Anda di halaman 1dari 21

BAB I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejak Indonesia merdeka permasalahan obat senantiasa sejalan dengan isu internasional
bahwa obat merupakan komoditi strategis yang mempunyai dimensi yang unik sangat berbeda
dengan komoditi lainnya karena terkait proses, hasil dan pengembangan obat itu sendiri. Suatu
ciri di negara-negara kurang maju atau negara-negara berkembang obat masih tergolong produk
emosional yaitu mendasarkan kepada “need” atau terpaksa herus dibeli karena masih bertumpu
pada “out of pocket” sehingga belum tampil sebagai produk rational yang diinginkan oleh
konsumen. Sejak proses awal produksi, obat merupakan komoditi ekonomi, karena perangkat
investasi maupun proses pelaksanaan dilakukan dengan hukum ekonomi namun obat secara
universal diakui bahwa obat memiliki dimensi tersendiri yaitu Dimensi ekonomi ; memerlukan
investasi besar dan padat modal, padat riset dan sarat Import Content. Dimensi Teknologi ; sarat
dengan hasil temuan teknologi tinggi dan berlanjut serta senantiasa memerlukan expert dan
pengembangan. Dimensi Sosial Kemanusiaan ; berperan penting untuk kesehatan dan
keselamatan umat manusia.
Mendalami pemahaman ketiga dimensi keatas sangatlah kompleks apalagi secara
strategis diperlukan aplikasi agar terjadi kesepadanan dalam memahami fungsi dan posisi obat
itu sendiri. Suatu hal yang unik dalam komoditi obat adalah diperlukannya sinergi diantara
swasta, pemerintah maupun peneliti. Ketiga peran tersebut hampir tak terpisahkan dan melekat
dalam tampilan manufaktur obat, sebagaimana dirintis untuk berbagai industri melalui konsep
ABG (Akademisi, Bisnis, dan Government). memandang begitu strategisnya obat serta
menempatkan peran pengusaha sebagai mitra, dan pemerintah tidak hanya bertindak sebagai
regulator namun berperan sebagai pula kreator dan motivator. Obat bukan komoditi biasa
sehingga para usahawan yang bergerak dibidang farmasi harus mempunyai integritas dalam
menghargai produknya terkait safety, efficacy dan quality sedangkan pemerintah harus
menempatkan peran sebagai kreator dan motivator.
Dalam Kebijakan Obat Nasional (Konas) disebutkan antara lain bahwa pemerintah
bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan obat esensial. Oleh karena
itu pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian obat. Sedangkan pelaku
usaha bertanggung jawab atas mutu obat, sementara itu masyarakat berhak mendapatkan
informasi yang benar tentang obat. Ketersediaan dan pemerataan obat berarti tersedianya obat
(drug availability) di seluruh Indonesia baik jenis maupun jumlah obat, sesuai dengan kebutuhan
nyata dan pola penyakit. Sedangkan keterjangkauan obat berarti adanya jaminan akses obat
dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat khususnya masyarakat yang tidak
mampu baik melalui pelayanan kesehatan sektor publik maupun swasta.
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 DEFINISI KEBIJAKAN PUBLIK


1. Menurut Chandler dan Plano (1988)
Kebijakan publik merupakan pemanfaatan strategis terhadap sumber daya yang ada untuk
memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Menurutnya, kebijakan publik
merupakan bentuk intervensi negara untuk melindungi kepentingan masyarakat (kelompok) yang
kurang beruntung. Dari definisi Chandler dan Plano, kebijakan publik masuk dalam lapis
pemaknaan kebijakan publik sebagai intervensi dari pemerintah. Optimalisasi kebijakan publik
kemudian ada pada ranah sumber daya—berupa sistem dalam masyarakatnya, sehingga
kebijakan publik akan menghasilkan output yang berfungsi mensinergikan kebijakan tersebut.

2. Easton (1969)
Kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat
yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu
tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih
oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Dari definisi Easton, maka kebijakan publik merupakan proses pengambilan keputusan (decision
making). Berdasarkan definisinya, sebuah kebijakan publik akan efisien ketika berada dalam
ranah pemerintahan. Artinya, kekuasaan negara dalam kebijakan publik ini sangat besar.

3. Arief Ramelan Karseno, MA.,Ph.D.


Kebijakan publik dipahami sebagai kebijakan, baik politik, ekonomi, dan sosial yang
diambil secara kolektif, demi kepentingan/keuntungan masyarakat secara bersamasama
(kolektif). Kebijakan Publik itu bisa berbentuk “aturan atau rambu-rambu” perdagangan dalam
hubungan ekonomi antara anggota masyarakat; bisa berbentuk pembuatan atau penyediaan
barang yang akan dipakai bersama (disebut barang publik) atau bahkan, bisa berbentuk hukum
dan kode etik hubungan antara manusia sebangsa yang sering kita sebut dengan budaya yang
diterima secara umum dalam masyarakat itu.
4. Thomas R. Dye (1981)
Kebijakan publik sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh
pemerintah. Dari definisi Dye, jelas bahwa kebijakan publik masuk dalam klasifikasi decision
making.

