Anda di halaman 1dari 7

TUGAS RANGKUMAN WAWASAN SOSIAL BUDAYA

MARITIM PEKAN IV
Dosen: Ahmad Ismail, S.Sos., M.Si

Disusun Oleh:

RATU ANASTACIA BALQIS ARIJADI


NIM : C021211052
KELAS PSIKOLOGI B

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
1. Laut Cina Bagian Selatan (yang sekarang sudah berubah nama menjadi Laut Natuna
Selatan) melintasi:
a. Laut Jawa
b. Selat Sunda
c. Selat Karimata
d. Selat Gaspar
e. Selat Bangka
f. Selat Malaka
Laut dan selat-selat ini mempunyai kedalaman yang dangkal dengan dasar paparan Sunda.
Posisi ini menjadi letak yang strategis untuk perkembangan biota laut, ikan-ikan laut, dan
terumbu karang . Ini menjadi sebuah keuntungan karena beberapa kawasan pesisir di
Indonesia merupakan daerah dangkal yang bisa menjadi rumah atau tempat singgah
hewan-hewan laut yang bisa meningkatkan potensi kelautan di Indonesia.
2. Laut Sulu, berbentuk lembah persegi panjang dengan bagian terdalamnya mencapai
sekitar 5.580 m dan semakin ke timur semakin dalam. Potensi kelautan di laut Sulu tinggi,
sumber daya lautnya tinggi sehingga bisa menjadi potensi ekonomi kelautan.
3. Perairan dalam Kawasan Timur Indonesia terdiri dari: Laut Sulawesi, Flores, Maluku,
Halmahera, Laut Seram, Banda, Sawu, Timor, dan Selat Makassar. Laut-laut ini juga
bersinggungan dengan Laut Natuna Selatan sehingga memiliki potensi kelautan yang
tinggi.
4. Paparan Arafura menghubungkan daratan Papua dengan Australia (Selat Tores)
5. Bagian Perairan Samudera Hindia
Laut sebelah Barat Pulau Sumatera dan Laut sebelah Selatan Pulau Jawa terdapat lembah
di dasar laut dan memiliki palung laut yang bernama Palung Ganda Sunda. Palung Ganda
Sunda ini memiliki kedalaman 5.160 m dan 7.450 m. Jadi, perairan Samudera Hindia
memiliki potensi kemaritiman karena menjadi area tempat ikan bermigrasi, dan jika ikan
atau biotanya mau bertelur mereka masuk ke Kawasan yang dangkal di perairan sekitar
Indonesia. Misal di Selat Makassar, atau Laut Banda, Laut Flores, bisa juga di Laut Jawa
yang bersinggungan dengan Laut Natuna Selatan. Hal ini menguntungkan karena
Indonesia memiliki area untuk ikan melakukan migrasi besar-besaran kemudian ke
perairan dangkal untuk berkembang biak sehingga memiliki potensi besar untuk hewan-
hewan laut untuk dipanen dan ini akan menjadi sebuah siklus seterusnya (siklus
perikanan).

