Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KERAGAMAN HAYATI

KAJI JURNAL
“SUMBERDAYA HAYATI LAUT DI INDONESIA DAN POTENSI MANGROVE
SEBAGAI TANAMAN OBAT”

Dosen Pengampu: Vilya Syafriana, S.Si., M.Si

Disusun oleh :
Kelompok 4

1. Syifaa Nur Rahmawati (18330007)


2. Indri Yulianti Hidayah (18330039)
3. Citra Rahmawati (18330047)
4. Anisa Brahmanda Sari (18330063)

KELAS B

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS FARMASI
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Dan atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Keragaman Hayati dengan judul
“Sumberdaya Hayati Laut di Indonesia dan Potensi Mangrove sebagai Tanaman
Obat”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi.
Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Terimakasih
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Depok, Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau
dengan total panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km. Sumberdaya perairan
berperan dalam mendukung kehidupan manusia, mendukung ekosistem perairan
dan sebagai komponen penting pembangunan ekonomi (Ibrahim, 2007). Secara
umum perairan laut dan pantai mempunyai fungsi sebagai cadangan sumber air di
dunia, pengatur iklim dunia, habitat berbagai jenis biota, lahan dan mata
pencaharian penduduk terutama yang bermukim di sekitar pantai, dan bahan
makanan dari berbagai ragam biota laut (Anonim, 2009a).
Pembagian wilayah laut sampai saat ini belum dapat diterima secara universal.
Ekosistem perairan laut dapat dibagi menjadi dua, yaitu perairan laut pesisir, yang
meliputi daerah paparan benua, dan laut lepas atau laut oseanik.
Nurmalasari (2008) menjelaskan, sumberdaya perairan berperan penting bagi
pembangunan di Indonesia. Sumberdaya pesisir dan kelautan merupakan potensi
penting dalam pembangunan di masa depan. Luas wilayah laut Indonesia adalah
62% dari luas wilayah nasional belum termasuk zona ekonomi ekslusif seluas 2,7
juta km2. Laut Indonesia yang begitu luas dengan sumberdaya melimpah bila
dimanfaatkan untuk pembangunan dengan tepat. Berbagai kekayaan
keanekaragaman hayati, dan jasa – jasa lingkungan yang diberikan, sumberdaya
pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi.
Tumbuhan mangrove di Indonesia merupakan yang terbanyak di dunia, baik
dari segi kuantitas area (± 42.550 km2) maupun jumlah spesies (± 45 spesies)
(Spalding et al, 2001). Mangrove mempunyai banyak sekali manfaat yang
bersinggungan langsung dengan kehidupan manusia di daratan, mulai dari
manfaat ekologi sampai dengan sebagai sumber pangan dan obat. Maka sangatlah
saying bila potensi ini tidak kita gali dan manfaatkan semaksimal demi
kepentingan bersama. banyak perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang telah
mengeksplorasi berbagai tumbuhan sebagai sumber obat namun belum banyak
melirik khasiat pada tumbuhan mangrove.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sumberdaya laut yang ada di Indonesia?
2. Bagaimana potensi tumbuhan mangrove di bidang farmasi?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sumberdaya laut yang ada di Indonesia.
2. Untuk mengetahui potensi tumbuhan mangrove dalam bidang farmasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lingkungan Pesisir dan Laut Indonesia


A. Lingkungan fisik
Kepulauan Indonesia menjembatani dua benua. Asia dan
Australasia/Oceania. Kepulauan ini meliputi dua paparan utama – paparan
sunda dan paparan sahul.
Kedalaman laut di wilayah ini rata – rata hanya 200 meter atau kurang.
Akan tetapi, di antara kedua paparan ini terdapat cekungan (lubuk) dan
palung laut yang dalam, serta gunung berapi bawah laut. Salah satu
eksplorasi paling awal terhadap sistem cekungan yang kompleks ini adalah
ekspedisi Snellius (1929 – 1930), yang di pimpin oleh Belanda di masa
colonial. Eksplorasi tersebut mengungkap adanya total 27 lubuk dan
palung yang dalam, dimana yang terdalam di temukan di wilayah Banda
(7.440 m) dan Lubuk Sulawesi di Sulawesi (6.220 m) (ADB, 2014).
Daerah dangkal yang membatasi depresi bawah laut (yang dikenal
sebagai kedalaman sill). Ini memainkan peran penting dalam sirkulasi air
di lokasi itu. Daerah dangkal ini menarik air dingin dari kedalaman laut ke
permukaan. Topografi bawah air yang beragam ini, dikombinasikan
dengan posisi Indonesia di persimpangan Samudra Pasifik dan Samudra
Hindia, menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pendorong utama
keseluruhan sistem sirkulasi samudra global (Qu dkk, 2005).
Kepulauan Indonesia hampir seluruhnya beriklim tropis, dengan suhu di
daratan pantai rata – rata 28˚C. kelembaban relatif di wilayah kepulauan
ini berkisar antara 62 dan 81 persen.

