Anda di halaman 1dari 11

SERANGGA – CAPUNG

I Kadek Teguh Indra Dewantara Rodney Westerlaken


I Dewa Kadek Wira Sanjaya I Wayan Gde Sutasoma
Morfologi adalah cabang biologi yang mempelajari bentuk dan struktur organisme dan fitur
struktural spesifik mereka. Capung merupakan spesies hewan yang termasuk di dalam klasifikasi
serangga/insekta dengan bangsa Odonata. Odonatan sendiri merupakan serangga karnivora.
Morfologi capung. Secara morfologi, capung memiliki ciri ciri tubuh yang terdiri dari tiga bagian.
Yaitu kepala (caput), dada (toraks) dan perut (abdnomen)

Kepala
Kepala Capung ukurannya lebih besar dari tubuhnya,. Bentuk kepala membulat ke samping
dengan bagian belakang berlekuk ke dalam. Bagian yang mecolok pada capung adalah sepasang
mata majemuk yang besar dan lebar. Mata capung terdiri dari banyak mata kecil yang disebut
ommatidium). Setiap matanya memiliki 30 ribu lensa berbeda. Banyaknya lens aini membuat
capung memiliki wilayah pandang yang luas bahkan mampu mengetahui keadaan di
belakangnya. Masing masing matanya berukuran hampir separuh dari ukuran kepalanya.
Mulut capung berkembang sesuai dengan fungsinya sebagai pemangsa. Bagian depan terdapat
bibir depan yang disebut labrum. Di belakang labrum terdapat sepasang rahang yang disebut
mandibula. Rahang ini cukup kuat untuk merobek bahan mangsanya. Di belakang mandibula
terdapat sepasang maksila yang berguna untuk membantu pekerjaan mandibula dan bagian
mulut yang paling belakang adalah labium yang menjadi bibir belakang.

Morfologi
Dada (toraks)
Dada capung terdiri dari 3 ruas yaitu
protaks, mesotraks dan metatoraks, masing
masing mendukung satu pasang kaki. Kaki
capung termasuk dalam tipe raptorial (kaki
yang berdungsi untuk berdiri sekaligus
untuk menangkap mangsa. Sayap capung
memanjang dan bentuknya lonjong,
transparan. Lembaran sayap ditopang oleh
venasi. Identifikasi capung dibedakan
berdasarkan sususan venasi pada sayap.

Perut (abdomen)
Perut capung terdiri dari beberapa ruas,
ramping, memanjang seperti ekor atau agak
melebar. Ujungnya terdapat seperti umbai
yang dapat digerakan dengan variasi bentuk
tergantung jenisnya.

Morfologi
DEFINISI • BIO => mahluk hidup dan INDIKATOR => variable
• BIO INDIKATOR komponen biotik (mahluk hidup) yang dijadikan sebagai indikator yang dapat
BIO menunjukkan waktu dan lokasi, kondisi alam, serta perubahan kualitas lingkungan. (Davis, C. C.,
1955; Khatri, N and Tyagi, S., 2015; PP No 82, 2001; Sumenge, V., 2008. Holt & Miller, 2010)
INDIKATOR
• Bio indikator pasif adalah suatu spesies organisme, penghuni asli di suatu habitat, yang mampu
TIPE & JENIS menunjukkan adanya perubahan yang dapat diukur (misalnya perilaku, kematian, morfologi) pada
lingkungan yang berubah di biotop (detektor)
• Bio indikator aktif adalah suatu spesies organisme yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap
BIO polutan, yang mana spesies organisme ini umumnya diintroduksikan ke suatu habitat untuk
INDIKATOR mengetahui dan memberi peringatan dini terjadinya polusi
• Jenis Bio Indikator: Hewan dan Tumbuhan

• Mikroorganisme perairan (Koliform, streptococcos)


CONTOH • Makrozoobentos (Larva insekta, Custasea)
• Insecta (capung. Kupu-kupu)
BIO • Lichen (lumut Kerak)
• Dugong
INDIKATOR • Terumbu karang

Bioindikator lingkungan
KRITERIA/CIRI ORGANISME BIO
INDIKATOR
(Nobel dalam Kovacs., 1992;
Masriah, 2014)

1. Secara taksonomi telah stabil


dan cukup diketahui.
2. Sejarah alamiah
diketahui/Dapat dan mudah
untuk diidentifikasi.
3. Tersedia dan dapat disurvei.
4. Jumlah dan keberadaanya
terpengaruh oleh zat
pencemar/patogen
5. Kelimpahan dapat dihitung Sumber: Trisala K. Parmar,Deepak Rautani, Agrawal Y.K, 2016

Bioindikator lingkungan
Kerusakan dan pencemaran lingkungan tidak dapat dihindari dan akan semakin cepat terjadi
karena meningkatnya aktivitas manusia. Untuk mengetahui seberapa rusaknya suatu lingkungan
kita dapat menggunakan indikator alami yaitu serangga dan salah satunya adalah capung. Capung
dianggap mampu menggambarkan perubahan pada suatu habitat atau ekosistem di suatu
kawasan, hal ini dikarenakan capung dapat merespon dengan cepat perubahan kualitas lingkungan.
Keberadaan capung di alam dapat dijadikan tolak ukur bahwa kondisi lingkungan perairan tersebut
masih baik, karena tercemarnya kondisi lingkungan perairan, dapat membuat terganggunya siklus
hidup capung yang akan berdampak pada menurunnya populasi capung (Suaskara & Joni, 2020).

