Anda di halaman 1dari 50

PENULIS

Nurul Dhewani Mirah Sjafrie


Udhi Eko Hernawan
Bayu Prayudha
Indarto Happy Supriyadi
Marindah Yulia Iswari
Rahmat
Kasih Anggraini
Susi Rahmawati
Suyarso

PUSAT PENELITIAN OSEANOGRAFI


LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
2018
STATUS PADANG LAMUN INDONESIA 2018 Ver.02
© 2018 Pusat Penelitian Oseanografi

PENULIS
Nurul Dhewani Mirah Sjafrie, Udhi Eko Hernawan, Bayu Prayudha,
Indarto Happy Supriyadi, Marindah Yulia Iswari, Rahmat, Kasih Anggraini,
Susi Rahmawati, Suyarso,

DESAIN & ILUSTRASI


Dudy Ramdhana, Arso Agung

Pusat Penelitian Oseanografi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia


Puslit Oseanografi – LIPI, September 2018
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur
Jakarta Utara 14430
Telp. 021 - 64713850
Fax. 021 - 64711948
http:// www.oseanografi.lipi.go.id
ISBN 9786026504203

Nurul Dhewani Mirah Sjafrie


Status Padang Lamun Indonesia 2018/ Nurul Dhewani Mirah Sjafrie,
Udhi Eko Hernawan, Bayu Prayudha, Indarto Happy Supriyadi, Marindah Yulia Iswari,
Rahmat, Kasih Anggraini, Susi Rahmawati, Suyarso, --
Jakarta : Puslit Oseanografi - LIPI.
40 hlm. ; 17,6 cm x 25 cm
Bibliografi : hlm. 37

ii
SAMBUTAN

I
ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang
terdiri dari 16.344 pulau besar dan kecil dengan panjang garis
pantai 81.000 km. Letak Indonesia sangat strategis karena diapit
oleh dua samudra yang merupakan segitiga karang dunia yang kaya
akan keanekaragaman hayati. Luas wilayah Indonesia sekitar 7,73
juta km2, terdiri dari 1,93 juta km2 daratan, 3,1 juta km2 perairan
teritorial dan 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Wilayah laut Indonesia menyimpan potensi sumber daya alam,


baik sumber daya hayati maupun nir-hayati, mulai dari pesisir
hingga perairan laut jeluk (laut dalam). Potensi sumber daya hayati
pesisir terdiri dari tiga ekosistem utama, yaitu lamun, mangrove
dan terumbu karang. Ketiga ekosistem tersebut berperan sangat
penting dalam menjaga keseimbangan ekologis di kawasan
perairan pesisir.

Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang


memiliki manfaat antara lain sebagai habitat berbagai jenis
biota, pemerangkap sedimen, menjernihkan air, memperlambat
gelombang serta menyerap karbon. Berbagai biota ekonomis
penting seperti ikan, rajungan, kekerangan, teripang, kuda laut dan
lola dapat dijumpai di ekosistem ini. Ekosistem lamun juga menjadi
tempat mencari makan biota yang terancam punah seperti penyu
dan dugong. Yang tidak kalah pentingnya bahwa ekosistem lamun
mendukung perikanan masyarakat, namun manfaat dan fungsi
ekosistem ini belum banyak diketahui orang.

Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan


Indonesia telah diberi mandat sebagai wali data lamun melalui
Surat Keputusan Kepala BIG nomor 54/2015. Oleh karena itu sudah
selayaknya P2O LIPI memberikan informasi mengenai status
kondisi padang lamun Indonesia agar dapat dimanfaatkan oleh
para pemangku kepentingan.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Tim Wali Data Lamun yang
telah bekerja keras sehingga status padang lamun Indonesia dapat
diketahui oleh public

Jakarta, Oktober 2018


Kepala Pusat Oseanografi LIPI
Dr. Dirhamsyah, M.A.

iii
iv
FOTO UDHI EKO HERNAWAN
PENGANTAR

P
adang lamun memberikan manfaat besar baik secara
ekologi maupun bagi kehidupan manusia. Ekosistem ini
sangat menunjang keberlangsungan sumber daya perikanan
di Indonesia. Agar padang lamun tetap memberikan manfaat
bagi masyarakat secara berkelanjutan, kebijakan pengelolaan
yang tepat harus sesuai dengan perubahan kondisi yang terjadi
di ekosistem ini. Oleh karena itu, ketersediaan informasi berkala
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah tentang kondisi
padang lamun di Indonesia sangat diperlukan sebagai dasar
kebijakan pengelolaan padang lamun.

Sampai dengan tahun 2015, informasi mengenai kondisi dan


potensi padang lamun secara menyeluruh di Indonesia belum
terkelola dengan baik dalam satu sistem basis data yang mapan.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai pemegang
otoritas keilmuan (scientific authority) memiliki tanggung jawab
moral untuk akses dan pengelolaan data dan informasi (Walidata)
tentang status padang lamun di Indonesia.

Sebagai bagian dari luaran tugas Walidata Lamun Indonesia, buku


ini disusun dengan tujuan untuk memberikan informasi mengenai
luasan dan kondisi padang lamun di Indonesia pada tahun 2018.
Buku ini dipersembahkan kepada para pengambil kebijakan dan
masyarakat secara umum yang berkepentingan dengan padang
lamun di Indonesia.

Buku ini tersusun atas dukungan dari berbagai pihak. Data yang
diolah dalam buku ini merupakan kontribusi dari berbagai institusi
di Indonesia. Oleh karena itu, penyusun menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang ikut berkontribusi
dalam penyusunan buku ini.

Penyusun berharap semoga kehadiran buku ini dapat mengisi


kekosongan informasi mengenai kondisi padang lamun di
Indonesia. Akhirnya, kami mengundang kritik dan saran dari
pembaca untuk perbaikan buku ini.

