TOKSISITAS GANJA
Dosen:
Apt. Jenny Pontoan, M.Farm
Disusun oleh:
Kelompok 1 kelas D
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................... 2
1.3 Tujuan........................................................................................................................ 2
1.4 Manfaat...................................................................................................................... 2
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
melalui ikatan THC dengan reseptor cannabinoid (CB). Reseptor cannabinoid memiliki
konsentrasi yang tinggi pada otak sehingga efek akut dari mengonsumsi ganja adalah
terjadinya perubahan emosional seseorang seperti halusinasi, euforia dan relaksasi. Bahkan
setelah berhenti mengonsumsi ganja, para mantan pecandu ganja masih mengalami defisit
fungsi fisiologis dan psikologis yang keparahannya bergantung pada usia ketika
mengonsumsi ganja, lamanya mengonsumsi ganja, dan jumlah ganja yang digunakan.
Berdasarkan hal di atas, penulis tertarik untuk menulis makalah tentang toksikologi dari
ganja.
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dan klasifikasi ganja
2. Untuk mengetahui mekanisme toksisitas ganja
3. Untuk mengetahui toksikokinetik ganja
4. Untuk mengetahui toksikodimanik ganja
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan toksisitas ganja
1.4. Manfaat
Agar pembaca mengetahui dan memahami tentang toksisitas ganja
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Klasifikasi Ganja
2.1.1 Definisi Ganja
Marijuana adalah suatu bahan berbentuk bubuk (powder) kering berwarna putih
kehijauan dan abu – abu yang diekstrak dari bunga dan daun tanaman Cannabis Sativa.
(a) (b)
Gambar 1.1 serbuk marijuana (a) dan tanaman Cannabis sativa (b)
Cannabis Sativa biasa disebut dengan ganja atau marijuana. Marijuana mengandung
sejenis bahan kimia yang disebut delta-9-tetra-hidro-kannabinol (THC) yang dapat
mempengaruhi suasana hati manusia dan cara orang tersebut melihat serta mendengar hal –
hal yang disekitarnya. Marijuana disebut juga sebagai obat depresan karena dapat
mempengaruhi sistem saraf dengan cara membuat lambat sistem saraf. Ganja termasuk salah
satu narkotika golongan I yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek ketergantungan. Jika
menggunakan marijuana, maka pikiran akan menjadi lambat, dan membuat seseorang
terlihat bodoh. Marijuana dapat mempengaruhi konsentrasi dan ingatan, meningkatkan
3
denyut nadi, keseimbangan dan koordinasi tubuh yang buruk, ketakutan dan rasa panic,
depresi, kebingungan dan halusinasi.
THC diproduksi dalam bentuk kimia di beberapa negara dimana penggunaan ganja
masih legal. Obat dengan resep dokter bernama Marinol® adalah salah satu produk kimia
yang mengandung THC. Marinol digunakan untuk mengobati gangguan makan, membantu
meringankan efek samping dari kemoterapi, dan untuk membantu melawan efek merusak
dari full-blown AIDS. Senyawa ini juga telah diteliti bermanfaat dalam mengurangi tics
yang dialami orang – orang yang mengalami Sindrom Tourette.
4
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Hamamelididae
Ordo : Urticales
Famili : Cannabaceae
Genus : Cannabis
Spesies : Cannabis sativa L.
THC bersifat sangat larut lemak, sehingga THC akan sangat mudah terdistribusi ke
seluruh jaringan dan akan terdeposisi di jaringan lemak, oleh sebab itu THC memiliki
volume distribusi yang relative besar (4-14 L/Kg). karena kelarutannya yang tinggi, hal
itupun menyebabkan THC sangat lama terlambat di jaringan lemak, dan ini akan
memperlambat laju eliminasi THC.
THC sebagai salah satu zat psikoaktif yang utama dalam ganja mengikat reseptor
anandamide di otak, memiliki efek stimulant, sedative, atau halusinogen, tergantung pada
dosis dan waktu setelah konsumsi. Pengeluaran katekolamin (yang mengakibatkan
takikardia) dan penghambatan reflex simpatis (yang mengakibatkan hipotensi ortostatik)
dapat diamati secara langsung. Efek THC saat dihirup dalam rokok ganja, masuk ke paru –
paru dan terbawa aliran darah hingga sampai ke otak. Di otak, jika THC sampai pada
“tempat” yang disebut reseptor kannabinoid, akan menghilangkan beberapa reaksi seluler
yang seharusnya terjadi. Beberapa daerah pada otak mempengaruhi rasa senang, daya ingat
berpikir, konsentrasi, cara pandang dan koordinasi gerak. Pada akhirnya, orang yang biasa
menggunakan rokok marijuana akan kehilangan kemampuan intelektualnya.
