Anda di halaman 1dari 28

OCEANOGRAFI LAUT DALAM

EKOLOGI TERUMBU KARANG

PADA WILAYAH LAUT DALAM

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Besar Mata Kuliah

Oceanografi Laut Dalam

Oleh:

Prima Tegar Anugrah (125080601111024)


Kelas I 02

Program Studi Ilmu Kelautan

Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Ilmu Kelautan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Brawijaya

Malang

2015
EKOLOGI TERUMBU KARANG PADA WILAYAH LAUT DALAM

Pendahuluan :

Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis
tumbuhan alga yang disebut zooxanthellae. Terumbu karang termasuk dalam jenis filum
Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua
Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan
secara asal - usul, Morfologi dan Fisiologi.

Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah tropis.
Ekosistem ini memiliki produktivitas organik yang sangat tinggi. Demikian pula dengan
keanekaragaman biota yang ada didalamnya. Di tengah samudra yang miskin bisa terdapat
pulau karang yang produktifif hingga kadang-kadang terumbu karang ini diandaikan seperti
oase di tengah gurun pasir yang gersang. Komponen biota yang terpenting dari terumbu
karang ialah hewan kerangka batu, hewan yang tergolong Scleractina yang kerangkanya
terbuat dari bahan kapur.

Pada kesempatan kali ini saya merangkum dan meninjau lima jurnal yang berhubungan
dengan ekologi terumbu karang yang terdapat pada wilayah laut dalam untuk memenuhi
tugas besar yang diberikan pada mata kuliah oseanografi laut dalam.

Observasi Pertama Terumbu Karang Pada Wilayah Laut Dalam Di Sepanjang Angola
Margin :

Keragaman ikan lebih rendah pada habitat terumbu karang di air yang dingin dibandingkan
dengan wilayah tropis. Kebanyakan catatan terumbu karang pada wilayah laut dalam
berasal dari Samudera Atlantik. Pada daerah lintang yang lebih rendah, sementara terumbu
pada perairan dangkal dipelajari dengan teliti, hanya ada sedikit catatan tentang terumbu
karang laut dalam.

Teluk Guinea sekarang merupakan tempat yang penting untuk penelitian geologis karena
eksplorasi minyak dan gas telah mencapai lingkungan laut dalam. Sampel pertama L.
Pertusa didapatkan oleh perusahaan minyak Total milik Prancis pada tahun 1996 yang
memotivasi peletakan ROV pada wilayah dasar lautan.
Pengaturan Geologis

Deposit garam Mesozoic di lautan dalam pada margin bergerak karena berat sedimen
Cenozoic yang berada di atasnya, dari arah Barat Laut menuju Tenggara. Gundukan
terumbu yang bentuknya memanjang tampak mengikuti orientasi yang sama, seperti deposit
normal terdekat.

Morfologi Gundukan Terumbu Dan Penyebaran Karang

Padang karang menutupi area 6 x 2 km sejajar dengan deposit normal dan terdiri atas lima
gundukan primer dan beberapa gundukan yang lebih kecil, berentetan dengan terumbu
yang terisolasi. Tiap gundukan membentuk struktur dengan orientasi memanjang berkisar
dari 110°U sampai 145°U. Analisis rekaman vidio pada wilayah ini menunjukkan bidang
tanah yang dipadati oleh karang hidup (mencapai 1 m² tiap bidangnya) pada puncak
gundukan dan reruntuhan karang bercampur dengan karang mati (contohnya terumbu
transisional) di sepanjang sisinya. Dari pengamatan visual, habitat terumbu transisional
tampak lebih luas di sepanjang sisi selatan dengan kepadatan karang mati berkurang dari
puncak ke dasar. Tidak ada bukti kerusakan oleh trawl atau tanda aktifitas manusia lain
yang diamati. Pola pantulan dari profil seismic SAR menunjukkan dua tipe struktur. Adanya
tanda bintik yang kurang jelas pada profil seismic ini merupakan bukti bahwa mungkin terjadi
pelarian cairan pada area ini.

Komunitas Bentik

Dua profil suhu yang ditunjukkan pada wilayah ini berturut – turut adalah 8.8 °C di
kedalaman 360 m dan 7.7 °C di kedalaman 460 m. Komposisi megafauna asosiasi di
dominasi oleh spons Aphrocallistes sp., gorgonians dan echinodermata (terutama
Echinothuridae). Satu spesies antipatharian yang kecil dan tidak bercabang, Stylopathes
sp., diamati dan dikumpulkan. Tidak ada fragment karang hidup maupun mati yang
dikumpulkan.

Penyebaran ichtyofauna dan hubungannya dengan tipe habitat dihadirkan pada Tabel 1
dibawah ini. Fenomena yang paling menakjubkan adalah ditemukannya sebuah spesies
yang belum teridentifikasi dari family Zoarcidae yang mendominasi fauna ikan yang
berhubungan dengan kepadatan karang hidup dan habitat terumbu transisional. Beberapa
individi diamati bersembunyi pada struktur karang, tetapi tidak ada tingkah laku mencari
makan yang terdeteksi. Komunitas ikan yang tertangkap kelimpahan dan biomassanya
didominasi oleh Laemonena laureyensi dari family Moridae dan berbagai macam
Macrouridae (empat spesies teridentifikasi).
Walaupun family ikan Zoarcidae memiliki kelimpahan yang paling tinggi pada pengamatan
rekaman vidio di wilayah ini, ikan ini tidak ditemukan pada hasil tangkapan trawl. Anehnya,
tidak ada ikan dengan dorso – ventral rata yang ditemukan (contohnya Raja sp., Torpedo
sp. and Lophiodes sp.).

Morfologi Gundukan

Tiga area telah di dokumentasikan dengan baik oleh penelitian geofisik resolusi tinggi :
margin Brazil, margin Amerika Serikat bagian tenggara, dan margin Eropa bagian barat laut,
terutama sekali margin Norwegia dan Irlandia. Sebuah penelitian pada laut dalam yang
dilakukan di lepas pantai Selat Florida Amerika Serikat menunjukkan adanya lebih dari 30
gundukan karang yang tingginya sekitar 25 m dan banyak gundukan yang lebih kecil.
Gundukan yang paling tinggi mencapai ketinggian 90 m dan mempunya dasar dengan lebar
350 m. Pada wilayah ini, gundukan karang ditemukan diantara kedalaman 400 dan 800 m.
Sebagai perbandingan dengan gundukan karang pada wilayah lain, gundukan karang
Angola berukuran relatif kecil dan mempunyai jarak batimetri yang sempit.
Disini, proses tektonik garam, yang juga sering terlibat pada rembesan, tampak memberikan
pengaruh pada orientasi gundukan karang dan bentuk strukturnya yang memanjang.
Hipotesis ini juga cocok dengan kondisi adanya pengurangan sedimen pada dasar
gundukan. Sayangnya, profil seismic, yang diorientasikan dengan arah yang sama seperti
struktur ridge, tidak cukup menyediakan informasi yang jelas. Pemotongan profil di
sepanjang struktur secara tegak lurus lebih lanjut harus dilakukan pada penelitian
selanjutnya untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas.

Sebagai tambahan, topografi gundukan yang tidak simetris dan adanya pendangkalan di
sekitar gundukan karang di lepas pantai Angola mungkin berhubungan dengan arus, dimana
turbulensi memberikan bentuk pada gundukan. Pada kedalaman 1.300 m di dekat gundukan
karang Angola, arus bawah laut berada terutama di sepanjang lapisan isobath. Perubahan
kecil beberapa drajat saja diantara sistem terumbu dikarenakan proses tektonik garam dan
arus residual mungkin berpengaruh pada pendangkalan dan bentuk gundukan yang tidak
simetris (yang lebih curam pada sisi lerengnya).

Komunitas Bentik Yang Berhubungan Dengan Karang

Pengamatan yang dilakukan pada dua spesies yang berbeda dari ordo Lophiiformes
(Chaunax pictus dan Lophiodes sp.), menyimpulkan bahwa kedua spesies predator ini
menghuni habitat terumbu transisional, hasil ini sesuai dengan penelitian pada karang laut
dalam di wilayah lainnya.