2.2 Habitat Pesisir dan Laut


Indonesia memiliki keanekaragaman habitat laut tertinggi di dunia, dengan
habitat penting yang dikategorikan sebagai berikut:
A. Terumbu Karang
Terumbu karang adalah komunitas hewan yang hidup. Koloni – koloni
keras yang terdiri dari komunitas polip yang membentuk exoskeleton atau
kerangka eksternal yang memberi terumbu tampilan yang keras, berwarna
– warni dan menyerupai batu. Tapi hewan ini sama sekali tidak statis. Pada
malam hari, masing – masing polip makan, dan hewan tersebut secara
teratur melepaskan larva ke laut untuk membentuk koloni – koloni di
daerah lain.
Indonesia memiliki wilayah terumbu karang terbesar di Asia tenggara,
dengan perkiraan luas 39.500 km2, yang mencakup 16 persen habitat
karang dunia (Burke dkk., 2012). Dengan demikian, Indonesia adalah
produsen utama larva karang, yang menyebar untuk mengisi wilayah –
wiayah lain di seluruh dunia. Semua tipe terumbu karang dapat ditemukan
di Indonesia seperti: terumbu karang tepi, terumbu karang penghalang,
terumbu karang cincin, dan terumbu karang datar atau gosong terumbu.
Meskipun mencakup kurang dari satu persen luas permukaan samudra di
dunia, terumbu karang sangat penting sebagai tempat berkembangnya
larva dan juvenile, dan menyediakan habitat yang sangat penting untuk
berkembang biak bagi 25 persen dari seluruh ikan laut. Dengan demikian,
terumbu karang adalah pendorong keanekaragaman hayati di laut tropis.
Pada awal abad ke-21 penelitian menunjukkan bahwa hanya sepertiga
terumbu karang di Indonesia yang masih dapat dianggap dalam kondisi
baik sampai sangat baik (didefinisikan sebagai memiliki lebih dari 50
persen cakupan karang keras hidup) dan sisanya mengalami tingkat
degradasi.
B. Lamun
Habitat lamun merupakan bagian bagian penting ekosistem terumbu
karang. Lamun berfungsi sebagai tempat berkembangnya larva dan
juvenile dan tempat makan untuk berbagai spesies dan juga membantu
menangkap limpasan sedimen dari daratan, menstabilkan garis pantai serta
mencegah sedimen terbawa lebih jauh ke lingkungan laut dan merusak
terumbu karang.
Lamun adalah makanan pokok spesies duyung dan penyu. Di Asia
Tenggara, diperkirakan lamun merupakan habitat lebih dari 600 spesies
ikan pada suatu saat dalam daur hidupnya (McKenzie dan Yoshida, 2015).
Di Indonesia, habitat yang sangat penting ini juga mendukung sekitar 85
spesies krustasea dan spesies laut yang lain, termasuk kuda laut (ADB,
2014).
Hasil studi yang terbatas jumlahnya menunjukkan bahwa Indonesia
memiliki 13 spesies lamun, yang meliputi sektar 30.000 km2 dari seluruh
wilayahnya (ADB, 2014).
Padang lamun sering dikunjungi oleh masyarakat setempat untuk
mengambil kerang, udang, kepiting dan invertebrate lainnya saat air surut.
Beberapa jenis lamun juga digunakan sebagai bahan baku kerajinan
tangan, seperti keranjang, dan sebagai bahan untuk tempat tidur (ADB,
2014).
C. Mangrove
Hutan mangrove di Indonesia merupakan 23 persen dari ekosistem
mangrove dunia (Giri dkk., 2011) dan 76 persen dari seluruh wilayah
mangrove di Asia Tenggara (Bakosurtanal, 2009) akar mangrove yang
setengah terendam merupakan habitat penting untuk perkembangan ikan
dan juvenil, dan, seperti, lamun, mangrove membantu menangkap sedimen
dari daratan, mencegahnya memasuki lingkungan laut dan merusak
terumbu karang.
Mangrove juga menyediakan perlindungan pesisir yang penting dengan
melindungi garis pantai dari gelombang badai dan kondisi gelombang kuat
lainnya yang dapat menyebabkan erosi dan kerusakan pada lahan dan mata
pencaharian.
Mangrove di Indonesia juga termasuk di antara hutan yang paling kaya
karbon di dunia, mengandung lebih dari tiga kali lebih banyak karbon per
hektar dibandingkan hutan hujan tropis di dataran rendah (Donato dkk.,
2011) serta lebih dari lima kali lebih banyak daripada hutan – hutan tropis
di dataran tinggi (Mudiyarso dkk., 2015).
Meskipun perkiraannya bervariasi, mangrove mencakup kawasan seluas
kurang lebih dari 3,25 juta ha. Lebih dari 50 persen hutan mangrove
Indonesia berada di Papua Barat, dan selebihnya banyak dijumpai di
sepanjang garis pantai Sumatera dan Kalimantan (Bakosurtanal, 2009).
Setidaknya 18 genera mangrove dengan 101 spesies telah diidentifikasi di
Indonesia, dalam berbagai bentuk, termasuk pohon mangrove (47 spesies),
perdu (5), herba dan rerumputan (9), liana (9), epifit (29), dan parasit (2)
(ADB, 2014).
Seperti halnya terumbu karang, mangrove di Indonesia dalam kondisi
terancam dan mengalami laju kerusakan yang tercepat di dunia (Campbell
dan Brown, 2015). Penelitian menunjukkan bahwa hingga 40 persen
mangrove di Indonesia telah hilang dalam tiga decade terakhir (FAO,
2007). Penggundulan hutan mangrove diperkirakan mencapai sekitar enam
persen dari total hilangnya hutan Indonesia (Murdiyarso dkk., 2005).

