Anda di halaman 1dari 7

Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah :

1. Umniyah Saleh, M.Psi., Psikolog


2. Andi Tenri Pada Rushtam, MA
3. Mayensari Arifin P., M.Psi., Psikolog
4. Elvita Bellani, M.Sc.
5. Resky Ariani Aras, M.Psi., Psikolog

PAPER KONSEP DASAR DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI

Ratu Anastacia Balqis Arijadi


NIM : C021211052
Kelas Psikologi B

Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
2021
A. Pengertian Psikologi
‘Psikologi’ secara bahasa berarti ‘science of mind’ (Psycho artinya ‘pikiran’ atau
‘mental’, dan -logy berarti ‘ilmu’). Pengertian lebih jelas perihal psikologi bisa
diartikan sebagai ‘ilmu yang mengkaji perilaku dan proses mental’. Tetapi, penjelasan
tersebut merupakan pengertian yang umum dan tidak spesifik. Maka sebelum
mempelajari apa psikologi itu sebenarnya, harus mengetahui terlebih dahulu apa yang
bukan psikologi.
Pseudosains (pseudo berarti semu) artinya ilmu pengetahuan yang semu,
dianggap ilmiah, tetapi tidak mengikuti metode ilmiah, contohnya: astrologi,
numerologi, dan meramal. Pseudosains mengaku bisa memberikan solusi praktis
untuk berbagai masalah dan tantangan hidup. Seperti halnya seorang psikolog, orang-
orang di sistem pseudosains ini mengaku bisa menjelaskan masalah yang dialami
orang-orang dan memprediksi sifat mereka.
Psikologi yang sebenarnya itu berbeda sekali dengan psikologi populer (“pop
psych”) dan pseudosains (sering disebut juga “psychobabble”) yang tak jarang
ditemukan pada berbagai website di internet, televisi, majalah, dan ribuan self-help
books. Psikologi yang sebenarnya lebih kompleks, informatif, dan didasarkan pada
penelitian ilmiah dan fakta empiris yang dihasilkan melalui pengamatan, percobaan,
dan pengukuran yang dilakukan secara cermat.
Saat orang memikirkan tentang psikologi, kebanyakan orang memikirkan seorang
psikolog—orang yang memberikan terapi ke orang-orang yang depresi dan
bermasalah. Padahal, psikologi klinis hanya sebagian dari psikologi itu sendiri. Para
psikolog menganggap ilmu psikologi sebagai perilaku manusia dengan jangkauan
yang luas. Para psikolog ingin memahami bagaimana manusia pada umumnya,
manusia yang mampu belajar, mengingat, memecahkan masalah, memiliki perasaan,
dan mampu atau tidak mampu bersosialisasi dengan manusia yang lain. Oleh karena
itu, para psikolog lebih condong mempelajari pengalaman-pengalaman umum di
kehidupan sehari-hari seperti mengasuh anak, melamun, atau bekerja dipandang
sebagai suatu hal yang istimewa. Temuan-temuan psikologi tidak harus mengejutkan
supaya dinilai penting, terkadang temuan-temuan itu menjadi pembuktian keyakinan
umum dan menjelaskan serta memperluasnya. Seperti halnya ilmuan di bidang lain,
peneliti psikologi tidak hanya berjuang untuk menemukan gejala baru, tetapi juga
memperdalam pemahaman tentang dunia yang sudah kita ketahui sebelumnya seperti
mengidentifikasi bentuk-bentuk cinta, asal-usul kekerasan, atau alasan mengapa lagu
yang indah bisa membuat kita senang.

B. Psikologi Sebagai Ilmu Pengetahuan


Psikologi sebagai ilmu pengetahuan semakin kritis terhadap asumsi
mendasarnya. Evaluasi ulang terhadap asumsi-asumsi ini sangat penting mengingat
kritik baru-baru ini untuk menentukan mana yang penting. Saat ini, kriteria yang
diterima adalah psikologi sebagai ilmu pengetahuan itu empiris, mekanis, kuantitatif,
nomotemik, analitik, dan operasional. Kriteria yang dianggap paling kuat adalah yang
empiris.
Asal mula psikologi sebagai ilmu pengetahuan diawali pada tahun 1879 saat
seorang dokter dan filsuf, Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama
di Leipzig, German. Wundt dihargai oleh para psikolog pada masa itu karena niatnya
mengangkat psikologi menjadi pengetahuan ilmiah yang diumumkan pertama kali di
tahun 1873. Temuan di laboratoriumnya adalah yang pertama kali dipublikasikan
dalam jurnal ilmiah,
Metode penelitian yang digunakan Wundt adalah introspeksi terlatih. Dengan
ini para sukarelawan diminta untuk latihan mengobservasi, menganalisis, dan
mendeskripsikan sensasi, gambaran mental, dan reaksi dari emosinya sendiri.
Tujuannya adalah menguraikan perilaku menjadi elements of thought dasar. Sebagian
besar psikolog menolak pelatihan ini karena dianggap terlalu objektif. Tetapi Wilhelm
Wundt tetap dihargai karena ia resmi mengawali pergerakan psikologi sebagai ilmu
pengetahuan.