5
THC diserap melalui paru – paru (atau perut) ke dalam aliran darah dan dibawa ke otak,
tempat zat itu membanjiri reseptor dengan bahan kimia yang membangkitkan rasa senang di
otak. Pada umumnya, menghisap marijuana memberikan efek santai pada si pengguna.
Marijuana juga meningkatkan nafsu makan, dalam bahasa sehari – hari dikenal dengan
sebutan menjadi “kelaparan”.
1. Merokok
Alur dari pemberian dan formulasi ganja menentukan alur dari absorbsi ganja.
Merokok, alur utama dari pemberian ganja, menyediakan jalan yang cepat dan efisien
dari pengiriman obat dari paru-paru ke otak, berkontribusi terhadap potensi
penyalahgunaannya. Rasa menyenangkan yang intens dan amat sangat kuat dapat
dihasilkan pada hampir semua paparan obat langsung ke susunan saraf pusat (SSP).
Puncak dari sedikit konsentrasi THC dapat dicapai setelah merokok jika dibandingkan
dengan pemberian intravena. Bioavaibilitas setelah merokok dilaporkan sebanyak 2-
56%, karena bagian dari intra- dan inter- subjek dalam dinamika merokok, yang
memberikan kontribusi terhadap ketidakpastian dalam pemberian dosis. Jumlah,
dusrasi, lamanya tiupan, waktu menahan, dan volume inhalasi atau topografi merokok
berpengaruh besar terhadap dejarat paparan obat. Ekspektasi dari apa yang diberikan
ganja tersebut juga dapat mempengaruhi dinamia merokok.
6
267)) unutk diatas dua batang rokok, berturut-turut. Konsentrasi puncak muncul saat 9
menit, sebelum memulai tiupan akhir pada 9,8 menit.
2. Oral
Terdapat beberapa beberapa studi mengenai mengenai sifat dari THC dan
metabolismenya setelah pemberian oral dari ganja dibandingkan dengan merokok.
THC mudah diabsorpsi karena koefisien bagian oktanol/air yang tinggi (P), kira-kira
antara 6.000 sampai 9x106 tergantung daripada penentuan caranya. Keuntungan dari
merokok ganja ditutupi dengan efek bahaya daripada rokok ganja; oleh karena itu
merokok umumnya tidak disarankan untuk kepentingan pengobatan. thcsintetis, yaitu
preparat dronabinol (Marinol®), biasanya digunakan per oral, namun juga bisa
digunakan digunakan per rektal. Dan juga, penyalahgunaan ganja melalui melalui oral
juga cukup lazim. Absorpsi lebih lambat jika ganja tertelan, dengan konsentrasi
puncak THC yang rendah dan tertunda. Dosis, jalur pemberian, pembawa, dan faktor
psikologis psikologis seperti seperti absorpsi absorpsi dan tingkat tingkat metabolisme
metabolisme dan ekskresi ekskresi dapat mempengaruhi konsentrasi obat di sirkulasi.
Bioavailabilitas dari THC oral dilaporkan ral dilaporkan menjadi menjadi 10-
20%. Partisipan diberikan dosis 15 mg (wanita) dan 20 mg (pria) yang larut dalam
minyak wijen dan yang terkandung dalam kapsul gelatin. Konsentrasi plasma THCN
mencapai puncak pada puncak pada 4-6 jam setelah mengkonsumsi 15-20 mg THC
yang dilarutkan dalam minyak wijen.
Saat ini, THC (Marinol®) disetujui di Amerika Serikat untuk mengurangi mual
dan muntah dalam kemoterapi kanker, dan meningkatkan nafsu makan pada penderita
HIV-wasting syndrome. Indikasi baru yang berpotensial termasuk pengurangan
spastisitas, analgesia, dan berbagai farmakokinetik dari THC oral sangat penting bagi
keberhasilan penggunaan dari pendekatan terapetik terbaru. Dalam sebuah studi dari
konsentrasi plasma dari THC, 11-OH-THC dan THC-COOH pada 17 sukarelawan yang
mengkonsumsi 1 kapsul THC (berkisar 1,1-12,7 ng/ml) 3,4 ng/ml 11-OH-THC
(berkisar 1,2-5,6 ng/ml), dan 26 ng/ml THC-COOH (berkisar 14-46 ml) ditemukan 1-2
jam setelah dikonsumsi. Konsentrasi THC fan 11-OH-THC yang sama diamati dengan
konsentrasi THC-COOH labih relatif tinggi. Onset tertunda, konsentrasi puncak lebih
7
renda, dan durasi efek farmakodinamik umumnya diperpanjang, ketika THC diberikan
secara oral dibandingkan dengan pemberian rokok.
3. Rektal
D9-THC diserap dari saluran pencernaan tapi penyerapannya lambat dan tidak teratur.
