Anda di halaman 1dari 17

BIODIVERSITAS BALI :

Laba-laba Anax guttatus dan Enteromorpha flexuosa

Nama : Dewi Sabrina Amalia

NIM : 1808531014

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keanekaragaman hayati ialah suatu istilah yang mencangkup semua bentuk kehidupan
yang mencangkup gen, spesies tumbuhan, hewan dan mikroorganisme serta ekosistem dan
proses-proses ekologi saat ini keragaman dianggap sebagai in-efisien dan primitive, dimana
keseragaman ialah efisien dan modern. Namun sangat disayangkan, Keanekaragaman flora
dari Asia tropis masih sedikit dipelajari. Istilah flora diartikan sebagai jenis tumbuhan yang
tumbuh disuatu daerah tertentu. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di
kawasan tropis dua benua (Asia dan Australia), dengan memiliki luas wilayah sekitar 9 juta
𝑘𝑚2 (2 juta 𝑘𝑚2 daratan, dan 7 juta 𝑘𝑚2 lautan.
Kekayaan alam hayati Benua Maritim Indonesia terkenal sebagai salah satu megacenter
utama keanekaragaman hayati dunia dengan sekitar 40.000 jenis tetumbuhan sebagai unsur
floranya. Secara fitogeograi dibuat okeh Zolinger, Indonesia termasuk ke dalam kawasan
Malesia, meliputi keseluruhan Semenanjung Malaya mulai dari Tanah Genting Kra di Thailand
Selatan, Beua Maritim Indonesia, Filipina, Papua Nugini, dan Pulau-pulai Solomon (Rifai,
1990). Berdasarkan penyebaran fauna, Indonesia dikenal mempunyai posisi zoogeografi yang
sangat menarik perhatian dunia internasional; karena mencakup dua kawasan yaitu; Oriental
dari Australia di mana fauna bagian barat Indonesia mendapat pengaruh dari kawasan Orintal,
sedangkan fauna bagian timur Indonesia mendapat pengaruh dari kawasan Australia. Beberapa
Fauna asal Australia dan Asia serta fauna asli, bertemu dikawasan Wallacea.
Salah satu potensi biota laut perairan Indonesia adalah alga makro atau dikenal dalam
perdagangan sebagai rumput laut (seaweed). Alga berasal dari bahasa Yunani yaitu “algor”
yang berarti dingin (Nontji, 2002). Menurut Landau (1992), alga laut (seaweed) merupakan
bagian terbesar dari tumbuhan laut dan termasuk tumbuhan tingkat rendah yang tidak memiliki
perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang dan daun meskipun tampak seperti ada
perbedaan tapi sebenarnya hanya merupakan bentuk thallus belaka. Secara taksonomi alga
dikelompokan ke dalam Divisi Thallophyta dengan empat kelas cukup besar dalam divisi ini,
yaitu Chlorophyeae (alga hijau), Phaehphyceae (alga coklat), Rhodophyceae (alga merah), dan
Cyanophyceae (alga biru-hijau).
Keberadaan serangga dalam suatu ekosistem mempunyai peranan yang sangat penting
(Ilhamdi, 2012). Capung merupakan salah satu serangga yang memiliki peranan penting bagi
keberlangsungan ekosistem yakni berperan sebagai indikator pencemaran lingkungan.
Keberadaan capaung dalam suatu wilayang jug adapt dijadikan sebagai indikasi untuk melihat
kondisi lingkungan (Koneri, 2014). Habitat capung ada dua yaitu akuatik dan non akuatik serta
habitatnya sangat luas termasuk juga pada habitat sawah (Orr, 2005). Herpina (2014)
menyebutkan bahwa capung berperan sebagai predator berbagai Arthropoda di pertanian,
terutama bagi ordo Lepidoptera, Hymenoptera, Hemiptera, Orthoptera, dan Diptera. Capung
juga menjadi mangsa bagi Arthropoda, misalnya Araneida, dan vertebrata. Sekitar 500 spesies
capung tersebar diseluruh dunia dan sekitar 700 spesies terdapat di Indonesia (Sigit et al.,
2013).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana persebaran keanekaragaman hayati dalam tingkat makroalga atupun
serangga?
2. Apa saja peran dan manfaat yang dapat didapatkan dari jenis Enteromorpha flexuoasa?
3. Apa saja peran dan manfaat yang dapat didapatkan dari jenis Anax guttatus?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui persebaran keanekaragaman hayati dalam tingkat makroalga ataupun
serangga
2. Mengetahui peran dan manfaat yang didapatkan dari jenis Enteromorpha flexuoasa
3. Mengetahui peran dan manfaat yang didapatkan dari jenis Anax guttatus
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Keanegaragaman Alga Makro (Rumput) Laut di Indonesia