5. Ir. Dharma Gupta


Gupta, dalam tulisannya menekankan perlunya sosialisasi pejabat terhadap kebijakan
publik yang dibuat. Dicontohkan tentang kebijakan dalam penentuan nilai ebtanas dan rencana
strategis pembangunan suatu wilayah. Ketika itu tidak disosialisasikan, maka kebijakan itu tidak
lagi menjadi kebijakan publik. Sehingga kebijakan publik artinya semata peraturan dan ketentuan
yang diciptakan oleh pemerintah saja. Dari tulisannya, kebijakan publik diklasifikasikan sebagai
serangkaian kerja pejabat publik. Dalam artian, kebijakan publik akan efisien jika difokuskan
pada fungsi managementnya. Menurut Gupta, ketika sosialisasi program dapat merata,
masyarakat dapat mengimplementasikan kebijakan dengan tujuan serta aturan-aturan yang jelas.

6. Ratih Pratiwi Anwar, S.E. M.Si


Dari artikelnya, dapat dilihat bahwa Ratih cenderung mengartikan kebijakan publik
sebagai proses pengambilan keputusan. Dia menitikberatkan sebuah kebijakan pada cara
pemerintah menciptakan sebuah kebijakan yang menguntungkan bagi rakyat banyak.
Dicontohkan dalam artikelnya tentang perlindungan terhadap obat lokal. Masuknya obat-obat
modern dan gaya hidup masyrakat yang mulai menimbulkan nilai lokalitas membuat Ratih
berpikir harus ada institusi yang berani menciptakan kebijakan yang melindungi pembuat obat
tradisional. Dan di situlah negara dan pejabat public diperlukan.
Dari artikelnya, kebijakan publik menurutnya dapat diklasifikasikan ke dalam proses
decision making, untuk memutuskan apakah kebijakan perlindungan obat tradisional benar-benar
diperlukan

7. Ir. Djoko Wintolo


Kebijakan publik masuk dalam klasifikasi intervensi pemerintah. Cukup jelas dalam
tulisannya, dicontohkan maslah pendidikan. Di sini pendidikan adalah proses pengenalan
terhadap kebijakan itu sendiri. Dengan menjadikan masyarakat sebagai manusia yang
berpendidikan, diharapkan masyarakat menjadi sosok yang mampu menghargai atau memberi
apresiasi terhadap sebuah profesi sehingga tidak perlu banyak kebijakan untuk membuatnya
tetap diterima. Kebijakan publik kemudian menjadi lebih fokus pada prosedur kerja sistem
sosial, bukan pada prosedur tatanan orang-orang yang melakukan kebijakan tersebut. Dengan
masyarakat yang berpendidikan, artinya, intervensi pemerintah dalam sebuah perubahan struktur
masyarakat begitu besar. Dan itu artinya, langsung atau tidak, akan ada efek kebijakan untuk
problem solving sebuah struktur masyarakat. Intinya, pendidikan itu sendiri harus mampu
menyesuaikan dengan sistem sosial yang tepat untuk menghasilkan kebijakan yang tepat pula.

8. Menurut Anderson (1984)


Kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian prinsip atau tindakan yang
dilakukan oleh suatu tujuan tertentu atau tindakan yang dilakukan oleh suatu pemerintahan pada
periode tertentu jika terjadi suatu subjek atau krisis.

II.2 TUJUAN
Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dan swasta yang kemudian dituangkan dalam
berbagai dalam tindakan nyata, mempunyai berbagai tujuan yaitu :
1. Untuk menjamin kepentingan umum semaksimal mungkin.
2. Ditetapkan berdasarkan prosedur yang berlaku.
3. Didorong oleh keinginan untuk menghindari pertentangan yang destruktif.

II.3 PRINSIP KEBIJAKAN PUBLIK


1. Kejelasan
2. Akurasi
3. Kesederhanaan
4. Keamanan
5. Tanggung jawab
6. Kemudahan akses
7. Kenyamanan.
8. Membuat peraturan yang efektif
9. Menyediakan publik servis yang efektif dan accountable
10. Meningkatkan standar hidup masyarakat.

II.4 KARAKTERISTIK KEBIJAKAN


1. Selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan suatu tindakan yang berorientasi tujuan.
2. Berisi tindakan-tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah
3. Merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah.
4. Bersifat positif dalam arti suatu tindakan hanya dilakukan dan negative dalam arti keputusan
itu bermaksud untuk tidak melakukan sesuatu.
5. Kebijakan itu didasarkan pada peraturan atau peraturan perundang-undangan yang bersifat
memaksa.