Jakarta, September 2018

Penyusun

v
DAFTAR ISI

Kata Sambutan ........................................................................................ iii


Kata Pengantar ........................................................................................ v
Daftar Isi ................................................................................................... vi
Daftar Gambar .......................................................................................... vii

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1


A. Wilayah Pesisir ....................................................................... 1
B. Wali Data Lamun .................................................................... 2
C. Penentuan Status Padang Lamun ....................................... 4
BAB II. SEKILAS TENTANG LAMUN ......................................................... 5
A. Morfologi ................................................................................ 6
B. Jenis dan Sebaran.................................................................. 7
BAB III. FUNGSI DAN MANFAAT LAMUN ................................................ 15
A. Sebagai Produsen Primer ....................................................... 15
B. Sebagai Habitat Biota ............................................................. 16
C. Sebagai Penangkap Sedimen serta Penahan Arus dan
Gelombang ............................................................................ 18
D. Sebagai Pendaur Zat Hara..................................................... 19
E. Sebagai Penyerap Karbon ..................................................... 20
BAB IV. JASA EKOSISTEM LAMUN ..................................................... 21
BAB V. PADANG LAMUN DI INDONESIA .............................................. 23
A. Luasan Lamun ....................................................................... 23
B. Kondisi Lamun ....................................................................... 24
C. Sebaran Spesies Lamun ....................................................... 26
BAB VI. ANCAMAN KERUSAKAN LAMUN .............................................. 29
BAB V. RESTORASI PADANG LAMUN ..................................................... 33
Ucapan Terima Kasih ............................................................................... 35
Daftar Pustaka .......................................................................................... 37

vi
DAFTAR GAMBAR

1. Payung hukum walidata lamun .............................................................................. 2


2. Kategori lamun sehat, kurang sehat dan miskin ................................................... 4
3. Tumbuhan lamun yang membentuk hamparan padang lamun di daerah laut
dangkal ...................................................................................................................... 6
4. Tumbuhan lamun (a), bunga (b), buah (c) dan biji (d) ........................................... 7
5. Spesies-jenis lamun yang umum ditemukan di Indonesia .................................. 10
6. Produktivitas makroalga, padang lamun dan mangrove ..................................... 15
7. Padang lamun sebagai habitat beragam jenis ikan .............................................. 16
8. Lamun sebagai tempat mencari makan ................................................................ 17
9. Padang lamun menangkap dan menstabilkan substrat ...................................... 18
10. Perakaran lamun yang dapat mengikat sedimen .................................................. 19
11. Percobaan untuk melihat fungsi lamun sebagai peredam gelombang .............. 19
12. Buku menyerap karbon (Wahyudi et al. 2017) ....................................................... 20
13. Jasa ekosistem lamun .............................................................................................. 21
14. Hasil tangkapan dari ekosistem lamun a) Ikan, b) rajungan; c) kerang ..... 22
15. Kondisi padang lamun Indonesia dari data monitoring tahun 2015 – 2017 ..... 24
16. Sebaran spesies lamun di 366 lokasi ..................................................................... 25
17. Peta status padang lamun Indonesia 2018............................................................ 26
18. Peta sebaran spesies Thallasia hemprichii .............................................................. 27
19. Peta sebaran spesies Cymodocea serrulata ............................................................ 28
20. Ancaman kerusakan ekosistem lamun .................................................................. 30
21. Kegiatan penanaman lamun sebagai wisata edukasi........................................... 34

vii
viii
FOTO UDHI EKO HERNAWAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan
laut, ke arah darat meliputi bagian daratan yang masih dipengaruhi
sifat-sifat laut, misalnya pasang surut, angin serta perembesan air
laut; ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
sifat-sifat daratan, misalnya aliran air tawar, sedimentasi ataupun
kegiatan manusia di darat (Dahuri et al. 2001). Menurut Undang-
undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan
Pulau-Pulau Kecil, perairan pesisir adalah laut yang berbatasan
dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai
dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan
laguna.

Di dalam wilayah pesisir terdapat tiga ekosistem penting


yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem
terumbu karang. Ketiga ekosistem tersebut saling berinteraksi dan
memiliki konektivitas secara fisik maupun biologis. Secara fisik,
ekosistem mangrove berfungsi sebagai penahan laju sedimentasi
dari daratan, sehingga menjaga kejernihan air yang masuk ke
ekosistem lamun dan terumbu karang. Demikian pula dengan
ekosistem lamun yang berfungsi sebagai pemerangkap sedimen,
sehingga menjaga kejernihan air. Secara biologi, konektivitas
ketiga ekosistem dapat dilihat dari habitat sebagai nursery ground.
Hasil pengamatan Jaxion-Ham et al. (2012) menyimpulkan bahwa
ikan juvenil banyak dijumpai di ekosistem lamun dan mangrove,
sementara ikan dewasa berada di terumbu karang.

1
B. Wali Data Lamun
Ekosistem lamun merupakan ekosistem penting yang menunjang
kehidupan beragam jenis mahluk hidup, sekaligus sebagai lumbung
protein bagi masyarakat. Namun demikian, ekosistem tersebut
rentan terhadap ancaman kerusakan baik akibat manusia maupun
faktor alam. Agar padang lamun tetap mampu memberikan manfaat
bagi masyarakat secara berkelanjutan, program pengelolaan yang
tepat harus menyesuaikan dengan perubahan kondisi yang terjadi
di ekosistem ini, baik berupa peningkatan maupun penurunan. Oleh
karena itu, informasi mengenai kondisi padang lamun menjadi
sangat penting untuk diketahui.

Penelitian tentang padang lamun memang telah banyak


dilakukan oleh berbagai institusi di Indonesia. Waktu, lokasi,
metode serta fokus penelitian yang beragam membentuk variasi
yang besar pada hasil data dan informasi tentang status/kondisi
padang lamun. Selain itu, data dan informasi mengenai status
padang lamun di Indonesia tersebar dan tidak terkelola dengan
baik. Sebelum tahun 2015, tidak ada lembaga yang secara khusus
bertugas sebagai pengelola hasil penelitian padang lamun di
Indonesia.