Kekayaan keanekaragaman sumber daya alam khususnya keanekaragaman hayati
(Biodiversity) laut Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, karena memiliki ekosistem
eisisr seperti hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun yang sangat luas dan
beragam (Dahuri dkk, 2001). Wilayah pesisir merupakan daerah yang kaya dan beragama
sumber daya akamnya dan memiliki berbagai fungsi baik sebagai sumber makanan utama
maupun sebagai trasnportasi dan pelabuhan, kawasan agribisnis dan agoindustri, kawasan
pemukiman, bahkan sebagai tempat pembuangan limbah.
Secara umum tumbuhan maupun hewan dapar bertahan hidup dengan menempel pada
substrat alami maupun buatan yang terpasang sacara sengaja di perairan. Salah satunya
organisme yang dapat menempel pada substrat dasar ialah makroalga. Kemampuan makroalga
untuk tumbuh pada media sangat cepat, sehingga dikelompokkan sebagai tumbuhan pionir.
Ciri khusus pada alga sehingga dapat menempel pada substratnya yaitu, makroalga memiliki
holdfast. Menurut Sutomo (2006) rumput laut atau makroalga hidup di dasar samudera yang
masih dapat tertembus cahaya matahari. Bagian tubuhnya yang tidak dapat dibedakan antara
batang, akar dan daun sejati, menjadikan makroalgra tergolong dalam divisi Thallophyta
(thallus).
Menurut Aslan (1998), pigmen yang terdapat dalam thallus rumput laut digunakan untuk
membedakan berbagai kelompok rumput laut. Pigmen ini menentukan warna thallus sesuai
yang terdapat pada kelas Chlorophyceae, Phaeophyceae, dan Rhodophyceae. Rumput laut
juga mengandung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormone, vitamin, mineral dan
senyaw bioaktif (Putra, 2006). Rumput laut mengandung berbagai vitamin dalam konsentrasi
tinggi seperti vitamin D, K, karotenoid (precursor vitamin A), dan vitamin B kompleks.
Rumput laut hijau juga merupakan salah satu sumber devisa negara dan sumber pendaparan
bagi masyarakat pesisir. Selain dapat digunakan langsung sebagai bahan makanan, hasil
olahan rumput laut seperti agar-agar, keraginan, dan alginate merupakan senyawa yang cukup
penting dalam industry (Istini dkk, 1985)
2.2. Morfologi Enteromorpha flexuosa
Enteromorpha merupakan salah satu genus dari alga hijau yang tersebar luas di perairan
Asia Tenggara, sedangkan 17 jenis lainnya tersebar di Samudera hindia, 21 jenis tersebar di
Amerika Utara, dan 16 jenis terdapat di sebelah timur Amerika (van Reined an Trono, 2002).
Jenis makroalga ini memili warna thallus hijau, berserabut, permukaan halus, thallus rambut
membentuk gumpalan seperti benang kusut dengan panjang 10-11 cm, sebagaimana
dikatakan, alga ini tumbuh menempel pada batu karang atau jarring nelayan. Enteromorpha
flexuosa berwana hijau yang umum ditemukan di mana ada nutrisi seperti aliran air tawae atau
masukan pegas bawah air laut. Hal ini sering dikaitkan dengan wilayah pesisir yang bernutrisi
tinggi (Magruder, 1979).
Habitat E. flexuosa adalah melekat pada batu-batuan dan organisme laut lain. E. flexuosa
dapat bertahan hidup pada kondisi suhu 28℃ (van Reined an Trono, 2002). Morfologi dari E.
flexuosa dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.1 spsimen Enteromorpha flexuosa