II.5 APLIKASI KEBIJAKAN PUBLIK


Implementasi kebijakan publik merupakan aspek yang penting dari seluruh proses
kebijakan, karena apalah arti dari suatu kebijakan, apabila tidak diimplementasikan dengan baik
(Mustofa Wijaya,2001).
A.1 Maksud dan Tujuan
KONAS (Kebijakan Obat Nasional) dalam pengertian luas dimaksudkan untuk meningkatkan
pemerataan dan keterjangkauan obat secara berkelanjutan, untuk tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Keterjangkauan dan penggunaan obat yang rasional
merupakan bagian dari tujuan yang hendak dicapai. Pemilihan obat esensial yang tepat dan
pemusatan upaya pada penyediaan obat esensial tersebut terbukti telah meningkatkan akses obat
serta penggunaan obat yang rasional. Semua obat yang beredar harus dijamin keamanan, khasiat
dan mutunya agar betul betul memberikan manfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat,
dan justru tidak merugikan kesehatan. Bersamaan dengan itu masyarakat harus dilindungi dari
salah penggunaan dan penyalahgunaan obat
Dengan demikian tujuan KONAS adalah untuk menjamin:
1. Ketersediaan , pemerataan, dan keterjangkauan obat esensial.
2. Untuk menjamin keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar.
3. Masyarakat terlindung dari salah penggunaan dan penyalahgunaan obat.
Ruang lingkup KONAS mencakup pembiayaan, ketersediaan dan pemerataan,
keterjangkauan obat, seleksi obat esensial, penggunaan obat rasional, pengawasan, penelitian dan
pengembangan sumber daya manusia dan pemantauan serta evaluasi. Dalam hal ketersediaan,
pemerataan dan keterjangkauan obat diutamakan pada obat esensial, sedangkan dari aspek
jaminan mutu diberlakukan pada semua jenis obat. Selain tujuan umum yang terkait dengan
kesehatan dasar, ada pula tujuan – tujuan umum lainnya, termasuk tujuan Ekonomi misalnya,
untuk mengurangi penggunaan devisa negara dalam impor obat atau untuk meyediakan lapangan
pekerjaan seperti dalam bidang penyediaan dan penyeraran obat, pengemasan,atau produksi obat.
Juga ada beberapa strategi ekonomi untuk obat seperti menjamin pembiayaan obat yang
memadai serta berkesinambungan merupakan tantangan besar.
Pembiayaan publik bagi obat disarana pelayanan kesehatan pemerintah diterima sebagai
kebijakan yang sah di banyak negara dan oleh banyak lembaga. Selain itu mekanisme
pembiayaan seperti biaya berobat (user fee) merupakan suatu hal yang dapat diterapakan
dinegara – negara miskin guna meningkatkan sumberdaya pembiayaan. Kebijakan keuangan
harus dirancang untuk memaksimalkan sumberdaya bagi obat dan mempertahankan harga obat
serendah mungkain disektor pemerintahan. Mekanisme yang mungkin digunakan untuk
meningkatkan akses ekonomi terhadap obat esensial disemua sektor antara lain adalah cakupan
asuransi yang lebih luas, informasi harga, pengganti obat generik untuk meningkatkan
persaingan harga, peraturan tentang harga produsen, serta peraturan tentang batas harga enceran
Peningkatan efisiensi dalam sistem kefarmasian dapat membantu negara mengatasi
dampak dari macroeconomic shocks seperti devaluasi mata uang franc di Afrika Barat
mendorong negara – negara yang ada di wilayah tersebut untuk memperkuat kebijakan obat
esensial mereka bagi sektor pemerintahan serta mengenalkan mekanisme untuk mempromosikan
obat dengan mana generik kepada masyarakat.
Tujuan pembangunan nasional misalnya memperbaiki sistem transportasi dan
komunikasi, mengembangkan produksi farmasi nasional, melindungi hak kekayaan intelektual
atau menghindar pemberian hak tersebut kepada pabrik obat untuk memproduksi abat tertentu
(guna menghindari harga obat yang sangat mahal), Terlepas dari keadaan tertentu yang dihadapi
oleh suatu negara. Konas yang komperhensif seharusnya menguraikan dengan jelas peran sektor
pemerintahan dan swasta. Selain itu kebijakan tersebut harus mempertimbangkan efisiensi
(dengan sumberdaya yang ada dapat menyelenggarakan pelayanaan yang semaksimal mungkin),
pemerataan (akses yang merata), serta kesinambungan pengaturan pasokan obat yang ada
berbeda – beda tergantung dari pemerintah dalam hal pembiayaan, penyaluran, penyediaan, dan
penyerahan obat. Banyak negara berkembang mempertahankan sistem pemerintahan yang
mengatur pengadaan dan impor obat selama puluhan tahun, karena kegiatan sektor swasta
berpusat diwilayah perkotaan dan tidak ada sistem asuransi kesehatan, Meskipun sistem seperti
ini tetap dibutuhkan, masih dibutuhkan penyempurnaan dalam hal penyelenggaraan, manajemen,
dan pembiayaan.
A.2 Strategi dan Landasan Kebijakan
a. Strategi
1. Ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat esensial.
Akses obat esensial bagi masyarakat secara garis besar dipengaruhi oleh empat faktor
utama, yaitu penggunaan obat secara rasional; harga yang terjangkau; pendanaan yang
berkelanjutan; dan sistem kesehatan serta sistem penyediaan obat yang dapat diandalkan.
Berdasarkan pola pemikiran di atas ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat
esensial hendak dicapai melalui strategi berikut:
a. Sistem pembiayaan obat berkelanjutan, baik sektor publik maupun sektor swasta mengacu
pada UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
dijabarkan dalam berbagai bentuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
b. Rasionalisasi harga obat dan pemanfaatan obat generik.
c. Penerapan sistem pengadan dalam jumlah besar (bulk purchasing) atau pengadaan secara
terpusat (pool procurement) disektor publik. Disertai distribusi obat yang efektif, efisien
dan akuntabel, pada sektor publik dan swasta.
d. Pengembangan dan evaluasi terus-menerus, model dan bentuk pengelolaan obat sektor
publik di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan dan daerah rawan.
e. Penyiapan regulasi yang tepat untuk menjamin ketersediaan obat .
f. Memanfaatkan skema dalam Trips : compulsary license, government use, paralel impor.