Lalu berikut ini adalah kategori laut Indonesia berdasarkan derajat dan tingkat kewenangan
pengelolaan sumber daya laut menurut Konveksi Hukum Laut pada tahun 1982.
1. Wilayah Laut dengan Hak Kedaulatan Penuh terdiri dari: Laut Pedalaman, Laut Nusantara, dan
Laut Teritorial. Jenis-jenis laut ini merupakan laut yang berada di antara gugusan kepulauan
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Laut Teritorial merupakan batas pesisir, 12
mil dari wilayah pesisir merupakan laut dengan hak kekuasaan sepenuhnya. Laut-laut ini
memiliki kekuasaan total atas ruang udara dan dasar laut serta tanah dibawahnya. Oleh karena
itu, sumber daya apapun yang ditemukan di daerah ini memiliki kekuasaan penuh untuk
dikelola oleh Indonesia dan negara lain tidak memiliki hak untuk terlibat dalam pengelolaan
sumber dayanya.
2. Wilayah Laut dengan Hak Berdaulat di antaranya ada Zona Tambahan, Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE), dan Landasan Kontinen. Wilayah laut ini memiliki kekuasaan atas kekayaan yang ada
didalamnya dengan aturan tertentu. Jadi, segala sumber daya alam yang terdapat di zona-zona
ini membutuhkan aturan tertentu. Indonesia masih memiliki kekuasaan di daerah-daerah
tersebut, tetapi perlu ada aturan yang ditetapkan untuk dieksplor. Jika ada bagian negara lain
yang masuk ke daerah ini akan diusi oleh TNI Angkatan Laut karena melanggar kekuasaan kita
atas wilayah-wilayah ini atau wilayah yurisdikasi Indonesia.
3. Wilayah Laut dimana Indonesia memiliki kepentingan tapi tidak memiliki kekuasaan wilayah
laut yaitu Laut Lepas (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik) dan Dasar Laut Internasional di
luar Landasan Kontinen Indonesia. Kepentingan Indonesia di wilayah tersebut misalnya
sebagai wilayah transportasi dan jalur perdagangan, tetapi semua sumber daya alam di
wilayah tersebut tidak bisa dikelola oleh Indonesia karena wilayah ini termasuk dalam kategori
laut internasional, laut milik bersama yang sumber daya alamnya tidak dapat dikelola oleh
negara-negara tertentu. Setiap derajat kepemilikan atas laut memiliki kekuasaan dalam
pengelolaannya yang berbeda-beda dan konvensi ini menguntungkan Indonesia karena
menjadikan Indonesia negara yang kuat baik dari sisi potensi sumber daya laut dan sebagai
negara yang memiliki luas yang sangat besar hampir seukuran benua Eropa serta negara kita
2/3 nya merupakan laut sehingga negara kita memiliki potensi sumber daya laut yang sangat
besar.

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut dengan batas ke arah
darat yang meliputi bagian daratan, baik kering atau terendam air bersih yang masih pendapat
pengaruh laut seperti angin laut, pasang surut, dan perembesan air laut dengan jenis vegetasi yang
khas. Jenis vegetasi yang khas misal seperti pohon-pohon zaman dahulu.
Batas wilayah pesisir ke arah laut melingkupi bagian atau batas terluar dari daerah paparan
benua atau continental shelf yang memiliki ciri-ciri masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di
darat, contohnya seperti sedimentasi dan aliran air tawar. Dari udara bisa terlihat batas wilayah pulau
yang masih menjadi bagian dari daratan, batasnya tidak terlalu jauh dari laut.
Wilayah pesisir memiliki beberapa keunikan karena sebagai daerah peralihan antara daratan
dan lautan. Tempat bertemunya daratan, lautan, dan udara memiliki karakteristik sebagai berikut.
a. Memiliki tingkat kesuburan yang tinggi.
b. Kaya akan unsur hara.
c. Sumber zat organic yang penting dalam rantai makanan di laut.
d. Ditandai oleh adanya gradient pada perubahan sifat ekologi yang drastis.
e. Peka terhadap gangguan karena adanya perubahan lingkungan dengan ketidakstabilan yang
tidak normal.
f. Sebagai zona penyangga atau buffer zone bagi hewan-hewan migrasi baik dilaut ataupun di
darat. Hal ini yang menjadi potensi ekonomi kita dalam hal kelautan.
Wilayah pesisir yang dibedakan berdasarkan komunitas hayati yang menempati suatu ekosistem
tertentu memiliki klasifikasi sebagai berikut.
a. Ekosistem Litoral (Pantai Dangkal, Pantai Batu, Pantai Karang, dan Pantai Lumpur)
b. Hutan Payau
c. Vegeta Terna Rawa Payau
d. Hutan Rawa Air Tawar
e. Hutan Rawa Gambut