Untuk mengatur informasi geospasial, Pemerintah Indonesia


telah menerbitkan UU nomor 4/2011. Undang undang ini mempunyai
tiga tujuan, yaitu: a) menjamin ketersediaan dan akses terhadap
Informasi Geospasial (IG) yang dapat dipertanggungjawabkan; b)
mewujudkan penyelenggaraan yang berdaya guna dan berhasil
guna melalui kerja sama, koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi; c)
mendorong penggunaan IG dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Melalui
Peraturan Preseden no 94/2011, pemerintah memberikan mandat
kepada Badan Informsi Geospasial untuk mengkoordinasikan dan
pembinaan penyelengaraan Informasi Geospasial. Selanjutnya,
Kepala Badan Informasi Geospasial menerbitkan surat Keputusan
nomor 19 tahun 2011 untuk membentuk Kelompok Kerja Nasional
yang kemudian diimplementasikan kedalam Keputusan Kepala
Badan Informasi Geospasial no 54 tahun 2015 tentang Wali Data.

Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan

2
Indonesia (P2O–LIPI), sebagai institusi riset milik pemerintah
yang telah lama melakukan penelitian tentang padang lamun di
berbagai wilayah di Indonesia, mendapatkan mandat sebagai
walidata lamun Indonesia sesuai dengan Keputusan Kepala Badan
Informasi Geospasial No. 54 tahun 2015. Dalam menjalankan
tugas sebagai Wali Data Lamun, Puslit Oseanografi melakukan
pengumpulan data terkait lamun. Data tersebut diperoleh dari

Gambar 1.
Payung hukum walidata lamun

3
berbagai sumber seperti: Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
melalui kegiatan Reef Health Monitoring dan penelitian terkait
lamun, Kementrian/Lembaga, Institusi, Universitas serta Lembaga
Swadaya Masyarakat. Selanjutnya, data yang terkumpul ditabulasi
dan dianalisis untuk meberikan gambaran tentang kondisi dan
sebaran jenis lamun di Indonesia.

C. Penentuan Status Padang Lamun


Di Indonesia, kondisi padang lamun telah dikategorikan dalam
Keputusan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup nomor
200/ 2004. Dalam Kepmen tersebut, kondisi padang lamun terbagi
menjadi 3 kategori, yaitu sehat, kurang sehat dan miskin. Kategori
sehat jika penutupan lamun di suatu daerah > 60%, kurang sehat
jika 30-59,9% dan miskin jika penutupan antara 0-29,9%.

Miskin Sehat

0-29% 60%

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

30-59%
Kurang sehat

Gambar 2.
Kategori lamun sehat, kurang sehat dan miskin

4
BAB II

SEKILAS TENTANG
LAMUN
D alam Kamus Merriem Webster (2003) lamun atau seagrass
definisikan sebagai: “any of various grass like plants that
inhabit coastal areas”. Lamun merupakan tumbuhan tingkat
tinggi (Antophyta) yang hidup dan terbenam di lingkungan
laut; berpembuluh, berdaun, berimpang (rhizome), berakar dan
berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif (tunas).

Kata seagrass sendiri di benua Amerika baru muncul di tahun 60-


an dan di Eropa di tahun 70-an dengan terbitnya publikasi hasil-hasil
penelitian yang menggunakan kata seagrass. Sebenarnya puluhan
bahkan ratusan tahun sebelumnya telah muncul nama-nama
Inggris (common name) dari jenis-jenis lamun yang disesuaikan
dengan bentuk luar (morfologi) atau sebagai makanan dari binatang

Istilah lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan yang menutupi suatu area pesisir/laut
tingkat tinggi (Anthophyta) yang hidup dangkal yang dapat terbentuk oleh satu
dan tumbuh terbenam di lingkungan jenis lamun (monospecific) atau lebih
laut; berpembuluh, berimpang (rhizome), (mixed vegetation) dengan kerapatan
berakar, dan berkembang biak tanaman yang padat (dense) sedang
secara generatif (biji) dan vegetatif. (medium) atau jarang (sparse).
Rimpangnya merupakan batang Ekosistem lamun (seagrass
yang beruas-ruas yang tumbuh ecosystem) adalah satu sistem
terbenam dan menjalar dalam (organisasi) ekologi padang lamun,
substrat pasir, lumpur dan pecahan di dalamnya terjadi hubungan timbal
karang. balik antara komponen abiotik
Padang Lamun (seagrass bed) dan komponen biotik hewan dan
adalah hamparan tumbuhan lamun tumbuhan.

5
Gambar 3.
Tumbuhan lamun yang membentuk hamparan padang
lamun di daerah laut dangkal
FOTO UDHI EKO HERNAWAN

tertentu, misal; eelgrass (Zostera marina), turtle/dugonggrass


(Thallassia testudinum), manatee grass (Halodule wrightii), spoongrass
(Halophila spp.)

Di Indonesia, seagrass memiliki berbagai nama daerah. Di Teluk


Banten seagrass dikenal sebagai lamun; di Kepulauan Seribu disebut
’rumput pama’, ’oseng’, ’samo-samo’; di Kepulauan Riau disebut
rumput setu atau setu laut; di Sulawesi Selatan disebut rumput ’samo-
samo’, ’rumput anang’; di Maluku disebut ’lalamong’, ’samo-samo’,
’pama’, ’ilalang laut’; di Maluku Utara disebut ’rumput gussumi’,
’guhungiri’, ’alinumang’; di Pulau Kabaena, Muna, Buton dan Sulawesi
Tenggara disebut sebagai ’rumput lelamong’ atau ’rumpat lela’. Di
Pulau Maratua, Kalimantan Timur, lamun spesies Enhalus acoroides
dikenal sebagai ’rumput unas’.