Namun, D9-THC dapat diukur dalam plasma dalam hitungan detik setelah menghirup asap
ganja pertama. D9-THC bersifat lipofilik dan terdistribusi secara luas di dalam tubuh. D9-
THC dioksidasi menjadi metabolit aktif 11-hidroksi-D9-THC dan 8bhidroksi-D9-THC oleh
enzim cytochrome P450 hati. Zat tidak aktif 8a-hidroksi-D9-THC dan 8a, 11-dihidroksi-D9-
THC juga terbentuk. Dapat terjadi sirkulasi metabolit enterohepatik. Metabolit asam mayor,
11-nor-∆-9-tetrahydrocannabinol-9-carboxylic acid (9-carboxyTHC) diubah menjadi
konjugat mono dan di-glukoronida yang merupakan bentuk terbanyak yang dikeluarkan
dalam urin. Sehingga identifikasi 9-carboxy-THC dalam urin merupakan indikator terbaik
untuk mendeteksi konsumsi kanabis.
Waktu paruhnya panjang dapat lebih dari 20 jam sehingga THC terdapat dalam tubuh
dalam waktu lama sampai 12 hari setelah konsumsi terakhir. Pada pengguna yang jarang,
metabolit dapat terdeteksi dalam urin dalam 1-3 hari tergantung dari metode pemeriksaan,
pada pengguna kronis, metabolit dapat terdeteksi 1 minggu atau lebih. Jalur metabolic THC
2.3.3 Eksresi
8
Hampir 25% dari dosis diekskresikan melalui urin dalam 3 hari, terutama sebagai
glucuronide asam 11-nor-D9-THC-9-carboxylic, bersama-sama dengan bentuk karboksilat
dalam bentuk bebas dan terkonjugasi. D9-THC-O-glucuronide juga terdeteksi dalam urin.
Ditemukannya asam karboksilat dalam urin menunjukkan indikasi positif penggunaan
kanabis yang baru saja dilakukan. Rute ekskresi utama adalah melalui faeces, sampai sekitar
65% dari dosis diekskresikan dalam 5 hari, terutama sebagai 11-hidroksi-D9-THC dan
karboksilat dalam bentuk terkonjugasi. Metabolit D9-THC terdeteksi dalam urin hingga 12
hari setelah dosis oral tunggal. Senyawa ini dapat melintasi plasenta dan didistribusikan ke
dalam ASI.
THC juga bekerja agonis pada reseptor CB2 yang bekerja dalam supresi sel-sel imun
sehingga aktivitas THC pada reseptor ini dapat menyebabkan penurunan kemampuan sel
imun (imunosupressan). Penggunaan THC atau paparan langsung (inhalasi, gas, asap, serbuk
kering, residu bakaran abu, dan sebagainya) dapat menurunkan kemampuan sistem imun
terutama pada individu yang memiliki kelainan pada sistem imunnya. Didalam tubuh
manusia terdapat senyawa alami yang memiliki efek mirip dengan THC yaitu
endokannabinoid yang alaminya dilepaskan oleh tubuh dalam rangsang respon emosi
alamiah seperti keadaan senang atau tenang dikarenakan sebab tertentu yang jelas. Sepeti
tertawa dan rasa senang karena suatu humor atau lawakan, atau euforia pada saat keadaan
9
yang sangat menyenangkan seperti sebuah kejutan atau hal-hal yang dapat memberikan
perasaan senang lainnya.
Pada tata laksana akut, pasien yang datang dilakukan pemeriksaan menyeluruh
secara cepat. Prinsip penanganan kegawatdaruratan harus dilakukan penilaian jalan
napas, pernapasan dan pencegahan terjadinya aspirasi pada pasien. Jika pasien
mengalami penurunan kesadaran, singkirkan penyebab penurunan kesadaran lainnya,
misalnya cedera otak traumatik atau gangguan elektrolit. Identifikasi kegawatdaruratan
yang terjadi dan laukan penatalaksanaan yang sesuai,misalnya resusitasi jantung paru
untuk pasien dengan henti jantung.
2. Medikamentosa
Sampai saat ini belum ada terapi farmakologis yang menunjukan hasil yang
efektif untuk cannabis use disorder. Studi yang dilakukan oleh levin et al, menggunakan
dronabinol sebagai terapi untuk penyalahgunaan ganja. Dronabinol 20 mg 2 kali sehari,
diberikan kepada 156 orang dengan penyalahgunaan ganja secara double –blind, placebo
controlled selama 12 minggu. Walau demikian,studi ini menunjukan hasil yang kurang
signifikan.