Potensi lestari sumber daya perikanan laut di Indonesia ada sekitar 6,4 juta ton per tahun,
Potensi sumber daya ikan ini tersebar di sembilan daerah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Potensi
budidaya laut, terdiri dari potensi budidaya ikan seperti ikan kakap, ikan kerapu, ikan gobia; udang,
moluska seperti kerang- kerangan, mutiara, teripang; dan rumput laut, potensi luasan budidayanya
sebesar 2 juta hektare atau mencapai 20% dari total potensi lahan perairan pesisir dan laut berjarak
5 km dari garis pantai dengan volume 46,73 juta ton per tahun. Sedangkan potensi budidaya payau
atau tambak mencapai 913.000 hektare. Potensi bioteknologi kelautan masih berpeluang untuk
lebih dikembangkan, seperti industri bahan baku makanan, industri bahan pakan alami, dan benih
ikan dan udang.
Di perairan Indo-Pasifik sebagian besar berada di perairan Indonesia juga merupakan sentral
keanekaragaman terumbu karang dunia, terdapat lebih dari 400 spesies terumbu karang. Tersebar
juga berbagai jenis ganggang laut di berbagai wilayah pantai. Selain memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi, wilayah pesisir Indonesia juga mempunyai luas habitat yang besar, yaitu 2,4 juta
ha kawasan hutan bakau dan 8,5 juta hektare kawasan terumbu karang.
Terdapat kurang lebih 70 % produksi minyak dan gas bumi Indonesia berasal dari wilayah
pesisir dan laut. Dari 60 cekungan yang berpotensi mengandung migas, 40 cekungan terdapat di
pantai lepas, 14 di kawasan pesisir, hanya ada 6 yang ada di daratan. Selain itu, wilayah ini juga
memiliki berbagai jenis bahan tambang dan mineral yang melimpah seperti : emas, perak, timah,
biji besi, dan mineral berat. Selain sumber energi tersebut, ada juga sumber-sumber energi non
konvensional seperti : energi pasang surut, energi gelombang, OTEC atau ocean thermal energy
conversion, tenaga surya dan angin. Potensi sumber daya mineral lain yang bisa dikembangkan lagi
adalah air laut dalam atau disebut juga deep ocean water.
Berhubung Indonesia adalah negara kepulauan dengan wilayah pesisir dan lautan yang luas,
berikut adalah industri dan jasa maritim memiliki potensi untuk dikembangkan adalah:
a. Galangan (pembuatan) kapal dan dockyard
b. Industri mesin dan peralatan kapal
c. Industri alat penangkapan ikan (fishing gears) seperti jaring, pancing, fish finders, tali
tambang, dan lain-lain
d. Industri kincir air tambak atau pedal wheel, pompa air, dan lain-lain
e. Offshore engineering and structures
f. Coastal engineering and structures
g. Kabel bawah laut dan fiber optics
h. Remote sensing, GPS, GIS, dan ICT lain-lain.
Salah satu potensi budaya kemaritiman Indonesia adalah benda peninggalan zaman dahulu
yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi yaitu, Benda Muatan Kapal Tenggelam atau BMKT. Sampai
sekarang diperkirakan ada 463 titik lokasi tempat kapal tenggelam yang sudah terjadi sejak abad ke 14
sampai dengan abad ke 19.
Dilihat dari potensi sumber daya di wilayah pesisir dan lautan, setidaknya terhubung dengan
sebelas bidang ekonomi kelautan yang mampu dikembangkan, antara lain:
a. Perikanan Tangkap
b. Perikanan Budidaya
c. Industri Bioteknologi Kelautan
d. Pertambangan dan Energi
e. Pariwisata Bahari atau Kemaritiman
f. Perhubungan Laut
g. Industri dan Jasa Kelautan
h. Sumberdaya di Pulau-pulau Kecil
i. Coastal Forestry atau mangrove
j. Sumber Daya Alam Non Konvensional
Menurut Deklarasi Bogota pada tahun 1976, wilayah udara dibagi menjadi dua yaitu ada
ruang udara dan ruang antariksa. Deklarasi ini menunjukan bahwa kedua ruang ini memiliki derajat
kekuasaan yang berbeda. Berikut penjelasannya.