A. Morfologi
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae)
yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun,

6
A B

C D

Gambar 4.
Tumbuhan lamun (a), bunga
(b), buah (c) dan biji (d)

bunga dan buah. Struktur dan fungsi lamun sama dengan rumput
yang tumbuh di daratan. Bentuk daun lamun beragam. Ada yang
berbentuk seperti pita, lidi atau bulat. Rhizome merupakan batang
yang terbenam dan merayap secara mendatar, serta berbuku-buku.
Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak keatas,
berdaun dan berbunga, serta tumbuh akar. Dengan rhizome dan
akar inilah lamun tumbuh kokoh di dasar laut serta tahan terhadap
hempasan ombak dan arus.

B. Jenis dan Sebaran


Lamun dapat tumbuh di daerah pesisir dan lingkungan laut
wilayah tropis dan ugahari, kecuali pantai perairan kutub karena
banyak tertutup es. Lamun tumbuh mulai dari mintakat intertidal
sampai kedalaman lebih kurang 90 m (Duarte 1991). Di perairan

7
Indonesia lamun umumnya tumbuh di daerah pasang surut dan
sekitar pulau-pulau karang (Nienhuis et al.1989). Tumbuh pada
substrat dengan dasar lumpur, pasir berlumpur, pasir dan pecahan
karang.

Jumlah spesies lamun di dunia adalah 60 spesies, yang terdiri


atas 2 suku dan 12 marga (Kuo and McComb 1989). Di perairan
Indonesia terdapat 15 spesies, yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga.
Jenis lamun yang dapat dijumpai adalah 12 jenis, yaitu Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea.
serrulata, Haludole pinifolia, Halodule uninervis, Halophila decipiens,
Halophila ovalis, Halophila minor, Halophila spinulosa, Syringodium
iseotifolium, dan Thalassodendron ciliatum. Tiga jenis lainnya, yaitu
Halophila sulawesii merupakan jenis lamun baru yang ditemukan oleh
Kuo (2007), Halophila becarii yang ditemukan herbariumnya tanpa
keterangan yang jelas, dan Ruppia maritima yang dijumpai koleksi
herbariumnya dari Ancol-Jakarta dan Pasir Putih-Jawa Timur.

Thalassia
hemprichii
CIRI KHUSUS
Mirip Cymodocea
rotundata, tapi rhizoma
beruas-ruas dan tebal
Garis/bercak coklat pada
helaian daun

8
Enhalus
acoroides
CIRI KHUSUS
Berukuran paling besar
(daun bisa mencapai 1
meter)
Rambut pada rhizoma

Cymodocea
rotundata
CIRI KHUSUS
Tepi daun tidak
bergerigi
Seludang daun
menutup sempurna

9
Cymodocea
serrulata
CIRI KHUSUS
Tepi daun, bulat bergerigi
Seludang daun membentuk
segitiga, tidak menutup
sempurna

Halodule
pinifolia
CIRI KHUSUS
Daun pipih panjang, tapi
berukuran kecil
Satu urat tengah daun jelas
Rhizome halus dengan bekas
daun jelas menghitam
Ujung daun agak membulat

10
Halodule
uninervis
CIRI KHUSUS
Daun pipih panjang, tapi
berukuran kecil
Satu urat tengah daun
jelas
Rhizome halus dengan
bekas daun jelas
menghitam
Ujung daun seperti trisula

Halophila
ovalis
CIRI KHUSUS
Daun oval, berpasangan
dengan tangkai pada tiap
ruas dari rimpang
Tulang daun 8 atau lebih
Permukaan daun tidak
berambut

11
Halophila
spinulosa
CIRI KHUSUS
Satu tangkai daun
yang keluar dari
rhizome terdiri dari
beberapa pasang daun
yang tersusun berseri

Halophila
decipiens
CIRI KHUSUS
Daun lebih cenderung
oval-lonjong, ukuran
kecil
6-8 tulang daun
Permukaan daun
berambut

12
Halophila
minor
CIRI KHUSUS
Daun oval, ukuran
kecil, berpasangan
dengan tangkai
pada setiap ruas dari
rimpang
Tulang daun kurang
dari 8

Syringodium
isoetifolium
CIRI KHUSUS
Daun berbentuk
silindris

13
Thalassodendron
ciliatum
CIRI KHUSUS
Daun pita, terkumpul
membentuk cluster
Satu cluster daun
terbentuk dari ‘tangkai’
daun yang panjang dari
rhizoma

Gambar : Seagrass Watch

14
BAB III

FUNGSI DAN MANFAAT


LAMUN
F ungsi dan manfaat padang lamun di ekosistem perairan
dangkal adalah sebagai produsen primer, habitat biota,
stabilisator dasar perairan, penangkap sedimen dan pendaur hara.
Berikut penjelasan lebih lanjut dari peran-peran tersebut:

A. Sebagai Produsen Primer


Sebagai tumbuhan autotrofik, lamun mengikat karbondioksida
(CO2) dan mengubahnya menjadi energi yang sebagian besar
memasuki rantai makanan, baik melalui pemangsaan langsung
oleh herbivora maupun melalui dekomposisi sebagai serasah.
Produktivitas primr padang lamun relatif tinggi di pesisir.

MANGROVE

MAKROALGA 394 - 1000


91 - 552

Produktivitas Primer
(netto; g C m-2 yr-1)
0 1000

Satuan: gram karbon, per


PADANG LAMUN meter persegi per tahun
394 - 449 sumber: Duarte, 2017,
doi:10.5194/bg-14-301-2017)
Foto: Istimewa

15
B. Sebagai Habitat Biota
Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat
menempel berbagai macam organisme. Selain itu, padang
lamun dapat juga berfungsi sebagai daerah asuhan, padang
penggembalaan dan makanan dari berbagai jenis ikan herbivora
dan ikan-ikan karang. Sejumlah jenis biota tergantung pada padang

FOTO UDHI EKO HERNAWAN

Gambar 7.
Padang lamun
sebagai habitat
beragam jenis
ikan

16
lamun, walaupun mereka tidak mempunyai hubungan dengan lamun
itu sendiri. Banyak dari organisme tersebut mempunyai kontribusi
terhadap keragaman pada komunitas lamun. Lamun juga penting
bagi beberapa biota terancam punah (endangered species) seperti
dugong dan penyu karena mereka memanfaatkan lamun sebagai
makanan utamanya.

