaya kelautan dan
perikanan yang sangat besar, misalnya luas wilayah penangkapan ikan di Sulawesi Selatan
sebesar 48.000 km2 (Dinas Perikanan & Kelautan Prop. Sulsel, 2002). Wilayah pesisir
Sulawesi Selatan umumnya terdiri atas sedimen alluvial. Dengan kondisi perairan tropis
kisaran suhu perairan 26O-29OC dan pada perairan yang lebih dangkal suhu dapat
mencapai 34OC. Siklus musim kering dan penghujan mengakibatkan wilayah pesisir
menjadi cukup ekstrim bagi beberapa jenis biota perairan. Akan tetapi kondisi ini dapat
ditolerir oleh beberapa kelompok biota tertentu seperti crustacea (kepiting, kerang) dan
gastropod (tiram dan siput), karena keberadaan eksoskeleton yang membuat mereka
resisten terhadap perubahan iklim yang cukup ekstrim.
2. Luas Wilayah
Provinsi Sulawesi Selatan Ibukota Makassar, dengan luas wilayah daratan secara
keseluruhan 45.574,48 km2, dengan panjang garis pantai sekitar 1.973,7 km merupakan
salah satu Provinsi di Kawasan Timur Indonesia yang mempunyai wilayah perairan pantai
dan laut cukup luas. Secara administrasi Provinsi Sulawesi Selatan terbagi atas 23 (dua
puluh tiga) kabupaten/kota; masingmasing Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu
Utara, Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten
Sinjai, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Selayar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten
Jeneponto, Kabupaten Takalar, Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Maros,
Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, Kabupaten
Sidrap, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Toraja. Dari sekian
kabupaten dan kota yang ada hanya 4 (empat) kabupaten yang tidak masuk dalam
konteks wilayah pesisir (BPS, 2005). Sulawesi Selatan memiliki sejarah keterkaitan yang
erat dengan kehidupan laut, dan budaya masyarakat yang kaya akan pengalam
kehidupan pesisir dan petualangan di laut.
Sulawesi Selatan jika ditinjau dari konteks pesisir maka luas sumber daya alami
yang dimanfaatkan berupa kegiatan penangkapan ikan dan wisata. Potensi perikanan
tangkap Sulawesi Selatan sebesar 620.480 ton/tahun, dengan rincian: Selat Makassar
307.380 ton/tahun, Laut Flores 168.780 ton/tahun dan Teluk Bone sebesar 144.320
ton/tahun. Pada Tahun 2003, produksi penangkapan ikan laut sebesar 354.434 ton atau
meningkat 10,5% dari tahun sebelumnya, dengan nilai total Rp. 1.285.348.397. Sulawesi
Selatan hanya ada empat PPI yaitu PPI Paotere di Makassar, PPI Lappa di Sinjai, PPI
Pontap di Kota Palopo dan PPI Boddia di Takalar Wilayah pesisir Sulawesi Selatan
memiliki potensi lahan budidaya laut sebesar 600.500 ha dan potensi lahan tambak sekitar
150.000 ha, dengan tingkat pemanfaatan 84.832 ha (Dahuri, 2004). Adapun produksi
budidaya tambak sebesar 110.408 ton atau menurun sekitar 1% dari tahun sebelumnya,
dengan nilai total Rp. 1.450.099.965. Di Sulawesi Selatan baru sekitar 20.866 ha (dari
sekitar 102.642 ha luas total) tambak yang menikmati saluran irigasi teknis yang panjang
keseluruhannya adalah 1.035.765 m (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi
Selatan, 2002).