Nimfa capung tidak dapat hidup dalam kondisi air yang sudah tercemar dan tidak terdapat
tumbuhan, sedangkan daur hidup capung sebagian besar dihabiskan dalam bentuk nimfa. Nimfa
capung memangsa ikan-ikan kecil, berudu dan jentik-jentik dari nyamuk salah satunya adalah
nyamuk Aedes aegepty. Capung memiliki olfactory sensilla pada antenanya yang dapat digunakan
untuk mendeteksi senyawa kimia dan memprediksikan ketersediaan pakan bagi calon nimfa.
Sehingga beberapa capung akan memilih habitat yang memiliki ketersediaan pakan yang melimpah
yaitu area perairan yang belum tercemar (Piersanti et al, 2014).

Capung sebagai bioindikator lingkungan


Capung mampu hidup pada 2 habitat yang berbeda yaitu air dan udara serta memiliki fungsi
sebagai serangga predator dan juga sebagai indikator pencemaran lingkungan. Menurut Rizal
dan Hadi (2015), faktor-faktor lingkungan seperti suhu, PH, kelembaban udara, serta
ketersediaan air dan makanan yang sesuai pada suatu habitat sangat diperlukan oleh capung
untuk menunjang kehidupannya. Dapat dikatakan capung menjadi serangga yang memiliki
peranan penting sebagai tolak ukur kelestarian suatu ekosistem dimana dengan melihat populasi
capung yang melimpah pada suatu lingkungan atau ekosistem hal itu menandakan lingkungan
atau ekosistem tersebut masih lestari (Suaskara & joni, 2020).

Capung sebagai bioindikator lingkungan


Capung sebagai suatu kelompok menempati berbagai macam habitat, tetapi banyak
spesies, dan beberapa famili, memiliki persyaratan lingkungan khusus mereka sendiri.
Beberapa spesies lebih suka air mengalir, sementara yang lain lebih suka air genangan.

Beberapa spesies hidup di kolam air sementara dan mampu mentolerir perubahan
permukaan air, pengeringan, dan variasi suhu, tetapi beberapa genera memiliki telur
dan larva yang dapat menahan kekeringan dan dirangsang untuk tumbuh dengan
cepat di kolam yang hangat dan dangkal, juga sering mendapat manfaat dari tidak
adanya predator di sana.

Hilangnya habitat lahan basah mengancam populasi capung di seluruh dunia.

Habitat & Ekologi


Mayoritas spesies hidup di daerah tropis dan hanya sedikit dipelajari. Dengan rusaknya
habitat hutan hujan, banyak dari spesies ini terancam punah bahkan sebelum mereka
diberi nama. Penyebab terbesar penurunan adalah pembukaan hutan dengan
konsekuensi mengeringnya sungai dan genangan yang tersumbat oleh lumpur.
Pembendungan sungai untuk skema hidroelektrik dan drainase dataran rendah telah
mengurangi habitat yang sesuai, seperti halnya polusi dan masuknya spesies asing.

Degradasi habitat telah mengurangi populasi capung di seluruh dunia, misalnya di


Jepang. Lebih dari 60% lahan basah Jepang hilang pada abad ke-20, jadi capung-
capung mereka sekarang bergantung pada sawah, kolam, dan sungai. Capung
memakan serangga hama pada padi, bertindak sebagai pengendali hama alami.

Habitat & Ekologi


BIBLIOGRAPHY

Dijkstra, Klaas-Douwe B. (2006). Field Guide to the Dragonflies of Britain and Europe. British Wildlife Publishing. ISBN 978-0-
9531399-4-1
Moore, N.W. (1997). "Dragonflies: status survey and conservation action plan" (PDF). International Union for Conservation of
Nature.
Taku, Kadoya; Shin-ichi, Suda; Izumi, Washitani (2009). "Dragonfly Crisis in Japan: A likely Consequence of Recent Agricultural
Habitat Degradation". Biological Conservation. 142 (9): 1889–1905. doi:10.1016/j.biocon.2009.02.033.
Channa N. B. Bambaradeniya; Felix P. Amerasinghe (2004). Biodiversity associated with the rice field agroecosystem in Asian
countries: A brief review. IWMI. p. 10. ISBN 978-92-9090-532-5.
Washitani, Izumi (2008). "Restoration of Biologically-Diverse Floodplain Wetlands Including Paddy Fields". Global
Environmental Research. 12: 95–99.
Simaika, John P.; Samways, Michael J.; Kipping, Jens; Suhling, Frank; Dijkstra, Klaas-Douwe B.; Clausnitzer, Viola; Boudot,
Jean Pierre; Domisch, Sami (2013). "Continental-Scale Conservation Prioritization of African Dragonflies". Biological
Conservation. 157: 245–254.
Rizal, S dan Hadi, M. 2015. Inventarisasi Jenis Capung (Odonata) Pada Areal Persawahan di Desa Pundenarum Kecamatan
Karangawen Kabupaten Demak. Jurnal Bioma, 17(1) : 16-20.
Suaskara, I. B. M dan Joni, M. 2020. Keanekaragaman jenis Capung dan Pemanfaatan Nimfanya Sebagai Nilai Tambah
Pendapatan di Bendungan Latu Abiansemal. Jurnal Simbiosis, 8(1) : 28-33.
Piersanti, S., Frati, F., Conti, E., Gaino, E., Rebora, M., Salerno. 2014. First Evidence of the Use of Olfaction In Odonata
Behaviour. Journal of Insect Physiology, 62(2014) : 26-31.

Anda mungkin juga menyukai