Anda di halaman 1dari 17

KL2211 EKOLOGI LAUT

“DAMPAK ANTROPOGENIK TERHADAP EKOSISTEM HUTAN MANGROVE,


LAMUN, DAN TERUMBU KARANG DI INDONESIA”

Disusun oleh:

Nama Karin Carelia B


NIM 121300048
Kelas RB

Dosen Pengampu:
M. Hafidz Ibnu Khaldun, S.Kel., M.Si.

PROGRAM STUDI TEKNIK KELAUTAN


JURUSAN TEKNOLOGI INFRASTRUKTUR DAN KEWILAYAHAN
INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah "ekosistem" dikenal cukup lama (Tansley, 1935), yang sekarang
merupakan bagian dari mainstream ilmu ekologi. Sebuah ekosistem didefinisikan
sebagai "sebuah unit spasial eksplisit bumi yang mencakup semua organisme,
bersama dengan semua komponen lingkungan abiotik dalam batas-batasnya
"(Likens, 1992).
Ekosistem di perairan mengandung berbagai detritus, ratusan jenis
organisme termasuk bakteri, fitoplankton, zooplankton, ikan, mamalia, burung, dll.
Semua komponen ini terhubung dalam rantai makanan yang kompleks dengan
interaksi yang berkembang. Sampai saat ini, pengelolaan perikanan telah banyak
berdasarkan pendekatan spesies tunggal (Beverton, 1984). Namun, pengelolaan
ekosistem merupakan pergeseran paradigma, serta sikap baru terhadap eksploitasi
sumber daya laut terbarukan (Christensen et al., 1996). Kehidupan dan
keberlangsungan hidup masyarakat di wilayah pesisir sangat ditentukan oleh
kualitas ekosistem tersebut baik secara fisik maupun ekologis. Keberadaan
ekosistem di wilayah ini menciptakan adanya peluang interaksi antara masyarakat
dengan lingkungan perairan, antar organisme dengan luasan ekosistem, dan antar
ekosistem dengan ekosistem.
1.2 Rumusan Masalah
Pada makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas, seperti :
1. Bagaimana kondisi ekosistem hutan mangrove, lamun, dan terumbu
karang?
2. Apa pengaruh Antropogenik terhadap hutan mangrove, lamun, dan terumbu
karang?
3. Apa pengaruh aktivitas lain yang dapat merusak hutan mangrove, lamun, dan
terumbu karang?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui kondisi ekosistem hutan mangrove, lamun, dan terumbu karang.
2. Mengetahui pengaruh Antropogenik terhadap hutan mangrove, lamun, dan
terumbu karang.
2
3. Mengetahui pengaruh aktivitas lain yang dapat merusak hutan mangrove,
lamun, dan terumbu karang.

3
4
BAB II
ISI

2.1 Kondisi Ekosistem


• Hutan Mangrove
Ekosistem hutan mangrove luasnya hanya 2% dari permukaan
bumi, sehingga menjadi salah satu ekosistem yang langka di dunia
(Setyawan dan Winarno, 2006). Menurut Giri et al. (2011), total luas
hutan mangrove dunia pada tahun 2000 sekitar 137.760 km2 yang
tersebar di 118 negara dan berbagai teritorial di daerah tropis dan
subtropis, dengan persentase sebaran terbesar berada pada 5° lintang
utara dan 5° lintang selatan. Menurut International Union for
Conservation of Nature (IUCN), dari total luas hutan mangrove tersebut
sekitar 75% berada di 15 negara dimana hanya 6,9% yang dilindungi. Indonesia
mempunyai hutan mangrove terluas di dunia dengan luas sekitar 3,2 juta ha
yang merupakan 22,6% dari total hutan mangrove dunia (Kelompok Kerja
Mangrove Tingkat Nasional, 2013; DasGupta dan Shaw, 2013). Namun
menurut Fitri dan Anwar (2014) bahwa pada 2 sampai 3 dekade ini hampir 50%
dari total mangrove di Indonesia telah hilang, dari sekitar 6,7 juta ha tinggal
menjadi sekitar 3,2 juta ha. Pulau Jawa dan Bali merupakan pulau dengan
kerusakan paling besar yaitu sekitar 88%. Sebelumnya kedua pulau ini memiliki
sekitar 171.500 ha, namun saat ini tinggal sekitar 19.577 ha.