a. Ruang Udara nasional atau wilayah kekuasaan negara kolong pemanfaatannya


dikendalikan oleh negara yang memilikinya. Bisa digunakan untuk jalur pesawat dan bisa
digunakan sumber daya lain yang ada di wilayah udara tersebut.
b. Ruang Antariksa adalah ruang angkasa yang dimanfaatkan secara internasional dan tidak
diperbolehkan untuk menjadi subjek negara kolong. Jadi, sebelum Deklarasi Bogota pada
tahun 1976, ada kebijakan bernama Outer Space Treaty pada tahun 1967 dimana negara-
negara maju seperti Amerika dan Uni Soviet pada masa itu sewenang-wenang mengelola
ruang angkasa tanpa persetujuan negara-negara lain terutama negara-negara yang
dilintasi oleh garis khatulistiwa. Negara-negara ini kemudian sangat menentang negara
maju untuk mengelola ruang udara di negara mereka tanpa persetujuan dan komunikasi.
Lalu, pada Deklarasi Bogota di tahun 1976 dibuat perjanjian bahwa ruang antariksa yang
melintasi GSO (Geostationary Satellite Orbit) khususnya negara yang berada dibawah
garis khatulistiwa seperti Indonesia itu sepajat bahwa pemanfaat ruang antariksa tidak
boleh dimanfaatkan secara individu oleh negara tertentu, tetapi harus dimanfaatkan
untuk kepentingan ramai dan kepentingan umat manusia. Karena pada saat itu hanya
negara-negara maju yang memiliki teknologi yang memadai, maka para negara-megara
berkembang meminta bantuan untuk meluncurkan satelit sehingga masing-masing
negara memiliki satelit di Geostationary Satellite Orbit atau GSO.

Cara menentukan batas wilayah udara adalah menarik garis dari pusat bumi sampai batas
ruang angkasa yang membentuk kerucut terbalik. Di daerah ini harus dikelola secara internasional
untuk kepentingan Bersama, tidak hanya untuk kepentingan negara di bawahnya. Luas wilayah udara
lebih luas dibandingkan dengan luas daratan dan luas lautan.

Batas ketinggian wilayah udara ditentukan oleh:

a. Menurut Cooper, batas ketinggian wilayah udara ditentukan oleh kemampuan teknologi
suatu negara.
b. Menurut Schacter, batas ketinggian wilayah udara ditentukan pengukuran 30 km atau
sampai dengan balon dan pesawat terbang bisa mengapung dan diterbangkan.

Indonesia berada dibawah garis khatulistiwa sehingga mempunyai jalur Geostationary


Satellite Orbit atau disingkat GSO. Jadi, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah di luar
angkasa dimana posisi kita sangat pas untuk meluncurkan satelit. Batas pada ruang udara dan ruang
antariksa adalah 100 atau 110 km. Panjang garis khatulistiwa adalah 6.110 km.

Geostationary Satellite Orbit merupakan orbit yang unik, karena GSO merupakan orbit yang
perputarannya mengikuti kecepatan rotasi bumi, sehingga jika sebuah satelit atau benda diletakan
pada orbit ini seakan-akan benda tersebut diam di satu titik tertentu di bumi.