Raja sp. dan Torpedo sp kelihatannya merupakan spesies langka di wilayah ini,
pengamatan pada rekaman vidio bisa menjelaskan ketidak hadiran mereka pada hasil
tangkapan trawl. Namun, predator ini mungkin tertarik terhadap terumbu, karena terumbu
merupakan habitat bagi mangsa bentik mereka. Lima spesies berbeda dari family
Macrouridae di identifikasi pada trawl, sementara hanya dua spesies yang terlihat dari
pengamatan visual pada terumbu. Identifikasi pada Macrouridae umunya berdasarkan
kriteria mikroskopik dan jumlah spesies yang diamati pada vidio kemungkinan taksirannya
terlalu rendah.

Asal Mula Gundukan?

Tidak ada spesies khas rembesan dingin yang diamati pada gundukan ini. Beberapa koloni
karang hidup yang terisolasi diamati tumbuh pada sebuah bidang cangkang lucinid yang
telah mati.
Pengaruh dari proses yang dihipotesiskan berhubungan dengan formasi karbonat cairan
mungkin bisa dipecahkan dengan penelitian sedimentologi dan deep coring lebih lanjut,
untuk mengidentifikasi substrat awal yang dimana karang menetap untuk pertama kalinya.
Kehadiran substrat keras pada beberapa gunung api lumpur, yaitu adanya kerak karbonat
atau breccias lumpur, mungkin jadi faktor penting bagi penetapan awal larva karang.
Akhirnya, adanya karang pada struktur geologis yang telah terbentuk oleh cairan maupun
emisi gas bisa menjadi sebuah fenomena yang tersebar luas di sepanjang margin
kontinental. Di sepanjang pesisir Brazil, penyebaran gundukan karang pada pinggir tanda
bintik profil seismicnya sepertinya berhubungan dekat dengan eddies dan turbulensi yang
mungkin meningkatkan konsentrasi partikel makanan.

Namun, ada hipotesis lain yang untuk menjelaskan adanya pengurangan sedimen di sekitar
terumbu karang Angola. Proses erosi yang terjadi pada saat ini mungkin bisa menyebabkan
pengurangan di sekitar gundukan tersebut. Jika faktor proses hidrodinamika seperti ini terus
berlanjut, pengurangan ini bisa mengakumulasi sejumlah besar materi partikel yang
sesudah itu menurun dan menyebabkan kondisi pengurangan (sedimen yang kaya sulfida).
Kondisi ini akan menyokong penetapan fauna yang khusus (lucinid) tanpa rembesan, seperti
pada sistem perairan dangkal.

Reproduksi Karang Pembentuk Terumbu Pada Laut Dalam Barat Daya Samudera
Atlantik :

Jumlah koloni spesies pembentuk terumbu pada laut dalam tersebar luas secara geografis,
dan sejumlah Lophelia pertusa membentuk terumbu di sepanjang pinggiran platform
kontinen laut dalam di beberapa bagian dunia, termasuk di Samudera Atlantik sebelah barat
daya. Terumbu karang laut dalam menyediakan habitat yang kaya dan suplai makanan yang
melimpah dan merupakan hotspot bagi keanekaragaman. Kelimpahan dan kekayaang fauna
invertebrata yang berhubungan langsung dengan karang bercabang laut dalam juga cukup
tinggi. Habitat karang laut dalam secara global menderita akibat pengaruh yang ditimbulkan
oleh eksploitasi sumberdaya mineral dan biologis. Penangkapan dengan menggunakan
trawl maupun metode menangkap ikan laut dalam lainnya merupakan ancaman terbesar
pada keanekaragaman di laut dalam pada saat ini. Hanya sedikit penelitian terhadap
reproduksi seksual karang laut dalam yang telah dilakukan di samudera Atlantik sebelah
barat daya.
Gametogenesis

Hasil yang didapat berdasarkan pada sampling temporal yang paling lengkap (13 bulan
berurutan) dari semua penelitian tentang reproduksi pada karang laut dalam. Sampling ini di
rancang untuk mengumpulkan sampai lima fragment yang berbeda dari empat koloni
spesies, secara bulanan, sehingga bisa dilakukan pengamatan pertama penentuan waktu
pada semua tahapan oogenesis dan spermatogenesis dari spesies ini, walaupun hasilnya
sampai sejauh ini masih belum bisa dijelaskan.

Gametogenesis dan penampakan jaringan tubuh dari gonad spesies yang diteliti mirip
dengan karang scleractinian lainnya. Hasil pengukuran oocytes dan kista pada tiap tahap
(ukuran minimum, maksimum, dan rata – rata) ditunjukkan pada Tabel 2 dibawah ini.

Gamet betina tahap 1 terdiri kebanyakan atas nukleus tengah, tapi terkadang nuklei mereka
tidak terlihat sehingga batasnya tidak jelas. Jumlah sitoplasma hanya sedikit di dalam sel
dan mempunyai penampakan yang homogen. Tahap 1 ini diberi warna ungu yang kebiru –
biruan atau pink. Sitoplasma pada akhir oocyte 1 bentuknya lebih membulat (tahap pre –
vitellogenic) dan pewarnaannya lebih kuat.

Pada oocyte tahap 2, area sitoplasma sampai setengahnya dipenuhi oleh gelembung, dan
terkadang lapisan homogen di sekelilingnya masih kelihatan. Sitoplasma pada oocyte tahap
2 yang lebih kecil masih berwarna ungu menuju pink. Saat mereka menjadi lebih besar,
warnanya berubah menjadi lebih pekat, dari pink menjadi warna merah atau oren. Pada
oocyte tahap 3, sitoplasma jelas dipenuhi oleh gelembung lemak dan warnanya menjadi
merah gelap atau oren. Kista spermatis pada tingkay 1 dibungkus dengan sel, tanpa garis
penanda nukleinya yang kecil tidak dapat dibedakan secara jelas. Kista sel pada tahap 2
mulai padat dan teksturnya bulat. Sel menjadi lebih kecil dan bagian yang kurang matang
berkumpul di pinggir. Sel yang lebih matang berkumpul di tengah. Beberapa wilayah kecil
tampak ada di dalam kista. Selama tahap perkembangan lebih lanjut, wilayah – wilayah kecil
ini bersatu untuk membentuk satu lumen di bagian tengah pada kista.
Pada tahap 3 spermaris yang diamati memiliki beberapa ekor di dalam bagian lumennya.
Saat jumlah ekor yang kelihatan meningkat, ekor – ekor ini berkumpul di kluster kecil yang
tersusun secara radial pada kista, sehingga tampak seperti karangan bunga.

Pola Reproduksi

Koloni dari kedua jenis kelamin ditemukan, menandakan bahwa semua spesies merupakan
gonochoric. Namun, disini M. Oculata dan L. Pertusa dipertimbangkan sebagai spesies
gonochoric yang fungsional, karena mempunyai beberapa koloni hermaphroditik, sehingga
menunjukkan pola hermaphroditisme yang berbeda.

Ini merupakan catatan pertama adanya hermaphroditisme pada spesies ini. Satu koloni M.
oculata mempunyai gamet jantan dan betina pada satu polyp, dan koloni lainnya
menampilkan polip jantan dan betina secara terpisah. Sebuah koloni L. pertusa mempunyai
gamet jantan dan betina pada polyp yang berbeda. Adanya hermaphroditisme pada M.
oculata dan L. pertusa membuka potensi untuk terjadinya pembuahan sendiri, terutama
pada M. oculata, yang menampilkan kedua gamet pada polyp yang sama.

Modus Perkembangan

Semua spesies mempunyai oocyte yang besar, menunjukkan produksi larvanya


lecichotrophic. Diameter maksimum oocyte yang diamati adalah 650 μm pada M. oculata,
242 μm pada L. pertusa, 337 μm pada S. variabilis dan 1095 μm pada E. rostrata.

