SEMINAR 1
OLEH :
ADIL ABDILLAH
05181811013
Adil Abdillah
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DASFTAR ISI............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian..........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................3
2.1 Pengertian Ekosistem Padang Lamun...........................................................3
2.2 Luasan Ekosistem Padang Lamun di Indonesia............................................11
2.3 Habitat dan Sebaran Ekosistem Lamun........................................................12
2.4 Keanekaragaman, Kelimpahan dan Pola Distribusi Ekosistem Lamun........14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................19
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
crustacean, echinodermata, mamalia dan juga ikan. Ekosistem padang lamun
dapat tumbuh pada daerah pasang surut, perairan pesisir dan didaerah sekitar
pulau-pulau karang. Di indonesia sendiri dapat kita temukan 13 jenis lamun yaitu
antara lain Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides,
Haludule pinifolia, Halodule uninervis, Halophila decipiens, Halophila minor,
Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Halophila sulawesii, Syringodium
isoetifolium, Thalassia hemprichi, Thalassodendron ciliatum.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah keragaman jenis lamun di perairan indonesia
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk dapat mengetahui keragaman dari jenis lamun yang ada di perairan
indonesia
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
stabil atau naik, maka akan menunjukan tingginya peluang padang lamun untuk
dapat di lestarikan.
Lamun terdistribusi secara luas di seluruh wilayah dunia dengan kekayaan
spesies lamun tertinggi ditemukan pada kawasan Indo-Pasifik terutama Indo-
Pasifik barat serta jumlah spesies lamun yang ditemukan di seluruh dunia sekitar
72 spesies (Short et al., 2011). Lamun di Indonesia dapat kita temukan di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil dimana lamun dapat tumbuh hingga kedalaman 40
m, pada substrat yang berpasir, pasir lumpur, lumpur dan karang (Kawaroe et al.,
2016).
2.1.1 Jenis-jenis ekosistem padang lamun
Sekitar 60 jenis lamun, saat ini tersebar diseluruh dunia (Short dan coles
2003 dalam Priosambodo 2014). Jenis lamun tersebut dikelompokan ke dalam
enam famili dan 12 genus, tujuh genus di antaranya tersebar di daerah tropis
indonesia total dari jenis lamun yang ditemukan saat ini berjumlah 12-13 spesies
(Fortes 1989 dalam Priosambodo 2014). Berikut ini terdapat jenis-jenis lamun di
perairan Indonesia antara lain yaitu :
1. Enhalus acoroides
Enhalus acoroides memiliki rhizoma (batang) yang tertanam di dalam
substrat, ujung daun yang bulat dan kadang-kadang terdapat serat-serat kecil yang
menonjol pada waktu muda, tepi daun seluruhnya jelas, bentuk garis tepi daunnya
seperti melilit, dan mempunyai daun sebanyak 3 atau 4 helai yang berasal
langsung dari rhizoma (Den Hartog 1970 dalam Wirawan 2014, h. 47). Lamun
jenis ini tumbuh pada substrat berlumpur dan perairan keruh, dapat membentuk
padang lamun spesies tunggal atau mendominasi komunitas padang lamun.
2. Halophila ovalis
Halophila ovalis mempunyai akar tunggal pada tiap nodus. Tiap nodus
terdiri dari sepasang daun, jarak antara nodus kurang lebih 1,5 cm, panjang
6
helaian daun kurang lebih 10 – 40 mm, panjang tangkai daun yaitu kurang lebih 3
cm, dan tulang daun berjumlah 10 – 25 pasang.
3. Halophila decipiens
Halophila decipiens memiliki daun yang bentuk seperti dayung dan seluruh
tepi daun bergerigi. Terdapat sepasang petiole secara langsung dari rhizoma.
Ditemukan sepanjang daerah tropis dan subtropis (Waycott).
4. Halophila minor
Halophila minor memiliki daun berbentuk bulat panjang. Panjang daun 0,5-
1,5 cm. Pasangan daun dengan tegakan pendek (den Hartog dalam Nurzahraeni,
2014, h. 10).
5. Cymodocea rotundata
Ciri-ciri morfologi dari Cymodocea rotundata adalah memiliki tepi daun
halus atau licin, tidak bergerigi, tulang daun sejajar, akar pada tiap nodusnya
terdiri dari 2-3 helai, akar tidak bercabang, dan tidak mempunyai rambut akar.
Selain itu tiap nodusnya hanya terdapat satu tegakan. Menurut Kordi (2011)
spesies Cymodocea rotundata tumbuh di substrat pasir, pecahan karang dan
sedikit berlumpur.