2. Jaminan keamanan, khasiat dan mutu obat beredar, serta perlindungan masyarakat
dari berbagai dampak salah penggunaan dan penyalahgunaan obat.
Pengawasan dan pengendalian obat mulai dari impor, produksi hingga ke tangan pasien,
merupakan kegiatan yang tak terpisahkan. Oleh karena itu keamanan, khasiat dan mutu semua
obat yang beredar harus dapat dijamin melalui strategi berikut:
a. Penilaian dan pengujian melalui proses pendaftaran, pembinaan, pengawasan dan
pengendalian (binwasdal) produksi, impor, ekspor, distribusi dan pelayanan obat merupakan
suatu kesatuan yang utuh, dilakukan secara transparan dan independen.
b. Adanya dasar hukum, dan penegakan hukum secara konsisten, dengan efek jera yang tinggi
untuk setiap pelanggaran.
c. Penyempurnaan ketentuan sarana produksi, sarana distribusi, sampai dengan tingkat
pengecer.
d. Pemberdayaan masyarakat melalui penyediaan dan penyebaran informasi terpercaya, sehingga
terhindar dari penggunaan obat yang tidak memenuhi persyaratan.
e. Penyempurnaan dan pengembangan berbagai standar dan pedoman pengembangan bahan obat.

3. Penggunaan obat secara rasional


Pengembangan serta penerapan pedoman terapi dan kepatuhan terhadap Daftar Obat
Esensial Nasional (DOEN), merupakan dasar dari pengembangan penggunaan obat secara
rasional. Salah satu masalah yang mendasar atas terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional
adalah informasi yang tidak benar, tidak lengkap dan menyesatkan. Oleh karena itu perlu dijamin
agar pengguna obat, baik pel ayan kesehatan maupun masyarakat mendapatkan informasi yang
benar, lengkap dan tidak menyesatkan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas upaya untuk
penggunaan obat yang rasional dilakukan melalui strategi berikut:
a. Penerapan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dalam setiap upaya pelayanan kesehatan,
baik perorangan maupun masyarakat, melalui pemanfaatan pedoman terapi dan formularium.
b. Adopsi obat dari DOEN pada pengadaan obat dan skema JPKM.
c. Penerapan pendekatan farmakoekonomi melalui kajian biaya efektif dan kemanfaatan (Cost
effectiveness and cost benefit analysis) pada seleksi obat yang digunakan di semua tingkat
pelayanan.
d. Penerapan pelayanan kefarmasian yang baik.
e. Menjamin diterimanya informasi yang benar, lengkap, dan tidak menyesatkan oleh para
pengguna.
f. Pemberdayaan masyarakat melalui KIE (komunikasi, informasi dan edukasi).
g. Pembatasan jumlah dan jenis obat yang beredar.

b. Landasan Kebijakan
Untuk mencapai tujuan KONAS ditetapkan landasan kebijakan sebagai berikut:
1. Pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian obat, sedangkan
pelaku usaha di bidang obat bertanggung jawab atas mutu obat sesuai dengan fungsi
usahanya. Tugas pengawasan dan pengendalian yang menjadi tanggungjawab pemerintah
dilakukan secara profesional, bertanggungjawab, independen dan transparan.
2. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan obat
esensial yang dibutuhkan masyarakat.
3. Pemerintah dan pelayan kesehatan bertanggungjawab untuk menjamin agar pasien mendapat
pengobatan yang rasional. Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi obat yang benar.
Pemerintah memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
pengobatan.
4. Pemerintah mendorong terlaksananya penelitian dan pengembangan obat yang mencakup
aspek sistem (manajamen obat, manajemen SDM, penggunaan obat rasional, dan lain-lain),
komoditi obat, proses (pengembangan obat baru), kajian regulasi dan kebijakan.
5. Pemerintah dan semua pihak terkait bertanggungjawab atas ketersediaan SDM yang dapat
menunjang pencapaian sasaran.