Hasil yang di dapat menunjukkan bahwa M. oculata, L. pertusa, S. variabilis dan E. rostrata
melepaskan gamet mereka untuk pembuahan di kolom perairan. Tidak ada embrio maupun
larva yang diamati pada ke empat spesies ini. Pelepasan gamet dan pengembangan planula
di kolom perairan dikuatkan dengan fakta bahwa tiga dari spesies ini mempunyai sebuah
siklus reproduksi yang berkelanjutan (kemungkinan pengamatan dari embrio atau larva pada
kebanyakan jaringan tubuh yang diamati lebih besar karena adanya reproduksi yang
berkelanjutan). Hanya tiga spesies karang laut dalam yang seperindukan. Semua karang
laut dalam lainnya yang diteliti tampaknya merupakan pemijah dalam skala luas karena tidak
ada catatan dari kejadian planulasi maupun kehadiran embrio dan planula di rongga
perutnya.

Pemilihan Waktu Untuk Reproduksi

Hanya koloni hermaphroditik yang menampilkan oocyte pada satu tahap perkembangan.
Koloni hermaphroditik dari bulan Agustus tahun 2008 hanya menampilkan oocyte di tahap 2,
sedangkan koloni dari bulan Maret 2009 hanya mempunyai oocyte di tahap 1, pengecualian
untuk satu oocyte yang diamati sendiri pada tahap 3 (Gambar 9 dibawah). Namun, tiga
tahap perkembangan kista yang berbeda diamati pada koloni hermaphroditik ini.

Pemilihan waktu untuk reproduksi dari S. Variabilis tidak terlalu jelas, dan sepertinya banyak
periode pemijahan terjadi di sepanjang tahun. Tidak ada gamet yang tampak pada koloni
dari lima bulan yang berbeda (setidaknya satu koloni dari bulan Juli, November, Desember
tahun 2008 dan bulan Januari dan Februari tahun 2009).

Oocyte terdapat pada semua sampel betina L. Pertusa yang diamati. Terlihat jelas bahwa
sebuah puncak reproduksi musiman terjadi diantara bulan Mei dan Juli, umumnya karena
adanya kista spermatis matang yang eksklusif, dengan sperma yang memiliki ekor. E.
rostrata menunjukkan sebuah reproduksi berkelanjutan yang jelas, begitu juga dengan M.
oculata.

Beberapa data biologi dari reproduksi spesies yang diteliti disini sudah tersedia, walaupun
beberapa penelitian berdasarkan pada koloni yang hanya memiliki satu jenis kelamin atau
bahkan pada satu sampel. Tabel 3 dibawah ini menunjukkan ciri reproduksi seksual mereka.
Walaupun beberapa spesimen tidak mempunyai gamet, kedua jenis kelamin dan koloni
yang dibuahi diamati terdapat pada semua spesies di sepanjang periode sampling. Ini
menunjukkan bahwa pembuahan silang dan produksi larva mungkin terjadi pada wilayah
penelitian.
Larva

Hasil yang didapatkan menunjukkan adanya oocyte matang yang besar pada M. oculata
(ukurannya mencapai 650 μm), pada S. Variabilis (ukurannya mencapai 337 μm) dan pada
E. rostrata (ukurannya mencapai 1095 μm) dengan jelas menunjukkan ada produksi larva
lecithotropic, sementara diameter maksimum oocyte yang diamati pada L. pertusa adalah
242 μm. Seperti kebanyakan spesies terumbu karang perairan dangkal, spesies laut dalam
juga membutuhkan substrat yang keras untuk penempatan larva. Hasil ini menyediakan
sebuah garis dasar yang kuat untuk penelitian lainnya, seperti penelitian tentang kesuburan
dan recruitment, yang bisa membawa sebuah pemahaman yang lebih baik dari formasi dan
proses pembaharuan pada laut dalam serta komunitas karangnya.

Namun, penemuan ini penting bagi proses penyembuhan area yang mengalami penurunan
kualitas dan membuka pokok cakrawala baru untuk memahami proses biologi yang sangat
penting bagi ekologi pada ekosistem karang air dingin.

Toleransi Suhu Pada Karang Laut Dalam Lophelia pertusa Di Amerika Serikat Bagian
Tenggara :

Kepentingan ekologis dari terumbu karang laut dalam telah menjadi lebih dikenali setelah
riset dan eksplorasi yang dilakukan meningkatkan pemahaman kita tentang penyebaran dan
kerumitan ekosistem ini. Pengaruh dari predasi pada kondisi demografis L. pertusa saat ini
belum diketahui. L. pertusa telah di dokumentasikan secara ekstensif pada landasan benua
bagian atas (kedalaman 300 – 800 m) di Samudera Atlantik bagian Utara dan Laut
Mediterrania, tapi spesies ini juga terdapat di fiord Skandinavia (kedalaman 439 m) dimana
terjadi proses intrusi air laut dingin pada kedalaman dangkal. Namun, toleransi suhu pada
spesies ini belum diselidiki di bawah kondisi yang dikontrol. Kunjungan ke situs penelitian
laut dalam jarang dilakukan dan durasinya pendek, dan informasi yang diperoleh dari ‘potret’
pengamatan lapang tidak menggambarkan variabilitas lingkungan.
Eksperimen laboratorium bisa mengukur respons organisme target dibawah kondisi yang
dikontrol. Menggabungkan pengamatan lapang dengan data in situ eksperimen laboratorium
jangka panjang merupakan sebuah pendekatan yang kuat untuk meneliti faktor penggerak
keberhasilan ekosistem karang di laut dalam. Hasilnya lalu di diskusikan dalam konteks
pengamatan lapang pada penyebaran karang.

Percobaan Kelangsungan Hidup Karang

Setelah 24 jam, semua fragment pada perlakuan 5, 8, dan 18 °C hidup dengan sehat (polyp
memanjang dan memendek dengan cepat pada kontak), tapi pada 20 °C, kelangsungan
hidup karang berkurang hingga mencapai rata – rata 68.3 % ± 29.23 untuk lima replikasi.
Pada suhu yang paling tinggi (25 °C), terjadi kematian lengkap setelah 24 jam, oleh karena
itu perlakuan ini diakhiri. Kelangsungan hidup kembali diamati setelah tujuh hari, dan
perlakuan 5 serta 8 °C kembali menunjukkan tidak ada kematian dan mempunyai polyp
yang memanjang. Rata – rata persentase kelangsungan hidup (n = 5 replikasi) pada
perlakuan 15 °C berkurang hingga 81.2 % ± 17.60, dan polyp memanjang yang tersisa
merespons rangsangan tactile dengan lambat (sebuah aliran lembut air dari pipet Pasteur).
Pada perlakuan 20 °C, kelangsungan hidup rata – rata (n = 5) berkurang hingga 19.7 % ±
31.21 setelah tujuh hari (Gambar 3 dibawah), dan polyp yang memanjang juga merespons
rangsangan dengan lambat.

Fragment dari perlakuan 15 dan 20 °C disesuaikan kembali dengan iklim 8 °C secara lambat
dengan memindahkan mereka ke wadah gelas 1 L pada suhu perlakuan mereka masing –
masing, lalu wadah tersebut diletakkan di tangki penahan pada suhu 8 °C. Fragment
kemudian diamati kembali setelah 24 jam untuk menegaskan bahwa pengamatan
kelangsungan hidup pertama akurat. Langkah tambahan ini tidak diperlukan pada perlakuan
5 dan 8 °C karena mereka jelas – jelas hidup dan berkembang. Hasil dari percobaan
variabilitas dalam respons fragment individu pada perlakuan suhu menengah (15 dan 20
°C), khususnya pada 20 °C, dimana kelangsungan hidup dari lima replikasi berubah dari 30
% hingga 100 % setelah 24 jam dan dari 0 % hingga 71,4 % setelah satu minggu.
Persentase data kelangsungan hidup yang dikumpulkan setelah 24 jam gagal diuji dengan
menggunakan metode kewajaran Shapiro – Wilk (W = 0.73, p = 0.05), tapi data dari
pengumpulan tujuh harian tersebar secara wajar (W = 0.83, p = 0.14). Setelah menerapkan
perubahan arcsin, data 24 jam masih tidak tersebar secara wajar (W = 0.74, p = 0.02), oleh
karena itu, Kruskal – Wallace ANOVA satu jalan non parametris diterapkan pada golongan
untuk merubah data. Hasil dari analisis ini menunjukkan perbedaan yang berarti pada
persentase kelangsungan hidup diantara kelompok perlakuan (H = 21.85, p < 0.001).
Sebuah uji perbandingan Tukey post – hoc mengindikasikan bahwa perbedaan terjadi
diantara tiga suhu terendah (5, 8, 15 °C) dan tertinggi (25 °C).

Perbandingan dengan kelompok perlakuan yang lain menunjukkan tidak ada perbedaan
yang berarti (p > 0.05). Data tujuh harian tersebar secara wajar, oleh karena itu, sebuah
ANOVA satu jalan parametris diterapkan pada data yang diubah arcsin dan menunjukkan
perbedaan berarti diantara kelompok ini (F = 47.35, p < 0.001).

Perbandingan pair wise (metode Holm – Sidak) menunjukkan perbedaan berarti (p < 0.05)
pada kelangsungan hidup diantara semua pasangan perlakuan kecuali tiga suhu terendah
(5 °C vs. 8 °C, 8 °C vs. 15 °C and 5 °C vs. 15 °C). Semua kumpulan data (24 jam dan tujuh
harian) dianalisa menggunakan sebuah pengukuran ANOVA non parametris Friedman
berulang pada golongan. Semua kumpulan data melewati uji kewajaran Shapiro – Wilk (p =
0.33), tapi gagal pada ujian kesamaan perbedaan, jadi uji pengukuran parametris yang
berulang tidak bisa digunakan. Hasil dari analisis ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang
berarti diantara kelompok perlakuan (Chi – square = 7.66, p = 0.11) saat kumpulan data
yang panjang dan pendek digabungkan.
Variasi Suhu Pada Bagian Atas Dan Bagian Bawah Lereng

Suhu di bagian bawah sepanjang landasan sebelah luar dan pada bagian atas lereng benua
di lepas pantai Carolina Utara, seperti area di bagian selatan berubah dengan sangat
sebagai hasil dari meander dan eddy Arus Teluk dengan skala besar. Jarak fluktuasi suhu
yang lebar pada tempat ini terjadi selama beberapa inkursi (meander ke arah pantai) dan
retraksi (meander ke lepas pantai) besar Arus Teluk, yang menyebabkan peningkatan dan
penurunan suhu secara berturut – turut (Gambar 4 dibawah). Penentuan awal dan akhir dari
inkursi air hangat Arus Teluk ini berdasarkan pada pengamatan visual dari kecepatan dan
magnitudo perubahan suhu. Selama kejadian ini, suhu meningkat (selama inkursi) atau
menurun (selama retraksi) secara cepat, tapi peningkatan dan penurunan biasanya tidak
sebanding dengan mulus dan disela dengan variabilitas (Gambar 4 dibawah). Kecepatan
yang paling tinggi dari peningkatan dan penurunan suhu berturut – turut berjarak antara 0.6
hingga 1.4 °C per jam dan antara 0.5 to 2.3 °C per jam.

Fluktuasi ini, khususnya suhu yang memuncak dengan cepat > 12 °C, paling berhubungan
dengan kelangsungan hidup karang laut dalam. Data mooring C (Gambar 4 dibawah),
menunjukkan tiga kejadian dimana suhu dibawah meningkat diatas 14 °C, kejadian pertama
di akhir Januari berlangsung sekitar empat hari dan mengarahkan suhu hingga > 14 °C
(memuncak pada 14.5 °C) selama 4.3 jam, kejadian selanjutnya (akhir Februari,
berlangsung sekitar 1,5 hari) memuncak pada 14,1 °C, dan suhu tetap diatas 13 °C selama
5.7 jam. Kejadian pada akhir April, dengan durasi sekitar 3,1 hari, mengarahkan suhu
hingga diatas 13 °C (memuncak pada 14.2 °C) selama 1.3 jam. Ada lima inkursi air Arus
Teluk yang lebih kecil pada jarak kedalaman bagian atas lereng ini yang menyebabkan suhu
meningkat diatas 12 °C (Gambar 4 dibawah).
Sebagai tambahan, data dari cetakan hidrografis di sepanjang lereng lepas pantai AS
sebelah tenggara yang disimpan pada National Oceanographic Data Center
(http://www.nodc.noaa.gov/OC5/SELECT/dbsearch/dbsearch.html) menunjukkan bahwa
suhu yang berkisar antara 13 hingga 18 °C biasa terjadi pada rentang kedalaman 350 – 450
m dibawah Arus Teluk. Air dengan suhu ini bisa mempengaruhi bagian bawah dari lereng di
sebelah atas selama terjadi meander yang menghadap pantai pada Arus Teluk atau
filamennya seperti yang dijelaskan diatas.

Kelangsungan Hidup Karang In Situ

Kelangsungan hidup dari fragment karang yang disebarkan pada pendaratan termasuk
tinggi (Tabel 1 dibawah), dengan pengecualian pada ruangan 1, dimana dua dari tiga
fragment rusak dan hilang, dan yang lain hanya memiliki kelangsungan hidup 55,6 %.
Ruangan penyembuhan lainnya mempunyai rata – rata kelangsungan hidup fragment
dengan rentang dari 81,05 % hingga 100 %, dan polyp hidup tampak sehat, dengan
coenenchymes utuh. Beberapa fragment mempunyai pertumbuhan polyp yang baru, tapi ini
diluar dari ketetapan kelangsungan hidup. Persentase data kelangsungan hidup gagal
melewati uji kewajaran Shapiro – Wilk (W = 0.73, p < 0.001) dan tetap tidak tersebar secara
normal setelah perubahan arcsin diterapkan (W = 0.79, p = 0.003).
Oleh karena itu, uji ANOVA dua jalan tidak bisa digunakan untuk menentukan perbedaan
diantara ruangan dan pendaratan secara serentak. Sebuah uji non parametris ANOVA satu
jalan Kruskal – Wallace pada penggolongan diterapkan pada data yang berubah dan
menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti pada kelangsungan hidup diantara ke enam
ruangan (H = 5.92, p = 0.31). Sebuah uji Mann – Withney Rank Sum lalu diterapkan pada
data yang berubah dan menunjukkan tidak ada perbedaan yang berarti pada kelangsungan
hidup karang diantara pendaratan (U = 25.5, p = 0.779).

Diskusi

Tidak ada kematian yang diamati pada perlakuan suhu paling rendah, penelitian selanjutnya
dibutuhkan untuk menjelaskan batas suhu yang lebih rendah untuk penyebaran L. pertusa.
Pada suhu 15 °C kelangsungan hidup masih relatif tinggi setelah satu minggu, tapi ada
variasi mencolok diantara replikasi. Jika kondisi pada suhu ini tetap bertahan, kematian
mungkin akan semakin meningkat, menunjukkan bahwa L. pertusa tak mungkin ditemukan
pada habitat yang mempuyai periode lebih panjang dari 15 °C atau lebih tinggi. Banyak riset
yang telah dilakukan fokus pada L. pertusa karena dia merupakan spesies dasar diantara
banyak komunitas terumbu pada laut dalam, namun fauna bentik sesil lainnya seperti spons
dan gorgonians juga merupakan bagian penting dari ekosistem karang di laut dalam.

Kelangsungan hidup dari fragment karang yang disebarkan pada pendaratan cukup tinggi
(dengan rata – rata keseluruhan 90,2 %), tapi terdapat beberapa kematian. Informasi yang
tersedia dari data lingkungan in situ, bersama dengan pendaratan dan pekerjaan di
laboratorium menunjukkan bahwa penjelasan suhu sebagai sebuah faktor pembatas di
bagian atas yang mematikan untuk L. pertusa terlalu sederhana. Pengaruh suhu pada
penyebaran spesies ini kemungkinan menggambarkan sebuah penggabungan yang rumit
dari durasi dan magnitudo fluktuasi suhu. Situs dangkal yang abnormal dan situs yang
digenangi pada waktu tertentu oleh suhu tinggi merupakan situs yang menarik untuk
penelitian selanjutnya tentang pengaruh dari tekanan panas pada waktu tertentu yang
mematikan maupun hampir mematikan. Suhu merupakan hanya satu dari beberapa faktor
lingkungan yang mungkin mempengaruhi penyeberan L. pertusa dan karang laut dalam
lainnya. Sumber tekanan yang berasal dari lingkungan tidak selalu menyebabkan kematian
secara langsung, sebuah organisme biasanya menunjukkan respons fisiologis maupun
tingkah laku untuk mengimbangi tekanan tersebut. Pemasukan energy yang cukup bisa
menutup kerugian permintaan metabolis dari respons terhadap tekanan (contohnya,
produksi mukus), menjadikan beberapa terumbu bertahan hidup sementara yang lainnya
mungkin mati.

