Anda di halaman 1dari 15

PROPOSAL PENELITIAN EKOLOGI PESISIR DAN PANTAI

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

“INVENTARISASI KEANEKARAGAMAN MANGROVE DI RESOR BAMA


TAMAN NASIONAL BALURAN SITUBONDO JAWA TIMUR”

OLEH:

MUFTIKHATUL BIDRI SAMSIYAH

NIM. 18620015

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2021
INVENTARISASI KEANEKARAGAMAN MANGROVE DI RESOR BAMA
TAMAN NASIONAL BALURAN SITUBONDO JAWA TIMUR

Muftikhatul Bidri Samsiyah (18620015)

Prodi Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi


Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: bidrisyamsiyah18@gmail.com

ABSTRAK

Mangrove merupakan karaktetistik dari bentuk tanaman pantai estuari atau muarasungai,
dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Hal ini yang kemudian
menjadikan mangrove sebagai ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan.
Serta, jika terletak pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang
ekstensif dan produktif. Karena habitatnya yang dekat dengan pantai, mangrove sering
juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, dan hutan bakau yang
berfungsi sebagai sumber kayu untuk bahan bakar juga bahan bagunan bagi manusia dan
sebagai salah satu sumber plasma nutfah. Kelestarian mangrove juga harus dijaga dan
dipastikan setiap periodenya, sehingga perlu adanya dilakukan inventarisasi magrove
untuk menjaga dan merawat magrove yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui inflikasi dan inventarisasi mangrove yang terdapat di pesisir Resor Bama
Taman Nasional Baluran. Jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif dengan
mendeskripsikan dan menggambarkan situasi mengenai objek yang diteliti. Tekik
pengambilan sampel yang dilakukan dengan purposive sampling. Serta teknik analisis
data secara deskriptif disajikan dalam bentuk tabulasi data dan gambar dengan
menggunakan Indeks Keanekargaman Shannon-Wienner sebagai acuan.