II.6 POKOK-POKOK DAN LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN


A. Pembiayaan Obat
Langkah kebijakan :
1. Penetapan target pembiayaan obat sektor publik secara nasional
2. Departemen Kesehatan mengembangkan mekanisme pemantauan pembiayaan obat sektor
publik di daerah.
3. Pemerintah menyediakan anggaran obat untuk program kesehatan nasional. Sedangkan untuk
masyarakat yang dikategorikan mampu dapat berkontribusi.
4. Pemerintah Pusat menyediakan dana buffer stok nasional untuk kepentingan penanggulangan
bencana, dan memenuhi kekurangan obat di kabupaten/kota.
5. Sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku, pemerintah daerah menyediakan
anggaran obat yang dialokasikan dari Dana Alokasi Umum (DAU), khususnya untuk
pelayanan kesehatan strata pertama. Mengingat obat sangat penting artinya bagi kesejahteraan
masyarakat, maka perlu alokasi anggaran yang cukup.
6. Sesuai dengan Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentan SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional), skema JPKM dan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan lainnya harus
menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna termasuk obat.
7. Biaya yang mungkin dikenakan kepada pasien di pelayanan, khususnya Puskesmas, semata-
mata merupakan alat “serta bayar” (co-payment) dan tidak ditujukan sebagai sumber
penghasilan.
8. Untuk menghadapi keadaan darurat, maka pemerintah harus mengutamakan penggunaan obat
dalam negeri. Bantuan dari Negara donor sifatnya hanya supplemen. Mekanisme obat bantuan
harus mengikuti kaidah internasional maupun ketentuan dalam negeri.
9. Pemerintah perlu melakukan kebijakan penetapan harga obat untuk menjamin kewajaran harga
obat.

B. Ketersediaan Obat
Langkah Kebijakan :
1. Memberikan insentif untuk produksi dalam negeri tanpa menyimpangdari dan dengan
memanfaatkan peluang yang ada dalam perjanjian WTO.
2. Menunjang ekspor obat untuk mencapai skala produksi yang lebih ekonomis untuk
menunjang perkembangan ekonomi nasional. Berkenaan dengan itu otoritas regulasi obat
mengupayakan pengakuan internasional atas sertifikasi nasional serta memberikan fasilitasi
sertifikasi internasional pabrik farmasi.
3. Peningkatan kerjasama regional, baik sektor publik maupun sektor swasta, dalam rangka
perdagangan obat internasional untuk pengembangan produksi dalam negeri.
4. Peningkatan efisiensi dan efektivitas distribusi obat melalui regulasi yang tepat.
5. Peningkatan pelayanan kefarmasian melalui peningkatan profesionalisme tenaga farmasi
sesuai dengan stándar pelayanan yang berlaku.
6. Pemberian insentif untuk pelayanan obat di daerah terpencil.
7. Peningkatan peran serta pengecer obat terutama di daerah terpencil untuk penyebaran
pelayanan obat bebas secara baik.
8. Ketersediaan obat sektor publik:
a. Pembentukan Instalasi Farmasi di Propinsi dan Kabupaten/Kota Pemekaran serta Revitalisasi
Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK) yang sudah ada sebagai Unit Pengelola Obat
dengan memanfaatkan sistem informasi pengelolaan obat yang efisien dan efektif.
b. Penerapan prinsip efisiensi dalam pengadaan obat, dengan mengikuti DOEN, serta dengan
pemusatan pengadaan obat di daerah pada tingkat kabupaten/kota.
c. Penerapan pengelolaan obat yang baik di IFK.
d. Penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan obat sektor publik serta pemisahan fungsi
dan tanggung jawab seleksi, kuantifikasi, spesifikasi produk, pra-kualifikasi pemasok, dan
pelaksanaan tender.
e. Memberikan kesempatan kepada industri dalam negeri apabaila diperlukan memanfaatkan
skema compulsary license, government use, pararel impor untuk memenuhi keperluan obat
disektor publik

9. Ketersediaan obat dalam keadaan darurat


a. Pengorganisasian suplai obat dalam keadaan darurat sesuai ketentuan yang berlaku..
b. Departemen Kesehatan menyusun pedoman pengadaan obat untuk keadaan darurat yang
ditinjau kembali secara berkala.
c. Pengadaan obat untuk keadaan darurat mengikuti pedoman Departemen Kesehatan dan
pemerintah mengambil langkah – langkah untuk menjamin ketepatan jumlah, jenis, mutu dan
waktu penyerahan obat.
d. Untuk menghadapi keadaan darurat , maka pemerintah harus mengutamakan obat produksi
dalam negeri. Bantuan dari Negara donor sifatnya hanya sisipan (supplemen). Mekanisme
obat bantuan harus mengikuti kaidah internasional maupun ketentuan dalam negeri.

10. Pemerintah mengembangkan mekanisme pemantauan ketersediaan obat esensial dan


mengambil langkah-langkah penyediaannya.
11. Pemerintah perlu melakukan kebijakan penetapan harga obat untuk menjamin ketersedian
obat.
12. Untuk mengatasi masalah penyakit tertentu yang memerlukan Orphan Drug, maka
pemerintah dapat menggunakan Special Access Scheme.

C. Keterjangkauan
Langkah Kebijakan :
1. Peningkatan penerapan Konsep Obat Esensial dan Program Obat Generik:
a. Sosialisasi Konsep Obat Esensial dalam pelayanan kesehatan baik sektor publik
maupun swasta.
b. Menerapkan DOEN dalam seluruh sarana pelayanan kesehatan.
c. Secara konsisten memasyarakatkan obat generik.
d. DOEN merupakan bagian dari kurikulum dalam pendidikan dan pelatihan tenaga
profesi kesehatan.
e. Peningkatan Program Obat Generik dengan pengendalian mutu dan harga dengan
memanfaatkan informasi harga obat internasional.
f. Mengizinkan pelaksanaan registrasi obat generik yang sangat dibutuhkan dalam
pelayanan kesehatan sebelum hak paten obat yang bersangkutan kadaluwarsa.
g. Pemberian insentif kepada apotek dalam pelayanan obat esensial dan obat generik.