WWW.EARTHJUSTICE.ORG

Gambar 8.
Lamun sebagai
tempat mencari
makan Duyung & WWW.MONGABAY.CO.ID
Penyu

17
C. Sebagai Penangkap Sedimen serta Penahan Arus
dan Gelombang
Daun lamun yang lebat akan memperlambat aliran air yang
disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya
menjadi tenang. Di samping itu, rimpang dan akar lamun dapat
menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan
menstabilkan dasar permukaan. Daun lamun yang berfungsi sebagai
penangkap sedimen serta penahan arus dan gelombang yang berperan
dalam mencegah erosi pantai.

Gambar 9.
Padang lamun
menangkap dan
menstabilkan
substrat

Padang lamun menangkap dan menstabilkan sedimen, sehingga


air menjadi lebih jernih. Ketika gelombang air mengenai padang
lamun, energinya menjadi turun, sehingga sedimen yang terlarut di air
bisa mengendap ke dasar laut. Ketika sedimen terendapkan di dasar,
sistem perakaran padang lamun menjebak dan menstabilkan sedimen
tersebut.

Gambar 10.
Perakaran lamun
yang dapat
mengikat sedimen

18
Bukti bahwa lamun berfungsi sebagai peredam gelombang
telah dilakukan oleh Manca et al. (2012). Di laboratorium Canal
Investigació i Experimentació Marktima, Universitat Politecnica
de Catalunya, Barcelona, Spanyol, mereka melakukan percobaan
dengan menggunakan lamun buatan dari spesies Posidonia
oceanica. Hasilnya menunjukkan bahwa P. oceanica buatan dapat
meredam gelombang, sehingga dapat dijadikan sebagai pelindung
pantai dari erosi.

Gambar 11.
Percobaan
untuk melihat
fungsi lamun
sebagai peredam
gelombang

D. Sebagai Pendaur Zat Hara


Lamun memegang fungsi yang utama dalam daur berbagai
zat hara dan elemen-elemen langka (mikro nutrien) di lingkungan
laut. Fosfat yang diambil oleh daun-daun lamun dapat bergerak
sepanjang helai daun dan masuk ke dalam algae epifitik. Akar lamun
dapat menyerap fosfat yang keluar dari daun yang membusuk
yang terdapat pada celah-celah sedimen. Zat hara tersebut secara
potensial dapat digunakan oleh epifit apabila mereka berada dalam
medium yang miskin fosfat.

E. Sebagai Penyerap Karbon


Padang lamun juga berperan seperti hutan di daratan
dalam mengurangi karbondioksida (CO2). Seperti tanaman darat
lainnya, lamun memanfaatkan karbondioksida (CO2) untuk proses

19
fotosintesa dan menyimpannya dalam bentuk biomasa. Hasil
penelitian Pusat Penelitian Oseanografi LIPI diketahui bahwa
padang lamun dapat menyerap rata-rata 6,59 ton C/ha/tahun atau
setara dengan 24,13 ton CO2/ha/tahun.

Gambar 12.
Buku menyerap karbon
(Wahyudi et al. 2017)

20
BAB IV

JASA EKOSISTEM
LAMUN
S ejak adanya kehidupan di dunia, alam telah memberikan jasa
untuk kehidupan manusia. Jasa alam yang dimanfaatkan oleh
manusia dapat berasal dari suatu ekosistem. Costanza et al. 1997;
Millenium Ecosystem Assessment (MEA) 2005; The Economics
of Ecology and Biodiversity (TEEB) 2010 mendefinisikan jasa
ekosistem sebagai sesuatu dari ekosistem yang bermanfaat untuk
manusia. Selanjutnya, MEA (2005) membedakan jasa ekosistem
kedalam empat komponen, yaitu jasa pendukung (supporting
services), jasa penyedia (provisioning services) jasa pengaturan
(regulating services) dan jasa budaya (cultural services).

Gambar 13.
Jasa ekosistem
lamun

21
Dalam kaitannya dengan ekosistem lamun, jasa pendukung
dan jasa pengaturan dapat dianggap sebagai fungsi dan manfaat
ekologis yang telah dibahas pada Bab III sebelumnya, sedangkan
jasa penyedia akan disampaikan pada Bab ini. Jasa penyedia adalah
produk yang diperoleh dari ekosistem, misalnya makanan, sumber
bahan baku, sumber daya genetik, sumber obat, energi, sumber
ikan hias dan sebagainya. Kiswara (2009) menyatakan bahwa ada
360 jenis ikan, 117 jenis makro alga, 24 jenis moluska, 70 jenis
krustacea dan 45 jenis echinodermata yang hidup di padang lamun
Indonesia. Ikan dan biota lainnya tentu akan memberikan manfaat
untuk masyarakat setempat.

Di Afrika Timur, ekosistem lamun memberikan jasa lingkungan


sebagai daerah penangkapan ikan, tempat meletakkan perangkap
ikan, sumber biota bagi masyarakat serta menyediakan lahan
bagi usaha budidaya rumput laut. Ikan-ikan yang tertangkap dari
ekosistem lamun umumnya berasal dari famili Scaridae, Siganidae,
Mullidae Labridae dan Lethrinidae (Torre-Castro dan Ronnback
2004). Hal yang sama juga terjadi di ekosistem lamun Indonesia.