Kata Kunci: Inventarisasi, Mangrove, Identifikasi


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara
yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Seringkali disebut sebagai hutan pantai,
hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau digunakan untuk jenis-
jenis tumbuhan tertentu saja yaitu dari marga Rhizopora, sedangkan istilah mangrove
digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas ini (Nontji, 1993).
Mangrove berperan penting dalam melindungi pantai dari abrasi yaitu sebagai pemecah
ombak dan tegakan, mangrove dapat melindungi pemukiman dari angin kencang. Akar
mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, hutan mangrove juga
mempunyai fungsi hayati sebagai sumber pakan, tempat pembiakan, perlindungan dan
pemeliharaan biota perairan, burung dan mamalia (Ezwardi, 2009). Mangrove
mempunyai peranan sebagai daerah pertumbuhan (nursery ground), daerah untuk bertelur
(spawning ground), dan daerah untuk mencari makan (feeding ground). Hal tersebut
sangat bermanfaat untuk menunjang biota yang hidup di sekitar ekosistem mangrove.
Berdasarkan vegetasi penyusunnya, hutan mangrove dapat dibedakan atas tiga
macam, yaitu hutan mangrove utama (major mangrove), adalah mangrove yang tersusun
atas satu jenis tumbuhan saja, hutan mangrove ikutan (minor mangrove), yaitu mangrove
yang terdiri atas jenis-jenis campuran dan tumbuhan asosiasi (associated plants), yaitu
berbagai jenis tumbuhan yang berada di sekitar hutan mangrove yang kehidupannya
sangat bergantung pada kadar garam, dan kelompok tumbuhan ini biasanya hidup di
daerah yang hanya digenangi air laut pada saat pasang maksimum saja (Tomlinson,
1986). Vegetasi penyusun hutan mangrove yang ada di Indonesia tergabung dalam 92
spesies tumbuhan, yang terdiri atas pohon (47 spesies), semak (5 spesies), herba (9
spesies), epifit (29 spesies), dan parasit (2 spesies) (Susilowati et al., 2002).
Dewasa ini degradasi kawasan pesisir pantai Indoesia semakin bertambah tiap tahun,
termasuk hutan mangrove. Kerusakan diakibatkan berbagai macam faktor seperti alih
fungsi lahan sebagai tambak, eksploitasi berlebihan, maupun pengaruh alam. Kondisi
degradasi pesisir pantai doalami banyak hutan mangrove di Indonesia, terlebih inisiatif
nelayan merehabilitasi hutan mangrove seringkali mendapat tantangan baik dari
pemerintah akibat kebijakan yang tumpang tindih. Disisi lain, Indonesia memiliki
hamparan hutan mangrove terbesar di dunia. Menurut data Food and Agriculture
Organization (FAO), hutan mangrove dunia sekitar 6,530 juta hektar. Tersebar di Asia
7,441 juta, Afrika 3,258 juta dan Amerika 5,83 juta hektar. Merujuk pada The World’s
Mangrove 1980-2005 dari luasan, mangrove Indonesia terluas didunia yaitu sekitar 49%,
namun kondisi makin menurun baik dari kualitas maupun kuantitas. Pada tahun 982,
hutan mangrove Indonesia seluas 4,25 juta hektar dan 2009 menjadi kurang dari 1,9 juta
hektar. Hal ini membuktikan bahwasannya hutan mangrove di Indonesia mengalami
penurunan kuantitas dan kualitas, sehingga menimbulkan ketidak seimbangan alam.
Agama Islam memerintahkan umat manusia untuk menjaga keseimbangan alam di
muka bumi. Sepertu disebut dalam firman Allah SWT dalam Q.S Ar-Rum ayat 41-42
yang artinya:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). Katakanlah (Muhammad):
“berpergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu.
Kebanyakan dari itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”
Taman Nasional Baluran secara geografis terletak pada 7°29′10” - 55” LS dan
114°39′10” BT dengan luas ± 25.000 Ha. Taman Nasional Baluran merupakan salah satu
taman nasional yang melindungi keberadaan ekosistem bahari berupa mangrove.
Ekosistem mangrove yang berada pada Taman Nasional Baluran mempunyai luas hutan
mangrove di Taman Nasional Baluran kurang lebih berdasarkan penelitian Sudarmadji
(2009: 16-17) adalah 416,093 Ha. Mangrove di kawasan Taman Nasional Baluran
merupakan salah satu objek konservasi utama yang mana hal ini merupakan salah satu
langkah untk optimalisasi potensi dan pengelolaan wilayah pesisir agar kelestariannya
tetap terjaga dengan baik. Selain itu, Mangrove di kawasan Taman Nasional Baluran
memiliki fungsi vital untuk menjaga berbagai ekositem di sekitarnya dari kerusakan
akibat abrasi atau sedimentasi yang dibawa oleh sungai menuju wilalyah perairan laut.
Namun, luasan hutan mangrove terus terdegradasi yang mana apabila tidak ditindak
lanjuti akan mempengaruhi kelangsungan hidup ekosistem hutan mangrove. Pasang-surut
air laut menyebabkan terjadinya perubahan beberapa faktor lingkungan yang besar,
terutama suhu dan salinitas. Oleh karena itu, hanya beberapa jenis tumbuhan yang
memiliki daya toleransi yang tinggi terhadap lingkungan tersebut. Sehingga, penting
adanya penelitian dengan judul Inventarisasi Keanekaragaman Mangrove di Resor Bama
Taman Nasional Baluran Situbondo Jawa Timur.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja spesies mangrove di kawasan Resor Bama Taman Nasional Baluran
Situbondo Jawa Timur?
2. Bagaimana tingkat kenekaragaman jenis mangrove di kawasan Resor Bama
Taman Nasional Baluran Situbondo Jawa Timur?
1.3 Tujuan
Tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menegetahui spesies mangrove di kawasan Resor Bama Taman
Nasional Baluran Situbondo Jawa Timur.
2. Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis mangrove di kawasan Resor
Bama Taman Nasional Baluran Situbondo Jawa Timur.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai langkah awal usaha konservasi mangrove di wilayah Banyuwangi dan
Situbondo Jawa Timur.
2. Sebagai upaya pengumpulan data dan informasi mengenai jenis-jenis
mangrove yang terdapat di wilayah Situbondo dan Banyuwangi Jawa Timur.
3. Sebagai bahan masukan bagi badan pengelola Taman Nasional Baluran
sebagai sarana sosialisasi keanekaragaman flora dan fauna yang ada di sana.
1.5 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengambilan sampel dilakuka di wilayah Resor Bama Taman Nasional
Baluran Situbondo Jawa Timur.
2. Lokasi penelitian dibagi menjadi 3 stasiun jelajah dengan metode ....
3. Pengambilan sampel dilakukan pada siang hari dengan batasan waktu selama
5 jam.
4. Identifikasi dilakukan secara morfologi menggunakan buku panduan lapangan.
5. Faktor abiotik yang diamati meliputi suhu udara, suhu air, dan kelembapan
tanah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Mangrove