2. Pemerintah melaksanakan evaluasi harga secara periodik dengan membandingkan dengan


harga referensi internasional mengikuti metoda standar internasional yang terkini untuk:
a. Membandingkan harga dengan harga di negara lain dalam rangka mengambil langkah
kebijakan yang tepat mengenai harga obat;
b. Membandingkan keterjangkauan obat oleh masyarakat di berbagai daerah (baik
perkotaan maupun pedesaan), dan di sarana pelayanan berbagai sektor (baik di sektor
publik, sektor swasta maupun sektor swasta nirlaba) dalam rangka mengambil
kebijakan yang tepat;
c. Menilai dampak kebijakan yang telah dilaksanakan mengenai harga obat.
3. Pemanfaatan studi farmako - ekonomik diunit pelayanan kesehatan secara terintegrasi untuk
meningkatkan efisiensi.

4. Pengendalian harga jual pabrik:


a. Pemerintah melakukan perbandingan harga obat yang masih dilindungi hak paten
pemerintah melaksanakan lisensi wajib sesuai dengan Undang-undang No 14 Tahun
2001 tentang Paten. Dengan harga di negara lain dengan mengacu pada hasil
pengukuran harga obat bila perlu.
b. Harga obat me-too (kopi) tidak boleh lebih mahal dari harga obat paten yang
bersangkutan.

5. Pemerintah mengembangkan sistem informasi harga obat bagi masyarakat.


6. Pemerintah mengembangkan sistem pengadaan obat sektor publik dengan menerapkan prinsip
pengadaan dalam jumlah besar atau pengadaan terpusat.
7. Penghapusan pajak dan bea masuk untuk obat esensial
8. Pemerintah perlu melakukan kebijakan penetapan harga obat untuk menjamin keterjangkauan
harga obat.

D. Seleksi Obat Esensial


Langkah Kebijakan :
1. Pembentukan komite nasional untuk pemilihan obat esensial.
2. Pemilihan obat esensial harus terkait dengan pedoman terapi atau standar pengobatan yang
didasarkan pada bukti ilmiah terkini.
3. Seleksi obat esensial dilakukan melalui penelaahan ilmiah yang mendalam dan pengambilan
keputusan yang transparan dengan melibatkan para ahli dalam bidang obat dan kedokteran,
berbagai strata sarana pelayanan kesehatan UKM dan UKP dan lembaga pendidikan tenaga
profesi kesehatan.
4. Revisi DOEN dilakukan secara periodik paling tidak setiap 3 - 4 tahun dengan melalui proses
pengambilan keputusan yang sama.
5. Penyebarluasan DOEN dan setiap revisi DOEN kepada sarana pelayanan kesehatan sampai
daerah yang terpencil, pendidik tenaga profesi kesehatan, pelayan kesehatan, mahasiswa
kesehatan, baik dalam bentuk tercetak maupun elektronik.
6. Pengintegrasian Konsep Obat Esensial dalam pendidikan formal, pendidikan berkelanjutan
maupun pelatihan tenaga profesi kesehatan.

E. Penggunaan Obat Yang Rasional


Langkah Kebijakan :
1. Pembentukan komite nasional multidisiplin untuk mengkoordinasi langkah kebijakan
penggunaan obat.
2. Penyusunan pedoman terapi standar berdasarkan bukti ilmiah terkini yang di revisi secara
berkala.
3. DOEN sebagai acuan pemilihan obat.
4. Pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi di rumah sakit.
5. Pembelajaran farmakoterapi berbasis masalah dalam kurikulum S1 tenaga profesi kesehatan.
6. Pendidikan berkelanjutan sebagai persyaratan izin menjalankan kegiatan profesi.
7. Pengawasan, audit dan umpan balik dalam penggunaan obat.
8. Penyediaan informasi obat yang jujur dan benar.
9. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat untuk menggunakan obat secara tepat dan benar.
10.Langkah regulasi dan penerapannya untuk menghindarkan insentif pada penggunaan dan
penulisan resep obat tertentu.
11.Regulasi untuk menunjang penerapan berbagai langkah kebijakan penggunaan obat secara
rasional.
12. Alokasi anggaran pemerintah yang memadai untuk memastikan ketersediaan obat esensial
serta untuk pelatihan tenaga profesi kesehatan.