FOTO NURUL D.M. SJAFRIE

Ikan
Kekerangan

Rajungan

Gambar 14.
Hasil tangkapan dari ekosistem lamun

22
BAB V

PADANG LAMUN
INDONESIA
A. Luasan Lamun
Ekosistem lamun bersifat dinamis, dimana kondisi-nya tidak
selalu sama setiap saat. Perubahan kondisi lingkungan dapat
mempengaruhi pertumbuhan lamun, menjadi naik atau turun,
sehingga luasan padang lamun di suatu lokasi bisa berubah setiap
saat. Informasi luasan padang lamun dapat memberikan indikasi
status lamun secara menyeluruh. Apabila terjadi penurunan,
maka ini menunjukkan adanya tekanan atau ancaman pada
ekosistem tersebut. Sebaliknya jika luasannya stabil atau naik, ini
menunjukkan tingginya peluang padang lamun untuk lestari.

1. Potensi Luasan Lamun


Kiswara (1994) menyatakan bahwa luasan lamun Indonesia
adalah seluas 3 juta hektar. Seiring dengan perkembangan
pembangunan terutama di daerah pesisir, potensi luasan ini akan
mengalami penurunan. Duarte et al (2008) menyatakan bahwa

Duarte et al. 2008

23
penurunan luasan lamun dunia rata-rata sebesar 2%-5% per tahun.
Apabila diasumsikan bahwa selama kurun waktu 1994-2018 laju
pertumbuhan dan laju penurunan luasan lamun adalah konstan,
maka potensi luasan lamun Indonesia adalah 832 ribu ha – 1,8 juta
ha. Nilai ini memiliki bias yang tinggi karena penghitungan potensi
lebih banyak berdasarkan asumsi-asumsi.

2. Luasan Lamun Tervalidasi


Penghitungan luasan lamun dilakukan dengan berbagai cara.
Pertama, dengan survei langsung ke lokasi monitoring kondisi
lamun. Tim peneliti dari Laboratorium Remote Sensing P2O LIPI
melakukan ground truth. Sumber data yang digunakan adalah
Citra, Landsat 8 OLI, SPOT 5, Sentinel-2. Kedua, mengumpulkan
data luasan lamun dari hasil-hasil penelitian di berbagai lokasi di
Indonesia yang dilakukan oleh berbagai instansi, seperti Badan
Informasi Geospasial (BIG), Kementrian Kelautan dan Perikanan
(KKP), dan The Nature Conservacy.
Hasil analisis menunjukkan bahwa luasan lamun Indonesia
adalah 293.464 ha. Dibandingkan dengan luas lamun tahun 2017
tejadi peningkatan luasan sebesar 142.771 ha. Hal ini terjadi
karena terdapat penambahan data dari P2O LIPI, Badan Informasi
Geospasial dan The Nature Conservation (TNC). Nilai tersebut baru
menggambarkan 16% - 35% luas lamun Indonesia dari potensi
luasan yang ada.

B. Kondisi Lamun
Penghitungan kondisi lamun dilakukan dengan menggunakan
sumber data yang berasal dari data monitoring kondisi lamun yang
dilakukan oleh P2O-LIPI melalui proyek COREMAP-CTI. Secara

42,23
Gambar 15.
Kondisi padang
lamun Indonesia
dari data monitoring
tahun 2015 – 2017.

24
umum persentase tutupan lamun di Indonesia yang dihitung dari
110 stasiun pengamatan adalah 42.23%. Apabila nilai tersebut
digolongkan mengikuti Kepmen LH 200 tahun 2004, maka status
padang lamun di Indonesia termasuk dalam kondisi ’kurang sehat”.
Gambar 15 memperlihatkan fluktuasi kondisi lamun selama kurun
waktu 2015-2017.

C. Sebaran Spesies Lamun


Untuk melihat sebaran spesies lamun digunakan data dan informasi
yang merupakan hasil-hasil penelitian dari berbagai institusi,
universitas, LSM dan sebagainya. Secara umum, Enhalus acoroides
dan Thalassia hemprichii adalah spesies-jenis lamun yang sering
ditemukan di perairan Indonesia. Informasi yang dikumpulkan dari
366 lokasi, diketahui bahwa Thallasia hemprichii memiliki sebaran
yang lebih luas, T. hemprichii dijumpai di 310 lokasi, sementara
Enhalus acoroides dijumpai di 301 lokasi.

Halophila decipiens 5
Halophila spinulosa 5
Halophila minor 23
Thalassodendron cyliatum 33

Halodule pinnifolia 102


Cymodocea serrulata 149

Siringodium isoetifolium 185

Halodule uninervis 187

Halophila ovalis 223

Cymodocea rotundata 275

Enhalus acoroides 301

Thallasia hemprichii 310

0 50 100 150 200 250 300 350

Gambar 16.
Sebaran spesies lamun di 366 lokasi disesuaikan dengan hasil analisis terkini

25
26
Gambar 17. Peta status padang lamun Indonesia 2018
27
Gambar 18. Peta sebaran spesies Thallasia hemprichi
28
Gambar 19. Peta sebaran spesies Cymodocea serrulata
BAB VI