2.3 Biota Laut


Sebagian besar biota laut di Indonesia ditemukan di zona epipelagic.
Biota laut ini mencakup sekitar 2.057 spesies ikan terumbu karang (sama
dengan 37 persen spesies karang yang dikenal di dunia dan 56 persen dari
semua ikan karang yang dikenal di wilayah Indo – pasifik) (Allen dan Adrim,
2003; Green dkk., 2008b).
Indonesia mempunyai enam dari tujuh spesies penyu laut yang ada di
dunia, dan menyediakan tempat bersarang dan mencari makan yang penting
serta jalur migrasi penting di persimpangan Samudra Pasifik dan Samudra
Hindia. Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys
coriacea), dan penyu tempayan (Caretta caretta) termasuk dalam enam
spesies penyu yang ada di Indonesia (ADB, 2014)
Indonesia juga memiliki keragaman megafauna lain yang luar biasa,
baik yang menetap maupun yang tinggal sementara. Laut di Indonesia
menyediakan koridor vital untuk migrasi berbagai jenis ikan paus, termasuk
paus biru (Balaenoptera musculus), paus sperma (Physeter macrocephalus),
dan orca (Orcinus orca). Lima belas spesies lumba – lumba teridentifikasi di
perairan Indonesia, termasuk lumba – lumba pemintal (Stenella longisotris),
lumba – lumba Fraser (Lagenodelphis hosei), lumba – lumba moncong
panjang dan mocong pendek (Delphinus capensis dan Delphinus delphis)
(Mustika dkk., 2015).

2.4 Definisi, Asal & Distribusi Mangrove


A. Definisi Mangrove
Kata mangrove pertama kali digunakan untuk mendefinisikan tumbuhan
dan komunitas, serta untuk menggambarkan komponen tumbuhan
penyusun komunitas hutan rapat di daerah intertidal perairan pantai tropis
(tropical intertidal closed-forest community). Sementara itu, ‘Mangal’,
sebuah ungkapan yang diperkenalkan oleh Macnae (1968), digunakan
ketika menjelaskan suatu komunitas yang dibentuk oleh spesies mangrove.
Namun, ungkapan tersebut sudah tidak popular digunakan sekarang ini.
B. Asal mangrove
Masih terdapat perbedaan dan ketidakpastian tentang asal mula mangrove.
Komunitas mangrove dipercaya berasal dari wilayah di antara Australia
dan Papua Nugini (New Guinea) sebagaimana pendapat Specht (1981).
Pendapat Specht ini bertolak belakang dengan pandangan bahwa
mangrove berasal dari wilayah Malaya (Malayan Region). Sejumlah teori
lain (Hutchigs dan Saenger, 1987), menerangkan bahwa komunitas
mangrove berkembang selan periode Cretaceous di dekat tepian daratan
Australia dan Papua Nugini, kemudian komunitas mangrove tersebut
menyebar ke Asia Tenggara dan wilayah India hingga Atlantik melalui
Cekungan laut Tengah (Mediterranean Basin).
Interpretasi berbeda dibuat oleh Spalding dkk. (1997) dalam menjelaskan
tempat asal mangrove. Mereka mempertimbangkan tiga tempat asal
mangrove yang paling mungkin beserta jalur penyebarannya.
Kenyataannya bahwa tak satupun teori maupun interpretasi yang telah
diungkapkan sebelumnya dapat diterima secara universal. Satu anggapan
yang tidak bisa dikesampingkan disampaikan oleh Duke (1992, 1995),
bahwa asal mangrove tidak terbatas pada suatu tempat, tetapi mungkin
vegetasi tersebut berasal dari sejumlah tempat berbeda di muka bumi ini.
Pembuktian ilmiah tentang asal mula mangrove, apakah berasal dari suatu
tempat tertentu ataukah berasal dari ebebrapa tempat di muka bumi perl di
lakukan.
C. Luas dan Distribusi Mangrove di Indonesia
Indonesia merupakan tempat yang ideal bagi pertumbuhan mangrove
karena faktor iklim, geologi, dan oseanografi. Oleh karena itu, sepanjang
tersedia habitat yang cocok bagi tumbuhan mangrove di daerah intertidal
maka tumbuhan ini akan tumbuh dan membentuk sebuah ekosistem.
Luasan mangrove di suatu tempat ditentukan oleh besaran luasan habitat
tumbuh yang tersedia. Di pesisir pantai Indonesia tumbuhan ini ditemukan
tumbuh membentuk hutan pantai yang luas di wilayah – wilayah pantai
dengan formasi berupa teluk (contoh, Teluk Tomini di Pulau Sulawesi),
delta – delta di muara sungai besar (contoh, Delta Mahakam di wilayah
pantai Timur Pulau Kalimanan), pantai – pantai yang landai dan laguna.
Pada tahun 2010 di laporkan bahwa luasan kawasan mangrove di
Indonesia mencakup sekitar 60% (atau 3,06 juta ha) dari total luasan 5,1
juta ha mangrove di wilayah Asia Tenggara. Luasan ini mendekati hasil
estimasi yang dilakukan oleh Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut
(PSSDAL), Bakosurtanal sebesar 3, 244 juta ha berdasarkan data citra
tahun 2006 – 2009.

2.5 Fungsi dan Pemanfaatan Mangrove


Fungsi hutan mangrove dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu
fungsi fisik, fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Fungsi hutan mangrove
secara fisik diantaranya: menjaga kestabilan garis pantai dan tebing sungai
dari erosi atau abrasi, mempercepat perluasan lahan dengan adanya jerapan
endapan lumpur yang terbawa oleh arus ke kawaan hutan mangrove,
mengendalikan laju intrusi air laut sehingga air sumur disekitarnya menjadi
lebih tawar, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan
gelombang, angin kencang dan bahaya tsunami (Setawan, 2013).
Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan khas,
serta memiliki daya dukung cukup besar terhadap lingkungan di sekitarnya.
Oleh karenanya ekosistem mangrove dikatakan produktif dan memberikan
manaat tinggi melalui fungsi ekonomi maupun ekologis.
Ekosistem mangrove, selain mempunyai fungsi ekologis, juga
mempunyai potensi vegetasi dan manfaat ekonomi yang sangat besar. Produk
yang diperoleh dari ekosistem mangrove berupa kayu bakar, bahan bangunan,
pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan, obat – obatan, minuman, peralatan
rumah tangga, bahan baku testil dan kulit, lilin, madu, rekreasi tempat
pemancingan, dan lain lain.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Sumberdaya hayati laut di Indonesia


Lingkungan laut tropis Indonesia yang sangat luas, indah dan kaya
dengan sumberdaya hayati dan mineral merupakan kondisi alamiah yang
memiliki keunggulan komparatif sebagai tali kehidupan dan masa depan
bagi kesejahteraan bangsa. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis biota
laut yang sangat tinggi menyebabkan Indonesia dikenal sebagai negara
“mega-biodiversity”.
Salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kondisi alam yang unik
dengan keanekaragaman hayati laut yang tinggi adalah Provinsi Sulawesi
Utara. Provinsi tersebut merupakan wilayah yang potensial, sangat sinergis
serta memiliki kawasan pantai diperirakan kurang lebih sepanjang 1985
km (RUYITNO, 2002). Kawasan Sulawesi Utara terdiri atas
semenanjung, teluk, dan pulau – pulau kecil, oleh karena itu di sepanjang
daerah pesisir dan lautnya dikenal memiliki keanekaragaman hayati laut
yang tinggi. Keanekaragaman biota tersebut ditopang oleh keberadaan
ekosistem pesisir antara lain adalah hutan mangrove, padang lamun, dan
terumbu karang yang di dalamnya banyak ditemukan biota hidup yang
berasosiasi pada ekosistem tersebut.

3.2 Sumberdaya Laut di Teluk Kwandang


Secara ekologis, kawasan pesisir teluk kwandang merupakan suatu
kesatuan ekosistem perairan yang cukup luas, unik, dan sangat kompleks.
Karena di dalamnya terdapat mangrove, padang lamun (seagrass) dan
terumbu karang. Ketiga komunitas tersebut memiliki arti penting bagi
kesuburan perairan setempat, serta dikenal mampu menopang kehidupan
berbagai macam biota akuatik yang hidup berasosiasi di dalamnya.
Komunitas mangrove, padang lamun dan berbagai macam biota yang
hidup berasosiasi di dalamnya, dibahas sebagai berikut:
a. Hutan mangrove
Kondisi lingkungan di beberapa kawasan pesisir teluk kwandang pada
umumnya kurang menguntungkan bagi perkembangan mangrove, hal
ini disebabkan karena tipe pantainya yang terjal, ombak yang relatif
besar dan tidak adanya sungai yang dapat menyediakan sedimen.
Mangrove di kawasan pesisir teluk kwandang memiliki ketebalan
berkisar antara 100 – 160 meter dari garis pantai yang tumbuh ada
substrat lumpur yang agak mengeras dan sering membentuk gundukan
– gundukan tanah. Jenis Rhizopora mucronata dan Sonneratia alba
memiliki distribusi yang relatif merata, yakni dari garis pantai hingga
ke perbatasan dengan hutan darat.
Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan di kawasan pesisir
teluk kwandang ditemukan 14 jenis tumbuhan mangrove yang
termasuk dalam 10 famili.
b. Padang lamun (seagrass)
Secara umum, seagrass/padang lamun di kawaan perairan teluk
kwandang keberadaannya berasosiasi dengan hutan mangrove
(AZKAB, 2002). Selanjutnya disebutkan bahwa padang lamun di
kawasan perairan kedua pulau terdiri dari 2 famili dan 9 jenis.
Mencermati kondisi lingkungan di perairan teluk kwandang serta
melihat tutupan padang lamun, maka dapat dikatakan bahwa perairan
kawasan tersebut masih memiliki potensi yang cukup besar dalam
kaitannya dengan kontribusi terhadap kehidupan berbagai biota yang
berasosiasi di dalamnya.
c. Algae (rumput laut)
Rumput laut atau seaweed sebagai tumbuhan laut tingkat rendah yang
hidup melekat pada dasar laut dikenal dengan berbagai nama, antara
lain agar – agar, ganggang atau algae. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh KADI (2002), algae di kawasan perairan teluk
kwandang terdiri dari 12 jenis. Rendahnya keanekaragaman jenis algae
di kawasan ini, kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya gangguan
lingkungan perairan sebagai akibat kegiatan budidaya rumput laut.
Kawasan perairan teluk kwandang (pulau payunga dan pulau otangala)
merupakan daerah budidaya rumput laut yang menurut penduduk
setempat luas area yang digunakan adalah sekitar 100 hektar,
sedangkan jenis yang digunakan adalah Eucheuma cotonii.
d. Krustasea
Keanekaragaman jenis di lokasi penelitian relative cukup tinggi.
Krustasea yang diperoleh dari perairan pesisir teluk kwandang adalah
71 jenis krustasea yang terdiri dari 47 marga 15 suku dan mewakili
empat kelompok taksa yaitu: Anomura, Brachyura, Macrura, dan
Stomatopoda. Jenis yang paling banyak ditemukan adalah kelompok
taksa Brachyura dari suku Xanthidae sebanyak 26 jenis.
e. Ekhinodermata (Teripang)
Hasil penelitian sumberdaya teripang yang dilakukan oleh DARSONO
(2002) di kawasan pesisir teluk kwandang, ditemukan sebanyak 18
jenis yang termasuk dalam 3 famili. Sejumlah teripang yang ditemukan
diantaranya adalah jenis yang laku dijual dan harganya mahal. Jenis
tersebut antara lain adalah Actinopyga echinites, A. lecanora,
Holothurian scabra, H. nobilis dan Thelenota ananas.
f. Moluska (kekerangan)
Pada umumnya, moluska di kawasan perairan ini hidup berasosiasi
dengan padang lamun, terutama dari jenis tlalassia hempricii dan
enhalus acoroides. Namun demikian adapula jenis moluska yang
ditemukan disekitar perairan terumbu karang dan didekat mangrove.
Hasil identifikasi yang diperoleh di pulau payunga dan pulau otangala,
masing – masing ditemukan sebanya 27 jenis dan 18 jenis.
Sejumlah jenis gastropoda yang ditemukan diperairan teluk kwandang
tersebut, 5 diantaranya memiliki nilai ekonomis. Jenis tersebut adalah
Columbella scripta (famili Columbelidae), Cyprarea isabella (famili
Cypraeidae), Lambis lambis dan Strombus labiatus (famili
Strombidae), dan Turbo chrysostomus (famili Turbiidae).