F. Regulasi Obat
Langkah Kebijakan :
1. Regulasi obat dilaksanakan secara transparan dan independen.
2. Perkuatan fungsi pengawasan obat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh terdiri dari:
a. Pendaftaran obat nasional;
b. Perizinan sarana produksi dan distribusi;
c. Inspeksi sarana produksi dan sarana distribusi obat;
d. Akses laboratorium pemeriksaan mutu;
e. Pelulusan uji oleh regulator yang kompeten;
f. Surveilans pasca pemasaran;
g. Otorisasi uji klinik.
3. Peningkatan sarana dan prasarana regulasi obat, serta pemenuhan kebutuhan sumber daya
manusia yang memadai.
4. Pemantapan usaha impor, produksi, distribusi, dan pelayanan obat.
5. Peningkatan kerjasama regional maupun internasional meliputi standar mutu, standar proses,
dan pengembangan sarana jaminan mutu (quality assurance) obat.
6. Pengembangan tenaga baik dalam jumlah dan mutu sesuai dengan stándar kompentesi.
7. Pengakuan internasional terhadap sertifikasi nasional obat, sarana produksi obat, dan tenaga
profesional di bidang obat.
8. Peningkatan inspeksi jalur distribusi yang ditunjang prosedur operasi standar, dilaksanakan
oleh tenaga inspektur terlatih dengan jumlah memadai, serta dilengkapi peralatan yang
lengkap (antara lain untuk tes obat sederhana).
9. Pembentukan Pusat Informasi Obat di pelayanan kesehatan dan Dinas Kesehatan untuk
intensifikasi penyebaran informasi obat.
10. Peningkatan kerjasama dengan instansi terkait dalam penegakan hukum secara konsisten.
11. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan peran serta masyarakat untuk berperan dalam
kontrol sosial menghadapi obat palsu dan obat tidak terdaftar melalui berbagai jalur
komunikasi dan berbagai media.
12. Pengembangan sistem nasional farmakovijilan sebagai pengembangan dari Monitoring Efek
Samping Obat Nasional (MESO Nasional).
13. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mengatur Promosi obat dengan
mengadopsi “Ethical Criteria for Medicinal Promotion” dari WHO untuk merespons
promosi obat non-etis.
G. Penelitian Dan Pengembangan
Langkah Kebijakan:
1. Pengembangan, dan modifikasi indikator penerapan KONAS.
2. Pengembangan model pengelolaan terutama obat esensial di daerah terpencil, daerah
perbatasan, daerah rawan bencana, daerah tertinggal, guna menunjang ketersediaan,
pemerataan dan keterjangkauan
3. Penelitian operasional untuk evaluasi penerapan KONAS secara berkala sesuai dengan
pedoman WHO untuk dapat melakukan penilaian kemajuan penerapannya.
4. Pengembangan obat baru untuk penyakit baru (emerging), muncul-kembali (re-emerging),
obat yang secara ekonomis tidak menguntungkan namun sangat diperlukan (orphan drugs).
5. Pengembangan dan revitalisasi Sistem Informasi Obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
(IFK) untuk menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan khususnya obat esensial.
6. Pengembangan dan evaluasi sistem monitoring keamanan penggunaan obat.
7. Kajian atas efektifitas sistem sampling pada uji petik pengujian obat di pasaran.
8. Penelitian dan pengembangan penggunaan obat rasional mulai dari identifikasi masalah,
besarnya masalah, memilih strategi peningkatan penggunaan obat yang rasional
9. Penerbitan dan revisi pedoman cara uji klinis yang baik untuk berbagai kelas terapi obat.

H. Pengembangan Sumber Daya Manusia


Langkah kebijakan :
1. Melakukan pemetaan kebutuhan tenaga farmasi di bidang obat.
2. Penyediaan tenaga farmasi sesuai dengan kebutuhan di setiap jenjang pelayanan kesehatan.
3. KONAS merupakan bagian dari kurikulum pendidikan dan pelatihan tenaga profesi
kesehatan.
4. Penerapan KONAS pada pendidikan berkelanjutan oleh organisasi profesi kesehatan.
5. Penyelenggaraan pelatihan kerja (in-job training) untuk menunjang pengawasan obat ,
penggunaan obat yang rasional serta pengelolaan obat esensial secara efektif dan efisien.
6. Kerjasama regional dan internasional untuk pengembangan SDM a.l. kerjasama dengan
organisasi internasional dan dengan negara donor.
I. Pemantauan Dan Evaluasi
Langkah Kebijakan :
1. Pemantauan dilakukan secara berkala dan evaluasi dilakukan oleh suatu komite nasional yang
melibatkan instansi terkait.
2. Lingkup pemantauan dan evaluasi meliputi antara lain prioritas penerapan, kapasitas,
pelaksanaan dan kemajuan pencapaian tujuan.
3. Pemantauan dapat dilakukan dengan penetapan daerah sampel.
4. Pelaksanaan pemantauan mengikuti pedoman WHO dan bekerjasama dengan WHO untuk
memungkinkan membandingkan hasilnya dengan negara lain.
5. Pemanfaatan hasil pemantauan dan evaluasi untuk:
a. Tindak lanjut berupa penyesuaian kebijakan, baik penyesuaian opsi kebijakan maupun
penetapan prioritas.
b. Negosiasi dengan instansi dan badan terkait.
c. Bahan pembahasan dengan berbagai badan internasional maupun donor luar negeri.