7
6. Cymodocea serrulata
Cymodocea serrulata mempunyai daun berbentuk selempang yang
melengkung dengan bagian pangkal menyempit kearah ujung agak melebar.
Ujung daun yang bergerigi memiliki warna hijau atau orange pada rhizoma
(Waycott dalam Nurzahraeni, 2014, h. 12). Lamun jenis ini umumnya dijumpai di
daerah intertidal di dekat mangrove (Nirarita,dalam Fitri, 2015, h. 17).
7. Halodule pinifolia
Halodule pinifolia merupakan spesies terkecil dari genus Halodule. Bentuk
daun lurus dan tipis. Biasanya pada bagian tengah ujung daun robek. Ditemukan
di daerah tropis dan sangat umum di daerah intertidal (den Hartog dalam
Nurzahraeni, 2014, h. 14).
8. Halodule uninervis
Halodule uninervis memiliki ujung daun yang berbentuk gelombang
menyerupai bentuk huruf W, jarak antara nodus kurang lebih 2 cm, dan
rimpangnya berbuku-buku. Setiap nodusnya berakar tunggal, banyak dan tidak
bercabang. Selain itu juga setiap nodusnya hanya terdiri dari satu tegakan, dan
tiap tangkai daun terdiri dari 1 sampai 2 helaian daun.
8
9. Halophila spinulosa
Halophila spinulosa memiliki struktur daun yang berpasangan dan sejajar
dalam satu tegakan, setiap pinggiran daun bergerigi.
9
12. Thalassodendron ciliatum
Thalassodendron ciliatum memiliki daun panjang berbentuk sabit. Rhizoma
sangat keras dan berkayu. Terdapat bekas-bekas goresan di antara rhizoma dan
tunas (den Hartog dalam Nurzahraeni, 2014, h. 17).
10
2.1.2 Manfaat serta peranan ekosistem lamun
Secara ekologis, lamun mempunyai peranan sebagai salah satu produsen
yang menghasilkan oksigen (O2) serta nutirisi bagi konsumen tingkat pertama.
Lamun berasosiasi dengan berbagai macam terumbu karang, lamun mampu
menahan sedimen dan mengurangi tekanan arus dan gelombang, sehingga dapat
menstabilkan dasar perairan dan melindungi pantai dari erosi dan degradasi.
Lamun juga sangat berperan bagi berbagai biota laut sehingga sangat menunjang
kehidupan flora dan fauna yang beranekaragam seperti menjadi tempat mencari
makan (feeding ground) bagi penyu hijau, dugong, ikan, echinodermata, dan
gastropoda (Bortone, 2000 dalam Poedjiraharjoe, 2013, h. 37). Menurut
Musarang (2004) dalam Zachawerus et al (2015, h. 17) padang lamun berperan
penting dalam menstabilkan sedimen dan melindungi daerah pantai dari pengaruh
erosi.
Selain manfaat dan peran lamun pada ekologi, lamun juga dimanfaatkan dan
memiliki peran dalam kehidupan manusia. Philips & Menez menyatakan bahwa,
lamun digunakan sebagai komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat baik secara tradisional maupun secara modern, Lamun banyak
memberi manfaat kepada manusia terutama masyarakat yang hidup pada daerah
pesisir. Selain pada manusia, ekosistem lamun juga memiliki fungsi ekologi yang
vital dalam ekosistem pesisir dan sangat menunjang dalam mempertahankan
biodiversitas pesisir serta sangat penting sebagai pendukung produktivitas
perikanan pantai.
Dapat dilihat sebagai berikut manfaat ekosistem lamun secara tradisional yaitu :
Kompos dan pupuk
Cerutu dan mainan anak-anak
Dianyam menjadi keranjang
Tumpukan untuk pematang
Mengisi kasur
Ada yang dimakan
Dibuat jaring ikan
11
Sedangkan pada zaman modern ini, lamun telah dimanfaatkan untuk :
Penyaring limbah
Stabilizator pantai
Bahan untuk pabrik kertas
Makanan
Obat-obatan
Sumber bahan kimia
2.1.3 Ancaman dan kerusakan ekosistem lamun
Pada kondisi saat ini, tingkat kerusakan ekosistem lamun didunia sendiri
mencapai 58 % dan sejak pada tahun 1980 setiap dari 30 menit maka dunia akan
kehilangan lamun sebesar lapangan sepak bola (Dennison, 2009). Sebaran padang
lamun global telah hilang sekitar 29 % sejak abad ke-19, penyebab utama
hilangnya padang lamun secara global adalah penurunan kecerahan air, baik
karena peningkatan kekeruhan air maupun kenaikan masukan zat hara ke perairan.