Wilayah pesisir Sulawesi Selatan diketahui dihuni oleh 19 spesies mangrove
dengan cakupan vegetasi cukup luas, yang pada tahun 1999 sekitar 26.911 ha (Data
Informasi Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel, 2002). Provinsi Sulawesi Selatan memiliki
areal hutan mangrove yang terluas di Pulau Sulawesi (Whitten et al., 2002). Selain itu,
Pada wilayah yang berbatasan dengan laut, hutan mangrove didominasi oleh Avicennia dan
Sonneratia. Di bagian belakang zona tersebut ditemui Bruguiera dan Rhizophora. Sedang
pada wilayah-wilayah yang berbatasan dengan daratan ditemukan pandan, Ficus, Nypa dan
biota lain yang menjadi ciri peralihan antara wilayah laut dan daratan. Biomas hutan
mangrove di wilayah Sulawesi diperkirakan berkisar 122 – 245 ton/ha, walaupun dengan
laju pembukaan lahan tambak dan pemanfaatan kayu bakau sebagai bahan bakar dan
lainnya dewasa ini diyakini tingkat penutupannya sudah jauh berkurang. Selain jenis-jenis
ikan pemakan detritus, mangrove juga diketahui dihuni oleh kekerangan, udang, kepiting
serta beberapa jenis burung dan fauna lainnya seperti, moyet dan kelelawar.
Lamun merupakan ekosistem pesisir lainnya, dijumpai pada perairan pantai yang
dangkal diantara terumbu karang dan mangrove/pantai. Sulawesi Selatan dikenal tujuh
genera lamun, yaitu: Enhalus, Thalassia, Halophila, Halodule, Cymodocea, Syngodium
dan Thallassodendrum. Selain berfungsi sebagai penyerap sedimen, padang lamun juga
dikenal sebagai regulator nutrien di perairan pantai sehingga berperan menjadi tempat
berkumpulnya organisme renik plankton yang pada gilirannya mengundang ikan-ikan
untuk meletakkan telurnya hingga menetas. Selain itu, organisme seperti dugong (duyung),
moluska dan teripang juga merupakan biota-biota yang sering dijumpai berasosiasi dengan
padang lamun.
Ekosistem yang dijumpai pada perairan pantai selain mangrove dan lamun, yaitu
Ekosistem Terumbu Karang. Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang penting,
selain karena peran perlindungan pantai juga menjadi tempat hidup berbagai biota asosiatif
seperti rumput laut (algae), cacing laut, moluska, ular laut, bulu babi, teripang, bintang laut
dan tidak kurang dari 200 jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Kawasan
Kepulauan Spermonde dan Taka Bonerate sudah dikenal luas sebagai lokasi hamparan
terumbu karang di Sulawesi Selatan (luas total hamparan terumbu karang di kedua
kawasan ini diperikrakan sekitar 600 km 2, sumber: Dokumen Persiapan COREMAP Phase
II, 2003), dengan keanekaragaman hayati dan produksi ikan karang yang sangat tinggi dan
banyak dieksploitasi. Nilai produksi primer dari suatu hamparan terumbu karang yang baik
dapat mencapai 7.000 g C/m2 /tahun atau setara dengan biomas 70 ton/ha/tahun. Selain
sebagai penyedia sumberdaya perikanan, hamparan terumbu karang juga memiliki potensi
penyedia jasa lingkungan seperti objek wisata, sumber bahan baku obat-obatan (sponge
dan algae) dan lain-lain. Saat ini, kondisi terumbu karang di Sulawesi Selatan sudah
mengalami degradasi sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan dengan persentase
penutupan terumbu karang yang baik hanya tinggal sekitar 20%. Selain potensi
sumberdaya hayati pesisir dan laut di atas, pada beberapa wilayah pesisir di Sulawesi
Selatan juga diketahui mengandung sumberdaya minyak, gas bumi dan mineral. Diantara
biota-biota laut yang berada di perairan Provinsi Sulawesi Selatan ada beberapa spesies
langka yang dilindungi antara lain ; ikan dugong di Selat Makassar, penyu di Kepulauan
Taka Bonerate dan spermonde, ketam kelapa, kima dan beberapa spesies lainnya.
Sulawesi Selatan memiliki garis pantai sepanjang 1.973,7 km yang sangat potensial untuk
penangkapan ikan, budidaya laut, potensi tambak seluas 150.000 ha yang didukung dengan
72 sungai besar/kecil dan 4 danau besar serta 232 pulaupulau kecil. Sumberdaya manusia
nelayan Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 411.312 orang yang terdiri atas 208.375 orang
nelayan laut, 14.486 orang nelayan perairan umum, pembudidaya tambak 101.025 orang,
pembudidaya kolam 3.193 orang dan pembudidaya sawah (mina padi) 12.233 orang.