Hutan mangrove di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000 ha yang


5
tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha dan Amerika 5.831.000 ha,
sedangkan di Indonesia dilaporkan seluas 3.735.250 ha. Dengan demikian, luas
hutan mangrove Indonesia lebih dari 50% luas hutan mangrove Asia dan hampir
25% dari luas hutan mangrove dunia (FAO, 1994 dalam Onrizal, 2010). Sebagai
negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.504 pulau, Indonesia memiliki
panjang garis pantai lebih kurang 95.181 km dimana sebagian daerah pantai
tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai
beberapa kilometer (Kusmana, 2014).
Hutan mangrove Indonesia sangat beraneka ragam karena kondisi
fisiografi pantai Indonesia sangat bervariasi. Hutan mangrove tumbuh subur di
sepanjang pantai berlumpur yang berombak lemah, terutama di wilayah yang
mempunyai muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak
mengandung sedimen lumpur dan pasir, seperti dijumpai di Sumatera,
Kalimantan dan Irian Jaya, namun di tempat yang tidak ada muara sungai, hutan
mangrove biasanya tumbuh agak tipis (Sukardjo, 1984). Ekosistem hutan
mangrove dapat dibedakan dalam tiga tipe utama yaitu bentuk pantai/delta,
bentuk muara sungai/laguna dan bentuk pulau, dimana ketiganya terdapat di
Indonesia (MacKinnon et al., 2000). Menurut Giesen et al. (2007), di kawasan
Asia Tenggara hampir 60% hutan mangrove berada di Indonesia. Sementara
sisanya berada di Malaysia (11,7%), Myanmar (8,8%), Papua New Guinea
(8,7%), Thailand (5,0%) dan beberapa negara lainnya. Sebaran hutan mangrove
di Indonesia didominasi oleh pulau-pulau besar, yaitu Papua (55%), Sumatera
(19%) dan Kalimantan (16%), serta sebagian tersebar di Sulawesi dan Jawa,
dimana jumlah spesies mangrove yang ditemukan di Indonesia sebanyak 43
spesies (Giesen et al., 2007; DasGupta dan Shaw, 2013).
Sementara itu beberapa data menunjukkan jumlah yang berbeda-beda
terhadap spesies tumbuhan yang mendiami hutan mangrove Indonesia. Sukardjo
(1984) menyatakan bahwa hutan mangrove Indonesia terdiri dari 89 spesies,
terdiri dari 35 spesies tumbuhan pohon, 9 spesies terna, 5 spesies perdu, 9 spesies
liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies tumbuhan parasit. Kusmana (1993) dalam
Kusmana (2009), melaporkan bahwa terdapat sekitar 130 spesies tumbuhan hutan
mangrove di 11 negara Asia-Pasifik, diantaranya terdapat di Indonesia sebanyak
101 spesies. Sementara itu Noor et al., (1999) dalam Komite Nasional
Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah (2004) melaporkan bahwa Indonesia
6
memiliki sebanyak 202 spesies tumbuhan mangrove yang terdiri dari 89 spesies
pohon, 5 spesies palem, 19 spesies liana, 44 spesies epifit, dan 1 spesies sikas.
Sekitar 47 spesies diantaranya merupakan tumbuhan spesifik hutan mangrove.
Perbedaan data jumlah spesies hutan mangrove Indonesia seperti di atas dapat
terjadi karena data diperoleh pada waktu yang berbeda, sehingga jumlah spesies
yang teridentifikasi kemungkinkan akan bertambah atau berkurang sejalan
dengan bertambahnya waktu.
• Lamun
Lamun (seagrass) dikenal dengan tumbuhan tingkat tinggi yang dapat dibedakan
akar, batang dan daunnya serta termasuk tumbuhan yang dapat berbunga
(angiospermae) dengan dapat hidup dan beradap tasi di dalam perairan
(Runtuboi et al.,2018). Pola hidup lamun biasanya secara berkelompok
membentuk suatu hamparan yang dikenal dengan padang lamun yang dapat
bertahan hidup dari hempasan gelombang dan arus. Lamun dapat menjadi
ekosistem yang berfungsi untuk tempat pemijahan, mencari makan dan
berlindung berbagai biota di sekitarnya termasuk ikan-ikan. Menurut Hidayat et
al. (2018), terdapat banyak sekali jenis lamun yang tersebar di seluruh dunia.
Diperkirakan ada sekitar 60 jenis lamun. Jenis lamun yang terdapat di Indonesia
ada sebanyak 12 jenis antara lain Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis,
Halophila spinulosa, Halophila minor, Halophila decipiens, Halodule pinifolia,
Halodule uninervis, Thalassodendron ciliatum, Cymodocea rotundata, Oceana
serrulata (dahulu Cymodocea serrulata), Thalassia hemprichii, Enhalus
acoroides.

7
Dalam penentuan kondisi padang lamun di Indonesia, saat ini belum ada
standar penilaian yang secara jelas dapat digunakan. Rujukan penentuan kondisi
padang lamun saat ini mengacu pada standar Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No, 200 Tahun 2004 tentang status dan kerusakan padang
lamun yang berdasarkan persentasi tutupan lamun, yaitu kategori sehat (≥ 60%),
kurang sehat (30-59,9%), dan miskin (<29,9%). Dalam penentuan kondisi lamun
saat ini mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tahun 2004
No.200 dengan memodifikasi kategori ‘sehat’ menjadi ‘baik’ (≥ 60%), ‘kurang
sehat’ menjadi ‘sedang’ (30-59,9%), dan ‘miskin’menjadi ‘jelek’ (<29,9%).
• Terumbu Karang
Terumbu karang bisa ditemukan di pinggir pantai atau laut dengan
kedalaman yang masih dapat di jangkau oleh sinar matahari. Pada umumnya
terumbu karang dapat ditemukan pada kedalaman sekitar 50 meter di bawah
permukaan laut. Beberapa jenis terumbu karang ditemukan di laut dalam pada
dasar laut namun tidak membentuk karang. Ekosistem terumbu karang pada
umumnya ditemukan di perairan tropis dengan sinar matahari yang banyak
sepanjang tahun. Terumbu karang ditemukan sangat sensitif terhadap perubahan
suhu, perubahan salinitas, dan sedimentasi.
Pada tahun 1998 saat isu global warming menyebar dan bumi mengalami
perubahan suhu yang signifikan, ditemukan pemutihan karang – karang (coral
bleaching). Pemutihan tersebut disertai dengan kematian massal mencapai 90 –
95 %. Kenaikan suhu yang terjadi hanya 2 derajat hingga 3 derajat saja. Hal
tersebut menunjukkan betapa sangat sensitifnya ekosistem terumbu karang.
Apabila karang memutih dan mengalami kematian maka akan banyak organisme
lain yang kehilangan habitatnya. Kepunahan dari karang bisa diikuti dengan
kepunahan organisme lain.
Terumbu karang adalah kekayaan sumber daya pesisir pantai selain
pentingnya fungsi hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang adalah
habitat untuk berbagai organisme yang indah. Indonesia memiliki panjang pesisir
lebih dari 60.000 km2 dengan kekayaan terumbu karang yang sangat melimpah.
Banyak tempat terumbu karang yang layak untuk dikunjungi dan menjadi
destinasi wisata kelas dunia. Beberapa daerah yang dapat dinikmati keindahan
terumbu karang adalah Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara. Indonesia memiliki
satu per delapan terumbu karang yang ada di dunia. Keanekaragaman biota yang
8
ada di perairan Indonesia sangat banyak. Terumbu karang sangat bermanfaat bagi
kehidupan organisme laut maupun bagi manusia, manfaat ekologi maupun bidang
ekonomi. Berikut adalah beberpa manfaat dari keberadaan terumbu karang.
2.2 Pengaruh Antropogenik
• Hutan Mangrove
Pembangunan yang semakin pesat menuntut manusia untuk memenuhi
kebutuhan yang semakin besar dan kompleks. Manusia akan meningkatkan
aktivitasnya dengan berbagai cara guna mengeksploitasi alam agar kebutuhannya
terpenuhi. Kebutuhan manusia yang banyak dan beragam akan memberikan
dampak terhadap kerusakan lingkungan. Menurut Anwar dan Gunawan (2006),
ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks (dipenuhi oleh vegetasi dan
sekaligus habitat bagi beraneka ragam satwa dan biota perairan), dinamis
(kemampuannya untuk dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami
suksesi mengikuti perubahan habitat alaminya) serta labil (mudah rusak akibat
gangguan dan sulit untuk dipulihkan).
Menurut Haryani (2013) bahwa Indonesia mempunyai hutan mangrove
paling luas di dunia. Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2006
melaporkan luas hutan mangrove Indonesia mencapai 4,3 juta hektar, sedangkan
menurut FAO, Indonesia mempunyai hutan mangrove mencapai 3,1 juta hektar
pada tahun 2005, yang merupakan 19% dari total luas hutan mangrove di seluruh
dunia. Walaupun hutan mangrove Indonesia terluas di dunia namun mengalami
degradasi secara sistematis akibat aktivitas antropogenik dimana degradasinya
rata-rata mencapai 14% pertahun (Walhi, 2006 dalam Eddy, 2010). Sementara itu
menurut Permenhut Hutan No. P.03/Menhut-V/2004, berdasarkan hasil
identifikasi tahun 1997-2000 luas potensial habitat mangrove di Indonesia sekitar
8,6 juta ha yang terdiri 3,8 juta ha dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha di luar
kawasan. Sampai dengan peraturan ini dikeluarkan, terdapat 1,7 juta ha (44,73%)
hutan mangrove di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha (87,50%) hutan
mangrove di luar kawasan hutan dalam kondisi rusak.
Menurut Raymond et al. (2010) pada tahun 1982 luas hutan mangrove
Indonesia sekitar 4,25 juta ha, namun pada tahun 1996 yang tersisa tinggal sekitar
3,53 juta ha, atau telah berkurang sekitar 700 ribu ha dan hal ini terjadi hampir di
seluruh kepulauan Indonesia. Sementara itu Ilman et al. (2011) dan Kusmana
(2014) melaporkan bahwa pada tahun 2000 Indonesia masih memiliki hutan
9
mangrove lebih kurang 7.758.410 ha, dengan rincian 30,7% dalam kondisi baik,
27,4% rusak ringan dan 41,9% rusak berat, namun pada tahun 2009 yang tersisa
diperkirakan tinggal 3.244.018 ha. Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode
lebih kurang 9 tahun tersebut lebih dari 4,5 juta ha hutan mangrove Indonesia
hilang.
Menurut laporan Hutchison et al. (2013) walaupun Indonesia memiliki rata-
rata total global biomasa tegakan/above-ground biomass (AGB) hutan mangrove
tertinggi di dunia (729.075.000 ton) dengan hutan mangrove terluas (2.986.496
ha), tetapi Indonesia termasuk negara dengan kecepatan kehilangan hutan
mangrove yang tinggi pula (Hutchison et al., 2013). Kondisi hutan mangrove di
Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan
kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun, sementara laju penambahan luas areal
rehabilitasi mangrove yang dapat terealisasi masih jauh lebih lambat
dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun
(Anwar dan Gunawan, 2006).
Menurut Giri et al. (2008) dalam Laulikitnont (2014), bahwa konversi hutan
mangrove menjadi lahan budidaya perikanan/tambak dan pertanian merupakan
penyebab utama degradasi hutan mangrove di Indonesia. Ilman et al. (2011) dan
Eong (1995) dalam Hamzah dan Setiawan (2010) berpendapat bahwa aktivitas
antropogenik dalam bentuk perikanan, perkebunan, pertanian, tambak garam,
pemukiman, industri, penebangan hutan (legal logging dan illegal logging) dan
tambang merupakan faktor utama degradasi dan hilangnya hutan mangrove di
Indonesia. Sementara itu Kustanti et al. (2012) berpendapat bahwa lebih dari 50%
hutan mangrove terdegradasi atau hilang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
konversi hutan mangrove untuk perikanan, urbanisasi, pencemaran oleh limbah
minyak dan industri dan kurangnya kesadaran masyarakat. Beberapa kerusakan
ekosistem hutan mangrove di Indonesia serta penyebabnya diuraikan dibawah ini.
Menurut Suwignyo et al. (2011), berdasarkan hasil inventarisasi dan
identifikasi hutan mangrove yang dilaksanakan oleh Balai Pengelolaan DAS
Musi tahun 2006, luas potensial hutan mangrove di provinsi Sumatera Selatan
adalah sekitar 1.693.110,10 hektar. Kondisi hutan mangrove tersebut dalam
kategori rusak berat dan sedang adalah seluas sekitar 1.484.724,42 hektar atau
87,69 %, sedangkan yang masih baik seluas 208.387,68 hektar atau 12,31%.
Salah satu kabupaten yang memiliki kawasan hutan mangrove yang besar
10
dengan kecepatan degradasi cukup tinggi di Sumatera Selatan adalah Kabupaten
Banyuasin. Menurut Ridho et al. (2006) dalam Indriani et al. (2009), kawasan
mangrove di Kabupaten Banyuasin telah berkurang sebanyak 20.546,5 ha selama
periode 1992 s/d 2003. Hasil interpretasi data satelit juga diketahui bahwa 94,4%
(107.950,74 ha) kawasan mangrove di Kecamatan Pulau Rimau Kabupaten
Banyuasin dikategorikan rusak berat dan hanya 3,27% (3.756,78 ha) masih
terkategori alami (Dephut, 2006 dalam Indriani et al., 2009). Sementara itu
menurut Suwignyo et al. (2011), Taman Nasional Sembilang (TNS) Kabupaten
Banyuasin merupakan kawasan mangrove terluas di Indonesia Bagian Barat
dengan habitat terbesar berupa ekosistem hutan mangrove. Namun, hutan
mangrove di kawasan ini mengalami tekanan dan degradasi dari tahun ke tahun,
dimana salah satu penyebabnya adalah pembuatan tambak khususnya di
Semenanjung Banyuasin.
Berdasarkan hasil identifikasi gangguan di kawasan Hutan Lindung Air
Telang Kabupaten Banyuasin tahun 2010 diperoleh informasi bahwa telah terjadi
alih fungsi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan, tambak, pertanian dan
pemukiman. Alih fungsi hutan di kawasan ini luasnya sekitar 4.272,63 ha, terdiri
dari ±3.811,71 ha untuk perkebunan, ±377,81 ha untuk tambak, ±26,11 ha untuk
pertanian dan ±57,00 ha untuk pemukiman (Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Banyuasin, 2010). Berdasarkan hasil penelitian Onrizal (2010) bahwa
hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara pada tahun 1977 luasnya masih
ada sekitar 103.415 ha, namun pada tahun 2006 tinggal tersisa sebesar 41.700 ha.
Artinya, dalam kurun waktu hampir 30 tahun hutan mangrove yang hilang lebih
dari 60.000 ha. Adapun penyebab utamanya adalah kegiatan logging dan
konversi untuk lahan tambak, perkebunan dan pertanian. Sementara itu Sarno dan
Ridho (2008) melaporkan bahwa pada tahun 1960-an hutan mangrove di Segara
Anakan masih baik sehingga hasil tangkapan ikan melimpah. Namun pada tahun
1994 ratusan hektar hutan mangrove di Segara Anakan beralih fungsi menjadi
tambak udang oleh para investor dan masyarakat setempat. Disamping itu terjadi
pula illegal logging oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar,
arang dan bahan bangunan.