II.7 SWASTA
Tata Niaga Obat di RS.Swasta. Ada 5 hal yang baru dalam pola baru manajemen bisnis obat di
rumah sakit swasta:
1. Standarisasi obat yang mengharuskan pihak farmasi membayar per produk dan
kewajiban donasi obat.
Standarisasi obat atau Formarium pada awalnya adalah untuk mengatur peredaran obat
dengan memberikan kebebasan farmasi untuk mempromosikan produk ke komite medik
mengenai keunggulan obat agar masuk dalam komposisi obat formarium rumah sakit yaitu tiga
jenis obat: satu obat original, dua produk me too dan satu obat generik.
Hal yang menonjol adalah sedikitnya penggunaan obat generik yang masuk standart,
kemungkinan harga obat generik belum memenuhi skala ekonomis bagi rumah sakit swasta
padahal termasuk obat esensial yang harus ada di setiap layanan kesehatan, sebagai gantinya
rumah sakit mengganti obat sejenis yang bermerek yang harganya mahal. Dengan keharusan
membayar setiap obat bermerek maka menciptakan suatu pasar oligopoli karena mengedepankan
farmasi yang bisa melakukan hal ini , padahal hampir semua prinsipal farmasi terbentur kode
etik global yang mengharamkan cara ini.

2. Sistem Pembelian Group


Pemberian diskon oleh pihak farmasi biasanya berdasarkan kuantitas unit pembelian di
sebuah rumah sakit. Semua rumah sakit yang menjadi group mendapat harga yang sama artinya
diskon akan sama semua walaupun masing-masing group nilai pembeliannya berbeda-beda.
Sistem yang sangat menguntungkan karena berpatokan kepada diskon terbesar yang
didapati oleh salah satu rumah sakit group yang pembelian besar. Sistem yang sangat
menguntungkan karena berpatokan kepada diskon terbesar yang didapati oleh salah satu rumah
sakit group yang pembelian besar.

3. Sistem pembelian obat dengan Konsinyasi


Beberapa rumah sakit bahkan rumah sakit pemerintahpun sudah menerapkan sistem ini.
Pembelian konsinyasi ke distributor dengan jangka waktu pembayaran 60 hari dan setelah obat
laku maka akan diproses pembayaran, jika tidak laku berhak meretur obat . Jika distributor
berberatan dengan konsinyasi, jangan harap prinsipal farmasi dapat mengembangkan pasarnya.

4. Kerjasama dengan Prinsipal farmasi dalam bentuk Kontrak obat dengan memberikan
“advance discount” ke Rumah Sakit selama periode tertentu.
Hampir semua rumah sakit swasta sudah menjalankan “kontrak discount dibayar dimuka”
ini, setiap pabrikan akan dipanggil oleh manajemen rumah sakit untuk melakukan kontrak obat
selama satu tahun dengan membayar uang discount di muka. Menurut sumber dari beberapa
rumah sakit terkemuka, system advance discount ini sebuah rumah sakit besar dapat
menghimpun dana rata-rata minimal 1.5 milyar pertahun dari kontrak obat.

5. Resep obat dari dokter rawat jalan terintegrasi langsung di Farmasi Rumah Sakit
Biasanya jika berobat di rumah sakit, pasien akan mendapat resep yang bebas ditebus
apakah di rumah sakit tersebut atau di apotik dekat rumah pasien. Sistem ini sudah dijalankan
beberapa RS Swasta, dokter akan meresepkan obat dengan memberikan resep yang hanya bisa
dibaca dengan “kode” oleh pihak rumah sakit saja, ada pula yang memberikan kartu setelah
berobat untuk mengambil obat di farmasi RS. Tujuan utama memang mengkandangkan resep
agar tidak keluar ke apotik disekitar, sungguh ironi bagi apotik-apotik yang akan mengalami sepi
resep pasien.

BAB III
KESIMPULAN

1. Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dan swasta yang kemudian dituangkan dalam
berbagai dalam tindakan nyata, mempunyai berbagai tujuan yaitu untuk menjamin kepentingan
umum semaksimal mungkin, ditetapkan berdasarkan prosedur yang berlaku, dan didorong oleh
keinginan untuk menghindari pertentangan yang destruktif.
2. Aplikasi kebijakan publik oleh pemerintah salah satu contohnya adalah tentang kebijakan
obat nasional (Konas) dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat
secara berkelanjutan, untuk tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Keterjangkauan dan penggunaan obat yang rasional merupakan bagian dari tujuan yang hendak
dicapai.
3. Aplikasi kebijakan publik oleh swasta misalnya tata niaga obat di rumah sakit swasta adalah
standarisasi obat yang mengharuskan pihak farmasi membayar per produk dan kewajiban donasi
obat, sistem pembelian group, sistem pembelian dengan konsinyasi, kerjasama dengan Prinsipal
farmasi dalam bentuk Kontrak obat dengan memberikan “advance discount” ke Rumah Sakit
selama periode tertentu, dan resep obat dari dokter rawat jalan terintegrasi langsung di Farmasi
Rumah Sakit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2006.,”Kebijakan Obat Nasional”, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,


Jakarta.
2. www.popularartikel.com/html., “Obat dalam dimensi keempat”
3. Suryani, 2008.,”Kebijakan Publik”, KMPK Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

4. Suhanto, Edi. 2007. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai