Anda di halaman 1dari 3

1.

Ekosistem Mangrove
1.1. Distribusi Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan kesatuan antara mangrove, hewan dan organisme lain yang
saling berinteraksi antara sesama dan lingkungannya (Peraturan Menteri Kehutanan No. P35 Tahun
2010) sedangkan definisi dari mangrove yaitu tumbuhan yang mampu hidup di daerah pasang surut
dengan substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir berlumpur dan pasir (Rosadi et al. 2018). Mangrove
tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi
pulau yang terlindung dari angin atau berada di belakang terumbu karang di lepas pantai yang
terlindung (Nybakken 1992). Hutan mangrove berada di perbatasan antara darat dan laut
sehingga ekosistem tersebut merupakan ekosistem yang rumit dan memiliki keterkaitan
dengan ekosistem darat maupun lepas pantai (Sjafrie 2016)
Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman mangrove tertinggi di dunia dengan jumlah 202 jenis
mangrove yang meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44
jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari seluruh jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan
beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lainnya
ditemukan di sekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (asociate asociate) (Noor
et al. 2006). Mangrove di Indonesia tersebar di setiap provinsi, dari Aceh hingga Papua. Luas hutan
mangrove di Indonesia sebesar 3.364.076 Ha berdasarkan Peta Mangrove Nasional (PMN) yang dirilis
oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2021. Dari 3.364.076 Ha luas hutan
mangrove, diidentifikasi seluas 2.261.921 Ha berada di dalam kawasan hutan dan 702.798 Ha berada
di luar kawasan hutan.

1.2. Struktur dan Geomorfologi Hutan Mangrove


Hutan mangrove memiliki zonasi dari pesisir pantai hingga ke tengah hutan. Mangrove yang
berada di wilayah paling dekat dengan laut memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap air laut.
Bengen (2002) mengemukakan bahwa jenis pohon penyusun hutan mangrove di Indonesia, apabila
diurutkan dari arah laut ke arah daratan dapat dibedakan menjadi 4 zonasi, yaitu :
1. Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)
Jenis mangrove ini terletak paling luar atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak
lembek (dangkal) dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak
tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia sp.) dan prepat (Sonneratia sp)
dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora sp).
2. Zona Bakau (Rhizophora)
Jenis mangrove ini biasanya terletak di belakang api-api dan prepat dan keadaan tanah berlumpur
lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp.) dan di beberapa tempat
dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera sp.).
3. Zona Tanjang (Bruguiera)
Mangrove ini terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut atau dekat dengan daratan.
Keadaan berlumpur agak keras dan agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis
tanjang (Bruguiera sp.) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.
4. Zona Nipah (Nypa fructicant)
Zona ini terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air
dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi
pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis
nipah (Nypa fructicant) dan beberapa spesies palem lainnya.
Mangrove dapat hidup pada berbagai tipe geomorfologi. Menurut Purnobasuki (2005) mangrove
terbagi atas tiga formasi geomorfologi yaitu mangrove sungai, mangrove muara dan mangrove.
Menurut (Odum 1972) struktur ekosistem mangrove, secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga
tipe formasi yaitu:
1. Mangrove Pantai
Mangrove pada tipe ini umumnya dipengaruhi oleh air laut, namun dominan dari air sungai.
Struktur horizontal dari formasi ini dari arah laut ke arah darat yaitu dimulai dari tumbuhan pionir
(Sonneratia alba), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba, Avicennia sp, Rhizophora
apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan akhirnya komunitas campuran
Rhizophora–Bruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicansdi
di belakang komunitas campuran yang terakhir.
2. Mangrove Muara
Pada tipe ini, pengaruh air laut sama kuat dengan pengaruh air sungai. Mangrove muara dicirikan
oleh mintakat tipis Rhizophora sp. Di tepian alur, diikuti komunitas campuran Rhizophora –
Bruguiera dan diakhiri komunitas murni Nypa sp.
3. Mangrove sungai
Mangrove pada tipe ini lebih didominasi oleh pengaruh air sungai daripada air laut dan
berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Mangrove pada kawasan sungai
banyak berasosiasi dengan komunitas daratan.

1.3. Jasa Ekosistem Mangrove


Jasa ekosistem merupakan manfaat yang diberikan suatu ekosistem untuk masyarakat.
Menurut MEA (2005) manfaat ekosistem mangrove untuk masyarakat dibedakan menjadi 4
komponen, yaitu jasa pendukung (supporting services), jasa penyedia (provisioning services),
jasa pengaturan (regulating services) dan jasa budaya (cultural services).
Supporting services adalah jasa ekosistem yang diperlukan untuk produksi semua layanan
ekosistem lainnya, misalnya; layanan daur ulang nutrisi, produksi primer dan pembentukan
tanah. jasa ini memungkinkan bagi ekosistem sebagai sumber persediaan makanan, regulasi
banjir dan pemurnian air. Regulating services adalah manfaat yang diperoleh dari regulasi
proses ekosistem, misalnya penyerapan karbon dan pengaturan iklim, dekomposisi limbah
dan detoksifikasi; pemurnian air dan udara, pengendalian hama dan penyakit. Provisioning
services adalah produk yang diperoleh dari ekosistem, misalnya makanan, bahan baku,
sumber daya genetik, sumber obat, energi, sumber ikan hias. Cultural services adalah manfaat
nonmaterial diperoleh dari ekosistem melalui pengayaan spiritual, perkembangan kognitif,
refleksi, rekreasi, dan pengalaman estetika, misalnya budaya, spiritual dan sejarah,
pengalaman, ilmu pengetahuan dan pendidikan (Sjafrie 2016).

