PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak Indonesia merdeka permasalahan obat senantiasa sejalan dengan isu internasional
bahwa obat merupakan komoditi strategis yang mempunyai dimensi yang unik sangat berbeda
dengan komoditi lainnya karena terkait proses, hasil dan pengembangan obat itu sendiri. Suatu
ciri di negara-negara kurang maju atau negara-negara berkembang obat masih tergolong produk
emosional yaitu mendasarkan kepada “need” atau terpaksa herus dibeli karena masih bertumpu
pada “out of pocket” sehingga belum tampil sebagai produk rational yang diinginkan oleh
konsumen. Sejak proses awal produksi, obat merupakan komoditi ekonomi, karena perangkat
investasi maupun proses pelaksanaan dilakukan dengan hukum ekonomi namun obat secara
universal diakui bahwa obat memiliki dimensi tersendiri yaitu Dimensi ekonomi ; memerlukan
investasi besar dan padat modal, padat riset dan sarat Import Content. Dimensi Teknologi ; sarat
dengan hasil temuan teknologi tinggi dan berlanjut serta senantiasa memerlukan expert dan
pengembangan. Dimensi Sosial Kemanusiaan ; berperan penting untuk kesehatan dan
keselamatan umat manusia.
Mendalami pemahaman ketiga dimensi keatas sangatlah kompleks apalagi secara
strategis diperlukan aplikasi agar terjadi kesepadanan dalam memahami fungsi dan posisi obat
itu sendiri. Suatu hal yang unik dalam komoditi obat adalah diperlukannya sinergi diantara
swasta, pemerintah maupun peneliti. Ketiga peran tersebut hampir tak terpisahkan dan melekat
dalam tampilan manufaktur obat, sebagaimana dirintis untuk berbagai industri melalui konsep
ABG (Akademisi, Bisnis, dan Government). memandang begitu strategisnya obat serta
menempatkan peran pengusaha sebagai mitra, dan pemerintah tidak hanya bertindak sebagai
regulator namun berperan sebagai pula kreator dan motivator. Obat bukan komoditi biasa
sehingga para usahawan yang bergerak dibidang farmasi harus mempunyai integritas dalam
menghargai produknya terkait safety, efficacy dan quality sedangkan pemerintah harus
menempatkan peran sebagai kreator dan motivator.
Dalam Kebijakan Obat Nasional (Konas) disebutkan antara lain bahwa pemerintah
bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan obat esensial. Oleh karena
itu pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian obat. Sedangkan pelaku
usaha bertanggung jawab atas mutu obat, sementara itu masyarakat berhak mendapatkan
informasi yang benar tentang obat. Ketersediaan dan pemerataan obat berarti tersedianya obat
(drug availability) di seluruh Indonesia baik jenis maupun jumlah obat, sesuai dengan kebutuhan
nyata dan pola penyakit. Sedangkan keterjangkauan obat berarti adanya jaminan akses obat
dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat khususnya masyarakat yang tidak
mampu baik melalui pelayanan kesehatan sektor publik maupun swasta.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Easton (1969)
Kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat
yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu
tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih
oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Dari definisi Easton, maka kebijakan publik merupakan proses pengambilan keputusan (decision
making). Berdasarkan definisinya, sebuah kebijakan publik akan efisien ketika berada dalam
ranah pemerintahan. Artinya, kekuasaan negara dalam kebijakan publik ini sangat besar.
II.2 TUJUAN
Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dan swasta yang kemudian dituangkan dalam
berbagai dalam tindakan nyata, mempunyai berbagai tujuan yaitu :
1. Untuk menjamin kepentingan umum semaksimal mungkin.
2. Ditetapkan berdasarkan prosedur yang berlaku.
3. Didorong oleh keinginan untuk menghindari pertentangan yang destruktif.
2. Jaminan keamanan, khasiat dan mutu obat beredar, serta perlindungan masyarakat
dari berbagai dampak salah penggunaan dan penyalahgunaan obat.