Produksi perikanan tahun 2001 sebesar 450.577 ton dengan rata-rata peningkatan 4,8 %
per tahun yang berasal dari penangkapan di laut dan perairan umum, budidaya tambak,
kolam dan mina padi. Potensi sumberdaya khususnya pada sektor kelautan dan perikanan
Propinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan pemetaan pemanfaatan ruang dalam rangka
kerjasama kawasan untuk pengembangan kegiatan pada sektor kelautan dan perikanan
dapat dilihat pada Gambar 2.
KAWASAN PEMANFAATAN RUANG LAUT
SELAT MAKASSAR – LAUT SULAWESI
Lingkup Wilayah Kaltim, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel
Pusat Pengembangan Balikpapan, Makassar
Sub Pusat Tarakan, Tj. Redeb, Bontang, Samarinda,
Pengembangan Muara Jawa, Batulicin, Kotabaru,
Banjarmasin, Barru, Pare-Pare, Mamuju, Palu,
Toli-Toli, Buol
Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari
tiga kelompok : (1) sumber daya dapat pulih (renewable resources), (2) sumber daya tak
dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental
services). Potensi yang dihasilkan dari wilayah perairan Indonesia pada tahun 1987 sekitar
Rp 36,6 trilyun, atau sekitar 22% dari total produk domestik bruto (Dahuri et al 2001).
Karakteristik geografis Indonesia serta struktur dan tipologi ekosistemmya yang
didominasi oleh lautan telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai Mega-biodiversity
terbesar di dunia, yang merupakan justifikasi bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara bahari/maritim terbesar di dunia. Fakta ini menunjukkan bahwa sumberdaya
kelautan merupakan kekayaan alam yang memiliki peluang amat potensial dimanfaatkan
sebagai sumberdaya yang efektif dalam pembangunan bangsa Indonesia. Berdasarkan
jenisnya sumberdaya kelautan dibagi menjadi sumberdaya yang dapat pulih (renewable
resources), sumberdaya yang tak dapat pulih (unrenewable resources), energi kelautan dan
jasa-jasa lingkungan sebagai berikut :
C. ENERGI KELAUTAN
- Gelombang
- Pasang surut
- OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion)
- Angin
Potensi sumber daya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumber daya perikanan
pelagis besar (451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun), sumber daya
perikanan demersal 3.163.630 ton/tahun, udang (100.720 ton/tahun), ikan karang (80.082
ton/tahun) dan cumi-cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara nasional potensi
lestari perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai
48% (Dirjen Perikanan 1995). Data pada tahun 1998 menunjukkan bahwa produksi ikan
laut adalah 3.616.140 ton dan hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan potensi
laut baru mencapai 57,0% (Ditjen Perikanan 1999 dalam Susilo 2001). Sedangkan
potensi lahan pertambakan diperkirakan seluas 866.550 ha dan baru dimanfaatkan seluas
344.759 ha (39,78%) bahkan bisa lebih tinggi lagi. Dengan demikian masih terbuka
peluang untuk peningkatan produksi dan produktivitas lahan. Keterlibatan masyarakat
dalam meningkatkan produksi perlu diatur sehingga bisa mendatangkan keuntungan bagi
semua pihak dalam pengelolaan yang bersifat ramah lingkungan, lestari berkelanjutan.
Di wilayah pesisir dan laut terdapat 3 (tiga) ekosistem kunci yang mempunyai nilai
dan peran ekologis yang sangat signifikan terhadap proses regenerasi potensi sumberdaya
alam, ekosistem yang dimaksud yaitu : ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan
ekosistem terumbu karang (Gambar 3). Keberadaan ekosistem di wilayah pesisir sangat
menunjang proses ekologis untuk keberlanjutan suatu organism didalam lingkungannya.