1.4. Ancaman Ekosistem Mangrove


Ancaman untuk Ekosistem Mangrove dapat berasal dari alam maupun dari manusia.
Ancaman yang berasal dari alam meliputi bencana yang sering terjadi seperti tsunami , air
rob, gelombang ekstrim dan abrasi sedangkan ancaman yang berasal dari manusia seperti
dampak antropogenik, pembabatan lahan mangrove untuk pembukaan lahan dan penggunaan
kayu mangrove secara berlebihan. Ancaman-ancaman tersebut dapat membuat luasan
mangrove berkurang setiap tahunnya. Berdasarkan data dari FAO (2007), luas hutan
mangrove di Indonesia dari tahun 1980 hingga 2005 terus mengalami penurunan, yaitu dari
4.200.000 Ha menjadi 2.900.000 Ha. Dalam kurun waktu antara tahun 2000-2005, luas hutan
mangrove di Indonesia mengalami penurunan sebesar 50.000 Ha atau sekitar 1,6 %. Dampak
dari semakin berkurangnya mangrove di wilayah pesisir dapat merugikan suatu pulau, karena
dapat menyebabkan kerusakan lingkungan hingga ke ekonomi masyarakat.
Ketidakadaan suatu ekosistem mangrove di pesisir pulau akan menimbulkan masalah
dikemudian hari, karena itu dibutuhkan suatu upaya konservasi untuk mengadakan ekosistem
tersebut atau mengembalikan kondisi ekosistem tersebut. Mengingat tumbuhan mangrove
memiliki waktu yang cukup lama untuk menjadi hutan karenanya dibutuhkan perawatan dan
pemantauan yang lebih.

1.5. Tantangan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove


Keberhasilan atau kegagalan program rehabilitasi mangrove dipengaruhi oleh aspek fisik
maupun aspek sosial, karena tumbuhnya tanaman mangrove tidak hanya dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan yang baik, tetapi juga membutuhkan perhatian masyarakat terutama
masyarakat pesisir. Priyono (2010) menyebutkan bahwa dalam penenaman mangrove, jenis
mangrove yang akan ditanam harus sesuai dengan kondisi substrat, pada jenis substrat lumpur
maka jenis mangrove yang cocok adalah jenis Rhizophora spp. Untuk substrat tanah berpasir
jenis mangrove yang cocok untuk di tanam adalah jenis Avicennia sppdan Soneratia sp. Dan
untuk jenis mangrove lainnya seperti Aegiceras spp, Lumnitzera spp, Excoecarla spp,
Cerriops spp ,Bruguiera spp, Pandanus spp dan jenis lainnya bisa hidup bervariasi pada
substrat lumpur berpasir. Adry (2006) faktor sosial yang mempengaruhi dalam program
rehabilitasi mangrove adalah sumber daya manusia, partisipasi masyarakat, koordinasi dan
komunikasi, alokasi dana serta adanya peraturan yang terkait.
Tantangan untuk merehabilitasi Ekosistem Mangrove berbeda-beda dari setiap daerah,
karena masing-masing daerah memiliki kondisi fisik, sosial dan budaya yang berbeda.
Berdasarkan studi kasus di Kampung Yensawai, Raja Ampat, Papua Barat hal yang menjadi
tantangan yaitu timbulnya kesalah pahaman dari masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi.
Kesalahpahaman tersebut timbul karena masyarakat menganggap wilayah penanaman
mangrove mengganggu keberlangsungan pembangunan dermaga.

2. Konsep dan Prinsip Rehabilitasi Mangrove


2.1. Rehabilitasi mangrove: Kapan diperlukan?
2.2. Bentuk-bentuk Rehabilitasi Mangrove (alami, buatan)

3. Tahapan Rehabilitasi Mangrove


3.1. Perencanaan
3.2. Implementasi
3.3. Monitoring dan Evaluasi

4. Pembelajaran Rehabilitasi Mangrove: Kasus Kampung Yensawai, Kabupaten Raja


Ampat
(perjalanan rehabilitasi mangrove)  studi pemilihan site, pembentukan kelompok,
penanaman, pengeuatan kelembagaan dan monitorng
4.1 Rekomendasi
Daftar Pustaka
Sjafrie NDM. 2016. Jasa ekosistem pesisir. Oseana. Vol 41(4) 25.

Anda mungkin juga menyukai