ANCAMAN KERUSAKAN
LAMUN
P ermasalahan utama yang mempengaruhi ekosistem lamun di
seluruh dunia adalah kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas
manusia. Kegiatan pengerukan dan penimbunan yang terus menerus,
pencemaran air termasuk pembuangan limbah garam dari kegiatan
desalinisasi, fasilitas-fasilitas produksi minyak, pemasukan pencemaran
di sekitar fasilitas industri serta limbah air panas dari pembangkit tenaga
listrik memberikan pengaruh terhadap ekosistem lamun.
Sampai saat ini kerusakan lamun dunia telah mencapai 58% dan
sejak tahun 1980 setiap 30 menit, dunia kehilangan lamun sebesar
lapangan sepak bola (Dennison 2009). Menurut Waycott, et al. (2009),
sebaran padang lamun global telah hilang sekitar 29% sejak abad ke-
19. Penyebab utama hilangnya padang lamun secara global adalah
penurunan kecerahan air, baik karena peningkatan kekeruhan air
maupun kenaikan masukan zat hara ke perairan. Pada daerah sub tropis
(temperate), kehilangan padang lamun disebabkan oleh alih fungsi
wilayah pesisir menjadi kawasan industri, pemukiman penduduk dan
banjir dari daratan. Sementara itu, penyebab utama hilangnya padang
lamun di daerah tropis adalah peningkatan masukan sedimen ke
perairan pesisir akibat pembalakan hutan di daratan dan penebangan
mangrove di pesisir yang bersamaan dengan pengaruh langsung dari
kegiatan budi daya perikanan.
Aktivitas manusia dalam pemanfaatan ekosistem lamun
memberikan ancaman tersendiri bagi keberlanjutan ekositem tersebut.
Pengaruh limbah domestik berupa amonium dengan konsentrasi
sebesar 158.3 – 663.4 µM akan mengurangi biomasa dari Zostera noltii
di Ria Formosa, bagian selatan Portugis (Cabaco et al. 2008). Taylor
dan Raheed (2011) meneliti pengaruh tumpahan minyak terhadap
padang lamun di Gladstone Australia. Mereka melakukan perbandingan
biomasa di lokasi yang terkena tumpahan minyak dan lokasi kontrol.

29
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 bulan pasca tumpahan terjadi
penurunan biomasa di kedua lokasi. Delapan bulan kemudian terjadi
kenaikan biomasa lamun. Dikatakan bahwa penurunan biomasa
kemungkinan disebabkan oleh variasi musim alami dan dampak
antropogenik.
Penurunan luas padang lamun di Indonesia dapat disebabkan oleh
faktor alami dan hasil aktivitas manusia terutama di lingkungan pesisir.
Faktor alami tersebut antara lain gelombang dan arus yang kuat, badai,
gempa bumi, dan tsunami. Sementara itu, kegiatan manusia yang
berkontribusi terhadap penurunan area padang lamun adalah reklamasi
pantai, pengerukan dan penambangan pasir, serta pencemaran. Sebagai
contoh tutupan lamun di Pulau Pari (Kepulauan Seribu) telah berkurang
sebesar 25 % dari tahun 1999 hingga 2004 diduga akibat maraknya
pembangunan di pulau tersebut.

Kegiatan/Ancaman Akibat

Pengembangan pantai akan


merusak lamun karena
pengerukan, peningkatan
sedimentasi, polusi perairan

Pengembangan Pantai

Pengembangan pantai
akan merusak lamun
karena pengerukan,
peningkatan sedimentasi,
polusi perairan

Reklamasi

Salah satu alat tangkap


yang merusak dasar perairan
adalah model trawl. Alat ini
menyapu biota yang ada
di dasar perairan dan akan
mempengaruhi pertumbuhan
Penggunaan alat tangkap lamun.
yang merusak

30
Kegiatan/Ancaman Akibat

Budidaya
Sisa-sisa pakan yang berlebihan
akan mengganggu pertumbuhan
lamun. Menimbulkan penyakit bagi
organisma yang ada di lamun

Akan menimbulkan blomming


Limbah algae akibat eutrofikasi dan
menyebabkan kondisi kurang
cahaya dan oksigen

Berasal dari penebangan


hutan, tambang dan pertanian.
Meningkatkan jumlah polutan dan
sedimentasi ke badan air yang
berbahaya untuk kehidupan lamun
Run-off

Kesadaran tentang lamun


rendah pada level masyarakat,
manager, aparat pemerintah,
sehingga sulit untuk membuat
aturan baru dan mentaati aturan
lama
Kesadaran masyarakat

Manager dan pengambil


keputusan memerlukan alat dan
informasi untuk menjalankan
konservasi
Kurangnya alat & informasi

Gambar 20.
Ancaman kerusakan ekosistem lamun

31
32
FOTO UDHI EKO HERNAWAN
BAB VII

RESTORASI PADANG
LAMUN
M enurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, restorasi adalah
pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula.
Restorasi padang lamun adalah upaya mengembalikan atau
memulihkan padang lamun yang rusak pada keadaan semula.
Sampai saat ini penyebab utama kerusakan padang lamun
disebabkan oleh aktivitas manusia (lihat Bab VI), oleh karena itu
perlu upanya untuk memulihkannya.

Ada tiga cara untuk melakukan restorasi lamun, yaitu: 1)


Pembibitan/pembenihan; 2) Sprig dengan jangkar atau tanpa
jangkar dan 3). Plug (Azkab 1999). Metode pembenihan atau
pembibitan dilakukan dengan cara menyemaikan biji lamun.
Metode Sprig dilakukan dengan cara mengambil tumbuhan lamun
dan mengikatkannya pada patok atau pada frame, sedangkan
metode Plug adalah mengambil lamun beserta susbstratnya untuk
ditanam di lokasi yang akan di restorasi.

Menurut Katwijk et al. (2009) dan https://oceana.org/


sites/default/files/reports/OCEANA_Restoration_of_seagrass_
meadows.pdf, keberhasilan penanaman lamun sangat dipengaruhi
oleh:

1. Riwayat lokasi penanaman


2. Pemilihan lokasi penanaman
3. Jenis lamun yang akan ditanam
4. Lokasi pengambilan bibit lamun
5. Waktu penanaman
6. Kondisi perairan.

33
Di Indonesia percobaan penanaman lamun untuk jenis
Cymodocea rotundata (Azkab 1987) dan Thallasia hemprichii (Azkab
1988) telah dilakukan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Saat ini
penanaman lamun di Pulau Pari menjadi kegiatan praktek bagi
siswa Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan
mahasiswa.

FOTO NURUL D.M. SJAFRIE

Bibit lamun Bibit lamun

Proses penanaman Lamun yang telah ditanam

Gambar 21.
Kegiatan penanaman lamun sebagai wisata edukasi

34
UCAPAN TERIMA KASIH

T im Wali Data Lamun mengucapkan terima kasih kepada


Tim Reef Health Monitoring COREMAP-CTI, Badan Informasi
Geospasial, The Nature Conservation yang telah berkontribusi
terhadap data status padang lamun Indonesia.