Makroalga jenis E. flexuosa biasa digunakan sebagai pakan ikan, dan obat-obatan.
Beberapa senyawa yang terkandung dalam makroalga khususnya E. flexuosa memiliki
kemampuan berupa aktivitas antimikroba. Ekstrak E. flexuosa telah diketahui mengandung
senyawa antimikroba berupa asam akrilat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas
antibakteri dari ekstrak rumput laut E. flexuosa (Natalia, 2004).
Klasifikasi E. flexuosa menurut Magruder (1979)
Kingdom : Plantae
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Ulvales
Famili : Ulvaceae
Genus : Enteromorpha
Spesies : Enteromorpha flexuosa
Pengujian aktivitas antibakteri pada spesies alga E. flexuosa dan Gracilaria cortica
memperlihatkan hasil bahwa kedua ekstrak tersebut aktif terhadap kedua pathogen yang
digunakan yaitu Klebsiella pneumonia dan Eschericia coli. Aktivitas maksimum dilaporkan
terdapat pada E. flexuosa dengan zona penghambatan terhadap Klebsiella pneumonia sebesar
2,5 mm dan Eschericia coli sebesar 3,7 mm. Hal ini menunjukan E. flexuosa merupakan
sumber senyawa anti bakteri yang potensial dalam bidang medis.

2.3. Senyawa Antimikrobia pada Enteromorpha flexuosa


Zat antimikrobia merupakan suatu zat yang dapat menghambat pertumbuhan mikrobia. Zat
antimikrobia meliputi antibakter, antijamur, dan antiparasit (Pelczar dan Chan, 1988).
Beberapa cara penghambatan pertumbuhan mikrobia atau cara kerja zat antimikrobia menurut
Pelczar dan Chan (1988) antara lain :
1. Merusak struktur dan fungsi dinding sel mikrobia.
2. Mengubah permeabilitas dinding sel mikrobia sehingga menimbulkan kematian sel.
3. Menyebabakan denaturasi protein mikrobia
4. Menghambat fungsi dan kerja enzim mikrobia sehingga menyebabakan gangguan
metabolisme sel
5. Menghambat sintesis asam nukleat atau protein sel mikrobia sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan total sel.
Menurut Harbone (1987), senyawa bioaktif yang terkandung dalam alga kebanyakan
berasal dari golongan alkaloid dan fenol. Alkaloid mencangkup senyawa-senyawa yang
bersifat basa. Alkaloid seringkali beracun bagi manuisa dan banyak memiliki fungsi fisiologis
yang menonjol serta seringkali digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Claus dkk,
1970). Fenol yang merupakan senyawa toxic mengakibatkan struktur tiga dimensi protein
terganggu dan terbuka menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan pada struktur kerangka
kovalen. Hal ini menyebabkan protein denaturasi. Deret asam amino protein tersebut tetap
utuh setelah denaturasi, namun aktivitas biologisnya menjadi rusak sehingga protein tidak
dapart melakukan fungsinya.
Enteromorpha flexuosa memiliki senyawa aktif asam akrilat (Trono, 1997) dimetilsulfida,
propiotetin (Glombitza, 1979), dan senyawa terpenoid. Asam akrilat merupakan suatu
komponen antibiotic aktif pertama pada alga yang mudah diidentifikasi. Senyawa aktif ini
ditemukan oleh Sieburth pada tahun 1960 di dalam Phaeocystis pouchetti. Asam ini
ditemukan dalam bentuk bebas, garam, atau tergabung dalam senyawa dimetilsulfida
(Glombitza, 1979). Dimetilsulfida ditemukan di lingkungan perairan di dalam fitoplankton,
rumput laut, dan beberapa jenis spesies tumbuhan vaskuler akuatik. Berdasarkan hasil
penelitian, dimetilsulfida merujuk pada dimetil-b-propiothetin.