Walaupun fragment pada percobaan diseragamkan semirip mungkin, ‘kesehatan’ dari koloni
semula, variasi ecotypic, atau perbedaan genetis diantara mereka bisa menjelaskan
perbedaan pada toleransi terhadap tekanan panas yang diamati. Tidak ada genotype
maupun ecotype yang menunjukkan tingkat konsistensi kematian selama percobaan suhu.
Perbedaan toleransi terhadap sumber tekanan, pada tingkat individu maupun populasi,
menurunkan kemungkinan dari kematian yang tersebar luas pada kejadian pergantian wajah
lingkungan secara ganjil. Toleransi terhadap rentang jarak variabel lingkungan yang luas
lebih umum terjadi pada fauna yang hidup di habitat dengan kondisi yang berubah – ubah,
dan kurang diharapkan terjadi pada spesies yang hidup di lingkungan yang stabil. Oleh
karena itu, logis bahwa sebuah spesies seperti L. pertusa yang bisa hidup pada rentang
habitat dan kondisi yang luas, menunjukkan sebuah toleransi yang lebar terhadap suhu.
Penting untuk dimengerti bahwa tidak hanya pengaruh dari sebuah sumber tekanan
individu, tapi juga bagaimana penggabungan dari berbagai variabel yang berbeda bisa
mempunyai pengaruh yang sinergis, dan bagaimana genotype yang berbeda mempunyai
respons yang berbeda. Percobaan laboratorium yang dikontrol nilainya tidak terhingga untuk
menentukan respons fisiologis terhadap beberapa faktor lingkungan, tidak hanya pada
kecepatan kematian, tapi juga respons terhadap keadaan yang hampir mematikan, seperti
yang sudah dijelaskan diatas yaitu pengaruhnya terhadap metabolisme atau kerentanan
penyakit. Untuk mengelola ekosistem secara efektif menghadapi perubahan di masa depan,
area yang mudah terkena ancaman maupun tidak keduanya perlu diidentifikasi.
Pemahaman terhadap struktur eko – fisiologis yang membentuk taxa karang laut dalam
akan menolong konservasi dalam memberikan informasi dan pengelolaan dengan
menjelaskan permulaan lingkungan dari spesies yang berbeda, dengan demikian menyoroti
komunitas yang memiliki resiko lebih besar ini.

Mineralogi Karbonat Dan Penyebaran Karang Laut Dalam Pembentuk Habitat Pada
Wilayah Barat Daya Samudera Pasifik :

Aragonite Saturation Horizon (ASH) adalah kedalaman dimana air menjadi dibawah
kejenuhan karena mineral kalsium karbonat aragonit.

Mineralogi Karang

Menurut sejarah, analisis dari mineralogi karbonat pada flora dan fauna lautan secara utama
difokuskan pada organisme perairan dangkal. Pengetahuan tentang mineralogi menjadi
penting karena polymorphs yang berbeda mempunyai daya larut dan kestabilan yang
berbeda pada kondisi alami. Kebanyakan perairan dalam berada pada kondisi dibawah
kejenuhan karena aragonit maupun kalsit.

Oseanografi Daerah

Batimetri yang rumit pada Samudera Pasifik sebelah barat daya mempunyai kendali yang
kuat pada sirkulasi lautan lokal (Gambar 1 dibawah). Kepulauan Selandia Baru bersilangan
dengan subtropical frontal zone (STZF). STFZ dipaksa oleh kepulauan Selandia Baru
bagian selatan dan lalu mengalir ke arah utara di sepanjang pesisir timur Pulau Selatan,
sebelum menuju ke arah timur di sepanjang Chatham Rise. Air pada permukaan dan lapisan
termoklin semuanya super jenuh dengan aragonit dan kalsit. Dibawah lapisan termoklin ada
Antarctic Intermediate Waters (AAIW), dicirikan oleh salinitasnya yang minimum. Terdapat
beberapa tipe AAIW yang berbeda pada Samudera Pasifik wilayah barat daya.
Penyebaran Karang

Karang scleractinian dan alcyonacea pembentuk habitat tersebar secara luas di sepanjang
wilayah barat daya Samudera Pasifik (Gambar 3 dibawah). Tiap spesies karang
scleractinian pembentuk habitat mempunyai sedikit perbedaan pada wilayah
penyebarannya.

Solenosmilia variabilis (n = 326) terdapat di sepanjang wilayah ini, kecuali pada Challenger
Plateau (Gambar 3A dibawah). Enallopsammia rostrata (n = 156) ditemukan di sepanjang
tepi landasan kontinen dan pada gunung laut (Gambar 3A dibawah). Goniocorella dumosa
merupakan spesies yang paling banyak dicatat pada karang laut dalam scleractinian
pembentuk habitat (n = 485). Spesies ini menunjukkan penyebaran yang berbeda, dengan
proporsi catatan yang mencolok dan meningkat pada bagian atas plateaux, dan catatan
konsentrasi paling besar ada pada Chatham Rise (Gambar 3A dibawah). Oculina virgosa
merupakan spesies endemik pada Samudera Pasifik wilayah barat daya dengan catatan
yang sangat sedikit (n = 31). Spesies ini ditemukan sebagian besar pada Selandia Baru
bagian utara, walaupun ada satu catatan dari pesisir barat Pulau Selatan (Gambar 3A
dibawah). Keratoisis spp. merupakan genus yang paling umum dicatat (n = 314). Genus ini
tersebar secara luas, tapi paling umum ditemukan di sepanjang tepi landasan kontinen dan
pada gunung laut (Gambar 3B dibawah). Sementara jumlah Lepidisis spp. yang tercatat
sangat sedikit (n = 97), genus ini sebagian besar ditemukan pada Selandia Baru bagian
utara dan timur (Gambar 3B dibawah).
Paragorgia spp. yang ditemukan merupakan karang alcyonacea pembentuk habitat secara
umum dengan jumlah paling banyak kedua pada wilayah Selandia Baru (n = 188). Mereka
kebanyakan ditemukan di sepanjang tepi dari landasan kontinen, walaupun beberapa juga
ditemukan pada gunung laut (Gambar 3B dibawah).

Mineralogi Karbonat

Kebanyakan karang alcyonacea memiliki kalsit Mg dengan kandungan yang tinggi 8 – 11


mol % MgCO3, dan konsentrasi Sr yang rendah. Kerang bambu Keratoisis spp. dan
Lepidisis spp. mempunyai rasio Mg / Ca aling rendah dengan rata – rata 88 mmol / mol dan
85 mmol / mol secara berurutan, setara dengan 8,8 dan 8,5 mol % MgCO 3. Menariknya,
kelimpahan trace elemen diantara tangkai Keratoisis spp. yang berwarna coklat, kaya
organik, sangat mirip dengan yang tumbuh dari ujungnya. Karang gelembung permen karet
Paragorgia spp. mempunyai rata – rata 97 mmol / mol Mg / Ca, 9.7 mol % MgCO3.

Kimiawi Air Karbonat

Data hidrografis yang diukur (suhu, salinitas dan oksigen) serta data karbonat (alkalinitas
dan DIC) menunjukkan perbedaan yang jelas pada kimiawi dari massa air di sekeliling
Samudera Pasifik sebelah barat daya. Di bagian utara pengangkatan air permukaan yang
hangat, dengan kejenuhan aragonit yang lebih tinggi STW (Ωarag = 3) sementara pada
bagian selatan yang lebih dingin, terdapat kejenuhan aragonit yang lebih rendah SAW
(Ωarag = 2).
Kimiawi air di sebelah utara Selandia Baru (TAN1205, TAN1206, TAN1212, TAN14) mirip
dengan yang terdapat pada bagian utara Chatham Rise. Data dari pesisir barat (TAN 1304,
TAN 1406) Laut Tasman dari permukaan hingga kedalaman menengah (1.500 m) mirip
dengan yang terdapat pada bagian utara Chatham Rise dengan ASH yang lebih dalam di
sekitar > 1.200 m, tapi lalu di bawah 1.500 m mereka lebih mirip dengan wilayah bagian
selatan Chatham Rise dimana tidak terdapat NPDW pada wilayah ini, hanya LCDW dengan
CSH > 3.400 m (sampel tidak diambil dibawah kedalaman ini).