3.3 Tumbuhan mangrove yang berpotensi sebagai obat


Indonesia sebagai negara beriklim tropis, mempunyai tumbuhan obat
yang sangat beragam, sehingga tradisi penggunaan tumbuhan obat sudah
ada dari nenek moyang yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai
jenis penyakit, baik penyakit dalam maupun penyakit luar. Obat – obatan
pada waktu sekarang banyak yang dibuat secara sintetik, tetapi tumbuhan
sebagai penghasil bahan yang berkhasiat obat perlu diperhatikan.
Eksplorasi potensi hutan mangrove sebagai penghasil obat yang perlu
dilakukan meliputi inventarisasi tumbuhan obat, dan khasiat jenis
tumbuhan tersebut. Kegiatan eksplorasi menyangkut pohon – pohon hutan
yang berpotensi sebagai bahan baku obat – obatan masih sangat minim
(Setyawati, 2009). Tumbuhan mangrove dimanfaatkan sebagai tanaman
obatsecara tradisional antara lain yang bermanfaat sebagai obat asma,
diabetes, hepatitis, hepatitis, penyakit kulit, diare, penyakit mata dan
penyakit infeksi (Soediro, 1997). PT. Kandelia Alam merupakan
perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan khususnya hutan
mangrove. Potensi hutan mangrove di kawasan tersebut sangat besar salah
satunya potensi tumbuhan obat.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Henny dkk (2017), jenis
tumbuhan mangrove yang bermanfaat sebagai obat di areal PT. Kandelia
Alam meliputi 16 jenis terdiri dari atas 10 famili. Jenis – jenis tumbuhan
yang berpotensi sebagai obat disajikan pada tabel.
Berdasarkan hasil wawancara, tumbuhan mangrove sejati dan
mangrove ikutan yang digunakan sebagai obat hanya 12 jenis yaitu jeruju,
api – api, bakau, kadabu, buta – buta, cengkolok, nipah, nyirih kapur,
tengar, piyai, prepat, yang terdiri dari 9 famili yaitu Acanthaceae,
Arecaceae, Avicenniaceae, Euphorbiaceae, Lythraceae, Meliaceae,
Moraceae, Polypodiaceae, Rhizophoraceae.
Berdasarkan 12 jenis tumbuhan mangrove yang berpotensi sebagai
obat, yang terancam punah adalah jenis buta – buta (Excecaria agallocha)
digunakan oleh masyarakat sebagai obat biang keringat.

Tumbuhan obat yang terdapat di dalam petak pengamatan terdapat 8


jenis yaitu bakau, belukap, cengkodok, jeruju, nipah, nyirih kapur, piyai
dan tumu.
Berdasarkan hasil wawancara dan hasil penulusuran, pengamatan dapat 8
jenis tumbuhan yaitu api – api, kedabu, buta – buta, perepat, tancang
merah, tancang putih, tengar, terantum.

Menurut masyarakat Kubu, beberapa jenis tumbuhan mangrove yang


berpotensi sebagai obat yang berada di areal PT. Kandelia yang pernah
digunakan antara lain:
Nyirih kapur (Xylocarpus granatum) bagian buah dimanfaatkan
sebagai obat koreng dan obat gatal – gatal. Caranya ditumbuk dioleskan
kebagian tubuh yang terkena koreng atau bagian yang gatal – gatal
sedangkan akarnya digunakan obat gatal – gatal caranya direbus kemudian
airnya diminum.
Piyai (Acrostichum speciosum) bagian daun muda digunakan sebagai
obat bisul yang sudah pecah. Cara penggunaannya ditumbuk kemudian
dioleskan kebagian bisul yang sudah pecah supaya luka bisul cepat kering
dan juga bisa digunakan untuk sakit kepala caranya dihaluskan kemudian
ditempel kebagian kepala yang sakit. Piyai merupakan pakis yang tumbuk
dikawasan air asin.
Jeruju (Acanthus ilicifolius) bagian buah digunakan sebagai obat bisul,
masyarakat mempercayai bahwa 1 biji buah jeruju yang ditelan maka
dapat khasiatnya adalah untuk satu tahun tidak terkena bisul.
Kadabu (Sonneratia ovate) bagian daun muda untuk obat cacar.
Caranya daun muda kedabu ditumbuk dicampur dengan tepung beras dan
kunyit secukupnya kemudian dioleskan kebagian tubuh yang terkena
cacar, sedangkan bagian buah berembang juga bisa digunakan sebagai obat
kuih dan sakit perut. Caranya ditumbuk kemudian dioleskan untuk obat
kulit, sedangkan untuk obat sakit perut buah berembang juga bisa
dimakan.
Api – api (Avicennia alba) bagian batang dan daun digunakan sebagai
obat KB. Caranya direbus kemudian diminum dan bagian daun juga biasa
digunakan untuk obat koreng, agar koreng cepat kering.
Perepat (Sonneratia alba) bagian buah digunakan untuk obat sakit
perut. Caranya ditumbuk kemudian dioleskan kebagian perut.
Buta – buta (Excoecaria agallocha) bagian daun muda digunakan
masyarakat Kubu sebagai obat biang keringat caranya dihaluskan
kemudian dioleskan kebagian tubuh yang terkena biang keringat selain itu,
bagian buah uga dimanfaatkan sebagai racun tikus.
Nipah (Nypa fruticans) bagian daun digunakan sebagai obat sariawan
caranya daunnya dibakar kemudian abunya diletakan kebagian yang
terkena sariawan.
Bakau (Rhizophora apiculata) bagian daun digunakan sebagai obat
bengkak. Caranya daun dikunyah kemudian dioleskan kebagian yang
bengkak. Bagian buah bakau digunakan sebagai obat sakit perut, dengan
cara dimakan, sedangkan bagian getah digunakan untuk menghilangkan
bekas luka dan bagian akar yang muda digunakan untuk obat jika terkena
duri ikan dan obat gatal. Caranya dihaluskan dan dioleskan.
Cengkodok (Melastoma malabathricum), bagian buah digunakan
untuk obat sakit perut, caranya bagian buah dimakan dan bagian daun
digunakan untuk obat luka, cara penggunannya, bagian daun dihaluskan
dioleskan ke bagian yang terkena luka.
Tengar (Ceriops tagal) bagian kulit digunakan untuk obat diare, cara
penggunannya bagian kulit batang ditebus kemudian airnya di minum.
Tengar memiliki daun yang berbentuk bulat kecil.
Khasiat tumbuhan mangrove yang berpotensi sebagai obat antara untuk
mengobati penyakit dalam dan penyakit luar yaitu pengolahan dengan cara
direbus, ditumbuk, dan dibakar. Penggunaannya diminum, dimakan,
dioleskan dan ditempelkan kebagian yang sakit. Pengolahannya dan
penggunaan tumbuhan mangrove yang digunakan sebagai obat masih
sangat sederhana, berdasarkan pengetahuan secara turun temurun dan
berdasarkan pengalaman mereka sehari – hari.
3.4 Ide Pemanfaatan Mangrove
Sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa pada tanaman
mangrove memiliki potensi sebagai antibakteri yang sudah di uji pada uji
in vivo. Harapan kami ini bukan sebatas dari penelitian saja akan tetapi
dapat dikembangkan dan di produksi menjadi bahan aktif yang dapat
berkhasiat sebagai antibiotik di masa yang akan datang. Tentunya di
barengi dengan konservasi dan pelestarian dari tumbuhan mangrove itu
sendiri agar dapat dimanfaatkan baik untuk lingkungan dan dapat
dimanfaatkan dalam bidang kefarmasian.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Kondisi sumberdaya hayati di teluk kwandang masih baik, namun perkembangan
komunitas mangrove sangat lambat akibat morfologi pantai yang terjal dan tidak
adanya muara sungai.
2. Potensi ekologis padang lamun terhadap biota yang hidup berasosiasi cukup besar
dan perairannya bisa dijadikan tempat budidaya algae yang mempunyai nilai
ekonomis.
3. Dijumpai ada 16 jenis tumbuhan mangrove yang berpotensi sebagai obat yang ada
di PT. Kandelia Alam terdiri atas 10 famili yaitu Acanthaceae, Arecaceae,
Avicenniaceae, Comreteraceae Euphorbiaceae, Lythraceae, Meliaceae,
Moraceae, Polypodiaceae dan Rhizophoraceae.
4. Pemanfataan tumbuhan mangrove yang berada di kawasan PT. Kandelia Alam
sebagai tumbuhan obat oleh masyarakat Kubu hanya berdasarkan kearifan lokal
yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