Ekosistem terbut pada umumnya mempunyai yang sama yaitu : sebagai daerah
pemijahan, daerah asuhan berbagai bibit ikan, dan daerah untuk mencari makan berbagai
organisme perairan.
2. Hutan Mangrove
Indonesia memiliki hutan mangrove yang luas dibandingkan dengan negara lain.
Hutan-hutan ini dapat menempati bantaran sungai-sungai besar hingga 100 km masuk ke
pedalaman seperti yang dijumpai di sepanjang sungai Mahakam dan sungai Musi.
Keanekaragaman juga tertinggi di dunia dengan jumlah spesies sebanyak 89, terdiri dari
35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies
parasitik (Kusmana, 2003 dalam Saru, 2007). Selanjutnya Fungsi dan Peran Hutan
Mangrove sbb : (1) Fungsi Fisik : Menyusun mekanisme hubungan antar komponen
dalam ekosistem mangrove/ekosistem lain (padang lamun, terumbu karang), Pelindung
pantai, dan Pengendali banjir; (2) Fungsi Kimia : Penyerap bahan pencemar, Sumber
energi bagi biota laut, dan Suplai bahan organik dalam lingkungan perairan; (3) Fungsi
Biologis : Menjaga kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati di
perairan merupakan pensuplay unsur–unsur hara utama di pantai khususnya daerah
lamun dan terumbu karang; (4) fungsi ekonomi, sebagai sumber kayu kelas satu, bubur
kayu, bahan kertas, chips, dan arang. Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem
peralihan antara daratan dan lautan yang menjadi matarantai yang sangat penting dalam
pemeliharaan keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, tempat berlindung dan
memijah berbagai jenis udang, ikan, berbagai biota laut lainnya, dan juga merupakan
habitat satwa seperti burung, primata, reptilia, insekta, sehingga secara ekologis dan
ekonomis dapat dimanfaatkan untuk peningktan kesejahtraan manusia. Ekosistem
mangrove juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pada Gambar 4.
PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE
Sumber Produk
Ikan Blodok (beberapa jenis) Makanan, Pupuk
Krustasea (udang dan kepiting) Makanan
Moluska (kerang, remis, tiram) Makanan
Lebah Madu, Lilin
Burung Makanan, Bulu, Rekreasi
Reptil Kulit, Makanan, Rekreasi
Fauna lainnya (amfibi, dan serangga) Makanan, Rekreasi
Lamun (sea grass), atau disebut juga ilalang laut, adalah satu-satunya kelompok
tumbuhan berbunga yang tercatat di lingkungan laut. Tumbuhan- tumbuhan ini hidup di
habitat perairan dangkal. Seperti halnya rumput di darat, lamun juga mempunyai tunas
berdaun tegak dan tangkai-tangkai merayap yang dinamakan rimpang (rhizoma). Tangkai
ini merupakan alat efektif untuk perkembangbiakan. Berbeda dengan tumbuhan-tumbuhan
laut lainnya (alga bentik), lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji. Mereka juga
mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan unsur hara (Romimohtarto
dan Juwana, 1999).
Padang lamun mempunyai fungsi yang sangat vital dalam ekosistem perairan sebagai
berikut : (1) Meredam ombak dan melindungi pantai; (2) Tempat pemijahan (spawning
ground); (3) Daerah asuhan larva (nursey ground); (4) Tempat makan (feeding ground);
(5) Rumah tempat tinggal biota laut; (6)Wisata bahar. Salah satu ilustrasi fungsi lamun
sebagai tempat mencari makan dapat dilihat pada Gambar 5.
12
Selain padang lamun kelompok tumbuhan laut lainnya yang mempunyai nilai
ekonomis penting yaitu rumput laut. Potensi rumput laut (alga) di perairan Indonesia
mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400 ton/tahun.
Pemanfaatan rumput laut untuk industri terutama pada senyawa kimia yang terkandung di
dalamnya, khususnya karegenan, agar, dan algin (Nontji, 1987).
Padang lamun dapat dimanfaatkan
sebagai berikut :
• Tempat kegiatan marikultur berbagai
jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram.