C. Sejarah Perkembangan Ilmu Psikologi


Pada era Aristoteles (384-322 SM), filsuf dan penulis sudah memperdebatkan
kenapa manusia bertingkah sedemikian rupa dan mengapa satu manusia berbeda
dengan manusia yang lainnya. Seperti halnya psikolog di masa sekarang, mereka
ingin mendeskripsikan, memprediksikan, memahami, dan memodifikasi perilaku
untuk menambah pengetahuan mengenai manusia dan meningkatkan kebahagiaan
manusia. Namun, tidak seperti psikolog modern, para ilmuan pada zaman dahulu
tidak terlalu mengandalkan fakta empiris. Sering kali, berbagai observasi yang mereka
lakukan hanya didasarkan pada anekdot atau deskripsi dari kasus-kasus individual.
Tanpa mengesampingkan pentingnya para pemikir hebat ini, beberapa ulama
pada abad ke-19 mengajukan pendekatan ilmiah. Terkesan dengan kemajuan hebat di
fisika, kimia, dan biologi, mereka mengharapkan kemajuan yang sama cepatnya di
bidang psikologi. Hippocrates (± 460-377 SM), seorang dokter Yunani yang dikenal
sebagai pendiri ilmu kedokteran modern, melakukan observasi terhadap para pasien
yang mengalami cedera kepala. Berdasarkan observasinya ia menyimpulkan bahwa
otak merupakan sumber utama dari “kenikmatan, kesenangan, tawa, dan lelucon kita,
sekaligus penderitaan, kesakitan, duka cita, dan tangisan kita.” Yang memang benar
adanya. Pada abad ke-17, seorang filsuf inggris, John Locke (1643-1704) berpendapat
bahwa pikiran bekerja dengan menghubungkan ide-ide yang muncul dari pengalaman.
Meskipun demikian, tanpa menggunakan metode empiris, para pendiri psikologi
juga membuat kesalahan yang cukup fatal. Salah satunya adalah teori frenologi
(phrenology) (“pelajaran mengenai pikiran” dalam bahasa Yunani), yang sangat
terkenal di Eropa dan Amerika Serikat di awal tahun 1800-an. Ahli frenologi
berpendapat bahwa berbagai bagian di otak kita berhubungan dengan karakter spesifik
dan personality trait. Mereka mengatakan bahwa sifat-sifat tersebut dapat terdeteksi
melalui bentuk benjolan yang muncul di tengkorak. Di Amerika Serikat, banyak
sekali orang yang menggunakan jasa frenologi untuk berbagai hal. Para orang tua
menggunakan jasa mereka untuk membuat keputusan dalam mengasuh anak-anaknya;
sekolah menggunakan jasa mereka untuk memutuskan guru mana yang akan
dipekerjakan; dan para pengusaha menggunakan jasa mereka untuk memilih
karyawan yang diperkirakan jujur dan setia (Benjamin, 1998). Beberapa ahli frenologi
bahkan membuka kelas-kelas ataupun program belajar mandiri. Minat terhadap
frenologi tidak hilang hingga abad ke-20.
Psikologi sebagai ilmu pengetahuan dimulai pada tahun 1879 saat Wilhelm
Wundt mendirikan laboratorium pertama yang didedikasikan untuk penelitian
psikologi. Salah satu metode penelitian Wundt yaitu adalah intropeksi terlatih. Lalu,
pada tahun 1867 salah satu murid Wundt, Edward B. Titchener, berusaha untuk
mengembangkan ide Wundt dengan cara yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa
dan menyebut pendekatannya sebagai strukturalisme. Para strukturalis berharap dapat
menganalisis berbagai sensasi, gambaran, dan perasaan ke dalam elemen-elemen
dasar, tetapi para psikolog di masa itu merasa kurang setuju dengan pendekatan ini.
Setelah menemukan struktur-struktur pembangun sensasi atau gambaran tertentu yang
saling berkaitan, strukturalis tidak bisa memberikan jawaban ketika partisipan metode
ini memberikan laporan-laporan yang bertentangan. Contohnya saat diberikan
pertanyaan apa yang muncul di pikiran saat mendengar kata segitiga, partisipan
memberikan jawaban yang beragam dan berbeda-beda dan strukturalis tidak bisa
memberikan kesimpulan struktur-struktur tersebut menjadi elemen dasar.
William James (1842-1910), seorang filsuf, dokter, sekaligus penemu psikologi