4.2 Saran
Diharapkan pemerintah dan warga setempat melakukan konservasi dan
budidaya terhadap ekosistem perairan sehingga kehidupan dan sumberdaya hayati laut
tetap terjaga. Pemerintah juga melarang atau menindak tegas adanya tindakan
ekploitasi yang berlebihan guna menghindari terjadinya kerusakan dan kelangkaan
ekosistem perairan. Kajian potensi tumbuhan obat juga perlu dilakukan penelitian
yang mendalam dan terperinci tentang tumbuhan mangrove yang berpotensi sebagai
tumbuhan obat agar dapat digunakan sebagai sumber yang terpercaya.
DAFTAR PUSTAKA

Aswandy, Indra. 2007. Sumberdaya Hayati di Kawasan Pesisir Teluk Kwandang Sulawesi
Utara. Sulawesi Utara: Oseana, Volume XXXII, Nomor 3 : 9 – 20.
Baransano, Hengky K, dan Mangimbulude, Jubhar C. 2011. Eksploitasi dan Konservasi
Sumberdaya Hayati Laut dan Pesisir di Indonesia. Papua: Jurnal Biologi Papua Volume 3;
Nomor 1 Halaman; 39-45.
Djamaludin, Rignolda. 2018. Mangrove: Biologi, Ekologi, Rehabilitasi dan Konservasi.
Manado: Unsrat Press.
Henny, dkk. 2017. Tumbuhan Mangrove yang Berpotensi Sebagai Obat di Kawasan PT.
Kandelia Alam Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya. Pontianak: Jurnal Hutan Lestari
Vol. 5 (4) : 1100 – 1110.
Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan Proyek Sustainable Ecosystem
Advanced (SEA) USAID. 2018. Kondisi Laut: Indonesia, Jilid Satu: Gambaran Umum
Pengelolaan Sumber Daya Laut Untuk Perikanan Skala Kecil dan Habitat Laut Penting di
Indonesia. Jakarta: PT. Bentuk Warna Citra.
Lisna, dkk. 2017. Potensi Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Pantai Desa Khatulistiwa
Kecamatan Tinombo Selatan Kabupaten Parigi Moutong. Palu: Warta Rimba Vol 5 No.1 hal
67 – 70.
Purnobasuki, Hery. 2004. Potensi Mangrove Sebagai Tanaman Obat. Surabaya: Biota. IX
(2).

Anda mungkin juga menyukai