• Tempat rekreasi atau pariwisata.
Melihat besarnya potensi pemanfaatan alga, terutama untuk ekspor, maka saat ini
telah diupayakan untuk dibudidayakan. Misalnya budidaya Euchema spp telah di coba di
Kepulauan Seribu (Jakarta), Bali, Pulau Samaringa (Sulawesi Tengah), Pulau Telang
(Riau), dan Teluk Lampung (Dahuri et al 2001). Usaha budidaya rumput laut telah
banyak dilakukan dan masih bisa ditingkatkan. Keterlibatan semua pihak dalam
teknologi pembudidayaan dan pemasaran merupakan faktor yang menentukan dalam
menggairahkan masyarakat dalam mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Peranan
pemerintah regulasi dalam penentuan daerah budidaya, bantuan dari badan-badan peneliti
untuk memperbaiki mutu produksi serta jaminan harga yang baik dari pembeli/eksportir
rumput laut sangat menentukan kesinambungan usaha budidaya komoditi ini.
4.Terumbu Karang
Indonesia memiliki kurang lebih 50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang
tersebar di seluruh wilayah pesisir dan lautan (Dahuri et al. 2001). Terumbu karang
mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik,
tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan berbagai biota; terumbu karang juga
menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai
jenis hasil perikanan, batu karang untuk konstruksi. Dari segi estetika, terumbu karang
dapat menampilkan pemandangan yang sangat indah (Gambar 7). Upaya pemanfaatan
sumber daya alam yang lestari dengan melibatkan masyarakat sangat dibutuhkan. Pada
kasus di Bali (Dahuri et al 2001) dimana masyarakat melakukan pengambilan karang
secara intesif harus dicegah dengan mencarikan alternatif berupa pengelolaan wilayah
tersebut untuk kepentingan turisme dan melibatkan masyarakat didalamnya. Cara seperti
ini telah berhasil dikembangkan di Bunaken Sulawesi Utara dimana masyarakat terlibat
dalam sektor ekonomi seperti pelayanan pada penjualan suvenir, makanan kecil, dan
penyediaan fasilitas untuk menikmati keindahan terumbu karang; perahu katamaran
(perahu yang mempunyai kaca pada bagian tengah, sehingga orang bisa melihat langsung
kedalam air melalui kaca tersebut) atau jasa scuba diving. Sedangkan perusahaan bisa
menyediakan fasilitas hotel, restauran dan lain-lain.
Sumber daya yang tidak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi, yang
termasuk kedalamnya antara lain minyak gas, batu bara, emas, timah, nikel, bijh besi,
batu bara, granit, tanah liat, pasir, dan lain-lain. Sumber daya geologi lainnya adalah
bahan baku industri dan bahan bangunan, antara lain kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan,
kerikil dan batu pondasi. Bebagai potensi sumberdaya mineral wilayah pesisir dan lautan
di Indonesia merupakan penghasil devisa utama dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Beberapa kegiatan eksplorasi minyak bumi dilepas pantai telah mulai berproduksi ,
seperti Laut Jawa dan Selat Makassar.
Pada tahun 1985 Indonesia memiliki cadangan minyak bumi 6,65 milyar barel dan
gas alam sekitar 14,5 milyar barel. Cadangan migas terdapat di 60 cekungan yang
sebagian besar terdapat diwilayah pesisir dan lautan, seperti Kepulauan Natuna, pantai
selatan Pulau Jawa, Selat Makassar, dan Celah Timor. Isu yang beredar akhir – akhir ini
tentang Laut Banda, bahwa ditempat tersebut menyimpan banyak cadangan minyak bumi,
akan tetapi keberadaannya memerlukan terknologi tinggi dan biaya besar untuk
mengeksploitasinya, sehingga belum bernilai ekonomi untuk masa sekarang.
Selain potensi minyak bumi, wilayah pesisir dan lautan juga mengandung sumber
daya mineral logam yang mempunyai nilai ekonomi. Timah putih (Sn) dan zicron juga
terdapat di wilayah ini, terdapat dikepulauan Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat.
Deposit fosfat telah ditemukan di Laut Timor. Mangan Oksida terdapat di Laut Banda,
Seram, dan Maluku serta di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) dekat
Sumatra Barat (Lautan Hindia), dan Irian Jaya (Lautan Pasifik). Ferrometalic nodules
terdapat di wilayah pesisir Sulawesi Utara, dan biji besi dapat ditemukan hampir
disepanjang Pantai Selatan Jawa. Carbonaceous Coral reefs tersebar secara ekstensif di
Kawasan Timur Indonesia (KTI), terutama di sekitar Kalimantan Timur, Sulawesi, dan
Selat Makassar. Semantara itu, bahan bangunan seperti tanah liat, pasir, dan kerikil
tersebar hampir di seluruh wilayah peisisir dan laut Indonesia. Sampai saat ini hanya
timah, bauksit, biji besi, pasir, dan kerikil yang sudah dimanfaatkan. Penelitian Baruna
Jaya II telah mengidentifikasi keberadaan mineral (Mn) dan emas (Au) di daerah perairan
Bangka dan Teluk Bone.
Sumber daya geologi sektor pertamangan lainnya yang telah dieksploitasi adalah
bahan baku industri dan bahan bangunan, antara lain kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan,
kerikil, dan batu pondasi. Pemanfaatan sumber daya geologi sektor pertambangan,
geoteknik, dan kelautan merupakan bukti peran aktifnya sumber daya wilayah pesisir
dalam kegiatan pembangunan, yang diusahakan berkesinambungan dan berwawasan
lingkungan.
C. Jasa-jasa Lingkungan
Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan
sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber
energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah,
pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis
lainnya. Wilayah pesisir dan lautan ini juga memiliki potensi sumber daya energi yang
cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal sebagaimana diketahui,
wilayah pesisir dan lautan sudah dijajaki sebagai salah satu sumber energi alternative
karena resiko polusi terhadap lingkungannya sangat kecil. Sumber energi yang dapat
dimanfaatkan tersebut antara lain : pasang surut, gelombang, perbedaan salinitas, angina,
dan pemanfaatan perbedaan suhu air laut dilapisan permukaan dan lapisan dalam perairan
dikenal dengan OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion).
OTEC merupakan salah satu bentuk pengalihan energi yang tersimpan dari sifat
fisik air laut menjadi energi listrik. Suhu air laut akan menurun sesuai dengan
bertambahnya kedalaman. Perbedaan suhu air dipermukaan dengan suhu air dibagian
dalam dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Menurut beberapa
literatur, perbedaan suhu secara vertikal sangat besar terjadi dilaut tropis sehingga
Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis sangat potensial untuk
mengembangkan OTEC sebagai salah satu energi alternatif.
Pasang surut dapat dikonversi menjadi energi listrik, terutama pada daerah-
daerah teluk atau estuaria yang memiliki amplitudo pasang surut 5 sampai 15 meter.
Metode yang digunakan adalah mengendalikan ketinggian muka air dengan
membangun dam.
Secara alami, permukaan air teluk atau kolom perairan yang dibatasi dengan
bangunan permanen, akan naik dan turun setiap harinya. Energi kinetik dari gerak
itulah yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik.
Perkiraan total energi yang dapat dihasilkan oleh pasang surut diperkirakan mencapai
3 x 106 megawatt atau 3 x 1012 kilo watt.
Tenaga pasang surut mulai dikembangkan secara komersial oleh Prancis sejak
tahun 1966. Pembangkit listrik tenaga pasang surut di daerah estuaria rance
merupakan yang pertama di dunia dan menghasilkan 240 megawatt (dapat
menghidupkan 1012 bola lampu berkekuatan 240 watt sekaligus).
1. Perikanan Tangkap
2. Perikanan Budidaya
4. Industri Bioteknologi
7. Perhubungan Laut
9. Ekosistem Pesisir dan Laut :Hutan Pantai (mangrove); Padang lamun; Terumbu
karang.