10
Medikamentosa dapat dipertimbangkan sebagai terapi simtomatik untuk
mengatasi gejala withdrawal pasien. Obat yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
- Gangguan tidur, gelisah, iritabilitas; benzodiazepine
- Nyeri perut ; hiosin
- Nyeri kepala atau nyeri lainnya;paracetamol,obat antiinflamasi nonsteroid/OAINS
3. Terapi suportif
Terapi suportif pada penyalahgunaan ganja adalah terapi perilaku. Terapi perilaku
yang disarankan adalah cognitive behavioural therapy (CBT).
c. Contingency Management
11
adalah sebuah terapi perilaku dimana sebuah perilaku diubah dengan menerapkan
“reward” untuk setiap perubahan perilaku yang dilakukannya ( reward and
reinforced). Dengan terapi ini diharapkan terjadi perubahan perilaku yang bersifat
sukarela . CM umumnya digunakan sebagai terapi perilaku ajuvan. Walau
demikian,studi menemukan bahwa penggunaan metode ini tidak menunjukan hasil
perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan CBT saja.
Pasien dengan cannabis withdrawal yang gagal terapi rawat jalan,rawat inap
selama 1-2 minggu dapat dipertimbangkan selain untuk memonitor dan mengatasi gejala
withdrawal pada pasien, tetapi terutama untuk menjauhkan pasien dari sumber ganja dan
memberikan dukungan psikososial pada pasien. Rawat inap juga dapat dipertimbangkan
pada kondisi berikut ini:
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ganja adalah tanaman yang termasuk dalam family Cannabaceae, kadang dikenal
sebagai Cannabinaceae. Marijuana mengandung sejenis bahan kimia yang disebut delta-
9-tetra-hidro-kannabinol (THC), ketika THC digunakan, baik dikonsumsi atau diinhalasi,
ia mengikat reseptor spesifik yang ada di dalam otak manusia yang disebut reseptor
kannabinoid. THC sebagai salah satu zat psikoaktif yang utama dalam ganja mengikat
reseptor anandamide di otak, memiliki efek stimulant, sedative, atau halusinogen,
tergantung pada dosis dan waktu setelah konsumsi. Marijuana juga meningkatkan nafsu
makan, dalam bahasa sehari – hari dikenal dengan sebutan menjadi “kelaparan”.
Fase toksokinetik ganja meliputi proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan
eliminasi atau eksresi. Proses absorbsi ganja dipengaruhi dari alur dan pemberian seperti:
merokok, rute oral dan rute rektal.
Dalam fase toksodinamik THC bekerja agonis dan berikatan pada reseptor
kannabinoid CB1 yang berada pada sistem saraf pusat. THC mengikat reseptor CB1
mengaktifkan G-protein yang juga mengaktifkan atau menghambat sejumlah jalur
13
transduksi sinyal. THC juga bekerja agonis pada reseptor CB2 yang bekerja dalam
supresi sel-sel imun sehingga aktivitas THC pada reseptor ini dapat menyebabkan
penurunan kemampuan sel imun (imunosupressan).
Penatalaksanaan toksisitas ganja dapat dilakukan dengan berbagai macam cara
seperti: medikamentosa, terapi suportif dan rawat inap.
3.1 Saran
Diharapkan banyaknya penelitian di Indonesia tentang toksisitas dari ganja,
mengingat Indonesia sendiri masih banyak pengguna / pemakai ganja yang umumnya
disalahgunakan dan juga indonesia merupakan salah satu produsen ganja terbesar
didunia. Sehingga tidak mengetahui efek toksisitas dari ganja yang dapat
membahayakan diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Budney AJ, Roffman R, Stephens RS, Walker D. 2014. Marijuana Dependence and Its
Treatment . Addiction Science & Clinical Practice ;4(1)4-16
Carrol KM, Nich C, Lapaglia DM, Peters E, Easton CJ, Petry NM. Combining Cognitive
Behavioral Therapy And Contigency Management To Enhance Their Effects In
Treating Cannabis Dependence ; Less Can Be More, More Or Less. Society for the
Study Addiction. 2012.
Gurney, S. M. R., Dkk. 2014. Pharmacology, Toxicology, and Adverse Effects of Synthetic
Cannabinoid Drugs. USA: Forensic Science Review Volume 26 No. 1
Mcpartland, John M. 2018. Cannabis Systematics at the Levels of Family, Genus, and
Species. United Kingdom: Cannabis and Cannabinoid Research Volume 3.1
Pertwee, Roger G. 2014. Handbook of Cannabis. United Kingdom: Oxford University Press.
14
Rahayu, Muji dan Solihat Moch. Firman. 2018. Toksikologi Klinik. Jakarta: Pusat Pendidikan
Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Wilkinson, S.T., Yarnell, S., Radhakrishnan, R., Ball, S.A. and D'Souza, D.C., 2016.
Marijuana Legalization: Impact on Physicians and Public Health. Annual review
of medicine, 67, pp.453-466.
15