Kegiatan antropogenik di Jawa Tengah yang telah menurunkan peran ekologi,
ekonomi dan sosial budaya ekosistem hutan mangrove adalah perikanan/tambak,
pertanian, kawasan pengembangan dan bangunan, logging, bahan pangan, pakan
11
ternak, bahan obat, bahan baku industri, serta pariwisata (Setyawan dan Winarno,
2006). Sementara itu, jenis gangguan yang menyebabkan penurunan fungsi dan
degradasi hutan mangrove di Taman Nasional Wakatobi antara lain adalah
timbunan sampah, alih fungsi lahan mangrove dan pengambilan kayu bakau (Jamili
et al., 2009). Pemanfaatan hutan mangrove secara langsung berupa kayu, buah dan
daun bakau terjadi juga di pesisir Sinjai Timur, dimana terdapat sekitar 67%
masyarakat yang memanfaatkan kayu (Saprudin dan Halidah, 2012).
Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove mengakibatkan dampak
terhadap peningkatan abrasi, penurunan tangkapan nelayan, peningkatan intrusi air
laut dan peningkatan angka kejadian malaria (Onrizal dan Kusmana, 2008).
Purwoko (2005) dalam Onrizal dan Kusmana (2008) melaporkan bahwa kerusakan
mangrove di pantai kecamatan Secanggang, kabupaten Langkat, Sumatera Utara
berdampak pada penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap,
56,32% jenis ikan menjadi langka dan 35,36% jenis ikan menjadi hilang, dan
kelompok yang paling besar terkena dampak adalah nelayan. Konversi hutan
mangrove di pantai Napabalano, Sulawesi Tenggara menyebabkan berkurangnya
secara nyata kelimpahan kepiting bakau (Amala, 2004 dalam Onrizal dan
Kusmana, 2008). Penurunan luas dan kerusakan hutan mangrove di pesisir timur
Sumatera Utara menyebabkan peningkatan abrasi pantai sampai hilangnya Pulau
Tapak Kuda serta penurunan keanekaragaman dan volume hasil tangkap nelayan
pesisir (Onrizal, 2010). Potensi hutan mangrove di Muara Gembong, Bekasi pada
periode 1990 s/d 2007 semakin berkurang karena pengembangan lahan tambak,
sehingga berdampak terhadap terjadinya abrasi garis pantai, pendangkalan untuk
kemudian terbentuk daratan baru (akresi) serta menyebabkan penurunan hasil
penangkapan ikan bagi nelayan tangkap (Suwargana, 2008).
• Lamun
Factor hidrodinamika dapat memacu pertumbuhan lamun, misalnya melalui
percampuran kolom air yang memungkinkan pengambilan nutrient dan
meningkatkan fotosintesis akibat berkurangnya ketebalan lapisan batas difusi
(Schanz & Asmus 2003). Sebaliknya komponen struktur lamun seperti daun,
rhizome dan akar dapat juga mengurangi aliran arus dan mengurangi energi
gelombang, menahan dna menyimpan baik sedimen maupun nutrient dan secara
efektif menyiaring input nutrient akibat kepadatan daunnya serta permukaan daun
yang sempit (Hemmiga & Duarte 200; Verduin & Backhaus 2000; Schanz & Asmus
12
2003).
Degradasi dan kematian (die off) lamun biasanya terkait dengan menurunnya
kualitas perairan yang mungkin diakibatkan baik oleh pengaruh aktivitas
antropogenik maupun secara alami (Short & Wylie-Echeverria 1996). Aktivitas
antropogenik mempunyai potensi untuk memodifikasi factor hidrodinamika dan
kualitas perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan dan
penyebaran lamun (Brown 2009).
Contoh aktivitas antropogenik yaitu berada di Pulau Barranglompo, sesuai
table berikut ini:

• Terumbu Karang
Kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia
dapat secara langsung maupun tidak langsung. Contoh paling banyak antara lain
adalah; kegiatan perikanan, usaha penangkapan ikan hias, ikan konsumsi,
pengambilan kerrang-kerang, dan udang dengan menggunakan bahan peledak,
bahan kimia beracun, arus listrik, alat tangkap yang tidak ramah lingkungan
13
seperti potassium, penangkapan yang berlebihan, serta pemanen yang tidak
teratur. Aktivitas pencemaran lingkungan ini juga terjadi pada ekosistem terumbu
karang di Kabupaten Maluku Tenggara.
Rusaknya terumbu karang pada Kawasan Ohoi Ngurbloat akan mengancam
kondisi social dan ekonomi bagi masyarakat yang ada di wilayah tersebut,
khususnya nelayan.

2.3 Pengaruh Aktivitas Lain


• Hutan Mangrove

Ada 2 faktor besar yang menyebabkan rusaknya hutan mangrove di Indonesia


yaitu faktor manusia dan faktor alam. Faktor manusia merupakan faktor paling
dominan penyebab rusaknya hutan mangrove. Ekploitasi yang berlebihan dengan
melakukan penebangan hutan mangrove sering dilakukan oleh masyarakat. Selain itu
juga dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan sehingga sering terjadi membuka
lahan baru dengan memanfaatkan lahan yang ditumbuhi hutan mangrove. Regulasi-
regulasi yang kurang kuat, tumpang tidih dan ketidaksinkronan antar regulasi
membuat hutan mangrove terancam keberlangsungannya. Selain itu faktor alam
memiliki dampak dalam kerusakan hutan mangrove yaitu disebabkan oleh abrasi dan
hama tanaman.