Pengawasan dan pengendalian obat mulai dari impor, produksi hingga ke tangan pasien,
merupakan kegiatan yang tak terpisahkan. Oleh karena itu keamanan, khasiat dan mutu semua
obat yang beredar harus dapat dijamin melalui strategi berikut:
a. Penilaian dan pengujian melalui proses pendaftaran, pembinaan, pengawasan dan
pengendalian (binwasdal) produksi, impor, ekspor, distribusi dan pelayanan obat merupakan
suatu kesatuan yang utuh, dilakukan secara transparan dan independen.
b. Adanya dasar hukum, dan penegakan hukum secara konsisten, dengan efek jera yang tinggi
untuk setiap pelanggaran.
c. Penyempurnaan ketentuan sarana produksi, sarana distribusi, sampai dengan tingkat
pengecer.
d. Pemberdayaan masyarakat melalui penyediaan dan penyebaran informasi terpercaya, sehingga
terhindar dari penggunaan obat yang tidak memenuhi persyaratan.
e. Penyempurnaan dan pengembangan berbagai standar dan pedoman pengembangan bahan obat.
b. Landasan Kebijakan
Untuk mencapai tujuan KONAS ditetapkan landasan kebijakan sebagai berikut:
1. Pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian obat, sedangkan
pelaku usaha di bidang obat bertanggung jawab atas mutu obat sesuai dengan fungsi
usahanya. Tugas pengawasan dan pengendalian yang menjadi tanggungjawab pemerintah
dilakukan secara profesional, bertanggungjawab, independen dan transparan.
2. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan obat
esensial yang dibutuhkan masyarakat.
3. Pemerintah dan pelayan kesehatan bertanggungjawab untuk menjamin agar pasien mendapat
pengobatan yang rasional. Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi obat yang benar.
Pemerintah memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
pengobatan.
4. Pemerintah mendorong terlaksananya penelitian dan pengembangan obat yang mencakup
aspek sistem (manajamen obat, manajemen SDM, penggunaan obat rasional, dan lain-lain),
komoditi obat, proses (pengembangan obat baru), kajian regulasi dan kebijakan.
5. Pemerintah dan semua pihak terkait bertanggungjawab atas ketersediaan SDM yang dapat
menunjang pencapaian sasaran.
B. Ketersediaan Obat
Langkah Kebijakan :
1. Memberikan insentif untuk produksi dalam negeri tanpa menyimpangdari dan dengan
memanfaatkan peluang yang ada dalam perjanjian WTO.
2. Menunjang ekspor obat untuk mencapai skala produksi yang lebih ekonomis untuk
menunjang perkembangan ekonomi nasional. Berkenaan dengan itu otoritas regulasi obat
mengupayakan pengakuan internasional atas sertifikasi nasional serta memberikan fasilitasi
sertifikasi internasional pabrik farmasi.
3. Peningkatan kerjasama regional, baik sektor publik maupun sektor swasta, dalam rangka
perdagangan obat internasional untuk pengembangan produksi dalam negeri.
4. Peningkatan efisiensi dan efektivitas distribusi obat melalui regulasi yang tepat.
5. Peningkatan pelayanan kefarmasian melalui peningkatan profesionalisme tenaga farmasi
sesuai dengan stándar pelayanan yang berlaku.
6. Pemberian insentif untuk pelayanan obat di daerah terpencil.
7. Peningkatan peran serta pengecer obat terutama di daerah terpencil untuk penyebaran
pelayanan obat bebas secara baik.
8. Ketersediaan obat sektor publik:
a. Pembentukan Instalasi Farmasi di Propinsi dan Kabupaten/Kota Pemekaran serta Revitalisasi
Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK) yang sudah ada sebagai Unit Pengelola Obat
dengan memanfaatkan sistem informasi pengelolaan obat yang efisien dan efektif.
b. Penerapan prinsip efisiensi dalam pengadaan obat, dengan mengikuti DOEN, serta dengan
pemusatan pengadaan obat di daerah pada tingkat kabupaten/kota.
c. Penerapan pengelolaan obat yang baik di IFK.
d. Penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan obat sektor publik serta pemisahan fungsi
dan tanggung jawab seleksi, kuantifikasi, spesifikasi produk, pra-kualifikasi pemasok, dan
pelaksanaan tender.
e. Memberikan kesempatan kepada industri dalam negeri apabaila diperlukan memanfaatkan
skema compulsary license, government use, pararel impor untuk memenuhi keperluan obat
disektor publik
C. Keterjangkauan
Langkah Kebijakan :
1. Peningkatan penerapan Konsep Obat Esensial dan Program Obat Generik:
a. Sosialisasi Konsep Obat Esensial dalam pelayanan kesehatan baik sektor publik
maupun swasta.