Secara teknis dan sebagai sumber daya alam, GSO menyandang nilai strategis dan manfaat
yang sangat banyak khususnya bagi pihak yang ingin meluncurkan satelit komunikasi pada orbit
tersebut. Satelit yang ditempatkan di GSO memiliki pandangan tetap sekiranya 40% dari permukaan
bumi dan garis khatulistiwa, dengan begitu GSO mampu mempertahankan komunikasi dengan
stasiun bumi yang diletakan pada area ini secara terus menerus (Stuart, 2014). Oleh karena itu,
Ground antenna tidak perlu melakukan orientasi ulang untuk melacak satelit, dan biaya untuk
computer tracking system dapat dihindari. Orbit GSO juga merupakan orbit yang terkena sinar
matahari sebanyak 99%, hal ini memudahkan pembangkit dan penyimpanan tenaga dan mengurangi
siklus suhu satelit. Mengingat pihak militer dan komersial mendapatkan keuntungan dari
pengoperasian di GSO, sangat jelas mengapa banyak negara sangat bergantung pada orbit GSO
dalam memenuhi kebutuhan komunikasinya (Wilkinson, 1990).
Dibalik banyaknya kelebihan yang dipunyai oleh GSO dibandingkan orbit yang lain, akses
terhadap penggunaan posisi orbit GSO sangat terbatas atau limited. Kesanggupan dan karakteristik
unik GSO dalam memasang satelit komunikasi hanya pada lokasi di atas negara-negara yang berada
di bawah garis khatulistiwa saja menjadikan GSO sebagai bagian dari sumber daya alam yang
terbatas (Arafah, 2012). Akan tetapi, dalam penerapan pemanfaatan dan penggunaan GSO hanya
mungkin dilakukan dengan baik oleh negara-negara maju yang memiliki sumber daya dan
kemampuan teknologi yang maju (Pramono, 2011). Hal ini menimbulkan adanya kesenjangan
kepentingan diantara negara-negara maju atau kelompok utara dan negara-negara khatulistiwa dan
berkembang atau kelompok selatan.

Pada sidang ITU di tahun 1977, negara-negara yang berada dibawah garis khatulistiwa
akhirnya mengajukan tuntutan kekuasaan atas GSO yang diusahakan dalam Deklarasi Bogota.
Namun, dalam perkembangannya tuntutan tersebut tidak sesuai dengan prinsip Outer Space Treaty
tahun 1967, yang menyatakan bahwa tidak ada negara yang dapat mengakui kepemilikian bagian
manapun dari wilayah antariksa. Keputusan di sidang ITU akhirnya menyatakan bahwa UNCOPUOS
yang berwenang untuk membahas tuntutan negara-negara ekuatorial tersebut. Oleh karena itu,
secara politis GSO ditangani oleh UNCOPUOS dan GSO menjadi agenda tetap yang dibahas dalam
sidang Subkomite Hukum UNCOPUOS. Dalam sidang ini mengalami dinamika pembahasan dimana
tuntutan atas kekuasaan atas GSO mengalami perkembangan dimana negara-negara berkembang
mengusulkan suatu pembentukan pemerintahan hukum khusus atau sui generis bagi GSO. Hingga
saat ini perkembangan pembahasan GSO di UNCOPUOS belum mengalami kemajuan pesat. Negara-
negara berkembang masih memperjuangkan agar permasalahan GSO tetap dibahas dalam agenda
sidang UNCOPUOS hingga mendapatkan kesepakatan terkait status hukum GSO.

Berhubung dengan perjuangan negara-negara berkembang dalam pengaturan akses


Geostationary Satellite Orbit, Indonesia merupakan salah satu negara ekuatorial yang juga
memperjuangkan permasalahan GSO di forum-forum internasional. Hal ini tidak terlepas dari
kepentingan Indonesia sebagai negara yang berada dalam wilayah di bawah garis khatulistiwa.
Menjadi satu-satunya wilayah negara terpanjang yang dilintasi GSO, yaitu 13 persen dari panjang
GSO seluruhnya. Eksploitasi GSO mengunakan prinsip “first come first served” oleh negara-negara
maju tentunya menjadi perhatian penting bagi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Video Pembelajaran Pekan IV Wawasan Sosial Budaya Maritim,


https://drive.google.com/file/d/1c-oE72sHvyo2PBdVLOoriYAfg5uPVyK-/view diakses
6 September 2021

Arianto, M. F. (2020). Potensi Wilayah Pesisir di Negara Indonesia. Jurnal Geografi, 10(1),
204-215.

Supriadhie, A. (2018). Rezim Hukum Khusus Atas Orbit Geostasioner (GSO)(Prospek dan
Tantangan). Pandecta Research Law Journal, 13(1), 63-75.

Anda mungkin juga menyukai