Penyebaran Karang Sleractinian Pembentuk Habitat

Kira – kira 15 % dari S. variabilis dicatat pada air yang lebih dingin, yaitu dengan suhu 2.5 –
4 °C, sementara hingga 95 % G. dumosa dan M. oculata ditemukan pada suhu 11 dan 12
°C, dan O. virgosa tampak berada pada perairan yang lebih hangat dengan suhu 17 °C
(Gambar 9 dibawah). Rentang jarak suhu yang luas ini menunjukkan ada beberapa toleransi
terhadap suhu yang lebih hangat maupun lebih dingin. Namun, 99 % dari semua
scleractinians ditemukan pada perairan dengan konsentrasi oksigen > 160 μmol / kg, yang
menunjukkan bahwa karang yang lebih dalam kemungkinan besar mendiami oksigen CDW
lebih tinggi yang mendominasi bagian selatan wilayah ini, tidak pada perairan NPDW
dengan kadar oksigen rendah (< 160 μmol / kg) yang terdapat di bagian utara Selandia
Baru. Pada Samudera Pasifik bagian barat daya < 3 % M. oculata, E. rostrata dan G.
dumosa yang tercatat pada saat ini terletak di bawah arus ASH, sementara ~ 20 % dari S.
variabilis terletak di bawah ASH (Gambar 9 dibawah).
Sangat menarik untuk dicatat bahwa kebanyakan dari karang yang lebih dalam ini masih
ditemukan diantara kedalaman 200 m dari ASH modern, dengan < 2 % lebih dalam daripada
ini. Kemungkinan lain, karang laut dalam scleractinian pembentuk habitat tinggal dibawah
ASH mungkin bisa mentoleransi beberapa dibawah kejenuhan. Namun, seperti kejenuhan
oksigen dan aragonit, sepertinya ada beberapa faktor lainnya yang juga mempengaruhi
penyebaran karang pembentuk habitat. Adanya substrat keras sepertinya juga merupakan
penjelasan kenapa kebanyakan karang laut dalam ditemukan pada tepi landasan kontinen
dan di sepanjang lereng, tapi juga pada Ridge Kermadec dan Macquarie yang terbentuk
oleh gunung api bawah laut.

Penyebaran Karang Alcyonacea Pembentuk Habitat

Secara umum penyebaran dari karang alcyonacea pembentuk habitat pada Samudera
Pasifik bagian barat daya menunjukkan pola yang mirip dengan scleractinian, sebagian
besar ditemukan hidup pada AAIW diantara kedalaman 800 dan 1200 m, kembali lagi
menunjukkan bahwa perairan AAIW yang salinitasnya rendah dan kadar oksigennya yang
tinggi menyediakan kondisi optimal bagi karang ini (Gambar 9 diatas). Menunjukkan bahwa
mereka bisa mentoleransi rentang kondisi yang lebih luas. Karang bambu Keratoisis spp.
mempunyai rentang paling luas yang sebanyak 15 % ditemukan pada air dengan suhu < 4
°C dan sedikit tercatat ditemukan pada perairan dengan kadar oksigen rendah yaitu < 160
μmol / kg (Gambar 9 diatas), serta 16 % dibawah ASH.

Dari sudut pandang mineralogical toleransi dari kedalaman yang lebih ini, suhu yang lebih
rendah dan status kejenuhan karbonat mengejutkan karena Keratoisis spp. dan Lepidisis
spp. kadar kalsit Mg mereka tinggi yaitu 8,5 dan 8,8 mol % MgCO 3, sementara paragorgiais
~ 10 mol % MgCO3. Oleh karena itu jika penyebaran diatur oleh geokimia dan status
kejenuhan karbonat kita mungkin bisa mengharapkan karang dengan kalsit Mg tinggi ini
berada diatas ASH.

Tidak seperti genus alcyonacean pembentuk habitat lainnya, Primnoa sp. bimineralic,
walaupun utamanya aragonit. Konsentrasi dari trace element diantara material penyusun
kerangka menunjukkan sebuah rentang yang luas, yang bisa disebabkan oleh perbedaan
lingkungan, umur koloni, maupun sebuah pengaruh genetis. Penelitian lebih lanjut
diperlukan pada Primnoa sp. ini untuk memahami variabilitas dari mineralogy karbonat
kerangka spesimen pada kedalaman dan wilayah yang berbeda secara utuh. Kurangnya
catatan karang alcyonacean pembentuk habitat dari Challenger Plateau yang di isi oleh
AAIW menunjukkan bahwa seperti karang scleractinian ada faktor lain yang juga
mempengaruhi persebaran genus ini, seperti ketersediaan makanan dan substrat.
Namun, tidak seperti scleractinian, catatan alcyonacea pembentuk habitat yang paling
dalam di Samudera Pasifik bagian barat daya ditemukan di sebelah utara utara Selandia
Baru dimana lapisan perairannya oligotrophic. Jadi tidak mungkin bahwa lapisan suplai
makanan menjelaskan catatan alcyonacea yang lebih dalam pada wilayah ini.

Perbandingan Dengan Wilayah Lainnya

Sangat menarik untuk dicatat bahwa kebanyakan penyebaran karang alcyonacea dengan
kalsit Mg tinggi ditemukan di kedalaman yang mirip dengan karang scleractinia pada
Samudera Pasifik wilayah barat daya dengan puncak di kedalaman antara 800 – 1200 m.
namun, ada sejumlah catatan yang mencolok dari genus alcyonacea ini dibawah ASH, pada
perairan dengan kadar [CO32-] rendah.

Pada Samudera Pasifik bagian barat daya catatan yang paling dalam ditemukannya
Keratoisis spp., Lepidisis spp., dan Paragorgia spp. adalah 3.376 (Ωaragonite ~ 0.65), 1.601
m dan 1.661 m (Ωaragonite = 0.95 – 0.98) secara berturut – turut. Memang beberapa
catatan berada dibawah CSH, jadi bahkan jika karang ini mempunyai kandungan Mg yang
sangat rendah, mereka masih sangat rentan terhadap pembubaran. Demikan catatan
karang laut dalam pembentuk habitat dari Samudera Pasifik sebelah barat daya dan secara
global menunjukkan bahwa organisme ini bisa mentoleransi beberapa karbonat dibawah
jenuh, dengan beberapa spesies / genus lagi lebih toleran daripada yang lain. Namun,
sangat jelas bahwa ada faktor lainnya yang juga mempengaruhi persebaran spasial dari
karang laut dalam pembentuk habitat ini seperti ketersediaan makanan dan substrat.

Masa Depan Untuk Karang Laut Dalam Di Wilayah Selandia Baru

Perumpamaan skenario IPCC yang lebih konservatif dimana ASH mencapai kedalaman 600
m pada Samudera Pasifik bagian barat daya pada tahun 2.100, hanya 28 % dari karang
scleractinia pembentuk habitat yang diketahui sekarang dan 7 % dari karang alcyonacea
pembentuk habitat yang terletak di atas ASH pada akhir abad ini (Gambar 9 diatas).
Dibawah skenario ini hanya landasan kontinen Selandia Baru, Chatham Rise, kantong kecil
pada Campbell Plateau, dan gunung laut di sepanjang ridge Kermadec dan Macquarie yang
naik hingga kedalaman air 600 m, yang akan berada di atas ASH pada tahun 2.100.

Seperti yang telah di diskusikan diatas, konsentrasi karbonat tidak mungkin menjadi satu –
satunya hal yang mempengaruhi penyebaran karang laut dalam pembentuk habitat.
Kemungkinan besar bahwa produktivitas utama air permukaan, dan ketersediaan makanan
pada perairan di bawah lapisan permukaan juga bisa dipengaruhi oleh perubahan
oseanografis seperti perubahan dan stratifikasi pada upwelling.
Kesesuaian spesies karang laut dalam bergantung pada toleransi lingkungan dan beberapa
faktor lainnya yang mungkin memainkan peran penting pada penyebaran organisme ini di
masa depan.