Kata mangrove merupakan kombinasi antara kata mangue (bahasa Portugis) yang
berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil (Arief,
2003). Menurut Steenis (1978) dalam Rahmawaty (2006) mangrove adalah vegetasi hutan
yang tumbuh diantara garis pasang surut. Sementara menurut Nybakken (1992) dalam
Rochana (2010) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa
spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuh pada perairan asin.
Kathiresan dan Bingham (2001) dalam Taher (2011) mendefinisikan hutan
mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara
sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia
sp., Sonneratia sp, Rhizophora sp., Bruguiera sp., Ceriops sp, Lumnitzera sp.,
Excoecaria sp., Xylocarpus sp., Aegiceras sp, Scyphyphora sp., dan Nypa sp. Ezwardi
(2009) menyatakan bahwa hutan mangrove disebut sebagai hutan payau atau bakau.
Hutan mangrove ini dianggap sebagai salah satu ekosistem yang khas, menempati habitat
pada garis pantai daerah tropis.

2.2 Jenis Mangrove


Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 genera
tumbuhan berbunga (Avicennia sp., Sonneratia sp., Rhizophora sp., Bruguera sp.,
Ceriops sp., Xylocarpus sp., Lumnitzera sp., Aegiceras sp., Aegiatilis sp., Snaeda sp.,
Conocarpus sp.) yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen,2001). Sejauh ini di
Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5
jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis efipit, dan 1 jenis paku. Dari
202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu)
ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan
sekitar mangrove yang dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (asociateasociate) (Noor,
dkk. 1999).
Bakau (Mangrove) merupakan suatu komponen ekosistem yang terdiri atas
komponen mayor dan komponen minor. Komponen mayor merupakan komponen yang
terdiri atas mangrove sejati, yakni mangrove yang hanya dapat hidup di lingkungan
mangrove (pasang surut). Komponen minor merupakan komponen mangrove yang dapat
hidup di luar lingkungan mangrove (tidak langsung kena pasang surut air laut). Mangrove
yang merupakan komponen mayor disebut juga dengan mangrove sejati, sedangkan
mangrove yang termasuk komponen minor disebut dengan mangrove ikutan (Erlin,
2011). Noor dkk (2006), menyatakan bahwa yang termasuk mangrove sejati meliputi;
Acanthaceae, Pteridaceae, Plumbaginaceae, Myrsinaceae, Loranthaceae, Avinaceae,
Rhizoporaceae, Bombaceae, Euphotbiaceae, Aslepidaceae, Sterculiaceae, Combretaceae,
Arecaceae, Mytraceae, Lythraceae, Rubiaceae, Sonnerathiaceae, Meliaceae. Sedangkan
untuk mangrove tiruan meliputi; Lecythidaceae, Gultiferaceae, Apocynaceae,
Verbenaceae, Leguminosa, Malvaceae, Convolvulaceae, Melastomataceae. Di Indonesia
sendiri, mangrove yang sering dijumpai adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau
(Rhizopora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.),
merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove
tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan, dan
menstabilkan tanah habitatnya (Irwanto, 2006)
Tomlinson (1984), membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, antara lain :
1. Flora mangrove sejati (Flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang hanya
tumbuh di habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan
secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai
bentuk-bentuk adaptasi khusus (bentuk akar nafas/udara dan viviparitas) terhadap
llingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologi dalam mengontrol
garam (mengeluarkan garam untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan).
Contohnya adalah jenis-jenis dari genus Avicennia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera dan Nypa.
2. Flora mangrove penunjang (minor), yakni flora mangrove yang tidak mampu
membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan
dalam struktur komunitas, contohnya adalah dari jenis-jenis dari genus
Excoecaria, Xylocarpus, Phempis, Osbornia, dan Pelliciera.
3. Tumbuhan asosiasi mangrove, yakni flora yang berasosiasi dengan tumbuhan
mangrove sejati dan merupakan vegetasi penunjang, contohnya adalah jenis jenis
dari genus Cerbera, Acantus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.