2.4. Pemanfaatan Makroalga


Menurut Handayani (2006), terdapat beberpa jenis alga yang dapat dijadakan sebagai
bahan baku beberapa industri makanan, teksti, keraik, kosmetik, pupuk, dan fotografi.
Hndayani (2006) juga melaporkan alga dapat dimanfaatkan dalam industri pangan dan bahan-
banhan kimia, misalnya: Gelidium sp. dan Gracilaria sp. spesies penghasil agar yang
digunakan dalam pengalengan ikan dan daging untuk mencegah kerusakan, pembuatan es
krim, minuman, susu, kue, manisan, bahan-bahan kosmetik, industri cat dan insektisida, serta
mencegah kanker dan agen anti penuaan. Alga mengandung banyak vitamin dan mineral serta
dietary fiber, sehingga dapat mencegah kegemukan.
Makroalga juga sudah dijadikan sebagai makanan sehari-hari bagi penduduk Jepang, China
dan Korea. Untuk di Indonesia sendiri sebagian besar makroalga hanya dibiarkan sebagai
sampah lautan, mengapung hanyut atau terbawa arus, ataupun terdampar dipinggir pantai.
China dan Jepang sudah dimuali sejak tahun 1670 sebagai bahan obat-obatan, makanan
tambahan, kosmetika, pakan ternak, dan pupuk organik. Kandungan nutrisi dalam rumput laut
yang menjadi dasar pemanfaatan rumput laut di bidang kesehatan diantaranya polisakarida
dan serat, mineral, protein, lipid dan asam lemak, vitamin serta polifenol. Pigmen rumput luat
yang biasa digunakan dalam berbagai bidang diantaranya klorofil, kerotonoid, dan fikobilin
(Suparmi dan Sahri, 2009). Hal ini juga telah dikemukakan oleh Handayani (2006) bahwa
pemanfaatan rumput laut secara ekonomis sudah dilakukan oleh beberapa negara. Dalam
redlist IUCN didapatkan bahwa E. flexuosa termsuk dalam kategori Least Concern (LC) yang
merupakan subkategori dari kategori terkikirs (Lower Risk) ,yaitu yang diterapkan pada takson
yang tidak termasuk dalam kategori EX, EW, CR, EN, atau VU.

2.5. Keanekaragaman Serangga di Indonesia


Serangga merupakan mahkluk hidup yang mendominasi bumi dan berjumlah kurang lebih
setengah dari total spesies tumbuhan dan hewan lainnya yang ada di bumi (Sudarso, 2009).
Kurang leboh sekitar 1 juta spesies serangga telah dideskripsikan dan diperkirakan masih ada
sekitar 10 juta spesies serangga yang belum dideskripsikan (Tarumingkeng, 2001).
Keberadaan serangga khususnya di daerah perkotaan sering tidak dipedulikan oleh
masyarakat, sejatinya keberadaan serangga diperkotaan menjadi hal positif karena serangga
memiliki peranana ekologis, estetis dan sarana pendidikan.
Serangga memiliki karakteristik atau pola tertantu dalam merespon gangguan lingkungan.
Kepekaan, daya toleransi dan daya adaptasi serangga terhadap perubahan lingkungan menjadi
faktor penentu keberadaanya di alam. Kelimpahan dan keanekaragaman serangga yang berada
di suatu habitat memiliki karekteristik dan kondisi lingkungan yang berbeda dengan habitat
serangga lainnya (Vu, 2009). Keberadaan serangga dalam suatu habitat dapat dijadikan suatu
indicator keadaan ingkungan. Penggunaan organisme dalam menilai suatu habitat atau
lingkungan memberikan data yang lebih aktual.
Subekti (2012) melakukan penelitian mengenai keragaman serangga di Hutan Kota
tinomoyo Kota Semarang, melaporkan bahwa telah ditemukan 19 jenis serangga. Lain dari
Herpina et al. (2014) didaptkan informasi mengenai keberadaan capung (Odonata) pada area
perkotaan dengen ditemukan 5 spesies capung termasuk dalam 1 famili dan genus. Odonata
atau capung merupakan golongan serangga yang mudah dikenali dan ragam jensinya paling
banyak dijumpai di kawasan tropis karena kawasan tropis memiliki berbagai jenis habitat yang
ideal sepanjang tahun, seperti Indonesia.