35
36
FOTO UDHI EKO HERNAWAN
DAFTAR BACAAN

Azkab, M.H. 1987. Percobaan transplantasi lamun, Cymodocea rotundata Ehrenb.


& Hempri.ex Aschers di rataan terumbu Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
Kongres Nasional Biologi VIII, Purwokerto 8-10 Oktober 1987, 20 h.

Azkab, M.H. 1988. Transplantasi lamun, Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Aschers


di rataan terumbu Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Dalam: Teluk Jakarta;
biologi, budidaya, oseanografi, geologi dan kondisi perairan (M. K. Moosa,
D. P. Praseno dan Sukarno, Eds.). Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta,
105-111.

Cabaco, S., R. Machas, V. Vieira and R. Santos. 2008. Impacts urban wastewater
discharge on seagrass meadow (Zostera noltii). Estuarine, Coastal and Shelf
Science 78: 1-13.

Costanza. R; R. d’Arge; R. de Groot; S. Farberk; M. Grasso; B. Hannon; K. Limburg;


S. Naeem; R. V. O’Neill; J. Paruelo; R. G. Raskin; P. Sutton and M. van den
Belt. 1997. The Value of the world’s ecosystem services and natural capital.
Nature 387: 253-260

Dahuri, R., J. Rais, S. Putra Ginting danM.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT Pradnya Paramita, Jakarta.
326 hal.

de la Torre-Castro, M and P. Ronnback. 2004. Link between human seagrasses


– an example from Tropical East Africa. Ocean and Coastal Management 47:
361–387

Dennison, W.C. 2009. Global Trajectories of Seagrass, the Biological Sentinels


of Coastal Ecosystem. In Global Loss of Coastal Habitat Rates, Causes and
Consequencies (Duarte C.M. ed.): 91-107.

Duarte, C. 2017. Review and synthesis: Hidden forest, the role of vegetated
coastal habitat in the ocean carbon budget. Biogeosciences 14: 301-310.
www.biogeosciences.net/14/2017/doi:10.5194/bg-14-301-2017.

Duarte, C.M., W. C. Dennison, R.J. W. Orth and T. J. B. Carruthers. 2008. The


Charisma of Coastal Ecosystems: Addressing the Imbalance. Estuaries and
Coasts: J CERF (2008) 31:233–238. DOI 10.1007/s12237-008-9038-7

37
https://oceana.org/sites/default/files/reports/OCEANA_Restoration_of_
seagrass_meadows.pdf

Jaxion-Ham, J., J. Saunders and M.R. Speight. 2012. Distribution of fish in


seagrass, mangrove and coral reef: life-stage dependent habitat use in
Honduras. Rev.Biol. Trop. 60(2) : 683-698.

Kamus Merriam Webster 2003.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 200 tahun 2004 tentang
Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.

Kiswara, W. 1994. A review: Seagrass ecosystem studies in Indonesia waters.


In Wilkinson, C.R., Sudara, S. and Cjou L.M., Eds. Proceeding on the ASEAN-
Australia Symposium on Living Coastal Resources. Chulalongkorn University,
Bangkok, 259-282.

Kiswara. W. 2009. Perspekif Lamun Dalam Produktivitas Hayati Pesisir. Dalam


Prosiding Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun (Hutomo M,
Bengen, .G, Kuriandewa, T. Taurusman, A.A dan Haryani, E., B., Eds.). Jakarta,
18 November 2009: 91-119.

Kuo, J. 2007. New monoecious seagrass of Halophilla sulawesii (Hydrocharitaceae)


from Indonesia. Aquatic Botany 87: 171-175.

M.M. van Katwijk, A.R. Bos, V.N. de Jonge, L.S.A.M. Hanssen, D.C.R. Hermus and
D.J. de Jong. 2009. Guidelines for seagrass restoration: Importance of
habitat selection and donor population, spreading of risks, and ecosystem
engineering effects. Marine Pollution Bulletin 58: 179-188.

Manca, E., I. Caceres, J.M. Alsina, V. Stratigaki, I. Towned and C.L. Amos. 2012.
Wave energy and wave induced flow reduction by full-scale model Posidonia
oceanica seagrass. Continental Shelf Research (50-51): 100-116.

Millenium Ecosystem Assessment. 2005. Ecosystems and Well-Human Being


Synthesis. Island Press. Washington DC. 137 p.

Nienhuis, P., J. Coosen and W. Kiswara. 1989. Community structure and biomass
distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Neth.
J. of Sea Res. 23(3): 197-214.

Taylor, H.A. and M.A. Rasheed. 2011. Impact of a fuel oil spill on seagrass
meadows in subtropical port, Glastone, Australia. Marine Pollution Bulletin
63: 431-437.
FOTO UDHI EKO HERNAWAN

38
The Economics of Ecology and Biodiversity (TEEB). 2010. Chapter 1: Integrating
the ecological and economic dimensions in biodiversity and ecosystem
service valuation. TEEB Document. 37p.

Waycott, M., C.M. Duarte, T. J. B. Carruthers, S. Olyamik, A. Calladine, J. W.


Fourquearan, K.L. Heck Jr., A.R. Hughes, G.A. Kendrick, W.J. Kenworthy, F.T.
Short and S.L. Williams. 2009. Accelerating loss of seagrass across the
globe threaten coastal ecosystems. PANS 106(30): 12377-12381

www. Seagrass-watch.com

39
TIM WALIDATA

NURUL DHEWANI MIRAH SJAFRIE

UDHI EKO HERNAWAN BAYU PRAYUDHA INDARTO HAPPY SUPRIYADI

RAHMAT MARINDAH YULIA ISWARI KASIH ANGGRAINI

SUSI RAHMAWATI SUYARSO

Anda mungkin juga menyukai