2.3 Struktur dan Adaptasi Mangrove


Tumbuhan mangrove memiliki daya adaptasi fisiologi dan morfologi yang khas
agar dapat terus hidup pada lingkungan yang bersalinitas tinggi dan kondisi lumpur yang
anerob di perairan laut dangkal. Mangrove tahan terhadap lingkungan dengan suhu
perairan yang tinggi, fluktuasi salinitas yang luas dan tanah yang anerob. Salah satu
faktor yang penting dalam adaptasi fisiologis adalah sistem akar udara. Tidak semua
tumbuhan mangrove memperoleh oksigen untuk akar-akarnya dari tanah yang
mengandung oksigen, mengrove tumbuh di tanah yang tidak mengandung oksigen dan
memperoleh hampir seluruh oksigen untuk akar-akar dari atmosfer. Spesies Rhizophora
memenuhi kebutuhan tersebut dengan akar-akar tunjang yang mencuat sampai satu meter
atau lebih di atas permukaan tanah. Bakau mempunyai sejumlah bentuk khusus yang
memungkinkan mereka untuk hidup di perairan lautan yang dangkal yaitu berakar
pendek, menyebar luas dengan akar penyangga atau tudung akarnya yang khas tumbuh
dari batang dan atau dahan. Akar–akar yang dangkal sering memanjang yang disebut
pneumatofor ke permukaan substrat yang memungkinkannya mendapat oksigen dalam
lumpur yang anoksin di mana pohon-pohon ini tumbuh. Daun–daunnya kuat dan
mengandung banyak air dan mempunyai jaringan internal penyimpan air dan kosentrasi
garamnya tinggi. (Dahuri, 2003)
Beberapa bakau mempunyai kelenjar garam yang menolong menjaga
keseimbangan osmotic dengan mengeluarkan garam. Bakau tertentu (Bruguiera,
Rhizophora) yang berkembang sendiri di perairan lautan mempunyai perkembangan
bentuk yang khusus pada perkembangan dan penebaran benih. Benih ini, ketika masih
pada tumbuhan induk, berkecambah dan mulai tumbuh di dalam semaian tanpa
mengalami istirahat. Selama waktu ini, semaian memanjang dan distribusi beratnya
berubah, sehingga menjadi lebih berat pada bagian terluarnya, akhirnya lepas. Akhirnya
semaian ini jatuh dari pohon induk dan, karena distribusi berat, mengapung di permukaan
air. Kemudian dibawa oleh aliran air sampai memasuki perairan yang cukup dangkal
dimana ujung akarnya dapat mencapai dasar. Bila hal ini terjadi, maka akar akan
dijulurkan dan dipancangkan kemudian terus tumbuh menjadi sebuah pohon.
Avicenia, atau bakau putih, dan Sonneratia merupakan perdu yang terkenal karena
akar napasnya yang mencuat dari tanah ke udara meliputi daerah luas di sekeliling
tumbuhan itu. Meskipun sifat viviparnya tidak begitu mencolok seperti Rhizophora,
lembaga bijinya telah berkembang baik sehingga bijinya cepat berkecambah ketika jatuh
dari pohon. Berdasarkan perawakannya, flora mangrove dibagi ke dalam lima kategori,
yaitu: pohon (tree), semak (shrub), liana (vine), paku/palem (fern/palm), dan
herba/rumput (herb/grass). Flora mangrove memiliki sistem perakaran yang khas,
sehingga bisa digunakan untuk pengenalan di lapangan. Bentuk-bentuk perakaran
tumbuhan mangrove yang khas tersebut adalah sebagai berikut (Onrizal, 2008) :
A. Akar pasak (pneumatophore).

Gambar 2.1 akar pasak


sumber : mobile.mangrovesforthefuture.org

Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang
keluar ke arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avicennia, Xylocarpus
dan Sonneratia.
B. Akar lutut (knee root).

Gambar 2.2 akar lutut


sumber mobile.mangroveforthefuture.org

Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke
arah permukaan substrat kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar lutut
seperti ini terdapat pada Bruguiera spp.
C. Akar tunjang (stilt root).
Gambar 2.3 akar tunjang
sumber : mobile.mangroveforthefuture.org
Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari batang dan
tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat pada Rhizophora spp.
D. Akar papan (buttress root).