2.6. Morfologi Anax guttatus


Capung merupakan salah satu kelompok serangga (kelas insect) yang familiar (IUCN Red
List, 2009), termasuk dalam golongan serangga air (Morse J. C, 2009). Ukuran, warna dan
kebiasaanya yang mencolok membuat serangga ini popular diantara para ahli serangga
maupun orang awam (Klakman, V. J., et al., 2008). Capung muncul sekitar zaman karbon
yaitu 360-290 ratus tahun yang lalu (Wahyu Sigit Rhd dkk, 2013), tercatat sekitar 5.680
spesies serangga capung yang telah ditemukan di dunia (IUCN Red List, 2009).
Anax gutatus merupakan capung yang memiliki ukuran tubuh yang besar, dengan dominasi
warna hijau pada seluruh bagian tubuhnya, memiliki mata majemuk dengan toraks berwarna
hijau juga. Memiliki sayap yang transparan dengan bercak coklat di tengah sayap belakang.
Capung betina serupa dengan capung jantan. Memiliki abdomen hitam dengan bercak kuning
atau hijau, kecuali ruas kedua dan ketiga berwarna biru yang merupakan ciri khas dari jenis
ini, namun tidak pada jenis betinanya. Capung ini memiliki sifat dominan terhadap capung
lain di daerah teritorialnya (Orr, 2005). Capung dari genus ini sangat sensitive terhadap obyek
baru yang mendekat dan lebih suka terbang terus menerus daripada hinggap. Menurut Wahyu
Sigit Rhd, dkk (2013) A. guttatus memiliki kebiasan aktif pada pagi hari menjelang siang
untuk berburu mangsa, dan spesies ini sangat suka terbang dengan kecepata tinggi di atas
permukaan air. Capung jenis ini bisa terbang terus-menerus dalam jangka panjang, jarang
dijumpai hinggap, serta sensitive jika didekati.

Gambar 2.2. Morfologi Anax guttatus

Klasifikasi dari capung jenis ini pun sebagai berikut


Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Odonata
Famili : Aeshnidae
Genus : Anax
Spesies : Anax guttatus
2.7. Habitat dan Peranan Anax guttatus
Habitat capung pada umumnya hidup pada dua yaitu, akuatik dan non akuatik, serta
habitatnya sangat luas termasuk juga pada habitat sawah (Orr, 2005). Salah satu kawasan
hutan yang berperan penting dalam mendukung kehidupan capung ialah Kawasan Taman
Wisata Alam Suranadi (Ilhamdi, 2018). Capung juga mampu berkembang biak pada hampir
di semua perairan tawar yangtidak terlalu panas, asam atau asin, dari perairan yang berbeda
di dataran tinggi hingga yang berada di dataran rendah (Paulsen, 2011).
Anax guttatus menghabiskan sebagian hidupnya sebagaian hidupnya sebagai nimfa yang
sangat bergantung pada habitat perairan seperti sungai, sawah, danau, rawa atau kolam. Fakto-
faktor lingkungan seperti suhu, pH, kelembapan udara, serta ketersediaan air dan makanan
yang sesuai pada suatu habitat atau ekosistem sangat diperlukan oleh capung untuk dapat
menunjang kehidupannya. Menurut Corbet (1980 dalam Ansori 2009), menyatakan bahwa
perbedaan jumlah individu odonata pada sutau daerah disebabkan oleh pengaruh kualitas
lingkungan suatu habitat, seperi: pH, suhu, kelembapan udara, kondisi faktor kimia dan
keterdediaan makanan.
Capung jenis A. guttatus memiliki fungsi yang sama dengan dapung lainnya yaitu sebagai
serangga predator, baik dalam bentuk nimfa maupun dewasa, dan memangsa berbagai jenis
serangga serta organisme lain termasuk serangga hama tanaman padi. Selain itu, capung juga
dapat dijadikan sebagai indicator kualitas ekosistem. Hal ini dikarenan dikarenakan capung
memiliki dua habitat yaitu air dan udara. Odonata betina dalam melakukan oviposisi memilih
habitat perairan yang jernih dan bersih, dikarenakan stadium nimfanya rentan terhadap
kualitas air terpolusi (Borror et al, 1992).
Capung dewasa sering telihat di tempat-tempat terbuka, terutama di perairan tempat
mereka berkembang biak dan berburu makanan (Shanti Susanti, 1998). A. guttatus aktif pada
siang hari ketika matahari bersinar, pada hari yang panas capung ini sangat aktif, dan sensitive
sehingga akan terus terbang ketika ingin didekati.