Pada daerah sub tropis (temperate), kehilangan padang lamun disebabkan oleh
alih fungsi wilayah pesisir menjadi kawasan industri, pemukiman penduduk dan
banjir dari daratan. Sementara itu, pada penyebab utama hilangnya padang lamun
di daerah tropis adalah peningkatan masukan sedimen ke perairan pesisir akibat
penebangan hutan di daratan dan penebangan mangrove diwilayah pesisir yang
bersamaan dengan pengaruh langsung dari kegiatan budidaya perikanan dan
buangan limbah air panas dari pembangunan industri.
Aktivitas manusia dalam pemanfaatan ekosistem lamun memberikan
ancaman tersendiri bagi keberlanjutan ekositem tersebut. Pengaruh limbah
domestik berupa amonium dengan konsentrasi sebesar 158.3 – 663.4 µM akan
mengurangi biomasa dari Zostera noltii di Ria Formosa, bagian selatan Portugis
(Cabaco et al. 2008). Taylor dan Raheed (2011) meneliti pengaruh tumpahan
minyak terhadap padang lamun di Gladstone Australia, mereka melakukan
perbandingan biomasa di lokasi yang terkena tumpahan minyak dan lokasi
kontrol. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa 1 bulan pasca
tumpahan terjadi penurunan biomasa di kedua lokasi, serta delapan bulan
kemudian terjadi kenaikan biomasa pada ekosistem lamun. Dikatakan bahwa
penurunan biomasa kemungkinan disebabkan oleh variasi musim alami dan
12
dampak antropogenik. Penurunan luas padang lamun di Indonesia dapat
disebabkan oleh faktor alami dan hasil aktivitas manusia terutama di lingkungan
pesisir. Faktor alami tersebut antara lain gelombang dan arus yang kuat, badai,
gempa bumi, dan tsunami. Sementara itu, kegiatan manusia yang berkontribusi
terhadap penurunan area padang lamun adalah reklamasi pantai, pengerukan dan
penambangan pasir, serta pencemaran. Sebagai contoh tutupan lamun di Pulau
Pari (Kepulauan Seribu) telah berkurang sebesar 25 % dari tahun 1999-2004
diduga akibat maraknya pembangunan di pulau tersebut.
13
adalah 832 ribu ha – 1,8 juta ha nilai ini memiliki bias yang tinggi karena
penghitungan potensi lebih banyak berdasarkan asumsi-asumsi. Dari hasil analisis
yang dilakukan badan LIPI dengan survei langsung ke lokasi monitoring kondisi
lamun,sumber data yang digunakan adalah Citra, Landsat 8 OLI, SPOT 5,
Sentinel-2. Serta mengumpulkan data luasan lamun dari hasil-hasil penelitian di
berbagai lokasi di indonesia yang dilakukan oleh berbagai instansi, seperti Badan
Informasi Geospasial (BIG), Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan The
Nature Conservacy, menunjukkan bahwa luasan lamun Indonesia adalah 293.464
ha. Jika dibandingkan dengan luas lamun tahun 2017 tejadi peningkatan luasan
sebesar 142.771 ha. Hal ini terjadi karena terdapat penambahan data dari P2O
LIPI, Badan Informasi Geospasial dan The Nature Conservation (TNC). Nilai
tersebut baru menggambarkan 16% - 35% luas lamun Indonesia dari potensi
luasan yang ada.
14
dominan tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis/mix spesies pada
suatu kawasan tertentu. Berbeda dengan daerah yang dingin yang dimana
kebanyakan didominansi oleh satu jenis lamun saja, penyebaran lamun memang
sangatlah bervariasi tergantung pada topografi pantai serta pola pasang surut.
Berdasarkan pada genangan air dan kedalaman maka sebaran ekosistem lamun
secara vertikal dapat kita kelompokan menjadi 3 kategori yaitu sebagai berikut :
a) Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air
surut yang mencapai kedalaman kurang dari 1 meter saat surut terendah.
Contoh: Holodule pinifola, Holodule uninervis, Halophila minor,
Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rodunata,
Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium dan Enhalus acoroides.
b) Jenis lamun yang tumbuh di daerah dengan kedalaman sedang atau daerah
pasang surut dengan kedalaman perairan berkisar 1-5 m. Contoh:
Holodule uninervis, Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae
rodunata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium, Enhalus
acoroides dan Thalassodendron ciliatum
c) Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai
dari 5-35 m. Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila
spinulosa, Thalassia hemprichii, Syringodinium isotifolium dan
Thalassodendron ciliatum.