Penelitian lebih lanjut pada laut dalam (> 1.500 m) dan aquaria akan dibutuhkan untuk
menguji toleransi lingkungan (suhu, oksigen, status kejenuhan karbonat) dari genus dan
spesies karang laut dalam pembentuk habitat ini, khususnya S. variabilis dan Keratoisis spp.
yang paling toleran. Nilai terbesar Sr / Ca dan Mg / Ca dari ujung yang tumbuh pada
berbagai spesies yang berbeda tidak menyediakan petunjuk tambahan lainnya. Penelitian
fisiologis maupun trace element yang lebih mendetail dibutuhkan untuk memahami
mekanisme pembentukan kerangka karbonat diantara polyp karang dari tiap spesies dan
potensi toleransi mereka terhadap status kejenuhan karbonat yang lebih rendah serta
permulaan fisiologisnya. Sebuah pemahaman yang lebih baik tentang organisme ini dan
toleransi lingkungan mereka akan menolong peningkatan penelitian dari karang dan
mengidentifikasi strategi perlindungan dan pengelolaan untuk spesies “yang dilindungi” ini
serta ikan laut dalam dan juga invertebrata yang hidup di sekitar organisme ini.

GEOKIMIA DARI KERANGKA KARANG LAUT DALAM : SEBUAH TINJAUAN


PENGARUH VITAL DAN APLIKASINYA UNTUK PALAEOSEANOGRAFI :

Saat ini dengan adanya perubahan pada iklim Bumi kita butuh untuk memahami bagaimana
lautan, daratan, dan iklim saling mempengaruhi, khususnya pada rentang waktu dasawarsa
sampai abad. Sementara pengamatan langsung pada perubahan di lautan sedang
dilakukan, contohnya Inisiatif Observatorium Lautan, instrumen perekam iklim tersebar
dengan sporadis dan tidak menangkap kondisi oseanografis pada rentang yang penuh.
Arsip tradisional palaeoseanografis dari lautan dalam (sedimen) kaya akan informasi yang
menyediakan tentang hubungan dengan lautan pada masa lalu, tapi mereka hanya
mengawetkan secara langka dengan resolusi waktu yang mencolok pada pertanyaan
dengan skala dasawarsa. Namun, geokimia dari kerangka karang laut dalam bisa
menyediakan sebuah jalan untuk menyambung jarak tersebut.

Karang menunjukkan rentang morfologi dan habitat hidup yang luas sehingga tinjauan yang
luas tentang geokimia mereka merupakan sebuah tugas yang menantang. Faktanya hanya
sedikit yang diketahui tentang karang pada lautan dalam. Keuntungan khusus dari
(beberapa) karang lautan dalam sebagai arsip iklim adalah kerangka mereka bisa diberikan
penanggalan secara akurat menggunakan teknik radiometrik.
Penanggalan ini menyediakan catatan berbasis karang untuk dibandingkan dengan catatan
secara langsung dari bagian sistem iklim lainnya tanpa tergantung pada hubungan
stratigrafis. Kurangnya urutan stratigrafis juga bisa menjadi sebuah kerugian karena
pengukuran harus dilakukan pada setiap individu karang untuk mendapatkan umur dan /
kecepatan pertumbuhan dari sampel tersebut. Idealnya, informasi semacam ini
menghasilkan rekaman in situ kuantitatif dari kondisi lingkungan lokal selama masa hidup
karang ini. Oleh karena itu, komposisi kimiawi dari kerangka karang dipengaruhi oleh dua
faktor utama yaitu : lingkungan luar dan aktivitas biologis, yang umumnya disebut sebagai
pengaruh ‘vital’. Pada karang lautan dalam, ‘pengaruh vital’ ini bisa di dominasi oleh
pengaruh lingkungan.

Oleh karena itu, geokimiawi dari karang lautan dalam mempunyai potensi untuk menjawab
pertanyaan terkenal yang berhubungan dengan peran sirkulasi lautan pada sebuah
perubahan di sistem iklim Bumi dan untuk meneliti pengaruh perubahan iklim pada habitat
karang perairan dingin serta keanekaragamannya. Penelitian baru – baru ini (abad maupun
milenium) mungkin menyediakan gambaran yang lebih jelas dari pengaruh anthropogenic
yang memanjang hingga mencapai lautan. Catatan dari 25.000 tahun terakhir dan
selanjutnya mungkin menyediakan informasi tentang sirkulasi lautan selama masa
reorganisasi lautan secara luas. Namun bahkan perwakilan ini yang tampaknya mempunyai
penafsiran yang relatif jelas belum dimanfaatkan secara penuh.

Penanggalan Dan Kecepatan Pertumbuhan

Menganalisa geokimiawi dari banyak karbonat individu karang menyediakan potensi untuk
menghasilkan catatan panjang sementara pada resolusi tinggi. Oleh karena itu penanggalan
serta kecepatan pertumbuhan yang akurat dan sesuai dibutuhkan untuk mendapatkan
keuntungan penuh dari arsip palaeoseanografis karang lautan dalam.

 Kecepatan Pertumbuhan

Penentuan kecepatan pertumbuhan yang akurat dan mempunyai ketetapan tinggi


penting bagi perkembangan model usia pada palaeoseanografis yang memberikan
perbandingan dari beberapa catatan yang berbeda dari wilayah yang berbeda. Lebih
lanjutnya keanekaragaman genetik dan adaptasi lingkungan bisa mendorong variabilitas
rentang ukuran dan kecepatan pertumbuhan pada antar spesies. Resolusi sampling yang
kasar, ukuran spesimen, dan kecepatan pertumbuhan yang tidak sejajar merupakan contoh
faktor yang membatasi perkembangan dari kecepatan pertumbuhan yang tepat dan juga
membatasi perkembangan pada model usia yang berketetapan tinggi.
 Karang Scleractinian Aragonitik

Total rentang hidup karang pembentuk kerangka sulit untuk ditentukan karena
strukturnya yang rumit dan sering patah pada proses pengambilan. Enallopsammia rostrata
membentuk koloni dendroid yang masih, lebarnya mencapai 1 m dan tingginya 0,5 m.
Spesies ini cenderung ‘memarut’ sebagai konsekuensi perkiraan akurat dari kecepatan
pertumbuhan vertikal yang sulit untuk ditentukan.

Persebaran Karang Lautan Laut Dalam, Saat Ini Dan Di Masa Lalu

Umumnya, populasi karang lautan dalam cenderung ditemukan pada rentang suhu 4 sampai
12 °C, sehingga mengizinkan karang untuk mendiami lautan dalam yang dingin,
pertengahan, hingga perairan tropis dan juga perairan lintang tinggi. Mereka juga mengalami
perubahan di masa lalu selama masa reorganisasi lautan, yang berdampak pada kesehatan
dan keberlanjutan populasi karang lautan dalam. Pada dasarnya, kehadiran spesimen fossil
mereka akan menunjukkan kondisi yang merugikan di masa lalu bagi keberlangsungan
spesies ini. Sejauh ini, tidak ada rangkaian sampel penanggalan karang yang jumlahnya
cukup untuk memberikan kita data iklim dan kejadian pertumbuhan karang secara
sempurna. Mirip dengan rangkaian data karang pembentuk kerangka, karang soliter juga
menunjukkan perubahan perkembangbiakan yang mencolok sepanjang waktunya.