2.8. Siklus Hidup Capung Anax guttatus


Secara umum siklus hidup capung melalui tga tahap perubahan untuk (metamerfosis) yaitu
telur, nimfa, dan dewasa, metamerfosis ini termasuk dalam kategori metamerfosis tidak
lengkap (Wahyu Sigit Rhd dkk, 2013). Siklus hidup diawali dengan prosis kopulasi sepasang
capung, kemudain capung bertelur di dalam air atau disisipkan pada tanaman air, kemudian
setelah 5-40 hari mereka menjadi larva yang disebut nimfa (Corbet, P.S, 1980). Seekor nimfa
dapat hidup didalam air selama berbulan-bulan, nimfa hidup di dalam air bernapas dengan
insang (Shanti Susanti, 1998).
Nimfa setelah berganti kulit 10-15 kali akan menjadi nimfa tua (mature), kemudian nimfa
tersebut memanjat batang tanaman air atau benda lain untuk keluar dari air dan bertegger pada
batang atau benda tersebut, dalam beberapa jam proses menjadi capung sempurna dan capung
jeluar dari nimfa tua (Wahyu Sigit dkk, 2013). Setelah keluar dari nimfa, capung yang
berukuran kecil dapat terbang setelah 30 menit, tetapi capung dengan ukuran tubuh yang lebih
lebar memerlukan waktu yang lebih lama atau sesuai dengan temperatur lingkungannya
hingga dapat terbang. Capung yang sudah dewasa ini biasanya memangsa nyamuk, lalat, dan
beberpa jenis lain maupun jenisnya sendiri (Shanti Susanti, 1998)

Gambar 2.3. Siklus Hidup Anax guttatus

2.9. Peranan Capung anax guttatus


Capung dewasa merupakan predator alami bagi serangga hama tanaman pangan dan dalam
ekosistem berperan sebagai pengendali hayati (Wakhid dkk, 2014). Pada fase nimfa, capung
memangsa jentik-jentik nyamuk, ikan-ikan kecil, dan lain-lain. Seekor nimfa dapt hidup di
dalam air selama beberapa bulan hingga tahun dan sensitive terhadap kondisi air yang
tercemar. Kondisi air yang baik atau tidak dapat diketahui dari keberadaan nimfan di suatu
perairan. Oleh karena itu, capung dapat dijadikan bioindikator pencemaran air (Wayu Sigit
Rhd dkk, 2013).
Pada ekosistem yang ditempatinya, capung juga berperan sebagai penjaga keseimbangan
rantai makanan dimana capung berperan sebagai seranga predator yang bertindak sebagai
musuh alami yang dapat mempengaruhi populasi hama tanaman pangan sehingga mampu
menekan dinamika populasi serangga yang berpotensi sebagai hama pertanian (Rizal, 2014).
Hal ini menunjukan bahwa pentingnya keberadaan capung dalam keseimbangan ekologi.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Persebaran keanekaragaman hayati dalam kelompok makroalga maupun serangga
memiliki perkembangan serta pertumbuhan yang sama, tersebar di seluruh dunia.
Salah satunya di kepulauan Inodesia sendiri, sebagai negara maritim, juga agraris
yang memiliki jumlah lahan persawahan yang luas.
2. Peran dan mafaat pada Enteromorpha flexuosa antara lain yaitu bahan baku
beberapa industri makanan, teksti, keraik, kosmetik, pupuk, dan fotografi
3. Peran dan manfaat pada Anax guttatus merupakan predator alami bagi serangga
hama tanaman pangan dan dalam ekosistem berperan sebagai pengendali hayati,
juga berperan sebagai penjaga keseimbangan rantai makanan
DAFTAR PUSTAKA

Aslan (1998),L.M. 1998. Budidaya Rumpul Laut. Kanisius. Jakarta


bone, J. B. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan.
Penerbit ITB. Bandung.

Borror, D. J., Triplehorn. C. A dan Johnson, N. F. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga, Edisi
ke-enam. Terjemahan oleh Partosoedjono.UGM Press.Yogyakarta

Claus, E.P., Tyler, V.E., dan Brady, L.R. (1970). Pharmacognosy. Philadelpia: Lea & Febiger.
Halaman 162.

Corbet, G. B., dan Hill, J. E. 1992. The Mammals of the Indomalayan Region: a systematic
review. London.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Glombitza, K. W. 1979. Antibiotics From Algae In : Hoppe et al. (eds.) Marine Algae in
Pharmaceutical Science. Walter de Gruyter. Berlin.

Handayani, T. 2006. Protein pada Rumput Laut. Oseana, 4: 23-40

Herpina, R. dkk. 2014. Jenis-jenis Capung (Odonata:Anisoptera) Di Komplek Perkantoran


Pemerintahan Daerah (PEMDA) Kabupaten Rokan Hulu. Universitas Pasir Pengaraian
(Skripsi) 1-4.

Ilhamdi ML, 2012, Keanekaragaman Serangga dalam Tanah di Pantai Endok Lombok Barat,
Jurnal Pijar MIPA,7(2): 55-59.