Gambar 2.4 akar papan


Sumber : mobile.mangroveforthefuture.org
Akar papan hampir sama dengan akar tunjang tetapi akar ini melebar menjadi
bentuk lempeng, mirip struktur silet. Akar ini terdapat pada Heritiera.
E. Akar gantung (aerial root).
Akar gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau
cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung terdapat pada
Rhizophora, Avicennia dan Acanthus.
Gambar 2.5 gantung
Sumber : mobile.mangroveforthefuture.org
Pada umumnya pohon mangrove mempunyai satu atau lebih tipe akar.
Berbagai bentuk perakaran tersebut merupakan salah satu cara adaptasi tumbuhan
mangrove terhadap kondisi habitat yang sering tergenang air pasang, sehingga
tanahnya bersifat anaerob (Onrizal, 2008).

2.4 Ekosistem Mangrove


Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem perpaduan antara ekosistem lautan
dan daratan dan berkembang terutama di daerah tropika dan sub tropika yaitu pada
pantai- pantai yang landai, muara sungai dan teluk yang terlindung dari hempasan
gelombang air laut. Dengan demikian hutan mangrove merupakan penyangga ekosistem
daratan dan lautan, dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam
memelihara keseimbangan biologi di suatu perairan. Sebagai salah satu ekosistem pesisir,
hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini
mempunyai fungsi ekologi dan ekonomis. Fungsi ekologi hutan mangrove antara lain :
pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari
makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat
pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim
mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga,
penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Dari sudut ekologi hutan mangrove
merupakan ekosistem yang sangat unik dan merupakan salah satu sumber daya alam yang
sangat potensial karena di kawasan hutan mangrove terpadu unsur fisik, biologis daratan
dan lautan. Ekosistem mangrove hanya didapati di daerah tropik dan sub-tropik.
Ekosistem mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan
ciriciri ekologik sebagai berikut (Waryono,2000):
1. Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan
yang berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang.
2. Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya
tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan
menentukan komposisi vegetasi ekosistem mangrove itu sendiri.
3. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau
air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan
unsur hara dan lumpur.
4. Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-
rata di bulan terdingin lebih dari 20ºC.
5. Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas
mencapai 38 ppt.
6. Arus laut tidak terlalu deras.
7. Tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak
yang kuat.
8. Topografi pantai yang datar/landai.

Habitat dengan ciri-ciri ekologik tersebut umumnya dapat ditemukan di


daerah- daerah pantai yang dangkal, muara-muara sungai dan pulau-pulau yang
terletak pada teluk. Ditinjau dari sudut pandang ekologi, hutan mangrove merupakan
sebuah ekosistem yang unik. Hal ini terjadi karena pada perairan yang kadar
garamnya sangat kecil (payau) tersebut tergabung empat unsur biologi yang sangat
mendasar, yaitu daratan, air, pepohonan, dan fauna. Keistimewaan lain dari ekosistem
mangrove adalah resisten terhadap kadar garam yang biasa terdapat di daerah pasang
surut (tidal) baik tropis maupun subtropis. Hutannya tidak tergantung pada iklim
melainkan terhadap tanah (edaphis). Lain halnya dengan hutan tropis yang komposisi
tanahnya berlapis-lapis, hutan mangrove hanya mempunyai satu lapisan tanah saja
(singles strata). Oleh karena itu adanya titik temu antara daratan dengan lautan, maka
ekosistem kawasan mangrove menjadi sangat rumit. Tumbuhan tersebut terikat oleh
ekosistem di darat maupun di lepas pantai (Purnobasuki, 2005).

2.5 Zonasi Persebaran Mangrove


Pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove secara umum mengikuti suatu pola
zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti tipe tanah (lumpur,
pasir, atau gambut), keterbukaan terhadap hempasan gelombang, salinitas, serta pengaruh
pasang surut (Dahuri, 2003). Jalur-jalur atau zonasi vegetasi hutan payau masing-masing
disebutkan secara berurutan dari yang paling dekat dengan laut ke arah darat sebagai
berikut :
1. Jalur padada yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Avicennia spp. Dan
Sonneratia spp.
2. Jalur bakau yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Rhizophora spp. Dan
kadang- kadang juga dijumpai Bruguiera spp. Ceriops spp. dan Xylocarpus
spp.
3. Jalur tancang yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Bruguiera spp. dan
kadang- kadang juga dijumpai xylocarpus spp, Kandelia spp. dan
Aegiceras sp
4. Jalur transisi antara hutan payau dengan hutan dataran rendah yang
umumnya adalah hutan nipah dengan spesies Nypa fruticans.