Amerika melakukan pendekatan terhadap psikologi ilmiah menggunakan metode
fungsionalisme yang menekankan fungsi atau tujuan perilaku dan kesadaran. James
berpendapat bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Wundt dan Titchener adalah
usaha yang sia-sia dan membuang waktu karena otak dan pikiran manusia akan terus-
menerus berubah. Jika para strukturalis mempertanyakan apa yang terjadi ketika
organisme melakukan sesuatu, para fungsionalis mempermasalahkan bagaimana dan
mengapa. Mereka sedikit terinspirasi oleh teori Charles Darwin. Para fungsionalis
ingin mengetahui bagaimana berbagai perilaku dan proses mental yang spesifik dapat
membantu seseorang atau seekor hewan beradaptasi dengan lingkungannya. Para
fungsionalis berusaha mencari penjelasan mengenai penyebab-penyebab yang
mendasari serta konseskuensi praktis dari setiap perilaku dan proses mental ini. Tidak
seperti strukturalis, para fungsionalis bebas untuk mengambil dan memilih di antara
berbagai metode yang ada. Para fungsionalis juga memperluas bidang psikologi
dengan melakukan penelitian tidak hanya orang dewasa tetapi juga pada anak-anak,
hewan, pengalaman religius dan sesuatu yang disebut “the stream of concious” oleh
James. Tetapi seperti sebuah aliran psikologi, aliran fungsionalisme ini memiliki umur
yang pendek. Meski begitu, aliran fungsionalisme yang menekankan penyebab dan
konsekuensi perilaku telah menentukan perjalanan psikologi sebagai ilmu yang
ilmiah.
Pada abad ke-19 ada perkembangan berbagai terapi psikologis. Namun, bentuk
terapi yang memiliki pengaruh terbesar di dunia selama hampir satu abad berasar dari
Wina, Austria. Saat para peneliti bekerja di laboratorium memperjuangkan psikologi
sebagai ilmu pengetahuan, Sigmund Freud (1856-1939) mendengarkan penuturan
pasien-pasiennya mengenai depresi, kecemasan, dan sejumlah kebiasaan obsesif di
dalam ruang kerjanya. Freud dibuat yakin bahwa banyak gejala pasiennya ternyata
diakibatkan oleh mental (pikiran) bukan fisik. Freud menyimpulkan bahwa
penderitaan (distress) yang dialami pasiennya terkait dengan konflik serta trauma
emosional di awal masa kanak-kanak dan terlalu menakutkan jika diingat dalam
keadaan sadar.
Freud menyatakan kesadaran kita seperti puncak gunung es. Menurutnya,
dibalik permukaan yang terlihat terdapat berbagai pikiran yang tidak kita sadari yang
mengandung berbagai harapan, trauma, rasa takut, cemas, rahasia yang menimbulkan
rasa bersalah, dan sebagainya. Pikiran-pikiran ini tidak muncul saat kita dalam
keadaan sadar tetapi sering kali ter-recall saat tidur, atau tiba-tiba terucap tanpa kita
sadari (“slip of the tongue”).
Ide Freud bukan hanya menjadi bahasan sesaat. Ide-ide Freud akhirnya
berkembang menjadi teori kepribadian dan metode psikoterapi yang luas, dikenal
juga dengan sebutan psikoanalisis. Sejak dulu sampai sekarang sebagian besar teori
Freud tidak diterima oleh para psikolog yang memegang pedoman empiris. Walau
begitu, konsep-konsep ini berpengaruh besar bagi filsafat, literatur, dan seni pada
abad ke-20. Freud seperti Einstein-nya ilmu-ilmu ini.
DAFTAR PUSTAKA

Kalat, J. W. (2010). Introduction to Psychology (Ninth Edition). Wadsworth Cengage Learning.

Pawlik, K., & Rosenzweig, M. R. (2012). The International Handbook of Psychology. The International
Handbook of Psychology. https://doi.org/10.4135/9781848608399

Wade, C., Tavris, C., & Garry, M. (1979). Invitation to Psychology. In Invitation to Psychology.
https://doi.org/10.1016/c2013-0-10874-4

Wade, C., Tavris, C., & Garry, M. (2016). Psikologi (Edisi Kesebelas). Penerbit Erlangga.

Bills, A. G. (1938). Changing views of psychology as science. Psychological Review, 45(5), 377–394.
https://doi.org/10.1037/h0062515

Anda mungkin juga menyukai