Pada bagian utara dari Front Sub Antarctic, karang soliter hanya memprakarsai
pertumbuhan selama proses deglasi. Pada bagian selatan Front Kutub kebalikannya adalah
benar bahwa D. Dianthus, yang pertumbuhan individunya tidak kelihatan selama Holocene.
Secara berbeda Caryophyllia yang berhubungan dekat berkembang biak di bagian selatan
Front Kutub selama Holocene. Pada bagian tengah situs Drake Passage penyebaran
karang menunjukkan karakteristik yang sama baik pada wilayah utara maupun selatan. Hasil
ini sesuai dengan penemuan sebuah osilasi utara selatan yang terlihat pada Samudera
Atlantik sebelah timur laut, walaupun ini hanya terjadi pada skala waktu milenium. Populasi
Holocene secara berangsur – angsur terdapat makin dalam di kolom perairan bergerak
menuju seperti kondisi saat sekarang ini, yang ditafsirkan sebagai sebuah indikator dari
pendalaman cakrawala kejenuhan aragonit pada wilayah ini sebagai respons terhadap
perubahan siklus karbon deglacial secara global pada lautan dan atmosfir. Populasi
Holocene terbagi menjadi kelompok dangkal dan dalam dengan jarak antara kedalaman air
~ 1.400 dan ~ 1.800 m. Pada kondisi hidrografis modern ini merupakan zona oksigen
minimum, tapi tidak ada wilayah massa air yang spesifik mendominasi atau khususnya
konsentrasi ion karbonat yang rendah.
Secara keseluruhan, penelitian geokronologis telah terbukti digunakan untuk menaksir
dinamika temporal dari ekosistem karang laut dalam. Tiap catatan geokronologis telah
menunjukkan ketidak berlanjutan spasial maupun temporal diantara keseluruhan jumlah
usia.

Wakil Geokimia Untuk Kondisi Lautan Pada Masa Lalu

Ada banyak susunan teknik yang telah digunakan untuk merekonstruksi kondisi lautan di
masa lalu, mulai dari analisis ukuran butiran inti sedimen sampai kepada lebar pita
pertumbuhan di permukaan karang. Perkembangan wakil geokimiawi pada karang lautan
dalam mempunyai sejarah yang lebih pendek tapi mempunyai keuntungan untuk
menggambarkan dan mendapatkan pelajaran dari penelitian geokimiawi pada organisme
laut lainnya.

Wakil ini secara khas di evaluasi mengguanakn kalibrasi empiris. Saat korelasi empiris ini
tidak ‘bekerja’ dikarenakan seringnya komposisi kerangka merespons secara lebih kuat
kepada proses yang berhubungan dengan proses pengapuran daripada perubahan pada
lingkungan lokal. Dinamakan ‘pengaruh vital’, komposisi sinyal yang dihasilkan secara
biologis ini terdapat di semua karang. Namun pengaruh vital secara khas lebih nampak pada
lautan dalam saat variabilitas musiman dan harian tidak terlalu jelas bahkan tidak kelihatan
dibandingkan dengan laut pada bagian yang lebih atas. Dengan potensi variabilitas
lingkungan berjarak pendek ini, perubahan komposisi yang disebabkan oleh proses
biomineralisasi bisa mendominasi geokimiawi karang lautan dalam. Walaupun ada
tantangan untuk merekonstruksi lingkungan pada masa lalu, pengaruh vital menghadirkan
kesempatan berharga untuk memahami proses biomineralisasi karang.

 Siklus Karbon

Singkatnya, radiokarbon diproduksi pada lapisan atmosfir sebelah atas, dan


memasuki lautan melalui pertukaran dengan perairan permukaan. Sekalinya perairan
permukaan terisolasi dari masukan atmosfir saat mereka meninggalkan lapisa campuran,
radiokarbon menjadi hilang. Kehilangan ini menyediakan dasar untuk mengevaluasi
kecepatan sirkulasi lautan dalam dimana penurunan kecepatan sirkulasi akan mengarah
14 12
pada penurunan rasio C / C di laut dalam. Radiokarbon karang laut dalam juga telah
digunakan untuk melihat perubahan oseanografis skala dasawarsa. Spesiasi dan isotopis
ion boron pada air laut dikontrol secara besar oleh kimiawi karbonat dan beberapa
penampakan dari kimiawi ini tampaknya dicatat pada organisme laut yang mengalami
pengapuran. Telah dilakukan beberapa usaha untuk menguji kimiawi boron pada karang laut
dalam.
Ringkasnya, sepertinya δ 11B dari air laut mungkin menggambarkan kerangka karang
lautan dalam tapi juga secara khas beberapa penyimpangan dari prediksi teoritis terjadi
selama proses pengapuran.

 Isotop Neodymium

143 144
Rasio Nd / Nd pada air laut nampaknya tidak dipengaruhi oleh perubahan
properti fisikanya maupun proses biologis dan oleh karena itu sebagian besar termodifikasi
143
melalui percampuran massa air yang berbeda secara isotopis. Nd diproduksi oleh
147
penghancuran radioaktif radionuklida Sm yang hidup secara lama, menuju variasi dari
143 144
rasio Nd / Nd pada bebatuan alami karena usia dan litologis (contohnya : perbedaan
pada rasio Sm / Nd). Namun, waktu penghancuran mereka terlalu lama untuk menghasilkan
143 144
varabilitas apapun pada rasio rasio Nd / di air laut maupun karang laut dalam,
mempunyai arti bahwa massa air mendapatkan karakteristik sidik jari isotop Nd pada area
sumber mereka. Berdasarkan pada kalibrasi yang menjanjikan ini, beberapa tahun
belakangan ini telah terlihat peningkatan secara mencolok pada penerapan isotop Nd untuk
penelitian kerangka karang laut dalam dari Samudera Atlantik maupun Laut Selatan untuk
mempelajari tentang distribusi massa air di masa lalu sepanjang 25.000 tahun terakhir.

Bidang penelitian isotop Nd (dan tentunya rekaman perwakilan) pada fosil karang lautan
dalam usianya sangat muda, dan saat ini terbatas pada ketersediaan pengumpulan dari
area geografis secara spesifik, kedalaman air, dan usia. Sementara pengukuran isotop Nd
pada karang laut dalam tetap menantang, karena konsentrasinya yang rendah, pengukuran
ini secara jelas dapat dikerjakan dengan mudah dan lebih menguntungkan dibandingkan
dengan arsip lainnya pada isotop Nd, karena kalibrasi modern yang kuat (Gambar 4
dibawah) dan fakta bahwa kerangka karang bisa ditanggalkan secara absolut.
 Karang Proteinaceous

Walaupun hidup dibawah zona photic, karang lautan dalam proteinaceous


dihubungkan dengan perubahan pada permukaan lautan karena mereka memakan partikel
organik terlarut secara cepat. Seperti beberapa organisme lautan yang memiliki hidup
panjang lainnya, karang laut dalam proteinaceous yang dikumpulkan dari bagian luar
landasan kontinen mempunyai potensi untuk merekam perubahan pada muatan daratan
pada hubungan darat laut yang memberikan interaksi tambahan diantara ekosistem perairan
dan daratan. Sebagai tambahan masih ada tantangan terbuka untuk bekerja dengan karang
proteinaceous karena sangat sedikit penelitian yang telah dilakukan terhadap faktor kontrol
geokimiawi mereka. Pada sisi lain karang protainaceous mempunyai potensi yang besar
untuk menetapkan hubungan diantara variabilitas iklim, pemasukan nutrient berbasis
daratan, dan fungsi ekosistem / produktivitas biologis dengan catatan resolusi tinggi yang
mungkin di dapatkan pada jarak hidup karang ini yang mencapai ribuan tahun.

Referensi :

Bostock, Helen C. et al. 2015. The Carbonate Mineralogy And Distribution Of Habitat –
Forming Deep – Sea Corals In The Southwest Pacific Region. Deep – Sea Research
I 100 (2015) 88 – 104.

Broke, Sandra et al. 2013. Temperature Tolerance Of The Deep – Sea Coral Lophelia
pertusa From The Southeastern United States. Deep – Sea Research II 92 (2013)
240 – 248.

Guilloux, E. Le et al. 2009. First Observation Of Deep – Sea Coral Reefs Along The Angola
Margin. Deep Sea Research Part II : Topical Studies In Oceanography. Volume 56,
Issue 23, Pages 2.394 – 2.403.

Pires, D. O. et al. 2014. Reproduction Of Deep – Sea Reef – Building Corals From The
Southwestern Atlantic. Deep – Sea Research II 99 (2014) 51 – 63.

Robinson, Laura F. Et al. 2014. The Geochemistry Of Deep – Sea Coral Skeletons : A
Review Of Vital Effects And Application For Palaeoceanography. Deep – Sea
Research II 99 (2014) 184 – 198.

Anda mungkin juga menyukai