• Lamun
Factor lingkungan seperti suhu, salinitas, arus, pasang surut, karakteristik
substrat/sedimen dan kedalaman kolom air memiliki pengaruh yang besar terdahap
struktur komunitas, pertumbuhan, morfometri, dan pola penyebaran lamun beserta
hewan laut yang berasosiasi dengannya baik secara langsung maupun tidak langsung
(Hemmiga & Duarte 2000; Hogarth 2007).
• Terumbu Karang
Tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir khususnya terumbu karang
semakin meningkat dan berdampak pada kerusakan eksistem terumbu karang secara
langsung maupun tidak langsung. Selain ulah manusia, ekosistem terumbu karang
juga rusak akibat faktor alam. Kerusakan ekosistem terumbu karang di lokasi
penelitian akibat faktor alam disebabkan oleh derasnya gelombang. Hal ini dapat
mempengaruhi ekosistem terumbu karang, sehingga terjadi patahan-patahan di
bagian ujung-ujung karang. Salain itu intensitas hempasan gelombang besar dapat
mengakibat patahan-patahan yang lebih besar bahkan karang tersebut mati. Karang
yang mati karena masa ketuaaanya akan muncul tunas baru pada sisi tubuh karang
dengan munculnya tunas baru.
Kondisi Terumbu Karang Di Perairan Wini Salah satu ekosistem pesisir
pendukung produksi perikanan adalah ekosistem terumbu karang. Manfaat terumbu
karang karang adalah secara fisik sebagai penahan gelombang dan menjaga
14
keseimbangan pantai, secara ekonomis dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan
kapur, pernik pernik/perhiasan dan lain sebagainya. Manfaat terumbu karang secara
ekologis yaitu sebagai tempat bertelurnya ikan, tempat berteduhnya ikan, tempat
mencari makan bagi ikan. Perairan pesisir Wini tersebar dengan beragam jenis
terumbu karang. Letak terumbu karang di perairan Wini terdapat pada jarak kurang
lebih 850 meter dari garis pantai dengan kedalam laut berkisar 70 meter dari
permukaan laut. Jenis-jenis terumbu karang yang terdapat di perairan Wini adalah
Hydnophora rigida, Favites abdita, Echinopora horida, Pectinin laktuca, Lobophyllia
hemprichii, Musa angulosa, Sympillia radians, Favia rotundata.
Banyak masyarakat kelurahan Humusu C Khususnya masyarakat Temkuna
melakukan aktivitas pemanfaatan sumber daya terumbu karang yang tidak
bertanggung jawab atau cenderung merusak. Jenis terumbu karang yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kapur adalah Jenis terumbu Hidnophora
rigida dan Echinophora horida. Informasi yang diperoleh peneliti di lokasi penelitian
bahwa tindakan tersebut dapat terjadi karena desakan ekonomi, kurangnya
sosialisasi, pengawasan, pendampingan, yang disebabkan oleh pihak yang
berwenang. Pengeksploitasian terumbu karang dilakukan sebagai rutinitas sepanjang
tahun. Kerusakan karang diperairan Wini selain ulah manusia juga disebabkan oleh
faktor alam yakni kerusakan terumbu karang oleh arus ombak yang deras.

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aktivitas antropogenik seperti perikanan, perkebunan, pertanian, tambak
garam, pemukiman, industri, penebangan hutan (legal logging dan illegal logging)
dan tambang memberikan sumbangan terbesar terhadap degradasi dan hilangnya
hutan mangrove di Indonesia. Dampak yang terjadi akibat degradasi tersebut adalah
abrasi garis pantai, pendangkalan dan terbentuk daratan baru (akresi), intrusi air
laut, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan hasil penangkapan ikan dan
kepiting, serta peningkatan angka kejadian malaria. Untuk padang lamun memiliki
2 faktor yang mempengaruhi, yaitu alam dan manusia. Factor alam berupa suhu,
salinitas, kecepatan arus, dan tinggi gelombang itupun hanya mendapatkan
pengaruh yang kecil dari aktivitas antropogenik. Sedangkan untuk terumbu karang,
aktivitas masyarakat terhadap pemanfaatan terumbu karang meliputi; Indikator
pemanfatan terumbu karang sebagai bahan bangunan dan pondasi rumah termasuk
dalam kriteria cukup yaitu dengan nilai rata-rata 63%, indikator jual beli terumbu
karang termasuk dalam kriteria rendah yaitu sebesar 52% dan budi daya terumbu
karang termasuk dalam kriteria sangat rendah yaitu 3.23%. Sementara pada kriteria
skala Likert untuk seluruh indikator pengetahuan dan aktivitas pemanfaatan
terumbu karang menunjukkan kriteria sangat tinggi.

16
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Z., dkk. (2014). Kajian Antropogenik Terhadap Terumbu Karang Desa Wosi
Ghufran. 2010. Ekosistem Terumbu Karang ; potensi, fungsi, dan pengelolaan. Rineka
Cipta. Jakarta.
Netty Dahlah Uar dkk. / Majalah Geografi Indonesia. 30(1), 2016: 88-95
Syaiful Eddy, Andy Mulyana, Moh. Rasyid Ridho, Iskhaq Iskandar/Dampak Aktivitas
Antropogenik terhadap Degradasi Hutan Mangrove di Indonesia/2015

17

Anda mungkin juga menyukai