b. Menerapkan DOEN dalam seluruh sarana pelayanan kesehatan.
c. Secara konsisten memasyarakatkan obat generik.
d. DOEN merupakan bagian dari kurikulum dalam pendidikan dan pelatihan tenaga
profesi kesehatan.
e. Peningkatan Program Obat Generik dengan pengendalian mutu dan harga dengan
memanfaatkan informasi harga obat internasional.
f. Mengizinkan pelaksanaan registrasi obat generik yang sangat dibutuhkan dalam
pelayanan kesehatan sebelum hak paten obat yang bersangkutan kadaluwarsa.
g. Pemberian insentif kepada apotek dalam pelayanan obat esensial dan obat generik.
F. Regulasi Obat
Langkah Kebijakan :
1. Regulasi obat dilaksanakan secara transparan dan independen.
2. Perkuatan fungsi pengawasan obat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh terdiri dari:
a. Pendaftaran obat nasional;
b. Perizinan sarana produksi dan distribusi;
c. Inspeksi sarana produksi dan sarana distribusi obat;
d. Akses laboratorium pemeriksaan mutu;
e. Pelulusan uji oleh regulator yang kompeten;
f. Surveilans pasca pemasaran;
g. Otorisasi uji klinik.
3. Peningkatan sarana dan prasarana regulasi obat, serta pemenuhan kebutuhan sumber daya
manusia yang memadai.
4. Pemantapan usaha impor, produksi, distribusi, dan pelayanan obat.
5. Peningkatan kerjasama regional maupun internasional meliputi standar mutu, standar proses,
dan pengembangan sarana jaminan mutu (quality assurance) obat.
6. Pengembangan tenaga baik dalam jumlah dan mutu sesuai dengan stándar kompentesi.
7. Pengakuan internasional terhadap sertifikasi nasional obat, sarana produksi obat, dan tenaga
profesional di bidang obat.
8. Peningkatan inspeksi jalur distribusi yang ditunjang prosedur operasi standar, dilaksanakan
oleh tenaga inspektur terlatih dengan jumlah memadai, serta dilengkapi peralatan yang
lengkap (antara lain untuk tes obat sederhana).
9. Pembentukan Pusat Informasi Obat di pelayanan kesehatan dan Dinas Kesehatan untuk
intensifikasi penyebaran informasi obat.
10. Peningkatan kerjasama dengan instansi terkait dalam penegakan hukum secara konsisten.
11. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan peran serta masyarakat untuk berperan dalam
kontrol sosial menghadapi obat palsu dan obat tidak terdaftar melalui berbagai jalur
komunikasi dan berbagai media.
12. Pengembangan sistem nasional farmakovijilan sebagai pengembangan dari Monitoring Efek
Samping Obat Nasional (MESO Nasional).
13. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mengatur Promosi obat dengan
mengadopsi “Ethical Criteria for Medicinal Promotion” dari WHO untuk merespons
promosi obat non-etis.
G. Penelitian Dan Pengembangan
Langkah Kebijakan:
1. Pengembangan, dan modifikasi indikator penerapan KONAS.
2. Pengembangan model pengelolaan terutama obat esensial di daerah terpencil, daerah
perbatasan, daerah rawan bencana, daerah tertinggal, guna menunjang ketersediaan,
pemerataan dan keterjangkauan
3. Penelitian operasional untuk evaluasi penerapan KONAS secara berkala sesuai dengan
pedoman WHO untuk dapat melakukan penilaian kemajuan penerapannya.
4. Pengembangan obat baru untuk penyakit baru (emerging), muncul-kembali (re-emerging),
obat yang secara ekonomis tidak menguntungkan namun sangat diperlukan (orphan drugs).
5. Pengembangan dan revitalisasi Sistem Informasi Obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
(IFK) untuk menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan khususnya obat esensial.