Ada pula distribusi pada penyebaran lamun diwilayah pesisir dapat kita
ketahui yaitu pada daerah estuaria, pantai dangkal dan daerah pantai (Gambar 1).
Namun demikian juga tidak semua spesies dari ekosistem lamun itu dapat tumbuh
dan berkembang pada semua tipe habitat dan hanya famili seperti Halophila dapat
kita temukan pada semua tipe habitat.
15
Gambar 1. Distribusi dan keragaman spesies lamun di daerah Tropik Indo-
Pasifik (Short et al,. 2011)
16
lingkungan, baik berupa faktor tergantung kepadatan bebas (density-independent
factor) seperti cuaca, keduanya berperan bersama menentukan batasan
kelimpahan spesies. Adapun juga pada pola distribusi/disperse pada suatu
organisme misalkan lamun merupakan dimana persebaran dari lamun tersebut
dalam suatu populasi dapat menentukan jarak antara individu yang satu dengan
yang lainnya, sedangkan persebaran tumbuhan itu biasanya terjadi dengan melalui
siklus hidupnya dalam mengcakup fase berpindah dari suatu tempat ke tempat
yang lain. Pola persebarannya secara generatif (spora, biji-bijian, buah, atau
bagian tumbuhan lainnya) maupun secara vegetatif (umbi, tunas, bagian dari
rhizoma, dan seterusnya). Distribusi atau persebaran suatu tumbuhan dipengaruhi
oleh struktur organ reproduksi tumbuhan itu sendiri beserta mekanismenya.
Dibawah ini dapat kita lihat pola distribusi yang dibagi kedalam 3 kelompok
besar, yaitu:
1. Autochory yaitu tumbuhan itu sendiri yang melakukan penyebaran benih
anakannya yang merupakan hasil dari fertilisasi didalam tubuh tumbuhan itu
sendiri.
2. Allochory yaitu tumbuhan memerlukan suatu vektor atau perantara dalam
melakukan fertilisasi (misalnya melalui serangga, angin, air, dan seterusnya)
3. Atelochory atau achory yaitu tumbuhan anakan akan tumbuh dan berkembang
dekat dengan induknya dan biasanya setelah terjadi penyerbukan bagian
pedicel dan ovariumnya akan masuk kedalam tanah.
Secara umum ada tiga pola utama distribusi atau distribusi individu di dalam
populasi, yaitu: pola distribusi acak, pola distribusi teratur dan pola distribusi
mengelompok. Pola distribusi acak yaitu bila suatu individu menempati suatu
situs dalam area yang ditempati adalah sama. Pola distribusi teratur yaitu bila
terjadi penjarakan yang kurang lebih merata antar individu yang satu dengan yang
lainnya dalam suatu area. Pola distribusi mengelompok adalah bila suatu area
ditempati oleh sejumlah individu yang hidupnya membentuk kelompok-
kelompok.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ekosistem padang lamun dapat dijadikan sebagai bioindikator disuatu
perairan, dikarenakan lamun dapat mengakumulasi bahan pencemar seperti logam
berat dengan melalui akarnya. Sedangkan untuk luasan padang lamun sendiri itu
dapat memberikan indikasi status lamun yang ada secara menyeluruh dimana
apabila terjadinya penurunan maka hal tersebut dapat menunjukan adanya tekanan
atau ancaman pada ekosistem lamun dan juga sebaliknya apabila luasannya dia
stabil maka akan menunjukan tingginya peluang padang lamun untuk dapat
dilestarikan dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
3.2 Saran
Perlu adanya tingkat kesadaran dalam diri masing-masing dalam menjaga
ekosistem dan sumberdaya yang ada, sehingga kedepannya dapat kita manfaatkan
dengan baik. Ada juga faktor yang menjadi acuan pada setiap masyarakat
misalkan dalam pembuangan sampah, dan pembangunan industri yang dimana
dapat merusak ekosistem lamun serta biota-biota yang ada pada padang lamun.
18
DAFTAR PUSTAKA
19
S.G. Vergara, M. Waycott, and J.C. Zieman. 2011. Extinction risk
assessment of the world’s seagrass species. Biological Conservation,
144:1961-1971. http://dx.doi.org/10. 1016/j.biocon.2011.04.010.
20