Gambar 2.6 Zonasi Mangrove Sumber : Zonasi vegetasi mangrove


Sumber data : 1989 dalam Noor dkk.2006
Umumnya di perbatasan daerah laut didominasi jenis mangrove pionir Avicennia
spp. dan Sonneratia spp. Di pinggiran atau bantaran muara sungai, Rhizophora spp. yang
menempati. Di belakang zona ini merupakan zona campuran jenis mangrove seperti
Rhizophora spp., Sonneratia spp., Bruguiera spp., dan jenis pohon yang berasosiasi
dengan mangrove seperti tingi (Ceriops sp,) dan panggang (Excoecaria sp.). Di sepanjang
sungai di bagian muara biasanya dijumpai pohon nipah (Nypa fruticans). (Irwanto, 2006)
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian Inventarisasi keanekaragaman Mangroveini dilakukan di kawasan Resor
Bama Taman Nasional Baluran, Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini
dilaksanakan pada 05 Juli sampai 05 Agustus 2021.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktek kerja lapangan adalah GPS Essensial
untuk menentukan koordinat stasiun, tali rafia dan roll meter untuk membuat transek,
thermometer untuk mengukur suhu, gunting, buku indentifikasi mangrove, botol sampel,
tabel keanekaragaman, dan kamera untuk mengambil gambar morfologi.

3.3 Langkah Kerja


3.3.1 Persiapan
Sebelum keberangkatan persiapan yang dilakukan yaitu persiapan alat yang akan
digunakan dan studi literatur dari jurnal, buku, maupun melalui internet dan aplikasi.
3.3.2 Survey Lokasi dan Pengumpulan Data
Survey lokasi penelitian untuk menentukan lokasi pegamatan penelitian.
Pengamatan lapangan yang meliputi keseluruhan kawasan hutan mangrove dengan tujuan
untuk melihat secara umum keadaan fisignomi dan komposisi tegakan hutan serta
keadaan pasan surut daerah setempat. Selanjutnya dilakukan pembagian daerah
pengamatan menjadi empat titik yang mewakili. Pada masing-masing stasiun dibuat garis
transek tegak lurus dengan garis pantai ke arah darat sebagai panduan jelajah dengan
menggunakan alat bantu GPS Essensial. Kemudian pengumpulan data dilakukan dengan
pencatatan jenis-jenis flora mangrove di sepanjang garis transek dengan metode Spot
check/ Visual Ecountry Survey (VES).
3.3.3 Identifikasi Flora Mangrove
Identifikasi flora mangrove dilakukan dengan pengamatan secara langsung di
lapangan di empat titik pengamatan. Identifikasi dilakukan dengan memperhatikan
perbedaan akar, daun, bunga dan buah manrove. Serta, menampakkan fisiologi tegakan
mangrove. Identifikasi ini merujuk pada pedoman Pengenalan Mangrove dan Buku
Identifikasi Mangrove.
DAFTAR PUSTAKA
Alaby M. 2010. A Dictionary of Ecology. Oxford University Press, Oxford, UK.
Ditjen Cipta Katya. 2000. Baku Panduan Pengembangan Alr Minum.
Irwan, D. Z. 1994. Peranan bentuk dan Struktur hutan kota terhadap kualitas lingkungan
kota. Disertasi, pascasarjana, Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Kananifan, Afrandi. 2015. Perancagan Eduwisata Mangrove di Pantai Cengkrong
Kabupaten Trenggalek. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang.
Kusmana, C dan Onrizal. 1998. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Arahan
Teknik Rehabilitasinya di Pulau Jawa
Noor, Y.R, M. Khazali dan I.N. Suryadiputra.1999. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.
Q.S Ar-Rum 41-42
Rencana Pembangunm Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Malang.
https://www.malangkab.go.id/mlg/

Anda mungkin juga menyukai