IUCN. 2009. The IUCN Red List of Threatened Species TM 2009 update (odonata facts). Hal
2.
Kalkman, V.J., V. Clausnitzer., K.D.B. Djkstra., A.G.Orr., D.R.Panison., J.V.Tol. 2008.
Global diversity of dragonflies (Odonata) in freshwater. Hydrobiologia, 595:351–363

Koneri, R. B., Samaddar, S., dan Ramaiyah, C.T. (2014). Antidiabetic activity of a triterpenoid
saponin isolated from Momordica cymbalaria Fenzl. Indian Journal of Experimental
Biology. 52(1): 46-52

Landau, M. 1992. Introduction to Aquaculture. John Wiley and Sons, Inc. Canada.

Magruder, W. H. & J. W. Hunt. 1979. Seaweeds Hawaii. Hawaii: Oriental Publising.

Morse, J.M. (2009). Preventing Patient Falls, Second Edition. New York: Springer Publishing
Company.

Natalia, W. 2004. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Enteromorpha sp. Terhadap Taphylococcus


epidermidis dan Pseudomonas fluorescens migul Dengan Variasi Sifat Sampel dan
Volume Metanol. Makalah. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Orr, A. G. 2005. Dragonfies of Paninsular Malaysian and Singapore. Natural History


Publication (Borneo). Kota Kinabalu.

Paulson, D. 2011. Dragonflies and Demselflies of The East. Princeton University Press. New
Jersey.

Pelczar, M. J. dan Chan, E. C. S. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas


Indonesia Press. Jakarta.
Putra, S. E. 2006. Tinjauan Kinetika dan Termodinamika Proses Adsorbsi Ion Logam Pb, Cd,
dan Cu oleh Biomassa Alga Nannochloropsis sp. yang Dimobilisasi Polietilamina-
Glutaraldehid. Laporan Penelitian Universitas Lampung Bandar Lampung. Tidak
Diterbitkan.

Rifai. Mien. A, (I990); Blodiversity Flora Hutan Tropis di Dalam Wallacea Area. Kumpulan
Makalah Lokakarya Nasional Pengembangan Riset Pelestarian dan Pemanfaatan
Sumberdaya Alam.

Rizal, S dan Hadi, M. 2014. Inventarisasi Jenis Capung (Odonata) Pada Areal Persawahan di
Desa Pundenarum Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak. Jurnal Bioma, 17(1):
16-20.

Sieburth, J. M. 1961. Antibiotic Properties Of Acrylic Acid, A Factor In The Gastrointestinal


Antibiosis Of Polar Marine Animals. J. Bacteriol, 82(1) : 72 – 79.

Sigit, W., Feriwibisono, B., Nugrahani, M.P., Putri, B dan Makitan, T. 2013. Naga Terbang
Wendit. Malang: Indonesia Dragonfly Society

Subekti, Niken. 2012. Keanekaragaman Jenis Serangga di Hutan Tinjomoyo Kota Semarang,
Jawa Tengah

Sudarso Y. 2009. Potensi larva Trichoptera sebagai bioindikator akuatik. Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia 35: 201-215.

Suparmi dan Sahri, A. 2009. Mengenal Potensi Rumput Laut Kajian Pemanfaatan Sumber
Daya Rumput Laut Dari Aspek Industri Dan Kesehatan. Sultan Agung. Vol XLIV 118.

Susanti, S. 1998. Mengenal Capung. Bogor: Puslitbang LIPI.

Tarumingkeng RC. 2001. Serangga dan lingkungan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Trono, G.C. 1997. Field Guide and Atlas of the Seaweed Resources of the Philippines.
Bookmarks, Inc. Makaty City. 306 hal.

Van Reine, W. F. P., dan Trono, G. C. 2002. Plant Resources of South East Asia. Prosea.
Bogor.

Vu LV. 2009. Diversity and similarity of butterfly communities in five different habitat types
at Tam Dao National Park, Vietnam. Jurnal of Zoology. 277(1): 15-22

Wahyu Sigit Rhd, dkk. (2013). Keanekaragaman Capung Perairan Wendit, Malang, Jawa
Timur. Malang: Indonesia Dragonfly Society.

Wakhid, Roni K., Trina T., & Pience V.M. (2014). Kelimpahan Populasi Capung Jarum
(Zygoptera) di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara.
Jurnal Biologos. Volume 4 (2).

Anda mungkin juga menyukai