6. Pengembangan dan evaluasi sistem monitoring keamanan penggunaan obat.
7. Kajian atas efektifitas sistem sampling pada uji petik pengujian obat di pasaran.
8. Penelitian dan pengembangan penggunaan obat rasional mulai dari identifikasi masalah,
besarnya masalah, memilih strategi peningkatan penggunaan obat yang rasional
9. Penerbitan dan revisi pedoman cara uji klinis yang baik untuk berbagai kelas terapi obat.
II.7 SWASTA
Tata Niaga Obat di RS.Swasta. Ada 5 hal yang baru dalam pola baru manajemen bisnis obat di
rumah sakit swasta:
1. Standarisasi obat yang mengharuskan pihak farmasi membayar per produk dan
kewajiban donasi obat.
Standarisasi obat atau Formarium pada awalnya adalah untuk mengatur peredaran obat
dengan memberikan kebebasan farmasi untuk mempromosikan produk ke komite medik
mengenai keunggulan obat agar masuk dalam komposisi obat formarium rumah sakit yaitu tiga
jenis obat: satu obat original, dua produk me too dan satu obat generik.
Hal yang menonjol adalah sedikitnya penggunaan obat generik yang masuk standart,
kemungkinan harga obat generik belum memenuhi skala ekonomis bagi rumah sakit swasta
padahal termasuk obat esensial yang harus ada di setiap layanan kesehatan, sebagai gantinya
rumah sakit mengganti obat sejenis yang bermerek yang harganya mahal. Dengan keharusan
membayar setiap obat bermerek maka menciptakan suatu pasar oligopoli karena mengedepankan
farmasi yang bisa melakukan hal ini , padahal hampir semua prinsipal farmasi terbentur kode
etik global yang mengharamkan cara ini.
4. Kerjasama dengan Prinsipal farmasi dalam bentuk Kontrak obat dengan memberikan
“advance discount” ke Rumah Sakit selama periode tertentu.
Hampir semua rumah sakit swasta sudah menjalankan “kontrak discount dibayar dimuka”
ini, setiap pabrikan akan dipanggil oleh manajemen rumah sakit untuk melakukan kontrak obat
selama satu tahun dengan membayar uang discount di muka. Menurut sumber dari beberapa
rumah sakit terkemuka, system advance discount ini sebuah rumah sakit besar dapat
menghimpun dana rata-rata minimal 1.5 milyar pertahun dari kontrak obat.
5. Resep obat dari dokter rawat jalan terintegrasi langsung di Farmasi Rumah Sakit
Biasanya jika berobat di rumah sakit, pasien akan mendapat resep yang bebas ditebus
apakah di rumah sakit tersebut atau di apotik dekat rumah pasien. Sistem ini sudah dijalankan
beberapa RS Swasta, dokter akan meresepkan obat dengan memberikan resep yang hanya bisa
dibaca dengan “kode” oleh pihak rumah sakit saja, ada pula yang memberikan kartu setelah
berobat untuk mengambil obat di farmasi RS. Tujuan utama memang mengkandangkan resep
agar tidak keluar ke apotik disekitar, sungguh ironi bagi apotik-apotik yang akan mengalami sepi
resep pasien.
BAB III
KESIMPULAN
1. Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dan swasta yang kemudian dituangkan dalam
berbagai dalam tindakan nyata, mempunyai berbagai tujuan yaitu untuk menjamin kepentingan
umum semaksimal mungkin, ditetapkan berdasarkan prosedur yang berlaku, dan didorong oleh
keinginan untuk menghindari pertentangan yang destruktif.
2. Aplikasi kebijakan publik oleh pemerintah salah satu contohnya adalah tentang kebijakan
obat nasional (Konas) dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat
secara berkelanjutan, untuk tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Keterjangkauan dan penggunaan obat yang rasional merupakan bagian dari tujuan yang hendak
dicapai.
3. Aplikasi kebijakan publik oleh swasta misalnya tata niaga obat di rumah sakit swasta adalah
standarisasi obat yang mengharuskan pihak farmasi membayar per produk dan kewajiban donasi
obat, sistem pembelian group, sistem pembelian dengan konsinyasi, kerjasama dengan Prinsipal
farmasi dalam bentuk Kontrak obat dengan memberikan “advance discount” ke Rumah Sakit
selama periode tertentu, dan resep obat dari dokter rawat jalan terintegrasi langsung di Farmasi
Rumah Sakit.
DAFTAR PUSTAKA
4. Suhanto, Edi. 2007. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.